Feeds:
Pos
Komentar

Update Juni 2014: Sebagian posting telah diset privat.

 

Saya pertama kali menulis blog sekitar bulan Mei 2006, pertama-tama di livejournal, kemudian pindah ke blog WordPress yang sekarang. Waktu itu saya masih kuliah tingkat dua, dan kalau boleh dibilang, menulisnya benar-benar santai: pakai kata ganti gw-lo, banyak membahas keseharian, dan isinya cenderung personal. Hampir tidak ada tulisan panjang-lebar yang serius. Bolehlah dianggap bahwa itu masa-masanya saya masih kroco di dunia blog. Tapi soal itu sebaiknya tak dibahas di sini. :mrgreen:

Nah, yang hendak dibicarakan di sini terkait dengan masa-masa awal ketika baru pindah ke WordPress. Saya mulai menulis di sini sekitar bulan Desember, jadi, kurang lebih sekitar 6 bulan sejak awal ngeblog. Kalau dihitung-hitung: persis sudah empat tahun saya menulis di alamat ini.

Dulu di tahun 2006-07, banyak blogger hebat yang menulis di WordPress, di antaranya Bang Aip, Mas Fertob, Mas Joe, dan Kang Tajib. Sekarang hampir semua punya hosting pribadi. Lalu ada blog Wadehel yang — waktu pertama kali baca — sempat bikin kaget dan rada trauma. Walaupun begitu belakangan saya mulai bisa memahami maksud di balik tulisannya, so that’s fine. πŸ˜›

Lalu saya juga ketemu banyak teman yang luar biasa. Dari yang (waktu itu) masih SMA sampai yang sudah bapak/ibu dan berkeluarga, semuanya menarik dan enak diajak ngobrol. Ada begitu banyak nama sampai-sampai tak bisa disebut satu-persatu. Mulai dari generasinya kgeddoe dan mas Gun; generasi saya sebangsa mbak Hiruta dan Chika; lalu yang lebih muda generasinya xaliber; generasinya mas AmedFaridMansup… sampai yang sudah paruh baya seperti bu Evy dan Kang Tajib di atas. Banyak di antaranya yang sudah berhenti ngeblog atau pindah website. Bagaimanapun itu hal yang wajar. Empat tahun itu waktu yang lama.

Menariknya adalah, selama empat tahun itu, saya bisa dibilang tak pernah ganti-ganti identitas. Sejak dulu ya, kalau orang melihat saya di blogosphere, pasti namanya sora9n. Sejak dulu mayoritas isi blog saya bertema J-stuffs, opini serius, atau ngobrol tentang sains. Dan sejauh saya ingat, blog ini hampir tak pernah ganti tampilan — ganti theme cuma sekali; ganti header dan tampilan sidebar pun demikian. Ibaratnya: kalau Anda pernah berkunjung ke sini dua tahun lalu, lalu baru main ke sini lagi, dijamin panglingnya cuma sedikit. :mrgreen:

Akan tetapi sebagaimana halnya benda di dunia ini, tidak ada yang abadi. Hal-hal di sekitar saya berubah; garis besar pemikiran saya juga berubah. Sementara apa yang ada di blog ini sudah mengkristal pencitraannya: bahwa saya begini-dan-begitu, bahwa blog ini *diasumsikan* isinya begini-dan begitu. Jadi saya berpikir begini. Barangkali sudah waktunya saya mencoba mengakomodasi perubahan itu.

Saya, misalnya, semenjak tahun 2009 sudah tak rajin mengikuti barang-barang Jepang. Saya tidak tahu anime atau dorama terbaru, juga tidak tahu kabar J-music terbaru (walaupun saya masih menulis seri nihongo di blog ini; tapi itu sekadar melanjutkan yang sudah ada saja). Haluan filosofis saya juga berubah: dari yang tadinya religius-liberal (c. 2006) menjadi teis agnostik (c. 2007) hingga sekarang agnostik tanpa embel-embel (sekitar akhir 2007? lupa πŸ˜› ). Semua perubahan itu tercermin di berbagai rangkaian posting di blog ini. Dari masa ke masa garis besar haluan ngeblog saya terus berubah dan, di saat ini, saya telah berjalan begitu jauh — sedemikian hingga ada perbedaan yang visible antara diri saya dulu dan sekarang.

Masalahnya adalah bahwa blog ini menimbulkan ekspektasi pada pembacanya. Kalau orang dengar istilah “blog sora-kun” barangkali yang terlintas adalah: “blog yang suka ngomong jejepangan, teori evolusi, atau coretan keseharian“. Sementara ada banyak hal yang ingin saya eksplorasi di luar itu yang belum tentu cocok dengan audiens.

Jadi saya menetapkan bahwa Garis Besar Haluan Ngeblog (GBHN) saya telah berubah. Saya ingin membicarakan hal lain; saya ingin mengomunikasikan hal-hal berbeda dengan segmen pembaca yang (boleh jadi) juga berbeda. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti ngeblog di sini dan melanjutkan di blog yang baru.

 

ZENOSPHERE

Link dan banner dari blog tersebut

 

Yup, that’s about it. Jadi, setelah empat tahun ngeblog di alamat ini, saya akhirnya memutuskan untuk pindah rumah. Masih di bawah pengawasan bapak kos Oom Matt di WordPress, cuma beda nomor kamarnya sahaja. Silahken dikunjungi atau di-subscribe kalau berkenan. πŸ˜› biarpun isinya sejauh ini baru dua posting

 
Jadi, ada apa di blog baru ini?
 

Rencananya di blog tersebut saya akan lebih banyak merilis tulisan bertema serius; kira-kira seperti terkandung di kategori deeper thoughts. Berhubung pendidikan saya teknik maka temanya akan berkisar antara sains dan engineering — walaupun bukan tak mungkin bakal ada tulisan nyerempet ilmu sosial. Bagaimanapun memang dua bidang itu sering bertabrakan. πŸ˜› (see also: teori evolusi, antropologi)

Rencananya saya juga ingin mencoba gaya menulis baru di sana. Alih-alih membuat tulisan panjang-lebar tapi jarang update seperti di blog ini, saya akan lebih fokus pada posting pendek-tapi-rutin. Sebisa mungkin tidak lebih dari 1000 kata; jikapun lebih, sungguh mati tiada maksud. Mudah-mudahan masih bisa ditoleransi kalau kepanjangan. πŸ˜› Harapannya sih bisa rajin update sambil tetap menjaga mutu.

 
Wrapping it up…
 

Akhirnya saya mengucapkan terima kasih pada pembaca yang sudah menyambangi blog ini selama empat tahun terakhir. Mulai dari yang rajin berkunjung dan berkomentar; yang sekadar membaca tanpa komentar; yang sampai ke blog ini lewat link; sampai yang tersasar ke sini gara-gara google. Semua hits itu telah membantu menyemangati saya selama mengisi tulisan di blog ini.

Sebagai informasi, rata-rata harian kunjungan blog ini sejak tahun 2007 adalah 183, 328, 412, dan 335. Semuanya disumbang oleh kehadiran, diskusi, dan link balik para pembaca.

Oleh karena itu, menutup perjalanan panjang di blog ini: terima kasih banyak untuk semua perhatiannya. Terima kasih banyak, sebanyak kunjungan Anda semua ke blog ini. m_(u_u)_m *plak*

Komentar akan tetap dibuka sampai Tahun Baru 2011, setelah itu akan ditutup untuk seterusnya. Silakan meninggalkan pendapat, kesan-pesan, atau sebagainya — sejauh tidak melanggar rambu-rambu berkomentar, respon anda akan diterima dengan baik.

Akhir kata, terima kasih banyak, dan sampai jumpa. Adios!

 

— SHQM

 

Addendum:
Saya merasa agak terbebani karena — sejauh saya ingat — ada tulisan yang bersifat hutang dan tak pernah dilunasi sampai blog ini tutup. Yang pertama kelanjutan seri nihongo; ada banyak sekali materi yang tak sempat saya tulis. Yang kedua bagian penutup seri mekanika kuantum: semestinya sudah ditamatkan pada awal tahun 2009, akan tetapi sampai sekarang ternyata terbengkalai. Untuk ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. ^:)^

Saya menulis dua bidang tersebut semata dengan semangat Free Culture — saya percaya bahwa ilmu pengetahuan selayaknya disebarkan seluas mungkin tanpa diambil untung. Akan tetapi untuk menulisnya butuh waktu dan energi yang lumayan, dan itu adalah hal yang jarang saya miliki dalam dua tahun terakhir.

Update blog setengah serius untuk mengisi waktu… saya agak sibuk akhir-akhir ini, jadi belum sempat menulis panjang-lebar. πŸ˜›

Mengenai kenapa temanya world music, tentunya karena saya orang yang berwawasan multikultur dan menganggap batas negara itu semu. :mrgreen: Tapi itu cerita lain untuk saat ini.

Anyway, here goes. Hope you like it.

 

1. Ali Farka TourΓ© & Toumani DiabatΓ© – Ai Ga Bani

 

 
2. Ricky Martin – Gracias Por Pensar En Mi
 

 
3. Youssou N’ Dour & Axelle Red – La Cour Des Grands
 

 
4. Natacha Atlas ft. Jean-Michel Jarre – C’est la Vie
 

 
5. The Corrs – Buachaill On Eirne
 

 
6. The Corrs – Lough Erin Shore
 

 
7. AnΓΊna – SiΓΊil a RΓΊin
 

 
8. Jean-Michel Jarre – Equinoxe 5
 

 
9. Jean-Michel Jarre – Rendez-vous 98
 

 
10. Chrisye – Kala Cinta Menggoda
 

 
11. Christopher Tin – Baba Yetu (OST Civilization IV)
 

 
12. Taksim Trio – Gozum
 

 
13. Bill Douglas – Windhorse
 

 
14. Luis Delgado ft. Aurora Moreno – El Saludo
 

 
15. Luis Delgado – Gibralfaro
 

 
16. Uttara-kuru – Tsugaru
 

Grandpa’s Old Typewriter

That typewriter may be old, but for what it’s worth, my Grandpa never thinks to offload it. I don’t know what to make out of that. About few days in a week he will sit in front of it; typing with so much zeal you can tell from the noise. According to my mother, the machine was from his heyday as a lecturer… I heard he taught chemistry for undergraduates. Or something like that.

Admittedly the typewriter is not in bad condition. Grandpa is meticulous person when it comes to personal stuffs. The typeface is largely uncorroded; he regularly changes the ribbon; there’s no noticeable rust. It’s only… old. And noisy. At least that’s as far as I’m concerned.

The problem is, of course I’m hardly concerned. Seriously now: who cares about typewriters in this computer age? Nowadays we have Microsoft Word and Excel, for crying out loud. But Grandpa politely disagrees. He had been with that typewriter since 1960s, and never thought to leave it. Few days a week he will sit down and produce that unique sound in his house…

TICK-TOCK-TOCKTOCKTOCK. TICK-TOCKTOCK-TICK. TOCK-TOCK.

CTING.

You have the idea.

My parents actually persuaded to buy him electric typewriter, but to no avail. We even tried to teach him benefits of computers—data can be saved into disks, you can delete and insert words—but even then he only had passing interest. He never wanted to part with his old companion. And we, of course, could only shrug it off.

But perhaps interestingly, I once talked about this with my mom. In fact her explanation actually made sense.

“Grandpa never likes computer, does he?”

“Why, perhaps he likes it the old way,” my mother replied. “You know, it’s been with him for decades.”

“But isn’t that old– I mean, it’s noisy and all…”

My mom then told me something—a story from her childhood.

“Back then when I was nine or ten, you know, he bought that typewriter. Office bargain. You see, before that, he couldn’t get all his lecture notes typed by his own. Often times he had to ask the secretary. Other times, he borrowed some colleagues’ typewriter.”

“Almost every night our house was filled with typewriter sound, you know? The usual ‘tick-tock-tick-tock’ thing. At first it was annoying. He liked to work deep into the night. Sometimes up until midnight we could still hear him.”

“But each day after that is good enough for us. He typed, copied and sold his lecture notes to students—we got little more income. He stayed home more often; he put on his new hobby. He sent some short stories to local paper too, you know? But rarely get published I recall. In the end everybody’s happy with that.”

“But why can’t a computer do that? Nowadays people don’t use that thing anymore!”

“One day, maybe you’d understand. There are things like sentimentality and age-old ingrained ideas… things like attachment, so to say. It’s hard to let go, see.” Then she smiled. “Why, isn’t that what people say, ‘Old dog can’t learn new trick?’ Maybe Grandpa is like that!”

***

Nowadays when I look at Grandpa I wonder about things. Why do you like that typewriter so much, Gramps? Why? It’s noisy, it can’t have pictures; and you can’t do backspace! But still, I realized what my mom said. It was something like sentimentality that drives him in. Things like “first typewriter that helped me do things”, “the machine that allowed me free time working all-nights”, et cetera. In the end, it’s not something exactly logical nor exactly nonsensical—rather, it’s combination of both.

Baffling, perhaps. But not outrageously nonsensical.

Still, when I think of it, isn’t that what makes human human? We attach ourselves to things that have (or had) positive values, and try clinging to it—even when we outlive its usefulness. Just like Grandpa cling to his “helpful” typewriter all this time, not interested at all with its modern counterpart…

I wonder if that applies to other things, too.

 

 
(disclaimer: the above story is fiction and largely metaphorical)

Catatan:

Post ini merupakan kelanjutan dari bahasan sebelumnya tentang huruf kana. Materi sebelumnya:

    Mengenal Huruf Kana (1) – Hiragana

    Mengenal Huruf Kana (2) – Katakana

Catatan II:

Untuk memudahkan pembahasan, Anda bisa mengunduh kamus elektronik Jepang-Inggris sbb: [WaKan] [JLookUp]. Karena keterbatasan ruang tidak semua kosakata saya terjemahkan.

 
Catatan III:

Post-post lain tentang bahasa Jepang di blog ini bisa Anda temukan di halaman direktori nihongo.

 

 

Dalam sistem penulisan Bahasa Jepang, terdapat tiga macam aksara yang dipakai. Dua di antaranya sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya di blog ini, yakni huruf kana (hiragana dan katakana). Sekarang kita akan membahas tentang satu aksara lain di bahasa Jepang, yakni Kanji.

Mengenai apa itu huruf Kanji, perbedaannya dengan huruf kana, juga bagaimana penggunaannya akan segera kita amati berikut ini.

さあ、 γ―γ˜γ‚γΎγ—γ‚‡γ†γ€‚γ€‚γ€‚ ^^

[Klik untuk melanjutkan…]

Ada sebuah kenangan menarik yang saya alami sekitar tahun 2001, kurang lebih waktu saya baru masuk SMA. Peristiwanya terjadi ketika jam pelajaran fisika dan membahas tentang gerak jatuh bebas.

Kalau Anda pernah belajar tentang Hukum Newton, kemungkinan besar sudah tahu tentang peristiwa “apel jatuh” yang legendaris. Bahwasanya, ketika Pak Isaac Newton melihat apel jatuh dari pohon, ia langsung mendapat inspirasi. Kemudian beliau menulis perhitungan rumit dan hasilnya diterbitkan dalam buku ‘Principia Mathematica’. Singkat cerita, Newton menjadi ilmuwan besar karena merenungi fenomena jatuhnya buah apel tersebut.

Nah, yang hendak saya ceritakan di sini ada hubungannya dengan peristiwa “apel jatuh” di atas.

Sebagaimana sudah disebut di awal, peristiwa ini terjadi ketika jam pelajaran fisika. Waktu itu ibu guru sedang menerangkan di papan tulis, ada rumus ini-dan-itu — meskipun begitu yang paling berkesan adalah satu ilustrasi yang ada di buku paket.

Buah apel tergantung diam di pohon (kecepatannya nol). Kemudian apel tersebut jatuh.

Setiap detik jatuhnya apel semakin cepat, sebab ditarik gravitasi.

Maka lewat matematika dapat dihitung bahwa:

(kecepatan) = (gravitasi) * (waktu)

v=g.t

Saya tidak tahu bagaimana dengan orang lain, tetapi bagi saya waktu itu, ilustrasi di atas benar-benar membuka mata. Dalam sekejap fisika yang rumit jadi sederhana. Tidak ada hafalan rumus ini untuk GLB, rumus itu untuk GLBB — yang ada cuma ilustrasi, lalu dihubungkan ke rumus matematik. Begitu simpel. Begitu masuk akal, logis, elegan.

Belakangan saya mempelajari bahwa, walaupun di awalnya sulit, materi-materi lain di pelajaran fisika itu sebenarnya tidak jauh beda dengan ilustrasi di atas. Tidak jauh berbeda dalam artian begini: mulai dari hukum gerak, gravitasi, hingga elektromagnet, semuanya bisa dijelaskan secara logis dan sederhana. Tidak ada rumus ajaib yang — meminjam istilahnya Carl Sagan — seolah-olah diturunkan dari Gunung Sinai.

 

moses-f-ma

Bukan dari Gunung Sinai. πŸ˜›

 

Di balik kerumitan rumus, terdapat penjelasan logis yang mudah dicerna. Lebih lagi hukum-hukum tersebut menggambarkan lingkungan alam sehari-hari. Saya yang waktu itu masih ABG amat terkesan.

 

Sains dan Keindahan Alam

 

Sudah sekian tahun berlalu sejak peristiwa di atas terjadi. Meskipun begitu dampak yang ditinggalkannya masih berbekas sampai sekarang. Boleh dibilang bahwa peristiwa di atas turut berperan menentukan kesukaan saya belajar sains/IPA.

Walaupun contoh yang saya sebut di atas cuma melibatkan fisika, inti kekaguman yang dihadirkannya adalah science in general: bagaimana alam semesta yang rumit dapat dijabarkan dengan sederhana dan masuk akal. Di balik peristiwa yang kita lihat sehari-hari terdapat serangkaian proses maha indah. Saya mungkin terdengar norak atau berlebihan kalau bilang begini, tapi percayalah: there is actually joy in science! ^^v

Ini hal yang sifatnya rada subtle. Kalau Anda cuma mengamati alam sambil lalu, tidak mungkin bisa memahaminya. Harus coba untuk melihat lebih dekat. Dan untuk ini tidak mesti orang yang sekolahnya IPA, jurusannya IPA — tidak. Semua orang bisa menikmati ilmu alam. Saya ambil contoh berikut.

Anda mungkin pernah jalan-jalan ke air terjun dan melihat berbagai fenomenanya. Ada air terjunnya, ada jeram; kadang-kadang ada juga pelangi di situ. Sepintas lalu kita setuju bahwa pemandangannya indah, tetapi kenapa bisa indah?

Kenapa air terjun bisa terbentuk? Karena ada hukum fisika, air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Kenapa langit berwarna biru? Karena sinar matahari yang dibiaskan atmosfer paling banyak meloloskan warna biru. Kenapa kadang-kadang ada pelangi di air terjun? Karena titik-titik air membiaskan sinar matahari jadi tujuh warna, lalu dipantulkan sedemikian rupa sehingga dapat terlihat. Dan seterusnya, dan lain sebagainya.

Saya yakin Anda bisa melihat keindahannya di sini. Orang tak perlu jadi ilmuwan untuk menghayati ilmu alam. Asalkan orang mau bertanya dan belajar, dia bisa menikmati sains. Ini hal yang harus dicoba untuk bisa memahaminya.

Adapun itu baru dilihat dari bidang fisika. Kalau kita membahas air terjun dari sudut pandang geologi, mungkin banyak lagi analisis yang menarik. Mengapa bisa terbentuk level yang curam; mengapa bisa terbentuk jalur sungai dan air terjun… (saya tidak tahu; pendidikan saya bukan di situ πŸ˜› ).

Atau mungkin dari bidang biologi: mengapa ada spesies yang hidupnya di dekat sungai, tapi tidak di tempat lain. Mengapa ekosistem air terjun berbeda dengan kota, dan seterusnya. Lagi-lagi saya tidak tahu pasti — saya cuma paham sedikit biologi dari buku Richard Dawkins dan S.J. Gould. Meskipun begitu ini adalah pertanyaan-pertanyaan menarik yang saya rasa juga akan menarik jawabannya. πŸ™‚

 

Ilmu Pengetahuan Membebaskan

 

Sekarang saya mau cerita sedikit dulu tentang sejarah. πŸ˜›

Sahibul hikayat, menurut para ahli arkeologi, umat manusia purba zaman dulu memiliki ketakutan irasional terhadap alam. Ketika terjadi petir, misalnya, disangkanya pertanda bahwa alam sedang marah. Oleh karena itu mereka harus menyembah-nyembah supaya alam jadi tenang. Mereka menganut bentuk kepercayaan primitif bernama animisme/dinamisme — penyembahan terhadap unsur alam.

Di masa kini kita tahu bahwa animisme/dinamisme itu kepercayaan salah kaprah. Pengetahuan ilmiah menunjukkan bahwa, alih-alih kemarahan dewa, petir itu sekadar interaksi atom-atom di awan. Bencana kekeringan bukan karena dewi kesuburan marah, melainkan karena perubahan iklim. Pada akhirnya bencana itu dijelaskan sebagai peristiwa alam biasa.

Seiring kita memahami alam, kita tidak lagi takut pada hal-hal yang sifatnya takhayul. Malah justru dari pemahaman itu kita memanfaatkan alam untuk kepentingan kita. Kincir angin dipakai untuk pembangkit energi; irigasi makin canggih; bedil mesiu untuk melindungi dari hewan buas. Pada akhirnya ilmu alam menjadi pembebasan dari masalah dan rasa-takut.

Di bagian sebelumnya saya bercerita tentang menikmati alam dengan sains. Itu adalah karunia yang luar biasa. Akan tetapi, kelebihan sains sesungguhnya bukan hanya itu: dia juga membantu kita menghilangkan ketakutan-ketakutan kita. Baik itu yang sifatnya rasional maupun tak-rasional.

Jika nenek moyang kita dulu ketakutan dengan badai dan gempa bumi; dengan harimau dan penyakit kolera — maka kita sekarang memandangnya biasa saja. Seiring kemajuan teknologi ketakutan-ketakutan tersebut makin menyusut. Akhirnya tidak ada lagi yang ditakuti. Mungkinkah kelak hal-hal seperti hantu dan jin dapat dijelaskan lewat sains? Tentunya kalau begitu kita tak perlu takut lagi. Siapa yang tahu? :mrgreen:

 

Science: Breaking The Myth

 

Sebagaimana sudah diuraikan panjang-lebar di atas, sains (atau IPA, terserah pakai istilah mana πŸ˜› ) adalah sebuah karunia besar. Asalkan orang mau belajar dan berpikir, maka ia bisa mendapatkan keindahannya. Orang tidak perlu kuliah di jurusan eksakta atau IPA untuk menikmatinya. Yang menghambat orang dari belajar IPA barangkali sekadar prejudice saja: bahwa IPA itu sulit, banyak rumus, atau cuma bisa dicerna orang ber-IQ sekian, dan seterusnya.

Saya pikir sebenarnya tidak persis begitu. Memang untuk mendalami IPA orang harus punya kecerdasan lumayan. Tetapi itu cuma berlaku kalau Anda terjun ke level teknis. Insinyur perlu matematik, dosen fisika perlu matematik, farmakolog harus tahu reaksi kimia blablabla — tetapi orang biasa tidak terjun ke bidang teknis. Di sini ada perbedaan yang harus dicatat.

Saya pikir, kalau orang ditakut-takuti untuk belajar IPA, maka dia takkan bisa menghayati keindahannya. Alangkah sayangnya kalau sampai seperti itu.

Untungnya, sejauh dapat saya lihat, tren-nya saat ini adalah “IPA untuk semua orang”. Saat ini banyak buku dari ilmuwan terkenal ditujukan ke masyarakat awam. Mulai dari Richard Dawkins, Lawrence Krauss, hingga yang paling terkenal Stephen Hawking. Semua berusaha menyampaikan bidang keilmuannya secara populer. Lebih lagi banyak di antaranya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. So far, so good.

Saya percaya bahwa sudah saatnya stigma “IPA sulit dan mengerikan” dibuang jauh-jauh. Sebab kalau IPA dianggap sulit, dia akan makin jauh dari masyarakat. Dan kalau sudah begitu… bukan tak mungkin masyarakat dikerjai oleh penipuan berkedok ilmiah. Yang terakhir ini perkara yang serius yang tidak bisa diremehkan kepentingannya. Malah kalau saya boleh menilai: ini alasan penting mengapa masyarakat awam HARUS mengakrabkan diri dengan sains. πŸ˜•

Anda ingat “Profesor Desa” Djoko Suprapto dan Blue Energy? Ini contoh luar biasa bagaimana masyarakat dan Presiden (!) Indonesia tertipu mentah-mentah oleh ilmuwan palsu. Ini menunjukkan betapa ketidaktahuan masyarakat akan sains bisa dimanfaatkan sedemikian rupa. Meskipun begitu nasi telah menjadi bubur. Seandainya pejabat dan masyarakat Indonesia waktu itu lebih melek-sains dan hati-hati, barangkali peristiwa tersebut dapat dicegah.

 

Penutup: It’s A Beautiful World

 

Singkat cerita, saya ingin memakai kesempatan ini untuk menekankan satu hal: belajar IPA bukanlah hal yang harus dipandang sebagai momok atau menakutkan. Sama sekali tidak. Sebagaimana sudah ditulis di atas, justru IPA itu mempunyai banyak manfaat. Semua orang, terlepas dari background akademisnya, berhak merasai keindahannya. Keindahan di sini sifatnya konseptual.

Sekalinya Anda sudah melihat ada apa di balik jatuhnya buah apel, terbentuknya pelangi, asal mula keragaman umat manusia — hal-hal tersebut akan menimbulkan kesan tersendiri. Susah dijelaskan! πŸ™‚ Kadang-kadang kesan yang ditimbulkannya bisa begitu kuat dan mendalam.

Jangan sia-siakan karunia ini dengan bilang “ah itu emang dari sononya”, “ah emang gue pikirin”. Nooo, you’ll be damned! Rugi kalau mikirnya seperti itu. :mrgreen: Syukurilah kecerdasan kita dengan cara memanfaatkannya. Sesungguhnya akal-budi manusia adalah pemberian yang luar biasa. Kebetulan saya punya cerita menarik soal ini.

Sekitar tahun 2007, saya bersilang pendapat dengan beberapa orang yang menolak Teori Evolusi. Orang-orang ini percaya bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk bersamaan, sekali jadi. Saya bilang: kalau seperti itu, sama saja dengan menyatakan “Tuhan menciptakan pelangi, tujuh warna sekali jadi. Haleluyah, amin!”. Sementara di baliknya terdapat serangkaian hukum fisika optik maha indah.

Saya bukanlah orang yang religius. For the record, saya seorang agnostik. Meskipun begitu saya percaya: kalau orang beriman menolak sains, itu sama saja dengan menghina Tuhan. Asumsinya Tuhan bekerja dengan proses. Kalau kita mengaku beriman, tapi lebih suka mengabaikan proses yang aslinya indah tersebut… itu sama saja dengan mengabaikan karya besar-Nya di bumi. Padahal harusnya kebesaran itu dihayati dengan seluas dan selengkap-lengkapnya. πŸ˜‰

***

Akhir kata, belajar IPA/sains/ilmu alam itu adalah sebuah anugerah. Terlepas dari apakah Anda religius atau tidak, apakah Anda agamis, ateis, agnostik, deis, atau lain sebagainya — jangan sia-siakan karunia ini.

Sebab kita tinggal di semesta yang elegan, dan kita beruntung punya kemampuan mengapresiasinya. Amat ironis kalau ternyata kita justru mengabaikan anugerah yang besar tersebut, lantas kembali memeluk pola pikir yang kuno dan menggampangkan masalah.

Kalau boleh jujur, saya adalah orang yang suka jalan-jalan di toko buku. Kadang-kadang disertai membeli, walaupun lebih seringnya tidak (tergantung kondisi keuangan dan ada/tidaknya judul yang menarik). Saya sendiri orangnya jarang belanja dan makan di food court, jadi, kalau sedang berada di mal, hampir pasti berkeliling lapak penjual manuskrip™. πŸ˜› *halah*

Berawal dari kebiasaan di atas, akhirnya saya jadi punya modus operandi kalau sedang di toko buku. Boleh dibilang semacam tips-dan-trik: bagaimana menentukan buku yang cocok, apakah harganya sesuai, dan seterusnya. Tentunya yang saya lakukan ini bukan aturan baku — orang lain mungkin punya trik tersendiri. Meskipun begitu saya menemukan rule of thumb di bawah ini lumayan berguna, jadi tidak ada salahnya kalau dibagikan lewat blog.

Seperti apa metodenya, here goes.

 

#1:
Google review sebelum membeli

 
Adakalanya ketika sedang menyusuri rak, saya melihat buku yang tampaknya bagus. Meskipun begitu pengarangnya tidak terkenal, jadi kualitasnya susah ditebak. Biasanya kalau begini saya mengeluarkan ponsel dan bertanya lewat internet — siapa lagi ahlinya kalau bukan mbah Google? :mrgreen:

 

SE k510i w. google

 

Pencarian tersebut biasanya mengantar ke laman Amazon atau Goodreads buku bersangkutan. Dari sini saya bisa membaca customer review dan melihat argumennya. Reviewer yang baik umumnya menjelaskan dalam poin: apakah suatu buku itu penyampaiannya menarik, datanya up-to-date, dan seterusnya. Jadi saya bisa meraba-raba kualitas buku yang diincar tersebut. Semakin banyak review yang dibaca, semakin bagus.

Bukan berarti review online itu mutlak sih; kadang-kadang ada juga yang underrating atau overrating. Meskipun begitu, paling tidak saya dapat opini tambahan sebelum membeli. πŸ˜›

 

#2:
Kalau lisensinya public domain, pertimbangkan harganya

 
Salah satu jenis lisensi buku adalah public domain. Buku yang masuk grup ini adalah buku yang copyright-nya sudah habis/tidak diperbaharui oleh penulisnya. Oleh karena itu biasanya berupa karya klasik yang penulisnya sudah lama meninggal. Penulis yang terkenal di antaranya Charles Dickens, Dostoyevski, dan Oscar Wilde.

Nah, buku yang copyright-nya sudah habis ini biasanya tersedia gratis di internet. Jadi kalau Anda ketemu buku public domain di toko, jangan lupa pertimbangkan harganya sebelum membeli.

Sebagai ilustrasi, saya pernah ketemu buku Oscar Wilde di rak impor. Bahasa Inggris. Harganya? Rp. 130.000. Sudah tentu saya abaikan. Itu buku copyright-nya sudah basi, berani betul minta duit segitunya. Pastilah mahalnya di cukai impor saja. 😐

Nah, dalam kasus seperti di atas, lebih baik pertimbangkan mengunduh e-book. Bisa dari Wikisource, Project Gutenberg atau Planet PDF. Kalau harga bukunya murah tentunya tidak masalah. Saya sendiri beli Crime and Punishment-nya Dostoyevski seharga Rp. 25.000 (terjemahan Indonesia). Yang penting jangan terlalu mahal saja — salah-salah keuangan yang jebol. πŸ˜›

 

#3:
Usahakan cek berbagai rak; suka ada buku yang salah tempat

 
Ini problem yang universal hampir di semua toko buku. Kadang-kadang ada buku yang klasifikasinya tidak tepat, jadi tidak ketemu oleh calon pembeli. Sebenarnya dapat dimaklumi, sih. Bagaimanapun tidak mungkin petugas toko membaca satu per satu.

Ini saya alami waktu jalan-jalan di rak berlabel “Psikologi”. Isinya buku-buku semacam ‘Bagaimana Memotivasi Diri’, ‘Mencoba Meraih Teman’, dan sebagainya. Anehnya tidak ada textbook formal seperti ‘Pengantar Ilmu Psikologi’. Cari punya cari, ternyata adanya di… bagian “Kesehatan”. πŸ˜†

Lain kali saya menemukan novel historis (fiksi) masuk rak “Sejarah”. Novel historis maksudnya novel berlatar sejarah, misalnya tentang agen rahasia semasa perang dingin (dekade 1960-1990). Nah yang macam ini kan fiksi. Tapi sering bersebelahan dengan materi serius seperti ‘Sejarah Modern Turki’. Jadinya terlihat out-of-place.

Lalu ada juga yang benar-benar ajaib: satu buku, tak ada kawan, raknya nyasar dan tidak nyambung! Tadinya saya bingung kenapa bisa begitu. Belakangan saya dengar bahwa banyak oknum pecinta buku suka berbuat hina. Jadi ada buku tinggal satu, tapi orang ini tak mampu beli. Oleh karena itu dia kacaukan supaya tak diambil orang — ditaruh di rak yang jauh — supaya beberapa hari kemudian bisa dia beli. Benar-benar egois dan menyebalkan! 😈

Walhasil, setiap kali ke toko buku, saya jadi sering mondar-mandir berbagai rak. Sebab lumayan sering ada buku bagus tapi raknya salah tempat.

 

#4:
Kalau beli nonfiksi, perhatikan level bahasan. Apakah pemula, menengah, atau teknis?

 
Biasanya kalau belanja buku, yang saya beli adalah nonfiksi (saya jarang baca novel; entah kenapa kurang tertarik). Temanya sendiri bebas saja. Kadang beli sains populer, meskipun begitu, sering juga materi sosial (saya suka baca sejarah). Nah yang hendak dibahas di sini terkait jenis bacaan tersebut.

Sejauh saya lihat, genre nonfiksi pada umumnya terbagi dalam tiga level: untuk kalangan umum (pemula), untuk kalangan umum yang tertarik mendalami (menengah), dan untuk kalangan teknis (umumnya berupa textbook). Jadi orang yang hendak beli buku nonfiksi sebaiknya paham ke level mana dia hendak masuk.

Nonfiksi level pertama biasanya untuk anak-anak atau young adult. Umumnya banyak ilustrasi, dan — kalau sains populer — tidak banyak main istilah. Nonfiksi level kedua ditujukan pada orang dewasa, sebab isinya lebih serius dan banyak tulisan (buku-buku Richard Dawkins masuk sini). Sedangkan nonfiksi level ketiga adalah yang paling berat. Bahasannya formal dan umumnya bersifat studi. Secara fisik terlihat jumlah halamannya banyak (> 400) dan dilindungi hardcover. Kalau hendak beli yang macam ini, sebaiknya pastikan Anda sudah cukup menguasai topik.

Saya sendiri punya pengalaman buruk terkait level-levelan di atas. Sekali waktu, saya membeli buku kumpulan esai Goenawan Mohamad. Langsung saja saya dihajar istilah-istilah ajaib: poststrukturalisme Adorno, feminisme Kristeva, dan apalah itu sebagainya. Lha saya belum pernah belajar filsafat? Ya sudah, jadilah membacanya ditemani Wikipedia. πŸ˜†

Jadi moral ceritanya adalah, know your level. Jangan sampai beli buku yang akhirnya menyusahkan buat dibaca. πŸ˜›

 

#5:
Buku impor atau terjemahan?

 
Beberapa penyuka buku yang saya kenal, baik IRL maupun di internet, sering beranggapan bahwa kualitas terjemahan Indonesia umumnya jelek. Saya pribadi memandangnya biasa saja. Kadang ada terjemahan yang bagus dan enak dibaca, meskipun begitu, ada juga yang tidak. Soal itu kembali pada skill si translator.

Nah, perdebatan yang muncul kemudian adalah sebagai berikut: lebih baik mana, membeli buku dalam bahasa aslinya atau terjemahan?

Perkara ini tentunya kembali pada si (calon) pembaca. Soalnya begini: kadang-kadang, di samping menuntut kemampuan berbahasa asing, buku impor itu umumnya jauh lebih mahal. Misalnya buku Harry Potter edisi #3. Sejauh saya ingat versi aslinya seharga Rp. 242.000 — sementara terjemahannya sekitar Rp. 80.000. Kalau orangnya lancar Bahasa Inggris dan siap keluar kocek sih OK. Lha kalau tidak? Uang dan kemampuan bahasa Inggris kan tidak semua orang punya. (=3=) *halah*

Terkait itu, saya sendiri kadang tertarik hendak beli buku impor. Sayangnya, berhubung harganya mahal… yah sudahlah. Terpaksa berpuas diri dengan terjemahan (kalau ada). πŸ˜†

*biasa saja sih, lagian bisa download e-book ini*

 

#6:
Apabila hendak beli buku bertema sensitif, pastikan isi dan penulisnya kredibel

 
Kalau Anda sering main ke toko buku bagian SosPol, kemungkinan besar pernah lihat buku-buku bertema “panas”. Ada yang tentang keterlibatan CIA di awal Orde Baru, politik Israel-Palestina, hingga yang konspirasi abis menyebut Freemason dan Bilderberg. Buku-buku ini membahas tema sensitif yang — meminjam istilahnya Dan Brown — “mengguncang iman”.

Pertanyaannya, tentu, apakah yang tertulis di sana dapat dipertanggungjawabkan. Bukan apa-apa — pasalnya, tema yang sensitif berpotensi dipakai penulisnya mengampanyekan misi/opini pribadi. Sementara fakta aslinya terabaikan.

Saya ambil contoh yang saya akrab. Penulis terkenal Harun Yahya membenci Teori Evolusi; di buku-buku dan videonya menjelaskan berapi-api. Akan tetapi dia tidak memberitakan secara berimbang. Di satu sisi mengkritik, tetapi di sisi lain keberhasilan ilmiah teori tersebut tidak disampaikan. Sang penulis mengesani bahwa “Teori Evolusi di ambang keruntuhan” dan sebagainya. Padahal sebenarnya tidak.

Contoh lain, barangkali The Da Vinci Code-nya Dan Brown. Konon buku ini mengungkap “fakta” rahasia Gereja Katolik. Nah tapi ada masalah: berbagai “fakta” yang diaku Dan Brown itu ternyata banyak dikritik keakuratannya. Walhasil si pengarang dituduh melakukan smear campaign pada agama Katolik. Hal-hal semacam itulah.

 
Jadi bisa Anda lihat problemnya. Buku bertema sensitif itu bisa menyesatkan, sebab belum tentu penulisnya obyektif. Langkah terpenting di sini adalah memastikan bahwa isi buku dan penulisnya kredibel.

Saya sendiri akhirnya jadi sering googling intensif sebelum beli buku jenis ini. Pastikan apakah penulisnya berlatar belakang akademis; pastikan apakah penulisnya netral (lewat berbagai review); lalu pastikan juga bahwa penulisnya tidak mengada-ada (a la Pak Harun dan Pak Brown di atas). Bukan salah saya kalau bersikap hati-hati — sebab kalau tidak, bisa-bisa saya dicekoki propaganda! πŸ‘Ώ

Jadi intinya, waspadalah akan apa yang Anda baca. Waspadalah, waspadalaaaaahh… πŸ‘Ώ

 

***

 

Well, kurang lebih seperti itulah aktivitas saya kalau sedang berburu buku. Tentunya tidak sempurna, sebab disarikannya cuma dari pengalaman pribadi. Meskipun begitu sejauh ini lumayan berguna, sih. πŸ˜› Tulisan ini sendiri dibuat gara-gara saya baru beli buku baru kemarin, jadi apa yang teringat langsung dituangkan.

BTW, kalau ada di antara pembaca yang punya tips dan trik berguna lainnya, monggo dibagikan lewat komentar. πŸ˜€ Will be nice to hear.

Ketika saya berumur dua tahun, orangtua saya memutuskan untuk pindah rumah ke daerah pinggiran selatan Jakarta. Ini masanya menjelang tahun 1990-an, waktu itu daerah pinggiran ibukota masih baru berkembang — banyak wilayahnya yang masih berupa perkebunan dan empang. Meskipun begitu kedekatan jarak dengan ibukota menjanjikan perkembangan ekonomi, jadi, banyak pendatang luar daerah bermukim di sini. Anak-anak di wilayah saya sendiri coraknya jadi berbagai suku: ada yang dari Jawa, Makassar, Padang, Manado, dan sebagainya.

Kalau Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah tahu kisah tumbuh-kembangnya saya di lingkungan multikultur tersebut. Saya tumbuh dikelilingi oleh perbedaan: teman main saya ada yang berdarah Bugis; di sekolah punya teman yang orangtuanya dari Bali dan Ambon; dan seterusnya. Adik saya sendiri, biarpun berdarah Jawa, akhirnya jadi fasih pakai dialek Betawi — ini gara-gara pembantu yang mengasuh dia sejak kecil asalnya dari suku tersebut. Lalu ada juga temannya tante saya yang sering main ke rumah; beliau ini gadis Batak di perantauan. Jadi, yah seperti itulah kira-kira. πŸ˜›

Walhasil, saya jadi terdidik memandang kemajemukan sebagai hal yang lumrah. Ini mengantar saya pada cara pikir yang unik: sebenarnya kalau tidak dibeda-bedakan, semua orang itu sama, kok. Misalnya teman-teman saya dulu semuanya sama-sama suka main SEGA. Lalu sama-sama suka jajan Chiki, baca komik Dragon Ball, dan seterusnya. Akibatnya saya paling cepat jengkel kalau dengar orang menggunjing SARA — ada suku ini dibilang baik, tapi suku lain dibilang buruk — orang macam ini biasanya cari gara-gara. 😐 Sepengalaman saya sih perbedaan itu cuma ada kalau dibesar-besarkan.

 
Jadi, semenjak kecil hingga ABG, saya selalu memandang manusia sebagai kawanan yang satu. Duaratus ribu tahun lalu rombongan Homo sapiens pertama berangkat dari Afrika, mengisi celah-celah dunia. Ada yang bermigrasi ke Arab, Amerika, Asia… sampai yang terpencil seperti Polinesia juga ada. Dari satu kelompok umat berkembang jadi banyak. Semuanya bersaudara — baru belakangan berpencar jadi suku ini dan suku itu; negara ini dan negara itu.

Pandangan di atas begitu berurat-berakar di hati saya. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengerti dengan yang namanya tribalisme, rasisme, nasionalisme, religionisme — saya pikir pengotakan itu munculnya kalau kita ingin membedakan saja. :mrgreen: Ada beda warna kulit, dikelompokkan. Ada beda batas negara, dikelompokkan. Ada beda agama, dikelompokkan; dan sebagainya. Pada akhirnya pembedaan itu menghasilkan attachment — bahasa Indonesianya kira-kira β€œrasa memiliki”.

Contohnya tentu saja gampang. Orang yang lahir dan besar di Jawa, misalnya, hampir pasti punya attachment pada kebudayaan Jawa. Orang yang lahir dan besar di Aceh punya attachment ke kebudayaan Aceh. Orang yang beragama Islam punya attachment pada umat Islam; yang beragama Kristen dengan umat Nasrani, dan lain sebagainya.

Sedihnya adalah, terkadang rasa memiliki itu jadi berlebihan. Hanya karena rasa memiliki orang jadi tribalis. Kaum yang ‘berbeda’ dan ‘lain’ dipandang rendah. Ras tetangga dianggap hina, negara tetangga dianggap saingan. Lalu ada juga yang berbau klasik: “Agama kita paling benar, yang lain bodoh semua!” Dan lain sebagainya. Ada banyak contoh yang lain, meskipun begitu, saya yakin Anda paham apa yang saya maksud. πŸ™‚

 

Tentang Negara dan Attachment

 

Saya akan jujur di sini. Saya adalah orang yang anti pada segala bentuk pengotak-ngotakan umat manusia: entah itu landasannya kesukuan, keyakinan agama, ataupun batas negara. Sebagaimana sudah disebut saya besar di lingkungan yang heterogen; lalu saya belajar dari ilmu pengetahuan bahwa umat manusia itu aslinya satu keluarga. Di mata saya tidak ada landasan yang kokoh untuk mengelompokkan manusia dalam sekat ini-atau itu.

Mengutip dari sebuah posting blog bulan Februari lalu,

Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia β€œcuma beda di luar saja”. Biar kulitnya berbeda, kewarganegaraannya beda, warisan budayanya beda, tidak ada alasan untuk mengelompokkan manusia. Saya bilang: pergi sajalah jauh-jauh itu β€œnasionalisme”, β€œtribalisme”, β€œrasisme”, dan sebagainya. Karena kita ini sebenarnya sedang saling menyatu: baik secara lokasi, genetik maupun budaya. Lebih baik mencari persamaan daripada perbedaan, kan begitu? πŸ˜€

Nah, salah satu bentuk sekat yang sering bikin saya kurang sreg adalah kewarganegaraan. Bukan berarti saya menolak pemerintahan negara, sih. Haluan politik saya libertarian: saya menilai bahwa negara diperlukan untuk mengatur ini-itu di masyarakat, akan tetapi, tidak perlu ditingkahi sentimen berlebihan lah. Sebab sering sekali batas negara itu justru memicu kisruh yang — kalau boleh dibilang — berlebihan dan norak.

 

malingsia vs indonsial

Misalnya peristiwa di atas. Ada yang ingat?

 

Saya pribadi berpendapat bahwa sekat-sekat seperti negara dan sebagainya itu semu. Hanya dibentuk oleh rasa memiliki (attachment) saja — tidak kurang dan tidak lebih.

Ini agak susah dijelaskan, jadi lebih baik kalau diuraikan lewat contoh.

Orang yang lahir dan besar di Amerika Serikat, misalnya, kemungkinan akan merasa terkait (attached) dengan budaya Amerika. Lalu dari situ ia mengidentifikasi dengan negara dan bendera Amerika. Akan tetapi hal yang sama juga bisa dikatakan kalau orang itu lahir dan besar di Indonesia. Barangkali ia akan merasa terkait (attached) dengan budaya Indonesia, lalu dari situ ia mengidentifikasi dengan negara Indonesia, bendera Indonesia…

Hal yang sama dapat dikatakan pada muslim yang mendukung gagasan Khilafah Islamiyah. Karena dia beragama Islam, maka dia merasa terkait (attached) dengan ide negara Islam. Kalau orang beragama Yahudi barangkali merasa attached dengan ide Negara Israel. Dan lain sebagainya.

Atau mungkin rasa memilikinya bukan dari agama, melainkan warisan genetik dan budaya. Keturunan suku-budaya Celtic barangkali merasa attached pada gagasan Negara Irlandia Raya (walaupun saat ini adanya Republik Irlandia dan Irlandia Utara, tapi itu cerita lain). Keturunan suku-budaya India merasakan keterikatan (attachment) pada warisan budaya Hindi, maka membentuk negara India; dan seterusnya.

Jadi pada akhirnya, saya memandang sekat-sekat negara itu tidak lebih dari sekadar attachment pada simbol. Orang merasa memiliki kesamaan budaya, kesamaan ras, atau kesamaan tempat lahir, lalu berkumpul bersama dan mendirikan paguyuban. Tidak ada yang salah dengan itu — sah-sah saja orang mau berserikat dan berkumpul. Akan tetapi ada problem besar yang diakibatkannya, dan ini akan saya bahas di bagian selanjutnya.

 

The Problem with It

 

Di atas tadi, saya sempat menyinggung tentang asal mula keragaman umat manusia (sebaiknya dibaca di tulisan yang di-link). Dari kelompok Homo sapiens pertama, manusia bermigrasi, lalu mulai mengembangkan identitas suku-budaya masing-masing. Jadi sebenarnya manusia itu awalnya satu — baru belakangan saja tercipta perbedaan seperti ras, budaya, dst. Perbedaan itu diakibatkan oleh migrasi dan tantangan alam.

 

peta migrasi homo sapiens

Peta migrasi Homo sapiens. Yang menetap di Mesir melahirkan cikal-bakal budaya Mesir; yang menetap di Yunani melahirkan cikal-bakal budaya Yunani, dan seterusnya.

(image courtesy of San Diego State University)

 

Kemudian dari warisan tanah, budaya, suku bangsa, dan kesejarahan (among others) orang mengidentifikasi diri. Rasa memiliki itu kemudian jadi cikal-bakal identitas kebangsaan. Apabila mampu memiliki pemerintahan sendiri maka masyarakat ini dapat disebut sebagai “negara” (state).

Akan tetapi elemen identitas kebangsaan (nasion) itu sendiri bukan pembeda yang mutlak. Ras-ras yang berbeda bisa berbaur menghasilkan keturunan. Budaya yang berbeda bisa saling bercampur. Batas-batas negara bisa berubah, sebab muka bumi tidak tetap — benua bergerak, patahan bisa ambles, dan seterusnya.

Orang biasanya bilang bahwa “negara” itu diindikasikan oleh tanah, ras penduduk, warisan budaya. Akan tetapi kenyataannya, tidak satupun dari ciri-ciri tersebut yang bersifat absolut.

Jadi kalau ada orang yang suka teriak-teriak sukuisme, tribalisme, nasionalisme, tahu rasa dia: ternyata batas-batas itu semuanya semu. Ha! :mrgreen:

 

prediksi muka bumi 250 juta tahun lagi

Simulasi pergerakan muka bumi 250 juta tahun ke depan. Where is your nation now?

(image courtesy of PALEOMAP Project)

 

Di sisi lain, ada juga yang mengklaim bahwa suatu jenis “negara” itu dikehendaki oleh Tuhan. Misalnya Islam fanatik menghendaki Khilafah Islam. Sementara Yahudi dan Kristen Zionis menghendaki Eretz Yisrael. Mungkin ada lagi yang lain.

Meskipun begitu, seperti sebelumnya, klaim macam itu juga tidak feasible. Namanya keyakinan agama mustahil bersifat obyektif. Setiap agama punya doktrin keyakinannya sendiri-sendiri. Islam beda dengan Kristen, Kristen beda dengan Yahudi, Yahudi beda dengan Shinto dan Buddha. Salah besar kalau memaksakan argumen satu agama ke masyarakat seluruh dunia. Enggak bakal nyambung. 😐

***

Jadi bisa Anda lihat problemnya. Saya relatif tidak bersimpati pada ide-ide seperti “negara” dan “nasionalisme”, sebab memang batasnya kabur dan tak jelas. Coba saya tanya. 100 juta tahun lagi Indonesia ada di mana? 100 juta tahun lagi Israel dan Palestina ada di mana? Ha? Ha? 😐

That being said, bukannya saya bilang negara harus diberangus, sih. Seperti telah disebut saya seorang libertarian — saya menilai bahwa negara itu perlu untuk mengurus masyarakat. Tidak realistis mengharapkan masyarakat mengurus dirinya sendiri dengan adil. Cuma, kalau disertai chauvinisme dan ribut-ribut seperti “ganyang Malaysia”, Israel-Palestina, dan sebagainya… rasanya kok menyebalkan. Oh well.

 

Epilog: All in All is All We Are

 

Konon, Siddharta Gautama pernah mengajari satu hal. Bahwasanya semua penderitaan di dunia berakar dari persepsi (indra). Dari persepsi itu timbul rasa menginginkan sesuatu (craving). Lalu kalau keinginan itu sudah didapat, jadinya ingin dipertahankan (clinging). Yang terakhir ini bersumber dari rasa memiliki (attachment) yang sudah dibahas di atas.

Saya bukanlah seorang Buddhis, juga bukan orang yang amat religius. Meskipun begitu filosofi Buddha di atas membuat saya berpikir: barangkali, memang itulah penyebab dari kisruh antarnegara yang saya protes di atas. Umat yang tadinya satu berangkat dari Afrika, ketika sudah terpencar malah saling bertengkar dan ribut. Patok-mematok tanah, bersikap kesukuan, dan sebagainya. Pada dasarnya semua itu disebabkan oleh rasa memiliki: rasa memiliki budaya, rasa memiliki tanah, dan lain sebagainya. Padahal belum tentu.

Kadang orang merasa bahwa “negara” atau pembagian sejenis itu sebagai hak prerogatif kelompoknya. Sementara kenyataannya, garis batas “kelompok” yang digadang-gadang itu semu. Sebagaimana sudah kita lihat bersama.

Saya sering kecewa kalau membaca rubrik internasional di koran. Indonesia berseteru dengan Malaysia, biarpun sama-sama mayoritas Melayu dan beragama Islam. Korea Utara kisruh dengan Korea Selatan karena beda ideologi. Irlandia Utara dan Republik Irlandia karena masalah agama, lalu Israel dan Palestina. Semuanya gara-gara attachment. Dengan merasa diri sebagai “kami”, orang berpendapat bahwa mereka berhak atas tanah atau negara. Lalu membagi-bagi planet bumi dari situ.

Orang-orang ini lupa akan satu hal. Ketika manusia pertama muncul di muka bumi, tidak ada pengelompokan macam itu. Ketika umat manusia masih muda bumi menyediakan kebutuhan mereka: tanah, air, udara, ladang tani dan ternak. Lalu umat manusia bertumbuh besar. Ironisnya, sesudah menjadi besar, mereka berpecah. Orang lupa bahwa planet ini sebenarnya satu untuk semua. Kelompok demi kelompok bersaing: mulai mengambil tanah, mengeruk hasil bumi. Persis anak-anak yang berebut warisan ketika ibunya meninggal.

Saya amat kecewa bahwa manusia yang tadinya satu kemudian memecah-mecah dirinya sendiri. Lebih jauh lagi pembagian itu sering berujung kisruh. Bukan saja sekadar saling benci, kadang-kadang nyawa juga melayang. Ada banyak contoh di sejarah kita untuk itu.

Sebagai orang yang masa kecilnya dihabiskan di lingkungan heterogen — dan tidak sekalipun saya berantem gara-gara SARA selama itu — saya tidak bisa mengerti kenapa ide seperti “negara” bisa begitu populer. Di mata saya manusia adalah manusia; tidak kurang dan tidak lebih. All in all is all we are. Melampaui semua perbedaan adalah persamaan. Hanya persepsi yang membuatnya tampak berbeda.

Pada akhirnya negara itu sendiri jadi kehilangan makna. Ia tereduksi jadi makelar tanah air dan ideologi. Hanya karena kesesuaian ini-dan-itu, kita memutuskan mendukung negara ini atau itu. Demi tanah air. Demi suku bangsa. Demi warisan budaya. Demi ketetapan agama. Semuanya sia-sia. Apa jadinya kalau kamu dulu dilahirkan di benua yang berbeda, pada suku yang berbeda, dan agama yang berbeda? Akankah kamu sesemangat ini tentang negara?

One day, I hope you realize that there is no “us” other than what you perceive and attach yourselves to. Semoga semua makhluk berbahagia. πŸ˜‰

Realisme a la Insinyur

Kalau boleh menilai diri sendiri, saya bisa dibilang orang yang berjiwa insinyur (walaupun punya keberatan pada kuliahnya, tapi itu cerita lain). Bagaimanapun ini bukan hal yang aneh. Sebagai orang yang sekian tahun belajar di jurusan teknik, sudah pasti ada pengaruh yang meresap. Ini sifatnya psikologis: orang-orang di sekitar saya berpikir secara engineering, maka saya jadi ikut terbawa. Kurang lebih seperti itu.

Beberapa pembaca mungkin kurang akrab dengan dunia yang disebut, jadi ada baiknya saya cerita sedikit dulu.

Di dunia insinyur, tuntutan utamanya adalah “bagaimana agar hidup manusia jadi lebih mudah.” Misalnya insinyur elektro; mereka berupaya memudahkan hidup orang yang terkait listrik (misal: desain pembangkit listrik, pengkabelan, dsb.) Insinyur sipil berupaya memudahkan hidup orang dengan bangun-membangun, dan seterusnya. Kasar-kasarnya: kalau dokter punya job description menyehatkan orang, maka insinyur punya job description membuat orang jadi nyaman.

Nah, upaya “membuat orang nyaman” di atas adalah hal yang rumit. Namanya insinyur sudah tentu bekerja dengan teknologi. Ada yang lewat teknologi listrik, mesin, atau lain sebagainya. Semuanya bekerja menghasilkan penemuan lewat teori dan perhitungan. Teori dan perhitungan bagi insinyur, ibaratnya batu bata untuk tukang bangun rumah: elemen penting yang dipakai untuk membangun. Kalau ada itu, semua jadi gampang. Nah tapi ada masalah.

Biarpun insinyur punya seperangkat hukum fisika dan matematika yang bisa dipakai, pengerjaannya tidak mudah. Banyak hambatan yang membuat teori kita jadi tidak sesuai, harus diperbaiki sedikit — biarpun dasarnya sudah benar. Misalnya seperti berikut.

Dalam ilmu fisika, terdapat aturan yang disebut Hukum Bernoulli. Ini adalah hukum yang mengatur jalannya aliran fluida.

Seorang insinyur diminta untuk meneliti aliran limbah dalam pipa. Langsung saja dia hitung dengan Hukum Bernoulli. Ternyata hasil perhitungannya salah! Padahal matematikanya sudah benar, tapi kenapa begitu?

Penyebabnya: karena Hukum Bernoulli cuma berlaku untuk fluida ideal, semisal air murni. Sementara limbah umumnya campur-baur antara padatan, air, dan gas — jauh sekali dari ideal. Jadi perhitungannya tidak menghasilkan apa-apa.

Saya dan teman-teman suka berkelakar soal ini, dan bilang: “Tuh lihat, di dunia ini tidak ada yang ideal. Teori sebagus apapun pasti meleset — jadi pelajaran kita itu aslinya gak guna.”

Tentunya yang di atas itu cuma bercanda. But you get the point. πŸ˜›

Ini problem yang selalu menghantui para insinyur di bidang manapun. Teori yang sempurna itu tidak ada. Sedikit-banyak pasti ada kompromi. Bisa saja idenya benar, teorinya benar, dan seterusnya — tapi, di dunia nyata, namanya gangguan itu pasti ada. Entah nilainya besar atau kecil. Tidak mungkin ada sistem di lapangan yang 100% sesuai teori. No way!

Ini mirip membandingkan soal fisika yang dikerjakan anak SMA dengan fisika sebetulnya. Di SMA kita disuruh mengerjakan soal, tapi dalam kondisi ideal: tidak ada hambatan udara, tidak ada gesekan, dan sebagainya. Sementara kondisi sebenarnya tidak begitu. Seringnya sih dunia nyata lebih rumit daripada dijelaskan dalam buku.

Teman saya yang anak elektro pernah cerita tentang Arus Eddy yang mengganggu voltmeter. Lain kali, dosen dari jurusan mesin cerita tentang oli: jadi ada oli masuk mesin, mempengaruhi bensin yang aslinya hendak dibakar. Walhasil output energinya berkurang. Hal-hal semacam itulah. Saya sendiri cengar-cengir saja mendengarnya, sebab, di jurusan saya, hal-hal seperti itu juga terjadi.

Ceritanya saya dan beberapa anggota kelompok pernah praktikum dengan pompa. Sesudah mencatat suhu dan tekanan, datanya harus dihitung dan dibandingkan. Tapi kok perbandingannya tidak cocok? Ternyata ada katup yang ngadat, jadi bukaannya tidak sempurna! Akhirnya aliran air yang dihitung jadi meleset. Baru belakangan si asisten bilang ke anak-anak bahwa alatnya rada terganggu. Tapi secara umum tidak apa-apa — jadi angkanya dikompensasi saja dengan kesalahan sekian-sekian.

Praktikannya sendiri cuma bisa angkat bahu. Mau bagaimana lagi? πŸ˜†

***

Jadi, lima atau enam tahun belajar di jurusan teknik mengajari saya satu hal: di dunia ini tidak ada yang sempurna kecuali ide-ide. Teori sebagus apapun, sesempurna apapun, kalau sudah masuk dunia nyata, pasti ada kompromi. Tidak mungkin tidak.

Lalu saya berpikir, jangan-jangan itu juga yang terjadi di ilmu sosial. Bertahun-tahun kita punya teori psikologi, sosiologi, dan ilmu politik, tapi kok kita masih belum paham? Jangan-jangan karena ada banyak elemen yang harus dipertimbangkan di dalamnya, tapi justru terabaikan. Sama halnya dengan kasus arus Eddy dan hukum Bernoulli di atas…

…mungkin. Mungkin lho. Saya kan bukan ahli di bidang itu. :mrgreen:

Pada akhirnya, saya sendiri jadi rada skeptis dengan yang namanya “kesempurnaan” atau “100% ini-itu”. Sebab ya, di dunia ini tidak ada yang 100%. Budaya Indonesia, misalnya, tidak 100% Indonesia (ada banyak pengaruh luar juga). Negara yang 100% free market atau sosialis juga tidak ada — yang ada cuma mendekati salah satunya. Tegangan listrik diukur dengan voltmeter, sebagian arusnya ada yang masuk ke voltmeter (jadi akurasinya tidak 100%), dan seterusnya.

Jadi saya pikir, ah kacau nih kalau orang berani bilang, “Sistem pemerintahan sempurna. Dijamin 100% sukses!” Biasanya yang bilang begitu golongan sayap kanan, tapi itu sebaiknya tak dibahas di sini…

***

Di sisi lain, ada juga tidak enaknya dari “didikan” bersikap realistis di atas. Gara-gara itu saya jadi tidak sabaran kalau berurusan dengan orang yang idealis tapi tidak mengerti lapangan. Ini sifatnya universal: tak peduli yang dibicarakan itu politik, sosial, atau keseharian, kalau itu terjadi, biasanya saya jadi mangkel. Perasaan ini susah dijelaskan.

Misalnya waktu ada gerakan “tolak bayar pajak” gara-gara Gayus Tambunan. Saya dongkol betulan waktu itu. Seriously, do they even think? Coba, apa jadinya administrasi negara, kepercayaan investor, dan sebagainya kalau itu terjadi. Ini mirip dengan ilustrasi Hukum Bernoulli di atas: dikiranya dia paham semua masalah, lalu menerapkan teori dari situ — padahal kenyataannya tidak sesederhana yang disangka. Ha!

Lain kali, saya berdebat panas dengan seorang troll soal Israel-Palestina (saya tidak memihak siapa-siapa di situ; ceritanya panjang). Dia bilang HAMAS itulah yang benar. Saya tanya, situ mengerti tidak sejarah geopolitik Yerusalem? Masalahnya bukan sejak 1948 atau khilafah, melainkan sampai zaman Romawi. Eh dia marah. Saya sendiri bukannya tak berusaha kalem, tapi tetap saja…

Hal-hal semacam itulah. Susahnya terbiasa berpikir realistis adalah, kita jadi tidak sabar melihat orang yang naif. Kesannya kok hidup di awan. Idealisme itu bagus, tapi mbok ya diimbangi dengan asupan realitas.

Jadi ini semacam PR juga buat saya. Mengendalikan marah itu gampang, tapi mengendalikan jengkel… wah, susah sekali. Sebab itu tatarannya dalam hati (bukan perbuatan). Saya masih harus belajar banyak soal itu.

 
Meskipun begitu ada juga dampak positifnya. Gara-gara itu, kalau saya memberi saran, jadinya dipandang sebagai “saran yang bermutu”. Pokoknya sebisa mungkin realistis. Ini berlaku terutama kalau sedang mendengarkan orang curhat — saya sih biasa saja, terserah mereka mau terima atau tidak. Sejauh ini sih mereka selalu mau dengar. πŸ˜›

Saya sendiri bersyukur mendapat didikan cara berpikir realistis selama di kampus. Paling tidak sekian tahun di sana telah mengajari saya untuk bersikap membumi… hal yang ternyata merembes ke berbagai aspek lain dalam hidup. But hey, that’s what education is supposed to be, right? πŸ˜‰

20. You wonder what’s so lucrative about engineering contract worth US$ 3000/month. Your reserve players nod in agreement.

19. You start using this catchphrase in daily life: “I want to see more from you!”

18. You note pretty girls few years your junior as “hot prospect for the future”.

17. You can’t grasp the fact that Arsenal fails to win any trophy at all, recently, in the real life. HOLY SHIT LOOK AT THOSE WONDERKIDS, FFFFFUUUUUU–

16. You sneer at motivational training because you think you have mastered it. “Where’s the passion, lads?”

15. You are enraged, ENRAGED, to see Marcelo Lippi ditching young gems like Okaka, Foti, Bertola, and Balotelli for the World Cup.

14. You start doing reverse psychology to fire people up. Last time you do the squad trounced the opponent, so why not.

13. You start substituting the word “happy” with “delighted” in everyday speech.

12. Likewise, you are now “deeply upset by” something when you are down.

11. You wish you have assistant manager feedback to help analyzing life.

10. When you hear the word “sign”, you don’t think of street marks or pamphlets.

9. You think of statement “Men vs Boys” as utter bollocks. Your squad’s average age is 25 and they’re doing well.

8. Mental image of Pep Guardiola playing for West Brom in 2007 doesn’t feel strange.

7. “Money can’t buy you love”. Now you understand what the quote *truly* means.

6. You think of naming your child after key players. Like, maybe “To Madeira”?

5. You staunchly believe that FM player database is infallible.

4. You want England coach to consider players from U-21 and lower divisions – because that’s how you won the World Cup.

3. Do you think “FM Radio” means “Football Manager Radio”? You did? Well, that says something…

2. You often find yourself thinking at 3 or 4 AM, “One more game… just one more game…”

1. You learn your laundry tip from FM addictedness rating – “turning your underwear inside out saves on washing.”

 

Honorable mention:

You have at least few relationship strained, or broken, because of FM.

Catatan:

Berbagai post lain tentang bahasa Jepang di blog ini bisa Anda temukan di halaman [direktori nihongo]

 

Di tulisan bagian 7a dan 7b, kita sudah bicara tentang infleksi (perubahan bentuk) kata kerja dalam bahasa Jepang. Dalam dua tulisan tersebut yang dibahas adalah bentuk standar masa kini.

Bagaimana dengan bentuk waktu yang lain?

Nah, kali ini kita akan membahas tentang kata kerja bentuk lampau di bahasa Jepang. Sebenarnya saya ingin sekalian membahas bentuk lampau untuk copula dan kata sifat di sini — meskipun begitu, setelah dipikir-pikir, sepertinya lebih baik kalau membahas kata kerja dulu saja. Sekalian agar postingnya lebih fokus dan tidak terlalu panjang, begitu. ^^a

γ•γ‚γ€γ―γ˜γ‚γΎγ—γ‚‡γ†γ€‚γ€‚γ€‚

[Klik untuk melanjutkan…]