Pembaca, pernahkah Anda membayangkan tentang manusia pertama? Sosoknya saya serahkan pada Anda. Jika Anda religius, boleh membayangkan Nabi Adam; jika tidak religius, boleh membayangkannya dalam konteks single origin hypothesis.
Sudah? Sekarang, bayangkan manusia pertama tersebut berkembang biak. Beranak-cucu, hingga punya banyak keturunan. Hingga kemudian terbentuk sebuah keluarga besar “manusia purba”.
Dan kisah ini pun dimulai…
I. Migrasi
Pertama-tama, mari kita bayangkan keluarga besar yang sudah disebut. Selama ini keluarga besar manusia tinggal di sepetak tanah. Benua Afrika yang subur adalah tempat mereka tinggal — semua kebutuhan terpenuhi di situ. Jika ingin makan daging, mereka berburu; jika tidak, mereka memetik buah dan daun. Kehidupan masih sederhana dan belum ada struktur sosial.
Meskipun begitu, seiring waktu, keluarga besar tersebut mulai membengkak. Anak-beranak, generasi ke generasi, hingga akhirnya jumlahnya jadi besar. Afrika yang tadinya makmur tak lagi cukup menampung mereka. Ibaratnya, makanan hanya untuk 10 orang, tapi populasi sekarang 50 orang. Maka mereka pun memutuskan mencari tanah baru.
Sedikit demi sedikit mereka pun berjalan…
(image courtesy of University of Texas)
Keluar dari Afrika. Menuju tempat-tempat baru yang sebelumnya asing — hingga akhirnya mendarat di berbagai pelosok bumi.
(image courtesy of San Diego State University)
Sebagian memilih Eropa, sebagian lagi jalan terus sampai Asia. Sebagian lagi menyabung resiko menyeberangi Selat Bering; menjadi nenek moyang bangsa Aztec dan Inca. Adapun sebagian kecil mencoba berperahu melewati Samudra Hindia dan Pasifik.
Dari satu titik di benua Afrika, mereka menyebar mencari tanah-tanah baru. Perjalanan ini berlangsung selama puluhan ribu tahun.
II. Adaptasi
Syahdan, keluarga besar manusia sekarang tersebar di muka bumi. Ada yang memiliki tanah di Amerika; ada yang di Eropa dan India. Perlahan-lahan mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Yang tinggal di Eropa mendapat cuaca dingin dan sedikit matahari. Tubuh mereka pun beradaptasi: kulit yang tadinya gelap kini menjadi terang. Warna mata berganti menjadi cerah. Lingkungan yang tak bersahabat menuntut kerja keras… menghasilkan badan yang tinggi dan besar.
Yang tinggal di Asia Tengah mendapat lebih banyak matahari, tetapi tanahnya berdebu dan bergurun. Perlahan-lahan mereka mengembangkan bentuk mata sipit dan kulit coklat. Berkembanglah cikal-bakal ras mongol yang sekarang kita kenal.
Yang tinggal dekat khatulistiwa memiliki sinar matahari sepanjang tahun. Cuaca basah dan tanahnya subur. Tidak perlu berburu, apalagi bekerja menaklukkan alam seperti saudaranya di Eropa — maka berkembanglah ras yang badannya kecil-lincah dan berkulit cokelat.
Sedangkan yang tinggal di Afrika tetap dengan ciri-cirinya sejak awal. Berbadan kuat dan besar sebagai pemburu, berkulit gelap menangkal matahari. Mata dan rambut mereka hitam oleh pigmen penangkal ultraviolet. Maka demikianlah ras Afrika yang kita kenal sekarang.
Tentunya ada banyak ras lain yang belum disebut. Meskipun begitu, empat contoh di atas harusnya cukup jelas untuk mengilustrasikan konsep “ras” dan asal-usulnya — saya yakin Anda paham apa yang saya maksud. π
III. Reuni
Nah, setelah ribuan tahun terpisah, ras-ras manusia ini kemudian bertemu kembali. Dunia kita ini memang aneh — semua yang tadinya berpencar, kemudian bertemu lagi pada akhirnya. π Air laut naik jadi air hujan, jatuhnya ke bumi lagi. Biji padi disemai di sawah, akhirnya masuk ke lumbung. Demikian juga umat manusia yang beragam ras di atas.
Berkat kemajuan transportasi, sekarang tidak sulit bagi kita bertemu orang di benua lain. Tinggal naik pesawat atau kapal laut, maka jadilah. Malah bukan saja kita bertemu — kalau mau, menikah dengan orang ras lain pun tidak masalah! π
Inilah yang disebut sebagai gene flow dalam konteks biologi. Orang-orang dengan genetik yang berbeda, dari tempat yang berbeda, bisa bertemu dan berkumpul di satu tempat. Mengutip peribahasa: “Asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga”. Contohnya ada banyak di sekitar kita.
Tidak percaya? Coba saya tanya. Sepanjang hidup Anda di Indonesia, ada berapa banyak kenalan yang berdarah Arab? Tionghoa? Indo? Berani taruhan — pasti lebih dari satu!
Adapun itu baru di Indonesia. Di Amerika Serikat, negara yang terkenal membuka diri pada imigran, terdapat populasi kulit putih, kulit hitam, Asia, Inuit, dan Hispanik. Jadi mungkin bisa dibilang: umat manusia yang tadinya terkotak-kotak oleh ras, kini sedang merapat kembali dan bersatu dalam belanga.
IV. Multiras: Melampaui Batas Suku
Sebagaimana sudah disebut, di masa kini ras-ras yang berbeda — hasil adaptasi dan evolusi ribuan tahun — mulai bertemu kembali. Orang-orang dari tempat yang jauh saling berinteraksi; beberapa malah sampai menikah dan berketurunan. Otomatis, ini berarti munculnya satu genre identitas baru: identitas multiras.
Atau, kalau boleh dibilang, anak-anak yang lahir dari perkawinan beda suku. Di Indonesia kita menyebutnya “blasteran”.
Saat ini fenomena multiras adalah hal yang umum. Paman saya, orang Jawa, menikah dengan wanita Batak dan mendapat seorang anak. Teman ngobrol saya waktu kuliah berdarah Arab. Cinta pertama saya gadis Indo-Padang, dan lain sebagainya. Pada akhirnya ini menunjukkan satu hal: identitas kita bukan lagi tunggal dan terkotak. Melainkan campursari antara budaya sini, budaya situ, genetik sini dan genetik situ.
Barangkali lebih mudah jika ditunjukkan lewat nama. Dulu selebriti kita punya nama “Indonesia” seperti Roekiah dan Raden Mochtar. Sekarang kita punya Rianti Cartwright, Indra Bruggman, Farah Quinn. Di Kanada ada David Suzuki; di Prancis ada Patrick Vieira; di Jerman ada Mehmet Scholl. Masih banyak contoh lain yang takkan muat disebut di sini.
Poin saya adalah, pada akhirnya, kita — sebagai manusia — mulai kembali “menyatu” setelah terpisah jarak. Baik itu jarak genetik, jarak budaya, dan jarak sejarah. Kehadiran mereka yang multiras adalah buktinya.
Betapapun di luarnya kita terlihat berbeda, sebenarnya kita datang dari tempat yang sama. Dari padang-padang yang jauh di Afrika, kita mengembara, terpisah, dan akhirnya bercampur lagi. Asia bercampur Eropa, Indian bercampur Eropa, Asia bercampur Afrika… dan lain sebagainya.
Boleh jadi di masa depan umat manusia semuanya ras campursari. Mungkin seperti Tiger Woods dan Obama? Siapa yang tahu? π
Dua bapak di atas, biarpun sekilas berkulit hitam, sebenarnya mewarisi genetik banyak ras.
Tiger Woods (kiri): keturunan Thai, Cina, Belanda, Afrika, Indian.
Barack Obama (kanan): keturunan Kenya-Amerika, ibu berdarah Inggris.
V. Unity in Diversity
Hari ini, ketika sedang menulis post ini, saya jadi ingat lagi pada pelajaran PPKn yang didapat waktu sekolah. Anak-anak biasanya bosan dengan pelajaran ini — sekadar mengulang hal biasa, tidak penting, dan lain sebagainya. Meskipun begitu ada satu poin yang diajarkan di sana, yang paling saya ingat sampai sekarang:
Jangan membeda-bedakan teman. Jangan berbuat kesukuan. Jangan mengungkit SARA. Ingat Bhinneka Tunggal Ika: biarpun berbeda-beda tetapi satu jua.
Now how true that statement holds! Bukan saja kita berbeda-beda tapi satu, kita memang satu dari sananya. Berasal dari tempat yang sama di Afrika, kita kemudian berpencar — dan sekarang menuju untuk bersatu lagi. Hanya kepicikan dan rasa naif yang membuat kita mengingkarinya.
Sebagaimana sudah kita lihat bersama di atas. Semua bentuk kesukuan dan ras itu pada dasarnya hanya ilusi. Siapapun orangnya, tak peduli dia berdarah Melayu, Cina, Arab, Indian, Eropa, Eskimo — asalkan sesama manusia, maka dia adalah keluarga. And that’s all that matters.
***
Maka benarlah penulis masyhur H. G. Wells berkata, “Our true nationality is mankind.” Beliau bukan ilmuwan, apalagi ahli sejarah. Meninggalnya pun baru abad lalu. Meskipun begitu, saya pikir ucapan beliau mengilustrasikan sejarah panjang manusia dengan tepat.
Atau, kalau saya boleh mengadaptasinya di sini: We were one, are one, and will be one. In the end, our true nationality is mankind.
Anda setuju? π
Keren. π
Ini agak-agak mirip lirik Public Enemy yang itu. Tapi memangnya genetika itu bisa mencapai ekuilibrium seperti itu, ya? Saya ndak paham soale. Atau cuma pada sementara saja; misalkan dua abad mendatang dunia sampai separuhnya ras Mongoloid semua, lantas selanjutnya proporsinya akan berubah lagi?
Tapi OOT dulu; persaudaraan sesama manusia rasanya sudah secara luas taken for granted deh. Yang membuat saya agak pening justru satu langkah di depan kontra-rasisme itu, yaitu pemikiran kontra-spesiesisme. Implikasinya tentu ke tren veganisme. Kalau saya tak salah ingat Masbro ini dulu pun pernah (walau mungkin angin-anginan sama seperti saya) berhenti mengkonsumsi bangkai. π
Alur pemikiran yang sama ‘kan bisa kita pergunakan dengan mengungkit kenyataan bahwa kita, belalang, dan ubur-ubur sama-sama turun dari universal common ancestor? We were one, are one, and will be one. In the end, our true nationality is living being? Begitu ‘kan? ‘Kan begitu? π
Salah ketik.
Maksudnya “[…] pernah […] berniat berhenti […]”
@ Kgeddoe
Kalau soal itu, IMHO sangat tergantung pada pola migrasi. To be fair, nggak semua orang punya kemampuan jalan-jalan keliling dunia lah. π Pasti ditentukan oleh kesibukan, relasi, dan status ekonomi juga.
Belum lagi mempertimbangkan soal “selera”. Apakah kalau orang Asia + Afrika + Indian dikumpul bersama, pasti ada yang menikah? Nah ini belum tentu. Methinks ras ekuilibrium seperti Tiger Woods itu sangat langka — benar-benar susah dicapai, lah. ^^;;
Walaupun secara wacana tidak mustahil sih…
Yup, begitulah. Saya sendiri sempat struggling juga soal ini. Pada akhirnya memang harus ada batas yang ditarik. Veganisme sendiri belum tentu menolong — kita mana tahu kalau tanaman itu merasa sakit, dsb.-nya? Wong nggak ada komunikasi.
Kalau mau tarik garis lebih jauh, common ancestor kita dan tanaman juga sama: sama-sama makhluk sel satu. Tapi… tapi kalau kita nggak makan sayur, kita makan apa dong!?
Akhirnya, ya, saya kompromi. Sementara ini patokannya makhluk berkecerdasan dululah. Enggak bisa langsung drastis mencanangkan kontra-spesiesisme. Mungkin ini pekerjaan buat science-ethicists di masa depan? π
*IMHO, CMIIW*
Konon katanya tanaman ga bisa sakit karena ga punya saraf? CMIIW. π
Dude, we are all made of stars. We should not eat whatever descends from stars, be it protozoa, fungi, animal or plant. Not even sulfur. (haha)
@ lambrtz
Wah, kurang tahu, saya bukan ahli botani. But… [this] ? ^^;;
[/OOT ends here. BTW soal etika ini menarik — mungkin kapan-kapan saya angkat jadi post. π ]
ini konsep Mitochondrial Eve yach? nenek moyang manusia berasal dari aprika, bukannya masih diperdebatkan? malah ada yang bilang nenek moyang manusia dari indonesia..
tau dah segala macam teori dan perdebatan tentang ras itu…
saya hanya merasa, saya lebih nyaman dengan pertemanan, bukan permusuhan atau mencari perbedaan…
“Anda setuju?”
Saya setuju π
OOT: kalau Afrika dan Amerika Selatan yang nempel jadi satu itu berapa [puluh juta/juta/ratus ribu/puluh ribu] tahun yang lalu ya?
@ Aria Turns
Kalau menurut Wikipedia sih,
That being said, saya bukan ahli biologi atau paleontologi. Cuma kebetulan suka baca — jadi tidak dalam posisi untuk memperdebatkan. ^^a
:::::
@ Manusiasuper
Yup, yup. =3
Lagipula gadis turunan Arab, Indo, dan Cina itu biasanya cakep-cakep. Jadi memang gak perlu saling benci lah.*ditimpuk*
:::::
@ Cormocodran
Kalau itu, sudah pernah dibahas oleh Pak Rovicky. Beliau ahli geologi yang ngeblog di WordPress juga. π
Intinya rada mirip dengan tulisan ini. Dulu benua-benua itu saling menyatu, kemudian terpisah. Pada akhirnya akan bersatu lagi. ^^
wah , jadi eman kalo jadi satu . I like different . perbedaan awal persamaan . lebih true lagi . ^^
wah, tumben ada konfirmasi, hihi.
as for me, AFAIK, pengen punya anak yang seperempat Gujarat, seperempat Lahat, seperempat Solo, seperdelapan Garut, seperdelapan Madura. π
define berkecerdasan. chimps? dolphins?
@ deq
Begitulah. ^^
:::::
@ rifu
*pukul-pukul kentongan*
ADA YANG CURCOOOOOLLL…!!! π π
*digebuk ama rifu*
Well, seperti yang dibilang ke geddoe di atas: mau nggak mau pasti jadi batas yang arbitrary. Membedakan antara “manusia” dan “makhluk lain” itu selalu kontroversial IMO.
As for me, akhirnya menentukan dari kemampuan berkomunikasi dengan kita (manusia). Ibaratnya, susahlah membayangkan diri makan hewan “akrab” seperti kucing, anjing, simpanse. π Sebab ada semacam persahabatan yang terbentuk, begitu.
* * *
BTW, OOT ini. π Kapan-kapan dibuat tret tersendiri deh. ^^;
Ah, kau membuka luka lama dan menaburkan garam di atasnya, sodara…
@ Mansup
Pernah nonton Angel’s Diary di TransTV? Saya kok jadi ingat seseorang ya…
@ Sora
Nothing, cuman pengen nge-quote yang itu saja, hohoho… Berarti komen saya yang dulu itu ada benarnya juga kan? π
@ ManusiaSuper
Maafkan saya saudara, sungguh mati tiada maksud seperti itu. ^:)^
Tapi memang cakep kan…
*dicincang potong dadu* x(
:::::
@ Amd
Soal itu kan sudah saya akui secara tersirat, masa ga dapat sinyalnya sih. π
*menghilang*
@ amet
pernah mendengar klaim serupa, tapi opini pribadi seh, tidak mengingatkan pada siapa-siapa.. Yang mana ya maksudnya?
@ sora
cinta itu tajam jendral…
@ Mansup
THIS, is your problem, young jedi…
@sora
*gebuk*
huhu, ditunggu thread, eh, ups, post terkaitnya kalo gitu π
Dan dari pelbagai penjuru dunia tahun ini (sebagian) masyarakat dunia akan kembali mendatangi padang-padang Afrika dalam perziarahan yang disebut World Cup 2010….
*with listening to Knaan-Waving Flag :
When I get older, I will be stronger
Theyβll call me freedom, just like a Waving Flag
@Odi
Yes!!!Semangat Worl Cup nih
@Sora
Setuju!!!
On behalf of humanity,life should be peace…no war…
tp namanya juga manusia masih punya animal instict kan …
Anyway ditunggu tretnya ttg apa2 yg sora janjikan akan dibahas di topic lain π
Ya setuju, kalau hanya sebatas membaca tulisannya. Tapi bagaimana dengan ini:
1. Kumpulan orang orang asing, yang datang ke tanah penduduk lokal, atau sebut saja lebih lama tinggal di tanah tersebut, lantas membentuk perkumpulan sendiri, menarik lebih banyak sesama mereka, bahkan akhirnya meminggirkan penduduk lokal……
2. Kumpulan orang orang asing, yang datang ke tanah penduduk lokal, atau sebut saja lebih lama tinggal di tanah tersebut, lantas tidak mau beradaptasi, hanya mau berkomunikasi dan bersosialisasi dengan sesamanya (yang jumlahnya bisa saja terbatas). Tidak mau belajar bahasa sekitar, namun makan dan hidup dari tanah dan budaya yang ditinggalinya….
3. Kumpulan orang orang asing, yang datang ke tanah penduduk lokal, atau sebut saja lebih lama tinggal di tanah tersebut, lantas merampok kekayaan lokal dengan mengatasnamakan PERSATUAN DAN KESATUAN
Indonesia. Kemudian berkoar koar kepada penduduk negara lain bahwasanya KAMI adalah kaya…..Mungkin maksud dari komentar panjang dan tidak jelas diatas adalah: Saya muak dengan orang orang asing (tidak se golongan) yang sok punya jiwa sosial padahal hanya baik kepada ras atau golongannya.
Saya muak dengan orang orang asing (tidak se golongan) yang sok berjiwa sosial, padahal menikmati hasil rampokan bersama sama dengan golongannya, sambil tertawa melihat penderitaan orang lokal, sambil berkata: Kalian orang lokal, bodoh!
@:Amd. Sora, Fadil:
Oh…….. Anu, ah tidak jadi, nanti bisa memacu perang dunia ketiga. Ha ha ha ha
@ rifu
:::::
@ Odi
Astaga, betul. π― Saya kok lupa kalau Piala Dunia tahun ini diadakan di Afrika. π
/come back to Africa, baby!
:::::
@ Getzu
Yup, yup. π
:::::
@ Fortynine
AFAIK, CMIIW, tiga ilustrasi itu sebenarnya masalah klasik manusia. Sejak zaman penjajahan sampai sekarang selalu seperti itu. π
Kan begitu? Mulai dari VOC, Spanyol di Amerika, semua seperti itu. Kalau yang lebih baru sekitar masa Orde Baru di Papua/TimTim. Sekarang sudah lebih damai, tapi sisa-sisanya masih ada.
Point is, kasus macam ini universal. Di Amerika, orang punya Chinatown (ilustrasi #1, #2). Di Jepang ada penggusuran Suku Ainu (biarpun sudah dulu sekali). Di Australia… kita sama-sama tahulah kenapa itu jadi “Persemakmuran Inggris”.
Khusus tentang di Indonesia (ilustrasi #3) — kita tahulah itu warisan orde baru. Transmigrasi, sentralisasi, dst., dst. Sejujurnya, saya pikir itu tindakan brengsek. Tapi kita harus ingat — tribalism and greed are universal. Masalahnya bagaimana kita mengalahkan sentimen itu.
Saya tahu ini klise, tapi, tidak ada jalan menghilangkannya selain saling membuka diri. Amerika dan Indian bisa berdamai karena mereka mau saling dengar. Dulunya posisi mereka sama dengan kita. Kalau kita di Indonesia Tengah/Timur mau menghilangkan ketimpangan itu, maka harus melewati jalan yang sama.
I may be too optimistic, though. But that’s the best we can come up with. π¦
Sebenarnya mau ngomen tentang ini, tapi kok kuatir ada pihak yang tersinggung. Jadi, yah, sudahlah. π
*kabur*
Kalau masalah perubahan fisik bisa dihubungkan dengan keadaan alam dan iklim sekitar, tapi masalah perubahan bahasa? Sejauh ini yang saya tahu cuma Menara Babel yang bisa menjelaskannya. π
Any other idea?
@ Felicia
AFAIK, ada hipotesis yang bernama [evolutionary linguistics]. Jadi ceritanya, masyarakat yang terpisah lokasi mulai mengembangkan kosakata/grammar sendiri. Hipotesis ini menjelaskan kenapa daerah yang berdekatan bahasanya rada mirip (misal: bahasa Jawa suroboyoan dengan JaTeng, dst.)
Tapi, ya, ini sekadar hipotesis. Terbentuknya bahasa itu sudah lama sekali. Perubahannya juga cepat — jadi sangat sulit melacak asal-usulnya. ^^
*CMIIW*
[…] related note, sebenarnya tulisan yang kemarin juga bisa dibumbui quote berbagai ilmuwan terkenal: Dawkins, Huxley, Darwin, dst. Pertanyaannya, […]
Reduktif! Hehe saya jadi kepingin nulis soal “bangsa” nih.
ah ngomong gini aja pake ngutip Wells. HihihihiNah, Wells memang bukan sejarahwan dan budayawan, makanya beliau ngawur. Nationality itu tidak ada hubungannya dengan mankind/gene; nation itu konsep yang kabur. Dulu, bangsa merujuk pada ras, misalnya bangsa Yahudi dan Arab. Kemudian, kebudayaan. Kemudian, politik. Kemudian, kesamaan nasib. Dan terus banyak lagi. Itu sebabnya para pemikir besar Eropa dan juga Indonesia perlu berdebat siang dan malam mendefinisikan apa itu “bangsa”. Kalo ikut alur pikiran Sora, jadinya ini regres yang tak berkesudahan. Seperti kata geddoe dan yang lain, kita ini semua satu, sama-sama materi. Kalo begitu, manusia itu rasis, tiran dan dismkriminatif.
Ya memang sudah pasti tidak ada jawaban pasti tuk menjelaskan apa itu “bangsa”. Jawaban Wells pun bisa jadi benar; tetapi kenyataan kultural kan berkata lain; orang perancis dan jerman tak pernah sama. orang indonesia dan malaysia juga tak akan sama. yang membedakan mereka itu ya yang namanya kebangsaaan (bukan cuma kultur). jadi, apa itu? nah diskusinya panjang lagi, muter-muter lagi. ada hal-hal intangible yang kudu dimasukkan dalam penjelasanmu. kalo enggak yah begitu; kita ini the nation of cells.
ah tambah kometar; saya jadi bertanya-tanya, apakah ada bangsa tanpa kebudayaan, tanpa cita-cita, tanpa sejarah pemikiran, tanpa hal2 non-emprik yang membuat Soekarno membenci the Beatles dan Band Wali tenar? Bukankah apabila kemanusiaan yang dianggap sebagai sebuah kebangsaan juga mengandaikan pandangan hidup dan kebudayaan yang partikular? dengan kata lain, tidak ada kebangsaan tanpa kebudayaan atau kebiasaan yang memungkinkan manusia bisa berfikir dan mengidentifikasikan diri mereka sebagai sebuah bangsa?
Sama dengan penjelasanmu soal etika. Apa dasar penarikan batas itu? Survival? is that the only thing that defines us?
Hohoho! π
Koreksi.
@ Gentole
Wah, sebenarnya tidak ada maksud seperti itu. Saya cuma mengadaptasi pendapat umum tentang “manusia pertama” dalam konteks sains saja kok.
Walaupun, to be fair, kalau “guru”-nya Dawkins dkk pasti ada aroma ke arah situ. π
Tiga poin dulu:
(1) Kutipan Wells di atas saya pakai sekadar driving the point, bukan ide utama. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa batas-batas/sekat-sekat bernama negara, kebangsaan, dsb.-nya itu illusory. Dulunya tidak ada — baru belakangan saja kita bikin-bikin.
Apakah zaman manusia purba dulu ada konstruksi “beda negara”, “beda identitas ras”, “beda budaya”? Kan tidak. Karena mereka awalnya homogen. Baru belakangan sekat “nasionalisme” (dengan berbagai pengertiannya) muncul.
Dus, humanity precedes nationality. Ini lho poin saya. π
(2) Tentang “regres tak berkesudahan”. Kan sudah saya tanggapi lewat komen bahwa harus ada garis arbitrary yang ditarik. Entah apakah benar atau tidak, itu kembali pada kebijaksanaan para filsuf. IMHO, tak jauh beda dengan problem “batas nasionalisme” yang masbro ungkapkan.
Kalau menurut masbro ide di atas memicu regresi tak berkesudahan, ya, memang ada benarnya. But in comparison… ide nasionalisme yang dibahas filsuf zaman sekarang juga maju-mundur tak berkesudahan. Sama-sama susah disepakati lah.
(3) Tentang perbedaan “kebangsaan”. Ya, memang beda. Saya juga setuju. Tapi seperti yang sudah saya sampaikan di poin (1), esensi tulisan ini bukan itu. Yang ingin saya sampaikan adalah humanity precedes nationality. Perbedaan ras, budaya, dan kawan2nya timbulnya baru belakangan saja.
Kurang lebih seperti itu. Semoga cukup jelas. ^^
Borg? π
*kabur*
FWIW, saya pribadi biasanya refer ke definisi yang bernafas utilitarian/obyektif/empiris. Yang semua pihak bisa paham, terlepas dari background subyektifnya. Tapi untuk kali ini saya paste ulang sajalah respon buat geddoe di atas:
“Mungkin ini pekerjaan buat science-ethicists di masa depan?”
/merasa belum cukup ilmu
//can’t say much…
:::::
@ Kgeddoe
Haiah.
@sora
Loh, kalo merujuk pada kutipan Wells, kamu bukannya hendak mengatakan bahwa humanity itu satu-satunya nationality? Pernyataan ini tak sama dengan kemanusiaan mendahului kebangsaan. Konsep kebangsaan, dalam berbagai komplikasinya, lahir setelah persoalan species survival terselesaikan. Jadi menurut saya agak aneh aja kalo proposisi post ini adalah “kemanusiaan adalah the only nationality” simply karena bapak moyang kita semua sama. Dan lagi pula, penarikan batas yang bersifat arbitrer itu menjadikan argumentasi Sora menjadi relatif dan tak beda dengan debat-debat kusir budayan model Soedjatmoko dan Ernest Renan; jadi bumbu sains atau argumen saintifik yang ditawarkan tidak menjadikan proposisi Sora menjadi lebih saintifik juga.
*ngeyel.com*
Oh bukan “the only nationality”, tapi “the true nationality”. Point ini yang rada bermasalah menurutku, karena penjelasan ilmiahnya, sekalipun betul secara empiris, belum tentu relevan dengan pembahasan tentang nasionalisme.
Anyway, ini hanya perspektif saja.
@ Gentole
Anu…
Seperti yang sudah saya bilang, ucapan true nationality — bukan only, seperti masbro ralat — itu sekadar driving the point home. Tidak lebih. Poin utama tulisan ini bukan nasionalisme per se, melainkan bahwa manusia itu satu, dulunya satu, dan sekarang sedang menyatu lagi. Makanya ada argumen “berasal dari Afrika”, bawa-bawa Tiger Woods dan Obama, dst.
That said, saya kok curiga masbro sedang ‘mengerjai’ saya lewat nitpicking. Ayolah, kita sama-sama tahu masnya lebih jago filsafat daripada saya. Bukan itu poin utamanya. Kalau begini mah ibaratnya saya punya kue tar, tapi masbro ngurusin cerinya saja.
* * *
Soal definisi “true nationality”. IMHO, selama mengandung kata “true”, debatnya takkan pernah selesai. Mirip dengan ucapan [“No true Scotsman”] — buat keseharian ga masalah, tapi secara formal, big no. π
(CMIIW)
Oh I see.
@sora
Loh saya emang lebih sering makan cerinya aja. π Bukannya ngerjain sih, tapi saya emang tidak punya masalah dengan uraian Sora soal evolusi, migrasi, gen, dll.
Ini saya komentar soal nasionalisme karena kemarin sempat ikut seminar dan beli buku barunya Yudi Latif yang judulnya meyemai kebangsaan atau apa gitu. Debatnya seru. Kebanyakan orang tua sih. Nah di sini menariknya. Kalo saya baca postnya sora dan juga melihat kecenderungan Lambrtz, Geddoe dan Dnial untuk menjadi nationless dan stateless itu sepertinya ada gap yang sangat besar antara dua generasi. Apa konsep nation masih dibutuhkan saat ini? Nasionalisme seperti apa yang bisa dikembangkan? Di satu sisi kita capek dan bosan dengan segala ceramah basi nasionalisme para cendekiawan dan juga blog-blog senior yang mencoba untuk menjadi politically correct biar tetep didukung Menkominfo, dan di sisi lain anak-anak muda sekarang seperti belum punya alternatif pengganti nasionalisme tradisional dengan nasionalisme yang universalistik seperti yang Sora sepertinya hendak utarakan. Orang tua sebal anak muda tak lagi melihat sejarah dan menjadi less nationalistic, sementara anak muda berpandangan konsep nation mestinya “universal”.
Ralat;
Nah.
Sebetulnya saya tidak ada masalah dengan “negara.” Negara itu konsekuensi logis peradaban. Pasti selalu ada. Kalaupun besok-besok semua negara dilebur jadi satu, ‘kan bakal tetap ada subdivisinya, Negara Dunia Sektor Asia Pasifiklah, Negara Dunia Sektor Pasifik Negara Bagian Indonesialah, Negara Dunia Sektor Pasifik Negara Bagian Indonesia Propinsi Sumatera Selatanlah, itu ‘kan sama saja akhirnya. “Negara” juga ujung-ujungnya.
Yang saya agak kurang sreg ya kalau negara dijadikan sekat. Apabila dengan menjadi orang Indonesia kita ada kewajiban tertentu, misalnya ribut-ribut soal Reog Ponorogo (garis bawahi “kewajiban”). Apabila negara jadi pemicu xenofobia. Saya kok inginnya negara itu jadi badan administrasi sahaja, π jadi ya semangat universal itu tak perlu sampai menyeragamkan bendera atau membubarkan bea cukai.
Tapi tentunya itu saya-pada-mode-optimis, karena sebetulnya yang di atas agak mengabaikan pandangan hidup dan kebudayaan seperti yang Masbro Gentole sebutkan di atas. Pandangan “timur”β’ itu kalau merujuk pada “moralitas yang lebih bersih,” apalagi kalau dipakai buat pulitik seperti yang dilakukan siapa-itu-PM-Singapura-atau-apa memang saya tak suka. Tapi seringkali memang ada budaya lokal yang bertabrakan dengan budaya mapan a la Barat. Saya banyak perhatikan kawan-kawan yang dekat dengan budaya mapan seperti itu, apalagi kalau memang hidup di negeri bule, ada nilai-nilai yang bergeser (hanya berganti, jadi bukan langkah progresif atau dekaden). Tapi ini ada baiknya tidak dibahas di sini.
Jadi ya begitu. Boleh dong menghargai asal usul ataupun sejarah negara kita, cuma jangan sampai terlalu dikultuskanlah. Seperti founding fathers di Amerika, itu terlalu disembah-sembahlah.
Atribusi dulu: kalau kata Ray Suarez, “The 12 apostles plus the founding fathers.“Umpamanya, saya rasa tidak terlalu perlulah negara ini jadi harga mati. Tidak ada harga mati dalam perkara batas negara.Wah panjang!
@geddoe
Iya negara ini emang bukan harga mati. Itu sebabnya Hamka yang leaning to Islam, terus Tan Malaka yang leaning to Marxism dan M. Yamin yang leaning to the glorious days Majapahit masih bisa debat-debat soal apa itu Indonesia tanpa harus berpikir untuk mendirikan negara masing-masing. Negaranya sama, negara bikinan Soekarno dengan bentuknya yang republik, tapi pembentukan identitasnya terus berubah. Nah, Sora dan Geddoe kan keberatan pada soal itu kan, soal identitas yang terlalu ngawang dan dibuat-buat ini. Masalahnya, apakah universalisme a la Sora dengan penjelasan ilmiahnya soal “leluhur” evolusi itu tidak mengandaikan identitas tertentu? Misalnya, seperti Sora katakan, kemanusiaan universal yang cerdas dan butuh makan tumbuhan yang tidak merasa sakit? Ujung-ujungnya gagasan “identitas” itu dipakai juga, bukan? Hanya saja, apakah identitas universal itu berbeda dengan identitas ala Yamin yang bilang Majapahit merupakan prototip Indonesia dan mendefinisikan Indonesia? Menurut saya ada kompleksitas di sini. Kebetulan pula saya lagi konfrens di Mesir; dan kemarin saya ribut2 (bersama orang Pakistan, Italia dan Irlandia) soal apakah perempuan Mesir itu perempuan paling cantik di dunia. Dan saya kekeuh cewek kulit coklat lebih cantik dari yang putih. Wah, kok ngawur.
Oke, sekarang serius lagi, pertanyaan saya begini: apakah nasionalisme yang universal, yang berbasis kemanusiaan, yang berbasis kesamaan genetikal itu lebih baik/praktikal/sejati dari nasionalisme yang partikular, yang berbasis kebudayaan dan kesamaan ideologis?
Nak harus Sora yang jawab sih ini.
@ Gentole, Kgeddoe
Oalah, ternyata gara2 baru ikut konferensi toh.
Hmm, bagaimana ya? As for me, saya orangnya lebih ke arah libertarian. Barangkali rada mirip dengan pendapat geddoe di atas. Negara itu penting untuk mengatur ini-itu di masyarakat, tapi, jangan sampai jadi “terlalu diseriusi”.
Di sisi lain saya maklum bahwa tiap “bangsa” — pengertian umum, saya ndak berani teknis π — itu punya keunikannya sendiri-sendiri. Ada beda adat, beda kesopanan, dan sebagainya. Yaa, itu nggak bisa diingkari. Nah tapi ada pertanyaan.
Apakah perbedaan antarbangsa itu *sebesar yang diributkan*, atau tidak?
Ini yang dari dulu suka bikin saya garuk-garuk. Taruhlah Indonesia dan Malaysia. Rasnya mirip, budayanya mirip. Agamanya sama-sama mayoritas Islam. Yang beda cuma sejarahnya saja — Malay dulu dijajah Inggris. Tapi kok sekarang mengkristal sekali? Saya pikir ada yang salah kalau perbedaan yang sekecil itu dijadikan alasan “beda negara”. Kalau beda ideologi seperti US dan USSR, saya justru maklum.
Ya, memang, kita nggak bisa menafikan soal “beda identitas”. Tapiii….
Tapi.
Tapi.
Bagaimana dengan multiras? Atau, kalau mau yang lebih subtle: Bagaimana dengan generasi internet yang pengaruh budayanya campursari ?
Katakanlah misalnya saya dan Geddoe. AFAIK kami sama-sama suka dengar lagu band Amerika, tapi juga suka nonton anime. Bacaannya e-book segala rupa dari Dawkins sampai [insert nama filsuf here], mainnya ke forum-forum bahasa Inggris. Di sini saya mau bertanya: identitas? identitas apa? Wong semuanya dilahap. π
Hal yang sama dengan anak-anak multiras. Apakah blasteran Indonesia-Jerman lebih ke Jerman, atau lebih ke Indonesia? Jepang-Prancis? Bagaimana kalau seperti Tiger Woods? Dan sebagainya…
Jadi ini masalah yang masuk concern saya. Identitas itu penting, tapi, what identity? Karena seperti saya sebutkan di tulisan, kita ini sedang “menyatu” lagi pada akhirnya. π
Kurang lebih seperti itu. ^^
Woo, ndak bisa. Mau dikemanain turunan Oriental, Padang, dan Irish? πΏ
*ikut gak penting* xP
Coba kita dissect satu-satu…
berbasis kebudayaan –> What culture? Seperti saya sebutkan di atas, kultur sekarang itu campursari. Di TV ada drama Korea, Taiwan, Hollywood; di internet ada segala macam download-an. E-book berbagai macam juga ada. Generasi internet itu kan segala ada dilahap. π
kesamaan ideologis –> Nah kalau yang ini saya setuju. Tidak ada yang harusnya merekatkan negara selain kesamaan ideologi. Makanya saya lebih maklum grouping US kontra USSR daripada Indonesia kontra Malay, dsb.-nya.
That said, saya lebih berpikir untuk mencari common denominator daripada “apa yang bisa membedakan”. Di antaranya kesamaan genetik, ideologi, dsb.-nya. Tapi ya ini pandangan pribadi — bukan tak mungkin banyak salahnya.
…
…
Wah panjang!
This meme still lives!
^
Itu karena jasa Anda, Kopral!
[…] 2010 oleh sora9n Catatan: Jadi, ceritanya saya sedang ngobrol dengan geddoe dan mas gentole di post tentang migrasi tempo hari. Ada satu poin menarik yang muncul di situ, dan saya pikir tak ada salahnya diangkat […]
[…] kecil hingga ABG, saya selalu memandang manusia sebagai kawanan yang satu. Duaratus ribu tahun lalu rombongan Homo sapiens pertama berangkat dari Afrika, mengisi celah-celah dunia. Ada yang bermigrasi ke Arab, Amerika, Asia… sampai yang terpencil […]
[…] Anda sudah melihat ada apa di balik jatuhnya buah apel, terbentuknya pelangi, asal mula keragaman umat manusia — hal-hal tersebut akan menimbulkan kesan tersendiri. Susah dijelaskan! Kadang-kadang kesan […]
[…] Rencananya di blog tersebut saya akan lebih banyak merilis tulisan bertema serius; kira-kira seperti terkandung di kategori deeper thoughts. Berhubung pendidikan saya teknik maka temanya akan berkisar antara sains dan engineering — walaupun bukan tak mungkin bakal ada tulisan nyerempet ilmu sosial. Bagaimanapun memang dua bidang itu sering bertabrakan. (see also: mekanika kuantum, teori evolusi, antropologi) […]