Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Deeper Thoughts’ Category

That typewriter may be old, but for what it’s worth, my Grandpa never thinks to offload it. I don’t know what to make out of that. About few days in a week he will sit in front of it; typing with so much zeal you can tell from the noise. According to my mother, the machine was from his heyday as a lecturer… I heard he taught chemistry for undergraduates. Or something like that.

Admittedly the typewriter is not in bad condition. Grandpa is meticulous person when it comes to personal stuffs. The typeface is largely uncorroded; he regularly changes the ribbon; there’s no noticeable rust. It’s only… old. And noisy. At least that’s as far as I’m concerned.

The problem is, of course I’m hardly concerned. Seriously now: who cares about typewriters in this computer age? Nowadays we have Microsoft Word and Excel, for crying out loud. But Grandpa politely disagrees. He had been with that typewriter since 1960s, and never thought to leave it. Few days a week he will sit down and produce that unique sound in his house…

TICK-TOCK-TOCKTOCKTOCK. TICK-TOCKTOCK-TICK. TOCK-TOCK.

CTING.

You have the idea.

My parents actually persuaded to buy him electric typewriter, but to no avail. We even tried to teach him benefits of computers—data can be saved into disks, you can delete and insert words—but even then he only had passing interest. He never wanted to part with his old companion. And we, of course, could only shrug it off.

But perhaps interestingly, I once talked about this with my mom. In fact her explanation actually made sense.

“Grandpa never likes computer, does he?”

“Why, perhaps he likes it the old way,” my mother replied. “You know, it’s been with him for decades.”

“But isn’t that old– I mean, it’s noisy and all…”

My mom then told me something—a story from her childhood.

“Back then when I was nine or ten, you know, he bought that typewriter. Office bargain. You see, before that, he couldn’t get all his lecture notes typed by his own. Often times he had to ask the secretary. Other times, he borrowed some colleagues’ typewriter.”

“Almost every night our house was filled with typewriter sound, you know? The usual ‘tick-tock-tick-tock’ thing. At first it was annoying. He liked to work deep into the night. Sometimes up until midnight we could still hear him.”

“But each day after that is good enough for us. He typed, copied and sold his lecture notes to students—we got little more income. He stayed home more often; he put on his new hobby. He sent some short stories to local paper too, you know? But rarely get published I recall. In the end everybody’s happy with that.”

“But why can’t a computer do that? Nowadays people don’t use that thing anymore!”

“One day, maybe you’d understand. There are things like sentimentality and age-old ingrained ideas… things like attachment, so to say. It’s hard to let go, see.” Then she smiled. “Why, isn’t that what people say, ‘Old dog can’t learn new trick?’ Maybe Grandpa is like that!”

***

Nowadays when I look at Grandpa I wonder about things. Why do you like that typewriter so much, Gramps? Why? It’s noisy, it can’t have pictures; and you can’t do backspace! But still, I realized what my mom said. It was something like sentimentality that drives him in. Things like “first typewriter that helped me do things”, “the machine that allowed me free time working all-nights”, et cetera. In the end, it’s not something exactly logical nor exactly nonsensical—rather, it’s combination of both.

Baffling, perhaps. But not outrageously nonsensical.

Still, when I think of it, isn’t that what makes human human? We attach ourselves to things that have (or had) positive values, and try clinging to it—even when we outlive its usefulness. Just like Grandpa cling to his “helpful” typewriter all this time, not interested at all with its modern counterpart…

I wonder if that applies to other things, too.

 

 
(disclaimer: the above story is fiction and largely metaphorical)

Read Full Post »

Ada sebuah kenangan menarik yang saya alami sekitar tahun 2001, kurang lebih waktu saya baru masuk SMA. Peristiwanya terjadi ketika jam pelajaran fisika dan membahas tentang gerak jatuh bebas.

Kalau Anda pernah belajar tentang Hukum Newton, kemungkinan besar sudah tahu tentang peristiwa “apel jatuh” yang legendaris. Bahwasanya, ketika Pak Isaac Newton melihat apel jatuh dari pohon, ia langsung mendapat inspirasi. Kemudian beliau menulis perhitungan rumit dan hasilnya diterbitkan dalam buku ‘Principia Mathematica’. Singkat cerita, Newton menjadi ilmuwan besar karena merenungi fenomena jatuhnya buah apel tersebut.

Nah, yang hendak saya ceritakan di sini ada hubungannya dengan peristiwa “apel jatuh” di atas.

Sebagaimana sudah disebut di awal, peristiwa ini terjadi ketika jam pelajaran fisika. Waktu itu ibu guru sedang menerangkan di papan tulis, ada rumus ini-dan-itu — meskipun begitu yang paling berkesan adalah satu ilustrasi yang ada di buku paket.

Buah apel tergantung diam di pohon (kecepatannya nol). Kemudian apel tersebut jatuh.

Setiap detik jatuhnya apel semakin cepat, sebab ditarik gravitasi.

Maka lewat matematika dapat dihitung bahwa:

(kecepatan) = (gravitasi) * (waktu)

v=g.t

Saya tidak tahu bagaimana dengan orang lain, tetapi bagi saya waktu itu, ilustrasi di atas benar-benar membuka mata. Dalam sekejap fisika yang rumit jadi sederhana. Tidak ada hafalan rumus ini untuk GLB, rumus itu untuk GLBB — yang ada cuma ilustrasi, lalu dihubungkan ke rumus matematik. Begitu simpel. Begitu masuk akal, logis, elegan.

Belakangan saya mempelajari bahwa, walaupun di awalnya sulit, materi-materi lain di pelajaran fisika itu sebenarnya tidak jauh beda dengan ilustrasi di atas. Tidak jauh berbeda dalam artian begini: mulai dari hukum gerak, gravitasi, hingga elektromagnet, semuanya bisa dijelaskan secara logis dan sederhana. Tidak ada rumus ajaib yang — meminjam istilahnya Carl Sagan — seolah-olah diturunkan dari Gunung Sinai.

 

moses-f-ma

Bukan dari Gunung Sinai. ๐Ÿ˜›

 

Di balik kerumitan rumus, terdapat penjelasan logis yang mudah dicerna. Lebih lagi hukum-hukum tersebut menggambarkan lingkungan alam sehari-hari. Saya yang waktu itu masih ABG amat terkesan.

 

Sains dan Keindahan Alam

 

Sudah sekian tahun berlalu sejak peristiwa di atas terjadi. Meskipun begitu dampak yang ditinggalkannya masih berbekas sampai sekarang. Boleh dibilang bahwa peristiwa di atas turut berperan menentukan kesukaan saya belajar sains/IPA.

Walaupun contoh yang saya sebut di atas cuma melibatkan fisika, inti kekaguman yang dihadirkannya adalah science in general: bagaimana alam semesta yang rumit dapat dijabarkan dengan sederhana dan masuk akal. Di balik peristiwa yang kita lihat sehari-hari terdapat serangkaian proses maha indah. Saya mungkin terdengar norak atau berlebihan kalau bilang begini, tapi percayalah: there is actually joy in science! ^^v

Ini hal yang sifatnya rada subtle. Kalau Anda cuma mengamati alam sambil lalu, tidak mungkin bisa memahaminya. Harus coba untuk melihat lebih dekat. Dan untuk ini tidak mesti orang yang sekolahnya IPA, jurusannya IPA — tidak. Semua orang bisa menikmati ilmu alam. Saya ambil contoh berikut.

Anda mungkin pernah jalan-jalan ke air terjun dan melihat berbagai fenomenanya. Ada air terjunnya, ada jeram; kadang-kadang ada juga pelangi di situ. Sepintas lalu kita setuju bahwa pemandangannya indah, tetapi kenapa bisa indah?

Kenapa air terjun bisa terbentuk? Karena ada hukum fisika, air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Kenapa langit berwarna biru? Karena sinar matahari yang dibiaskan atmosfer paling banyak meloloskan warna biru. Kenapa kadang-kadang ada pelangi di air terjun? Karena titik-titik air membiaskan sinar matahari jadi tujuh warna, lalu dipantulkan sedemikian rupa sehingga dapat terlihat. Dan seterusnya, dan lain sebagainya.

Saya yakin Anda bisa melihat keindahannya di sini. Orang tak perlu jadi ilmuwan untuk menghayati ilmu alam. Asalkan orang mau bertanya dan belajar, dia bisa menikmati sains. Ini hal yang harus dicoba untuk bisa memahaminya.

Adapun itu baru dilihat dari bidang fisika. Kalau kita membahas air terjun dari sudut pandang geologi, mungkin banyak lagi analisis yang menarik. Mengapa bisa terbentuk level yang curam; mengapa bisa terbentuk jalur sungai dan air terjun… (saya tidak tahu; pendidikan saya bukan di situ ๐Ÿ˜› ).

Atau mungkin dari bidang biologi: mengapa ada spesies yang hidupnya di dekat sungai, tapi tidak di tempat lain. Mengapa ekosistem air terjun berbeda dengan kota, dan seterusnya. Lagi-lagi saya tidak tahu pasti — saya cuma paham sedikit biologi dari buku Richard Dawkins dan S.J. Gould. Meskipun begitu ini adalah pertanyaan-pertanyaan menarik yang saya rasa juga akan menarik jawabannya. ๐Ÿ™‚

 

Ilmu Pengetahuan Membebaskan

 

Sekarang saya mau cerita sedikit dulu tentang sejarah. ๐Ÿ˜›

Sahibul hikayat, menurut para ahli arkeologi, umat manusia purba zaman dulu memiliki ketakutan irasional terhadap alam. Ketika terjadi petir, misalnya, disangkanya pertanda bahwa alam sedang marah. Oleh karena itu mereka harus menyembah-nyembah supaya alam jadi tenang. Mereka menganut bentuk kepercayaan primitif bernama animisme/dinamisme — penyembahan terhadap unsur alam.

Di masa kini kita tahu bahwa animisme/dinamisme itu kepercayaan salah kaprah. Pengetahuan ilmiah menunjukkan bahwa, alih-alih kemarahan dewa, petir itu sekadar interaksi atom-atom di awan. Bencana kekeringan bukan karena dewi kesuburan marah, melainkan karena perubahan iklim. Pada akhirnya bencana itu dijelaskan sebagai peristiwa alam biasa.

Seiring kita memahami alam, kita tidak lagi takut pada hal-hal yang sifatnya takhayul. Malah justru dari pemahaman itu kita memanfaatkan alam untuk kepentingan kita. Kincir angin dipakai untuk pembangkit energi; irigasi makin canggih; bedil mesiu untuk melindungi dari hewan buas. Pada akhirnya ilmu alam menjadi pembebasan dari masalah dan rasa-takut.

Di bagian sebelumnya saya bercerita tentang menikmati alam dengan sains. Itu adalah karunia yang luar biasa. Akan tetapi, kelebihan sains sesungguhnya bukan hanya itu: dia juga membantu kita menghilangkan ketakutan-ketakutan kita. Baik itu yang sifatnya rasional maupun tak-rasional.

Jika nenek moyang kita dulu ketakutan dengan badai dan gempa bumi; dengan harimau dan penyakit kolera — maka kita sekarang memandangnya biasa saja. Seiring kemajuan teknologi ketakutan-ketakutan tersebut makin menyusut. Akhirnya tidak ada lagi yang ditakuti. Mungkinkah kelak hal-hal seperti hantu dan jin dapat dijelaskan lewat sains? Tentunya kalau begitu kita tak perlu takut lagi. Siapa yang tahu? :mrgreen:

 

Science: Breaking The Myth

 

Sebagaimana sudah diuraikan panjang-lebar di atas, sains (atau IPA, terserah pakai istilah mana ๐Ÿ˜› ) adalah sebuah karunia besar. Asalkan orang mau belajar dan berpikir, maka ia bisa mendapatkan keindahannya. Orang tidak perlu kuliah di jurusan eksakta atau IPA untuk menikmatinya. Yang menghambat orang dari belajar IPA barangkali sekadar prejudice saja: bahwa IPA itu sulit, banyak rumus, atau cuma bisa dicerna orang ber-IQ sekian, dan seterusnya.

Saya pikir sebenarnya tidak persis begitu. Memang untuk mendalami IPA orang harus punya kecerdasan lumayan. Tetapi itu cuma berlaku kalau Anda terjun ke level teknis. Insinyur perlu matematik, dosen fisika perlu matematik, farmakolog harus tahu reaksi kimia blablabla — tetapi orang biasa tidak terjun ke bidang teknis. Di sini ada perbedaan yang harus dicatat.

Saya pikir, kalau orang ditakut-takuti untuk belajar IPA, maka dia takkan bisa menghayati keindahannya. Alangkah sayangnya kalau sampai seperti itu.

Untungnya, sejauh dapat saya lihat, tren-nya saat ini adalah “IPA untuk semua orang”. Saat ini banyak buku dari ilmuwan terkenal ditujukan ke masyarakat awam. Mulai dari Richard Dawkins, Lawrence Krauss, hingga yang paling terkenal Stephen Hawking. Semua berusaha menyampaikan bidang keilmuannya secara populer. Lebih lagi banyak di antaranya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. So far, so good.

Saya percaya bahwa sudah saatnya stigma “IPA sulit dan mengerikan” dibuang jauh-jauh. Sebab kalau IPA dianggap sulit, dia akan makin jauh dari masyarakat. Dan kalau sudah begitu… bukan tak mungkin masyarakat dikerjai oleh penipuan berkedok ilmiah. Yang terakhir ini perkara yang serius yang tidak bisa diremehkan kepentingannya. Malah kalau saya boleh menilai: ini alasan penting mengapa masyarakat awam HARUS mengakrabkan diri dengan sains. ๐Ÿ˜•

Anda ingat “Profesor Desa” Djoko Suprapto dan Blue Energy? Ini contoh luar biasa bagaimana masyarakat dan Presiden (!) Indonesia tertipu mentah-mentah oleh ilmuwan palsu. Ini menunjukkan betapa ketidaktahuan masyarakat akan sains bisa dimanfaatkan sedemikian rupa. Meskipun begitu nasi telah menjadi bubur. Seandainya pejabat dan masyarakat Indonesia waktu itu lebih melek-sains dan hati-hati, barangkali peristiwa tersebut dapat dicegah.

 

Penutup: It’s A Beautiful World

 

Singkat cerita, saya ingin memakai kesempatan ini untuk menekankan satu hal: belajar IPA bukanlah hal yang harus dipandang sebagai momok atau menakutkan. Sama sekali tidak. Sebagaimana sudah ditulis di atas, justru IPA itu mempunyai banyak manfaat. Semua orang, terlepas dari background akademisnya, berhak merasai keindahannya. Keindahan di sini sifatnya konseptual.

Sekalinya Anda sudah melihat ada apa di balik jatuhnya buah apel, terbentuknya pelangi, asal mula keragaman umat manusia — hal-hal tersebut akan menimbulkan kesan tersendiri. Susah dijelaskan! ๐Ÿ™‚ Kadang-kadang kesan yang ditimbulkannya bisa begitu kuat dan mendalam.

Jangan sia-siakan karunia ini dengan bilang “ah itu emang dari sononya”, “ah emang gue pikirin”. Nooo, you’ll be damned! Rugi kalau mikirnya seperti itu. :mrgreen: Syukurilah kecerdasan kita dengan cara memanfaatkannya. Sesungguhnya akal-budi manusia adalah pemberian yang luar biasa. Kebetulan saya punya cerita menarik soal ini.

Sekitar tahun 2007, saya bersilang pendapat dengan beberapa orang yang menolak Teori Evolusi. Orang-orang ini percaya bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk bersamaan, sekali jadi. Saya bilang: kalau seperti itu, sama saja dengan menyatakan “Tuhan menciptakan pelangi, tujuh warna sekali jadi. Haleluyah, amin!”. Sementara di baliknya terdapat serangkaian hukum fisika optik maha indah.

Saya bukanlah orang yang religius. For the record, saya seorang agnostik. Meskipun begitu saya percaya: kalau orang beriman menolak sains, itu sama saja dengan menghina Tuhan. Asumsinya Tuhan bekerja dengan proses. Kalau kita mengaku beriman, tapi lebih suka mengabaikan proses yang aslinya indah tersebut… itu sama saja dengan mengabaikan karya besar-Nya di bumi. Padahal harusnya kebesaran itu dihayati dengan seluas dan selengkap-lengkapnya. ๐Ÿ˜‰

***

Akhir kata, belajar IPA/sains/ilmu alam itu adalah sebuah anugerah. Terlepas dari apakah Anda religius atau tidak, apakah Anda agamis, ateis, agnostik, deis, atau lain sebagainya — jangan sia-siakan karunia ini.

Sebab kita tinggal di semesta yang elegan, dan kita beruntung punya kemampuan mengapresiasinya. Amat ironis kalau ternyata kita justru mengabaikan anugerah yang besar tersebut, lantas kembali memeluk pola pikir yang kuno dan menggampangkan masalah.

Read Full Post »

Ketika saya berumur dua tahun, orangtua saya memutuskan untuk pindah rumah ke daerah pinggiran selatan Jakarta. Ini masanya menjelang tahun 1990-an, waktu itu daerah pinggiran ibukota masih baru berkembang — banyak wilayahnya yang masih berupa perkebunan dan empang. Meskipun begitu kedekatan jarak dengan ibukota menjanjikan perkembangan ekonomi, jadi, banyak pendatang luar daerah bermukim di sini. Anak-anak di wilayah saya sendiri coraknya jadi berbagai suku: ada yang dari Jawa, Makassar, Padang, Manado, dan sebagainya.

Kalau Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah tahu kisah tumbuh-kembangnya saya di lingkungan multikultur tersebut. Saya tumbuh dikelilingi oleh perbedaan: teman main saya ada yang berdarah Bugis; di sekolah punya teman yang orangtuanya dari Bali dan Ambon; dan seterusnya. Adik saya sendiri, biarpun berdarah Jawa, akhirnya jadi fasih pakai dialek Betawi — ini gara-gara pembantu yang mengasuh dia sejak kecil asalnya dari suku tersebut. Lalu ada juga temannya tante saya yang sering main ke rumah; beliau ini gadis Batak di perantauan. Jadi, yah seperti itulah kira-kira. ๐Ÿ˜›

Walhasil, saya jadi terdidik memandang kemajemukan sebagai hal yang lumrah. Ini mengantar saya pada cara pikir yang unik: sebenarnya kalau tidak dibeda-bedakan, semua orang itu sama, kok. Misalnya teman-teman saya dulu semuanya sama-sama suka main SEGA. Lalu sama-sama suka jajan Chiki, baca komik Dragon Ball, dan seterusnya. Akibatnya saya paling cepat jengkel kalau dengar orang menggunjing SARA — ada suku ini dibilang baik, tapi suku lain dibilang buruk — orang macam ini biasanya cari gara-gara. ๐Ÿ˜ Sepengalaman saya sih perbedaan itu cuma ada kalau dibesar-besarkan.

 
Jadi, semenjak kecil hingga ABG, saya selalu memandang manusia sebagai kawanan yang satu. Duaratus ribu tahun lalu rombongan Homo sapiens pertama berangkat dari Afrika, mengisi celah-celah dunia. Ada yang bermigrasi ke Arab, Amerika, Asia… sampai yang terpencil seperti Polinesia juga ada. Dari satu kelompok umat berkembang jadi banyak. Semuanya bersaudara — baru belakangan berpencar jadi suku ini dan suku itu; negara ini dan negara itu.

Pandangan di atas begitu berurat-berakar di hati saya. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengerti dengan yang namanya tribalisme, rasisme, nasionalisme, religionisme — saya pikir pengotakan itu munculnya kalau kita ingin membedakan saja. :mrgreen: Ada beda warna kulit, dikelompokkan. Ada beda batas negara, dikelompokkan. Ada beda agama, dikelompokkan; dan sebagainya. Pada akhirnya pembedaan itu menghasilkan attachment — bahasa Indonesianya kira-kira โ€œrasa memilikiโ€.

Contohnya tentu saja gampang. Orang yang lahir dan besar di Jawa, misalnya, hampir pasti punya attachment pada kebudayaan Jawa. Orang yang lahir dan besar di Aceh punya attachment ke kebudayaan Aceh. Orang yang beragama Islam punya attachment pada umat Islam; yang beragama Kristen dengan umat Nasrani, dan lain sebagainya.

Sedihnya adalah, terkadang rasa memiliki itu jadi berlebihan. Hanya karena rasa memiliki orang jadi tribalis. Kaum yang ‘berbeda’ dan ‘lain’ dipandang rendah. Ras tetangga dianggap hina, negara tetangga dianggap saingan. Lalu ada juga yang berbau klasik: “Agama kita paling benar, yang lain bodoh semua!” Dan lain sebagainya. Ada banyak contoh yang lain, meskipun begitu, saya yakin Anda paham apa yang saya maksud. ๐Ÿ™‚

 

Tentang Negara dan Attachment

 

Saya akan jujur di sini. Saya adalah orang yang anti pada segala bentuk pengotak-ngotakan umat manusia: entah itu landasannya kesukuan, keyakinan agama, ataupun batas negara. Sebagaimana sudah disebut saya besar di lingkungan yang heterogen; lalu saya belajar dari ilmu pengetahuan bahwa umat manusia itu aslinya satu keluarga. Di mata saya tidak ada landasan yang kokoh untuk mengelompokkan manusia dalam sekat ini-atau itu.

Mengutip dari sebuah posting blog bulan Februari lalu,

Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia โ€œcuma beda di luar sajaโ€. Biar kulitnya berbeda, kewarganegaraannya beda, warisan budayanya beda, tidak ada alasan untuk mengelompokkan manusia. Saya bilang: pergi sajalah jauh-jauh itu โ€œnasionalismeโ€, โ€œtribalismeโ€, โ€œrasismeโ€, dan sebagainya. Karena kita ini sebenarnya sedang saling menyatu: baik secara lokasi, genetik maupun budaya. Lebih baik mencari persamaan daripada perbedaan, kan begitu? ๐Ÿ˜€

Nah, salah satu bentuk sekat yang sering bikin saya kurang sreg adalah kewarganegaraan. Bukan berarti saya menolak pemerintahan negara, sih. Haluan politik saya libertarian: saya menilai bahwa negara diperlukan untuk mengatur ini-itu di masyarakat, akan tetapi, tidak perlu ditingkahi sentimen berlebihan lah. Sebab sering sekali batas negara itu justru memicu kisruh yang — kalau boleh dibilang — berlebihan dan norak.

 

malingsia vs indonsial

Misalnya peristiwa di atas. Ada yang ingat?

 

Saya pribadi berpendapat bahwa sekat-sekat seperti negara dan sebagainya itu semu. Hanya dibentuk oleh rasa memiliki (attachment) saja — tidak kurang dan tidak lebih.

Ini agak susah dijelaskan, jadi lebih baik kalau diuraikan lewat contoh.

Orang yang lahir dan besar di Amerika Serikat, misalnya, kemungkinan akan merasa terkait (attached) dengan budaya Amerika. Lalu dari situ ia mengidentifikasi dengan negara dan bendera Amerika. Akan tetapi hal yang sama juga bisa dikatakan kalau orang itu lahir dan besar di Indonesia. Barangkali ia akan merasa terkait (attached) dengan budaya Indonesia, lalu dari situ ia mengidentifikasi dengan negara Indonesia, bendera Indonesia…

Hal yang sama dapat dikatakan pada muslim yang mendukung gagasan Khilafah Islamiyah. Karena dia beragama Islam, maka dia merasa terkait (attached) dengan ide negara Islam. Kalau orang beragama Yahudi barangkali merasa attached dengan ide Negara Israel. Dan lain sebagainya.

Atau mungkin rasa memilikinya bukan dari agama, melainkan warisan genetik dan budaya. Keturunan suku-budaya Celtic barangkali merasa attached pada gagasan Negara Irlandia Raya (walaupun saat ini adanya Republik Irlandia dan Irlandia Utara, tapi itu cerita lain). Keturunan suku-budaya India merasakan keterikatan (attachment) pada warisan budaya Hindi, maka membentuk negara India; dan seterusnya.

Jadi pada akhirnya, saya memandang sekat-sekat negara itu tidak lebih dari sekadar attachment pada simbol. Orang merasa memiliki kesamaan budaya, kesamaan ras, atau kesamaan tempat lahir, lalu berkumpul bersama dan mendirikan paguyuban. Tidak ada yang salah dengan itu — sah-sah saja orang mau berserikat dan berkumpul. Akan tetapi ada problem besar yang diakibatkannya, dan ini akan saya bahas di bagian selanjutnya.

 

The Problem with It

 

Di atas tadi, saya sempat menyinggung tentang asal mula keragaman umat manusia (sebaiknya dibaca di tulisan yang di-link). Dari kelompok Homo sapiens pertama, manusia bermigrasi, lalu mulai mengembangkan identitas suku-budaya masing-masing. Jadi sebenarnya manusia itu awalnya satu — baru belakangan saja tercipta perbedaan seperti ras, budaya, dst. Perbedaan itu diakibatkan oleh migrasi dan tantangan alam.

 

peta migrasi homo sapiens

Peta migrasi Homo sapiens. Yang menetap di Mesir melahirkan cikal-bakal budaya Mesir; yang menetap di Yunani melahirkan cikal-bakal budaya Yunani, dan seterusnya.

(image courtesy of San Diego State University)

 

Kemudian dari warisan tanah, budaya, suku bangsa, dan kesejarahan (among others) orang mengidentifikasi diri. Rasa memiliki itu kemudian jadi cikal-bakal identitas kebangsaan. Apabila mampu memiliki pemerintahan sendiri maka masyarakat ini dapat disebut sebagai “negara” (state).

Akan tetapi elemen identitas kebangsaan (nasion) itu sendiri bukan pembeda yang mutlak. Ras-ras yang berbeda bisa berbaur menghasilkan keturunan. Budaya yang berbeda bisa saling bercampur. Batas-batas negara bisa berubah, sebab muka bumi tidak tetap — benua bergerak, patahan bisa ambles, dan seterusnya.

Orang biasanya bilang bahwa “negara” itu diindikasikan oleh tanah, ras penduduk, warisan budaya. Akan tetapi kenyataannya, tidak satupun dari ciri-ciri tersebut yang bersifat absolut.

Jadi kalau ada orang yang suka teriak-teriak sukuisme, tribalisme, nasionalisme, tahu rasa dia: ternyata batas-batas itu semuanya semu. Ha! :mrgreen:

 

prediksi muka bumi 250 juta tahun lagi

Simulasi pergerakan muka bumi 250 juta tahun ke depan. Where is your nation now?

(image courtesy of PALEOMAP Project)

 

Di sisi lain, ada juga yang mengklaim bahwa suatu jenis “negara” itu dikehendaki oleh Tuhan. Misalnya Islam fanatik menghendaki Khilafah Islam. Sementara Yahudi dan Kristen Zionis menghendaki Eretz Yisrael. Mungkin ada lagi yang lain.

Meskipun begitu, seperti sebelumnya, klaim macam itu juga tidak feasible. Namanya keyakinan agama mustahil bersifat obyektif. Setiap agama punya doktrin keyakinannya sendiri-sendiri. Islam beda dengan Kristen, Kristen beda dengan Yahudi, Yahudi beda dengan Shinto dan Buddha. Salah besar kalau memaksakan argumen satu agama ke masyarakat seluruh dunia. Enggak bakal nyambung. ๐Ÿ˜

***

Jadi bisa Anda lihat problemnya. Saya relatif tidak bersimpati pada ide-ide seperti “negara” dan “nasionalisme”, sebab memang batasnya kabur dan tak jelas. Coba saya tanya. 100 juta tahun lagi Indonesia ada di mana? 100 juta tahun lagi Israel dan Palestina ada di mana? Ha? Ha? ๐Ÿ˜

That being said, bukannya saya bilang negara harus diberangus, sih. Seperti telah disebut saya seorang libertarian — saya menilai bahwa negara itu perlu untuk mengurus masyarakat. Tidak realistis mengharapkan masyarakat mengurus dirinya sendiri dengan adil. Cuma, kalau disertai chauvinisme dan ribut-ribut seperti “ganyang Malaysia”, Israel-Palestina, dan sebagainya… rasanya kok menyebalkan. Oh well.

 

Epilog: All in All is All We Are

 

Konon, Siddharta Gautama pernah mengajari satu hal. Bahwasanya semua penderitaan di dunia berakar dari persepsi (indra). Dari persepsi itu timbul rasa menginginkan sesuatu (craving). Lalu kalau keinginan itu sudah didapat, jadinya ingin dipertahankan (clinging). Yang terakhir ini bersumber dari rasa memiliki (attachment) yang sudah dibahas di atas.

Saya bukanlah seorang Buddhis, juga bukan orang yang amat religius. Meskipun begitu filosofi Buddha di atas membuat saya berpikir: barangkali, memang itulah penyebab dari kisruh antarnegara yang saya protes di atas. Umat yang tadinya satu berangkat dari Afrika, ketika sudah terpencar malah saling bertengkar dan ribut. Patok-mematok tanah, bersikap kesukuan, dan sebagainya. Pada dasarnya semua itu disebabkan oleh rasa memiliki: rasa memiliki budaya, rasa memiliki tanah, dan lain sebagainya. Padahal belum tentu.

Kadang orang merasa bahwa “negara” atau pembagian sejenis itu sebagai hak prerogatif kelompoknya. Sementara kenyataannya, garis batas “kelompok” yang digadang-gadang itu semu. Sebagaimana sudah kita lihat bersama.

Saya sering kecewa kalau membaca rubrik internasional di koran. Indonesia berseteru dengan Malaysia, biarpun sama-sama mayoritas Melayu dan beragama Islam. Korea Utara kisruh dengan Korea Selatan karena beda ideologi. Irlandia Utara dan Republik Irlandia karena masalah agama, lalu Israel dan Palestina. Semuanya gara-gara attachment. Dengan merasa diri sebagai “kami”, orang berpendapat bahwa mereka berhak atas tanah atau negara. Lalu membagi-bagi planet bumi dari situ.

Orang-orang ini lupa akan satu hal. Ketika manusia pertama muncul di muka bumi, tidak ada pengelompokan macam itu. Ketika umat manusia masih muda bumi menyediakan kebutuhan mereka: tanah, air, udara, ladang tani dan ternak. Lalu umat manusia bertumbuh besar. Ironisnya, sesudah menjadi besar, mereka berpecah. Orang lupa bahwa planet ini sebenarnya satu untuk semua. Kelompok demi kelompok bersaing: mulai mengambil tanah, mengeruk hasil bumi. Persis anak-anak yang berebut warisan ketika ibunya meninggal.

Saya amat kecewa bahwa manusia yang tadinya satu kemudian memecah-mecah dirinya sendiri. Lebih jauh lagi pembagian itu sering berujung kisruh. Bukan saja sekadar saling benci, kadang-kadang nyawa juga melayang. Ada banyak contoh di sejarah kita untuk itu.

Sebagai orang yang masa kecilnya dihabiskan di lingkungan heterogen — dan tidak sekalipun saya berantem gara-gara SARA selama itu — saya tidak bisa mengerti kenapa ide seperti “negara” bisa begitu populer. Di mata saya manusia adalah manusia; tidak kurang dan tidak lebih. All in all is all we are. Melampaui semua perbedaan adalah persamaan. Hanya persepsi yang membuatnya tampak berbeda.

Pada akhirnya negara itu sendiri jadi kehilangan makna. Ia tereduksi jadi makelar tanah air dan ideologi. Hanya karena kesesuaian ini-dan-itu, kita memutuskan mendukung negara ini atau itu. Demi tanah air. Demi suku bangsa. Demi warisan budaya. Demi ketetapan agama. Semuanya sia-sia. Apa jadinya kalau kamu dulu dilahirkan di benua yang berbeda, pada suku yang berbeda, dan agama yang berbeda? Akankah kamu sesemangat ini tentang negara?

One day, I hope you realize that there is no “us” other than what you perceive and attach yourselves to. Semoga semua makhluk berbahagia. ๐Ÿ˜‰

Read Full Post »

Waktu saya masih kuliah dulu, ada sebuah rutinitas yang berlangsung tiap awal semester. Pada saat itu, perpustakaan akan penuh, para mahasiswa mendatangi seniornya, dan tempat fotokopi dipadati pengunjung. Tentunya bukan karena ujian, sebab — seperti sudah disebut — peristiwa ini kejadiannya di awal semester.

Yang benar, para mahasiswa tersebut (termasuk saya) sedang berlomba-lomba untuk bisa dapat buku teks. Metodenya macam-macam: ada yang berusaha meminjam pada senior; ada juga yang memfotokopi dari perpustakaan. Ada juga yang membeli langsung di toko buku — meskipun begitu, karena harganya mahal, biasanya tak banyak yang melakukan. For whatever reason, kegiatan ‘berburu’ buku teks ini kemudian jadi budaya yang lestari di kampus.

Kalau Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah pernah baca uraian saya terkait masalah buku teks di atas. Ada banyak hal yang jadi concern saya tiap kali membahas soal ini: harga yang (terlalu) mahal, keharusan untuk menghargai pengarang, juga kebutuhan akademis. Meskipun begitu kali ini saya ingin membahasnya dari sudut pandang yang lebih filosofis.

***

Ada pertanyaan yang timbul tiap kali saya mengecek harga buku teks untuk kuliah. Kalau hendak digeneralisasi, harga pada umumnya berada pada orde puluhan dolar. Buku biasa, tebalnya tak sampai 1000 halaman. Bagaimana bisa harganya semahal itu?

Ini pertanyaan yang dari dulu mengganggu saya. Kalau boleh jujur, saya sering iseng mengecek daftar harga buku di Amazon dan membanding-bandingkannya. Kita ambil dua pasang contoh sebagai berikut.

The Lord of The Rings (kompilasi)
(1216 hlm) = US$ 13.00
Thermodynamics: An Engineering Approach
(1016 hlm) = US$ 67.87

A History of God (paperback)
(496 hlm) = US$ 11.56
Quantum Mechanics for Scientists and Engineers
(574 hlm) = US$ 70.65

Saya pikir ada yang salah di sini. Buku yang tebalnya mirip harganya bisa berbeda begitu jauh. Kalau yang non-akademis bisa untung dengan harga belasan dolar, bagaimana mungkin yang textbook mesti dihargai 5-6 kali lipat?

Di satu sisi, saya tahu bahwa membuat buku itu tidak mudah — untuk melakukannya perlu resource, waktu, dan energi. Pembuatnya harus dihargai. Meskipun begitu ini tidak menjelaskan keheranan saya mengapa harganya sampai semahal itu. Setiap semester di seluruh dunia, mahasiswa selalu membutuhkan buku baru. Pasar mereka stabil. Saya rasa tidak ada alasan memahalkan buku teks sampai 5-6 kali lipat yang lain.

Bisa dibilang inilah awal mulanya saya merasa kecewa dengan model bisnis yang terkait “jualan ilmu”. Ilmu pengetahuan harusnya tak diambil untung. Saya percaya bahwa semua orang punya hak untuk belajar dan jadi pintar. Bagaimana pula orang diasumsikan hidup zaman sekarang kalau tidak pintar? ๐Ÿ˜

Adapun kemajuan umat manusia dipengaruhi oleh keberhasilan sains dan teknologi. Jika buku adalah jendela ilmu, maka kesempatan membaca harus dibuka selebar-lebarnya. Setidaknya begitulah pendapat saya.

 

The Joy of Learning and The Power of Knowledge

 

Waktu saya kecil dulu, orangtua saya sering membelikan buku bertema IPA. Topiknya macam-macam: ada yang tentang tata surya, dinosaurus, hingga fisika dan ilmu bumi. Galibnya buku anak sudah tentu bahasanya sederhana dan dilengkapi banyak gambar. Meskipun begitu justru itu yang membuat pikiran kecil saya jadi terdorong.

Barangkali bisa dibilang di situlah awal mula ketertarikan saya pada bidang sains. Saya ingat salah satu buku yang di dalamnya ada percobaan listrik statis: sisir digosok-gosokkan pada kain, kemudian didekatkan pada serpihan kertas. Kertas itu berloncatan, persis seperti disebut di buku! Saya pikir itu menakjubkan. ๐Ÿ™‚ Ilmu fisika menunjukkan bagaimana hal yang tidak disangka bisa terjadi. Saya yang waktu itu masih SD amat terkesan melihatnya.

Sudah belasan tahun berlalu sejak orangtua saya membelikan anak-anaknya berbagai macam buku tersebut. Meskipun begitu pengaruhnya masih terasa sampai sekarang: buku-buku itulah yang membuat kami jadi suka membaca dan belajar. Selalu ada yang baru tiap kali kami membuka buku dan belajar darinya.

Entah itu berupa nama dinosaurus, lapisan kulit bumi, atau sistem tata surya. It’s just fascinating. Kadang-kadang ada eksperimen yang bisa dilakukan sendiri. Semakin banyak membaca, kami jadi semakin paham tentang jalannya alam semesta. Oh, ternyata begini. Oh, ternyata begitu. Oh ternyata bumi itu bulat…

Banyak hal menarik yang bisa didapat lewat membaca buku. Saya pikir semua orang harus mencobanya. Atau paling tidak, harus diberi kesempatan mencoba. Jangan sampai orang tak pernah mengalami hanya gara-gara tak punya kesempatan.

Adapun yang di atas itu baru di bidang IPA. Bagaimana dengan di bidang lain? Geografi, Kita bisa belajar tentang lokasi-lokasi negara dan hasil buminya. Sejarah, kita bisa belajar tentang perjalanan peradaban manusia. Filsafat, kita bisa belajar tentang ide-ide yang membentuk dunia…

…dan seterusnya. Saya rasa Anda paham maksud saya. Ilmu pengetahuan itu menarik. Dengan pengetahuan kita memandang dunia; melebarkan cakrawala. Dan dari situ, siapa yang tahu?

Barangkali kelak muncul calon ilmuwan, dokter, dan insinyur dari situ. Saya suka membayangkan, apa jadinya jika Newton dan Einstein tidak pernah berkenalan dengan matematika. Akankah mereka tetap jadi jenius yang mengubah dunia? Mungkin — tapi jelas bukan sebagai ahli fisika kelas wahid.

Saya pikir ini alasan bagus kenapa kita harus memberikan akses pengetahuan seluas-luasnya ke masyarakat. Boleh jadi saat ini ada calon jenius yang sedang menunggu di desa terpencil di kaki gunung…

***

Di masa SD dulu, saya pernah menonton sebuah serial fiksi ilmiah berjudul Spellbinder (review di [sini]). Ini serial buatan Australia yang dulu tayang di ANTV tahun 1990-an.

Spellbinder bercerita tentang sekelompok bangsawan yang mempunyai teknologi canggih tapi merahasiakannya dari masyarakat. Mereka mempunyai pesawat tenaga koil, komunikasi radio, dan sebagainya — sementara masyarakat sekitarnya hidup bertani di desa. Dengan teknologi itu mereka mengesani pada masyarakat bahwa mereka adalah dewa: bisa terbang, bisa berkomunikasi jarak jauh, dan sebagainya. Mereka tinggal di istana sementara rakyat jelata tinggal di gubuk.

Akan tetapi kisahnya tidak berhenti sampai di situ. Dalam serial tersebut rakyat jelata disuruh bersujud dan membayar upeti pada para bangsawan. Jika tidak, maka mereka akan dihukum dengan kekuatan “sihir” (baca: teknologi).

Di sini saya ingin mengedepankan betapa dahsyatnya kekuatan ilmu. Sheer knowledge means sheer power. Ia bisa jadi pembeda antara yang makmur dan melarat, yang menindas dan tertindas.

Sama halnya dengan ketika di abad pertengahan orang belum mengerti ilmu kimia. Tidak ada pasta gigi, tidak ada sabun, shampoo, dan sebagainya. Sekarang? Boro-boro mandi tak pakai sabun. Gosok gigi cuma sekali sehari saja sering dianggap kurang! :mrgreen:

 

Mengapa Harus Menyebarkan Ilmu?

 

Sebagaimana sudah diuraikan panjang-lebar di atas, saya adalah orang yang sangat mendukung persebaran ilmu pengetahuan seluas-luasnya di masyarakat. Alasan filosofisnya ada tiga:

Pertama, manusia pada hakikatnya makhluk yang berpikir. Semua orang punya hak untuk belajar dan jadi pintar — termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan ilmu seluas-luasnya.

Kedua, ilmu pengetahuan berpotensi jadi sarana perwujudan kesejahteraan masyarakat. Tidak selayaknya masyarakat dihalang-halangi dari ilmu krusial seperti kedokteran, insinyur, dan sebagainya. (I’m looking at you, textbook publishers)

Ketiga, ilmu pengetahuan itu bukan hak milik, melainkan sekadar penemuan. Kalkulus tetap kalkulus tak peduli penemunya Leibniz atau Newton. Seperti yang saya uraikan di posting blog tempo hari, kebenaran itu cuma ada satu. Tidak usahlah diperebutkan jadi milik siapa. ๐Ÿ˜›

Saya pikir tiga poin di atas cukup jelas. Ketika saya bilang bahwa “ilmu pengetahuan harusnya tak diambil untung”, sebenarnya alasannya seperti di atas. (ada juga beberapa yang tersirat dari paragraf-paragraf sebelumnya, tapi sebaiknya tidak diuraikan lagi di sini)

Oleh karena itulah, saya tidak habis pikir dengan kasus “jualan buku” yang disebut di awal tulisan. Bagaimana bisa buku sains/ilmu pengetahuan dijual sebegitu mahalnya. Mengulang pertanyaan di awal tadi: saya tahu, membuat buku itu tidak mudah. Pembuatnya harus dihargai. Tapi masa sih sampai segitunya? ๐Ÿ˜

 

The Case For Free Culture

 

Sebagaimana bisa dilihat, saya cenderung tidak setuju pada harga buku yang terlalu mahal. Alasannya sederhana: buku yang terlalu mahal akan sulit terjangkau. Masyarakat akan semakin terpisah dari ilmu. Pada akhirnya persebaran ilmu jadi terhambat. Sementara ini bertentangan dengan filosofi saya di atas.

Masalahnya, masyarakat umum (termasuk saya) hampir tidak punya kuasa untuk memurahkan harga buku. Semua di tangan pihak penerbit. Lalu bagaimana solusinya?

Sejujurnya, saya bisa dibilang relatif bersimpati pada Free Culture Movement. Perlahan tapi pasti sekelompok orang (sebagian besar akademisi) mulai paham akan problem persebaran ilmu ini. Seiring dengan tumbuh-kembangnya internet mereka mulai menyebarkan ilmu yang mereka miliki — walaupun tentunya tidak sedetail kalau dituangkan lewat buku. The experts have talked back, so to say. Dan saya pikir ini tren yang menggembirakan.

Saya pribadi amat terkesan pada situs-situs yang, kalau boleh dibilang, merupakan “gudang ilmu”. Misalnya Wikipedia, MIT OpenCourseWare, Stanford Encyclopedia of Philosophy. Juga pada para ilmuwan/profesor yang bersedia berbagi ilmu lewat blog: Pak Rovicky, Greg Laden, Yann Klimentidis, Philosophical Disquisitions, Bu Mathildathe list goes on and on. Di tengah-tengah kesibukan mereka masih menyempatkan diri mem-publish blog terkait bidang kerjanya. Sedikit banyak menjembatani pengetahuan mereka ke masyarakat, saya rasa usaha mereka layak dikagumi.

Di sisi lain, masalah textbook belum ter-cover sepenuhnya (walaupun ada upaya ke arah situ). Well, maybe in the future? We shall see…

***

Bagaimanapun, terlepas dari statusnya yang masih baby step, persebaran ilmu lewat internet menunjukkan tren yang positif. Saya pribadi berharap bahwa suatu hari nanti kita akan punya perpustakaan besar di internet, di mana isinya open textbook berkualitas. Kelak jika anak (atau cucu) saya kuliah dan hendak mencari buku, ia bisa browsing dan mengunduhnya secara legal. Tempat di mana ilmu bisa didapat dengan mudah, gratis, dan terstandarisasi secara akademik… I may be daydreaming, though. But to be honest it sounds tempting! :mrgreen:

 

Epilog: Berdiri Di Atas Pundak Raksasa

 

Bicara tentang ini, saya jadi ingat lagi pada kisah yang dialami oleh Bapak Isaac Newton. Suatu ketika beliau pernah ditanya tentang pencapaiannya yang luar biasa. Bagaimana sih, kok bisa menemukan hukum yang hebat?

Ditanya begitu beliau menjawab:

“Jika saya bisa melihat lebih jauh daripada orang lain, itu karena saya berdiri di atas pundak raksasa.”

Sebenarnya ini adalah metafora. Maksud sebenarnya adalah: Newton menemukan hukumnya karena berlandas pada hasil penelitian ilmuwan lain (e.g. astronom Johannes Kepler dan Galileo Galilei). Tanpa hasil kerja mereka belum tentu ia akan sukses.

Sekarang kita bayangkan diri kita sebagai orang kerdil di dunia ilmu. Jelas, kita tidak bisa dibandingkan dengan Newton dan kawan-kawannya. Meskipun begitu orang kerdil sekalipun bisa melihat lebih jauh kalau berdiri di tempat yang tinggi. Contohnya tentu saja gampang.

Misalnya saya; saya tidak lebih jago daripada Newton. Tapi di kuliah saya belajar Fisika Kuantum. Newton tidak pernah belajar Fisika Kuantum. Jadi saya lebih hebat! Kan begitu? :mrgreen:

*dilempar sandal*

*bletaaaakk*

Ahem. Kembali serius. (=3=)

Saya pribadi membayangkan bahwa, kelak, jika proyek open textbook dan free culture berhasil, kita yang kerdil ini bukan saja dapat berdiri di atas bahu raksasa. Saya pikir kita akan berdiri di atas gunung! ๐Ÿ˜ฏ ‘Gunung’ ini adalah sebuah perpustakaan besar di mana karya dari kampus-kampus ternama terangkum di dalamnya. Mulai dari MIT, Harvard, Berkeley; Sorbonne, TU Delft, Universitas Munich; dan seterusnya. Boleh jadi sekalian dilengkapi catatan kuliah dari Profesor terkenal. Semua dapat diunduh dengan gratis, bebas dikopi dan diperbanyak.

Saya pikir ini bukan tidak mungkin terjadi. ๐Ÿ˜• Agak terlalu mengawang, ya — tapi bukan berarti mustahil.

Sebab, menurut Bapak Robert Goddard:

“It is difficult to say what is impossible, for the dream of yesterday is the hope of today and the reality of tomorrow.”

Jadi, mari kita bermimpi… ๐Ÿ˜†

*lho kapan bangunnya*

Read Full Post »

Sekitar tahun 1972, Bapak Stephen Hawking sempat berseteru dengan sesama ilmuwan Jacob Bekenstein. Ini masanya ketika ilmu kosmologi masih amat muda dan belum banyak dipahami orang. Waktu itu Hawking masih berumur 30, dan belum menyempurnakan teori Big Bang — sementara Bekenstein adalah asisten profesor berumur 25 tahun. Pemicu keributannya adalah diskusi mengenai lubang hitam.

 

debate

diskusi yang menyedot perhatian massa™

 

Tentunya menarik kalau kita langsung membahas apa yang membuat kisruh di antara mereka. Meskipun begitu, sebelum sampai ke sana, ada baiknya kita bicara dulu tentang “lubang hitam” yang jadi masalah. ๐Ÿ™‚

 

Lubang Hitam. Apa itu Lubang Hitam?

 

Lubang hitam (alias black hole) adalah sebuah obyek kosmologi. Dinamai seperti itu karena ia memiliki gravitasi maha dahsyat — berkas cahaya sekalipun, jika lewat terlalu dekat, akan disedot langsung olehnya.

 

black hole simulation

simulasi komputer penampakan lubang hitam (image courtesy of wikipedia)

 
Nah, gravitasi lubang hitam ini disebabkan oleh massa yang luar biasa besar. Di SMA kita pernah belajar tentang gravitasi Newton: makin besar massa, makin besar gaya tariknya. Lubang hitam juga mengikuti prinsip tersebut (walaupun detailnya agak berbeda). Para ilmuwan memperkirakan bahwa lubang hitam umumnya bermassa antara 3 hingga 10 kali matahari — ini adalah angka yang sangat besar.

Sebagai gambaran, percepatan gravitasi kita sehari-hari (9.8 m/s2) diakibatkan oleh massa bumi sebesar:

 

mbumi = 5.9742 ร— 1024 kilogram

 

Di sisi lain, massa bumi adalah sekitar sepersejuta dari massa matahari. Massa matahari adalah sebesar:

 

mmatahari = 1.98892 ร— 1030 kilogram

 

Jadi bisa kita bayangkan dahsyatnya gaya tarik yang dihasilkan lubang hitam. Puluhan juta kali gravitasi di bumi! ๐Ÿ˜ฎ

***

Singkatnya, bisa dibilang bahwa lubang hitam memiliki gravitasi yang luar biasa. Jika ada benda lewat terlalu dekat, maka benda itu akan jatuh tersedot ke dalamnya. Tak peduli apakah dia punya massa (komet, planet, dsb.) atau tidak bermassa (e.g. berkas cahaya). Semua tunduk pada aturan yang digariskan Relativitas Umum.

Tidak ada yang bisa lolos darinya, tapi… benarkah demikian?

 

Debat Dua Ilmuwan: Hawking vs. Bekenstein

 

Sekarang kita kembali pada dua ilmuwan yang disebut di awal. ๐Ÿ˜‰

Sekitar tahun 1972, para ilmuwan masih meraba-raba tentang fenomena lubang hitam. Waktu itu mayoritas sepakat bahwa lubang hitam tidak bisa dideteksi secara langsung. Sederhana saja: apanya yang dideteksi, wong tidak ada yang keluar. :mrgreen: Jikapun ada sinyal radio dari dalam lubang hitam, dipastikan akan tersedot kembali ke dalamnya.

Anggapan waktu itu adalah bahwa lubang hitam bersifat seperti vacuum cleaner. Benda bisa masuk, tapi tak bisa keluar.

Nah, dengan asumsi di atas, Hawking merumuskan sebuah hukum lubang hitam. Menurut Hawking,

“Tidak mungkin ada lubang hitam yang mengecil. Ukuran lubang hitam cuma bisa tetap atau bertambah besar.”

Bekenstein mendengar rumusan Hawking di atas. Meskipun begitu, ia tidak sekadar mengamini — melainkan membuat teori baru darinya.

“Hukum temuan Hawking menunjukkan paralel dengan termodinamika klasik. Saya mengajukan ide bahwa lubang hitam memiliki entropi. Entropi ini diwakili oleh luas permukaan Hawking.”

Di sinilah perseteruan antara Hawking dan Bekenstein dimulai. Menurut Hawking, Bekenstein telah berbuat ngaco: kalau suatu benda punya entropi, pastilah ada suhu/radiasi yang dipancarkan. Sementara lubang hitam harusnya tidak begitu.

Di sisi lain, Bekenstein kukuh: setiap benda material mempunyai entropi. Kalau lubang hitam menyerap benda material, maka sudah pasti entropinya bertambah. Tidak mungkin lubang hitam menyalahi hukum termodinamika. Berarti Hawking yang salah! ๐Ÿ˜ฎ

***

Singkat cerita, dua ilmuwan ini kemudian terlibat perang pena. Selama bertahun-tahun Hawking mencoba menjatuhkan argumen Bekenstein. Menarik kalau diperhatikan bahwa, di masa sekarang, kita melihat nama Hawking amat terkenal, sedangkan Bekenstein tidak.

Pembaca mungkin mengira bahwa Hawking menang mudah — tapi ceritanya tak sesederhana itu.

 

The Bittersweet Irony

 

Di tahun 1974, Hawking mengadakan seminar tentang teori lubang hitam temuannya. Dalam seminar ia mengumumkan ide yang kelak jadi pijakan dunia kosmologi: Radiasi Hawking. Teori ini dipuji-puji karena menyatukan mekanika kuantum, relativitas umum, dan termodinamika dalam satu framework.

Banyak yang menilai bahwa ini karya ilmiah terbesar temuan Hawking. Meskipun begitu, tahukah pembaca apa yang ironis?

Teori Radiasi Hawking ternyata memakai ide Bekenstein.

Iya, betul. Orang yang didebat habis-habisan oleh Hawking ternyata justru jadi pilar karya besarnya. Bekenstein benar bahwa lubang hitam mempunyai entropi, tunduk pada termodinamika, dan sebagainya. Dia cuma lupa satu hal:

Benda yang punya entropi harus punya suhu atau memancarkan radiasi

Hawking-lah yang menyempurnakan kecacatan itu. Teori Radiasi Hawking menyatakan bahwa lubang hitam mempunyai entropi, mempunyai suhu, dan memancarkan radiasi. Persis seperti kata Bekenstein. Hanya lebih sempurna.

Bekenstein sial karena dia berada di jalan yang benar tapi tidak menangkap detailnya. Hawking beruntung karena — sembari mendebat Bekenstein — ia melihat kemungkinan baru dan menganalisis detailnya. Barangkali kalau tak ada Bekenstein, Hawking takkan sesukses itu. Siapa yang tahu? ๐Ÿ˜‰

Mengutip Hawking dalam bukunya sendiri, “A Brief History of Time”:

“I must admit that in writing this paper I was motivated partly by irritation with Bekenstein, who, I felt, had misused my discovery of the increase of the area of the event horizon. However, it turned out in the end that he was basically correct, though in a manner he had certainly not expected. […] the more I thought about it, the more it seemed that the approximations really ought to hold.”

Adapun di masa kini kalangan ilmiah mengakui jasa Bekenstein. Teori Radiasi Hawking sering disebut Teori Bekenstein-Hawking untuk menghormatinya. Toh ini tidak mengubah kenyataan. Amatlah ironis bahwa Hawking terpaksa menerima ide Bekenstein yang dia hujat, menyempurnakannya, dan jadi besar karena itu.

 

The One Truth

 

Bicara tentang ini, tahu tidak, saya jadi pada ingat pada apa? Saya jadi ingat pada Shinichi Kudo. ๐Ÿ˜†

Iya, Shinichi Kudo yang itu. Tokoh detektif SMA di komik Detektif Conan. Ada satu ucapannya yang memorable yang — kalau saya tidak salah ingat — disampaikan di komik nomor 10. Waktu itu ia mendapat tantangan dari sesama detektif Heiji Hattori.

“Dalam penyelidikan, tidak ada menang atau kalah. Sebab kebenaran cuma ada satu.”

Dan memang begitulah adanya. Di atas segala perbedaan pendapat, kebenaran itu berdiri sendiri. Kebenaran cuma ada satu — tidak terpengaruh oleh mereka yang mendebatkannya! ๐Ÿ™‚ Contohnya sudah kita lihat lewat ilustrasi dua ilmuwan di atas.

Ketika Hawking mendebat Bekenstein habis-habisan, itu tidak mengubah kenyataan bahwa Bekenstein berkata benar. Justru pada akhirnya Hawking harus menerima “kebenaran” Bekenstein. Adapun dengan berbuat begitu, Hawking membuka babak baru di dunia kosmologi.

Saya tertarik mengamati dua orang ini dalam konteks menang-kalah secara akademis. Siapakah yang menang? Siapakah yang kalah? Susah untuk dipastikan, sebab masing-masing punya kontribusi. Tetapi, sebagaimana diindikasikan lewat kutipan: sesungguhnya tak ada yang menang atau kalah. Perkara seperti pencapaian akademis dan sebagainya itu semu belaka.

Nyatanya Bekenstein dan Hawking sama-sama mengejar kebenaran. Kebenaran yang cuma ada satu. Dan mereka berdua sampai di sana dengan saling bantu… biarpun mungkin tanpa disadari. Di sini kita lihat bahwa kontribusi mereka saling terikat, academic achievements be damned.

***

Jadi, setelah berpanjang-panjang sampai sini, inti cerita di atas adalah…

…apa ya? Sebenarnya cuma mau cerita saja sih. ๐Ÿ˜† Saya rasa pembaca bisa menarik pesan moralnya sendiri-sendiri. Bagaimanapun kisah ini sudah menarik kalau dijabarkan begitu saja, jadi yah begitulah. ๐Ÿ˜›

Saya pribadi terkesan dengan sikap legowo yang ditunjukkan oleh Hawking. Dengan mengakui kebenaran Bekenstein, ia berhasil merumuskan karyatama di dunia ilmiah. Bagaimana jika Hawking berkeras menolak Bekenstein? Boleh jadi dia takkan menemukan Teori Radiasinya tersebut. Kemajuan dunia kosmologi barangkali akan terhambat bertahun-tahun. Tapi bukan itu yang kita bahas di sini.

Often times, there is wisdom inside the humble pie…

 

 

——

Bacaan Lebih Lanjut:

  • A Brief History of Stephen Hawking ~ New Scientist (link)
  • Stephen Hawking: “A Brief History of Time” (1988) (buku)
  • J.P. McEvoy & Oscar Zarate: “Introducing Stephen Hawking” (2005) (buku)

Read Full Post »

Santai tapi Serius

Guru matematika saya waktu SD dulu, seorang ibu guru, pernah mencetuskan suatu kalimat di depan kelas. Waktu itu suasana kelas sedang agak ramai — barangkali bisa dibilang berisik. Saya sendiri lupa persisnya seperti apa, soalnya itu sudah belasan tahun lalu (ya iyalah :mrgreen: ). Meskipun begitu saya ingat beliau mengumumkan seperti berikut ini di depan kelas.

“Anak-anak, kalau mau ngobrol jangan sekarang. Kita ini santai tapi serius, bukannya serius tapi santai. Kalau serius tapi santai, itu nggak serius.”

Dulunya saya bingung, apa bedanya antara “santai tapi serius” dan “serius tapi santai”. Toh dua-duanya sama-sama mengandung kata “serius” dan “santai”. Kenapa pula yang satu dibilang “nggak serius” sama Bu Guru? ๐Ÿ˜•

Belakangan saya paham bahwa “Sersan” (serius tapi santai) adalah acara lawak di Radio Prambors era ’80-an. Mungkin maksud beliau, tidak bisa disamakan dengan Sersan Prambors… santai tapi serius, bukan berarti jadi melawak. :mrgreen: Mungkin begitu maksudnya. Yah, entahlah — saya juga kurang tahu. Wong zaman segitu saya belum lahir. ๐Ÿ˜†

***

Begitupun, terlepas dari permainan istilahnya, ucapan Bu Guru di atas terus terngiang di benak saya. “Santai tapi serius”. Beliau tidak ingin anak-anak didiknya jadi terlalu serius dan pendiam. Meskipun begitu, beliau juga tidak ingin kalau jadinya malah terlalu santai dan ribut. Jadi harus ada keseimbangan di situ… begitu yang saya tangkap dari ucapan di atas.

Waktu itu saya belajar dari Ibu Guru tentang tambah-kurang kali-bagi. Meskipun begitu, bertahun-tahun kemudian ketika saya belajar jadi insinyur — dengan segala matematikanya yang lebih abstrak — ucapan tersebut adalah ajaran beliau yang paling profound. Buat apa saya habis-habisan jadi nerd, menyeriusi ilmu pengetahuan, kalau akhirnya tidak bisa santai? Sementara di sisi lain, justru hidup itu (bagusnya) kombinasi antara serius dan santai! ๐Ÿ™‚

Kenapa bisa begitu? Coba kita bayangkan.

Dulu saya kuliah dari pagi sampai sore, mengutak-atik integral, mekanika fluida, dan sebagainya. Pulang-pulang mengurus tugas, dan besoknya kembali lagi. Tiap hari seperti itu, what gives? Keseriusan itu datang beruntun sampai tidak bisa dinikmati. Kesannya kok seperti robot saja. Barangkali saya bisa bertahan karena masih bisa online, jalan-jalan, dan download berbagai macam hiburan.

Contoh yang lebih mendetail, ambillah ilustrasi sebagai berikut.

Misalnya saya peneliti di bidang material. Bersama dosen saya, saya melakukan penelitian mengenai doping berbasis nanoteknologi. Setiap hari nongkrong di lab, melakukan analisis dan sebagainya. Pulang membaca jurnal, tidurnya dini hari. Kehidupan pribadi tersita. Meskipun begitu penelitian itu berbuah manis.

Setelah beberapa waktu, saya dan dosen saya menemukan metode doping yang efektif. Akhirnya kami membuat paper. Kemudian teknologi ini dimanfaatkan oleh industri — memudahkan hidup banyak orang — dan saya jadi berjasa lewat penemuan itu.

Tapi, seperti pertanyaan sebelumnya: What gives? Kehidupan pribadi saya tersita selama berminggu-minggu. Makan tak enak, tidur tak nyenyak (karena memikirkan riset). Barangkali tidak sempat main bola atau pergi ke mall. Karena terlalu serius, saya mengorbankan kesantaian. Pada akhirnya hidup jadi kosong dan hampa. Atau, kalau boleh dibilang, garing.

Di sini kita lihat bahwa “terlalu serius” membuat saya kehilangan sisi yang lebih manusiawi. Sehari-hari berhadapan dengan komputer, jurnal, dan sebagainya, barangkali saya sudah lupa cara mengenali body language. Barangkali teman-teman sekitar bakal dongkol karena saya tak mempan disindir, jadi cuek, dan lain sebagainya.

Sama halnya dengan semua bidang lain. Saya ambil contoh riset material karena itu bidang yang saya akrab, tapi, coba bayangkan kalau pekerjaannya lain. Mungkin programmer, arsitek, atau pemain bola. Demi mengejar profesi kita jadi terlalu serius dan lupa bersantai. Akibatnya kita jadi cuek dan kurang bersahabat. Kasar-kasarnya, jadi “kurang manusiawi” — kalau itu frase yang tepat.

 
Bicara soal ini, saya jadi ingat lagi pada ucapan Pak Arsene Wenger. Beliau pelatih bola tim favorit saya yang, kebetulan, rada hobi melempar quote filosofis.

“Any man who concentrates his energies totally on one passion is, by definition, someone who hurts the people close to him.”

[sumber]

Terlalu serius itu tidak baik. Bukan saja kita jadi tumpul dan monoton, kita juga menyakiti orang-orang di sekitar kita. Padahal belum tentu niatnya seperti itu.

Di sini saya ingin menekankan bahwa, sebagaimana disampaikan oleh Bu Guru Matematika di awal tadi, yang baik adalah “santai tapi serius”. Santai karena kita memang punya hak untuk itu. Serius, karena kita perlu untuk memajukan diri. Tidak bisa cuma berfokus ke salah satunya dan melupakan yang lain.

***

Dalam salah satu posting blog tempo hari (berjudul 15 Books that Define Me), saya menyebutkan salah satu buku yang jadi inspirasi saya. Buku tersebut adalah autobiografi Richard Feynman — almarhum fisikawan yang juga peraih Nobel.

 

cover

 

Mengapa buku ini berkesan? Well, simple: karena Feynman adalah perwujudan semangat “santai tapi serius” yang sudah disebut. :mrgreen:

Feynman adalah seorang jenius. S1 di MIT, pascasarjana di Princeton. Kesehariannya berkutat dengan fisika. Tetapi apakah dia orang yang nerd? Oh, tidak. Justru dia sosok yang santai abis. Dia hobi mengisengi rekan sejawat, ikut belajar melukis, juga pernah tiga hari tidak tidur keliling Las Vegas. Akan tetapi dia serius ketika tiba waktunya. Dengan penelitiannya dia berkontribusi di dunia fisika… malah sampai mendapat hadiah Nobel. Prestasi yang tidak ringan kalau menurut saya.

Di sini kita melihat bahwa keseriusan Feynman dibarengi dengan kesantaiannya menjalani hidup. Santai tapi serius. Dan saya pikir, memang itu yang kita butuhkan. Menyeimbangkan antara sisi manusiawi dan keseriusan kerja. Jangan sampai kita terjebak jadi robot di dunia yang makin instan.

Sebagaimana diindikasikan jauh di atas tadi, terlalu serius itu berpotensi jadi destruktif. Baik terhadap kita sendiri maupun pada orang lain.

On related note, kan memang banyak masalah kita di dunia terjadi karena orang-orangnya terlalu serius? :mrgreen: Bom bunuh diri terjadi karena pelakunya terlalu serius memegang ajaran agama (sampai kelewatan). Sentimen “ganyang Malaysia!” karena kita terlalu serius pada nasionalisme. Bukan berarti agama dan nasionalisme itu jelek, sih. Sah-sah saja, cuma mbok ya jangan sampai kebablasan.

Mengutip kalimat legendaris Joker di film The Dark Knight, yang sekarang terasa basi saking seringnya diulang-ulang

“Why so serious?”

***

Jadi, singkat cerita…

Selamat hari Selasa kisanak. Sudahkah Anda bersikap santai selama ini? ๐Ÿ™‚

 

——

Terkait:

Read Full Post »

Catatan: Jadi, ceritanya saya sedang ngobrol dengan geddoe dan mas gentole di post tentang migrasi tempo hari. Ada satu poin menarik yang muncul di situ, dan saya pikir tak ada salahnya diangkat jadi tulisan tersendiri. ๐Ÿ˜‰

 

Waktu kecil dulu, saya suka nonton serial Sesame Street. Ada yang ingat serial ini? Dulu sempat tayang sore-sore di RCTI, dan menampilkan sosok-sosok boneka lucu seperti Big Bird, Grover, dan Cookie Monster. ๐Ÿ™‚

 

Sesame Street cast crew

Para punggawa Sesame Street generasi baru (2009). Acara ini sudah berjalan selama 40 tahun di negeri asalnya.

[image courtesy of Muppet Wiki]

 

Waktu itu eranya tahun 1990-an. Belum lama sejak TV swasta boleh mengudara di Indonesia — dimulai oleh RCTI, kemudian SCTV, kemudian TPI dan kawan-kawannya. Ini masanya ketika saya usia TK dan SD, jadi bisa dibilang saya tumbuh besar bersama program mereka.

To be fair, though, kadang-kadang saya nonton TVRI juga — soalnya dulu ada Voltron dan ThunderCats di sana. ๐Ÿ˜› Tapi bukan itu yang hendak dibahas di sini.

Nah, yang hendak saya bahas di sini terkait dengan “hobi” nonton TV zaman dulu. Ada apa dengan itu, nah, ini ada ceritanya lagi.

 

Nostalgia dulu…

 

Sekitar masa SD, saluran televisi favorit saya adalah RCTI. Banyak film-film bagus ditayangkan di sana: mulai dari Airwolf, MacGyver, hingga yang legendaris seperti Ksatria Baja Hitam. Kalau yang bermuatan edukasi, Sesame Street; yang bergenre kartun, Doraemon. Hampir semua teman saya nonton acara-acara tersebut. Entah itu di sekolah, di rumah, ataupun pas main ke rumah sebelah, yang dibicarakan adalah:

+ “Nonton Airwolf nggak kemarin?”
+ “MacGyver bersambung, hampir kalah sama Morgana.”
+ “Motor Road Sector, jreng-jreng…”

(dan seterusnya)

Kasar-kasarnya, kalau nggak nonton TV, nggak gaul. ๐Ÿ˜› Entah produk Jepang atau Amerika, asalkan menarik, maka bakal jadi bahan gosip di kelas. Bagi kami Kotaro Minami sama kerennya dengan MacGyver. Kalau belalang tempur adalah motor super, maka Airwolf adalah helikopter jagoan. Voltron sama kerennya dengan Patlabor…

…dan seterusnya. Kalau ada di antara pembaca yang seumur saya, pastilah paham apa yang dimaksud. :mrgreen:

***

Tentu, yang saya sebutkan di atas itu produk zaman dulu. Generasi kelahiran ’90-an barangkali tidak tahu tentang KBH dan Airwolf. Meskipun begitu mereka punya ikon generasinya sendiri.

Seorang sepupu saya, yang sekarang masih SMA, tumbuh besar bersama Kapten Tsubasa. Anaknya mbak yang kerja di rumah saya, dulu hobi nonton Teletubbies. Jika dulu generasi saya punya idola, maka begitu pula dengan mereka. Entah bentuknya berupa Naruto, Sasuke, Aang, atau Ben 10 — asalkan sosoknya admirable, maka bisa jadi pujaan. Perkara asalnya dari Negeri Paman Sam atau Matahari Terbit… itu urusan belakangan.

Di sini saya ingin menekankan satu hal: anak-anak zaman sekarang tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dikelilingi budaya banyak negeri jauh lebih intens daripada kakek-neneknya. Ambillah drama seperti Pendekar Rajawali (Tiongkok), Full House (Korea), hingga One Litre of Tears (Jepang), semua siap mampir di televisi ruang tamu.

 

The Internet Revolution

 

Menariknya, walaupun di satu sisi saya menilai televisi sebagai agen budaya, saya tidak menganggapnya sebagai yang paling dahsyat. Gelar untuk ini jatuh pada media yang baru muncul belakangan, yakni internet. Dengan internet orang bisa berselancar ke tempat-tempat yang jauh — mendalami pikiran yang berbeda, juga budaya yang berbeda.

Barangkali lebih mudah kalau dijelaskan lewat contoh. Selama kisruh Iran kemarin, saya dapat berita dari Twitter dan Fark. Kalau sedang santai saya bisa berkunjung ke blog bu guru Amerika yang tinggal di Turki; kalau tidak, warga Saudi yang rada liberal. Saya bisa membaca jurnal keseharian sopir taksi di Singapura. Ada juga blog berita tentang Jepang, dan lain sebagainya.

Ingin belajar lewat internet? Itu juga bisa. Tinggal buka wikipedia, search google, atau tanya di Yahoo! Answers. E-book bisa diunduh, anime bisa ditonton. Siaran dan iklan mancanegara bisa diakses di YouTube. This being internet, kita bisa saling mengobrol, mengomentari, bahkan menertawakan kejadian di tempat jauh.

Seolah-olah, jarak dilipat saja oleh koneksi HTTP. Menurut saya ini hal yang hebat! ๐Ÿ˜€

Tentunya harus diingat bahwa, galibnya kemajuan teknologi, internet juga punya sisi negatif. Ada banyak kasus untuk ini. Toh ini tidak mengubah kenyataan. Sebagaimana sudah disebut, internet adalah jendela penghubung yang luar biasa antara warga dunia.

 

The Culture Salad

 

Bicara soal ini, saya jadi ingat lagi pada diskusi yang kemarin. Mas gentole bercerita di salah satu komentar,

[K]emarin sempat ikut seminar dan beli buku barunya Yudi Latif yang judulnya menyemai kebangsaan atau apa gitu. Debatnya seru. Kebanyakan orang tua sih. Nah di sini menariknya.

Kalo saya baca postnya sora dan juga melihat kecenderungan lambrtz, geddoe dan dnial untuk menjadi nationless dan stateless itu, sepertinya ada gap yang sangat besar antara dua generasi.

 
*) dengan perubahan seperlunya

Saya pikir tidak ada yang aneh dengan itu. Mengapa generasi zaman sekarang kok lebih suka persahabatan lintas batas dan humanisme universal, alih-alih nasionalistik? Well, simply put: itu karena mereka sejak kecil meng-embrace budaya banyak negeri! :mrgreen:

Coba kita kilas balik. Zaman dulu, kakek dan nenek kita harus mengantri untuk bisa nonton gambar idoep. Televisi belum ada. Film yang masuk juga jumlahnya terbatas. Hal yang sama masih berlanjut sampai (barangkali) era Ayah dan Ibu saya. Sekarang? Bukan saja produk Hollywood yang masuk sini, film Jepang, Korea, Taiwan juga ada. ๐Ÿ™‚ Belum lagi kalau punya TV kabel atau parabola. Makin lengkaplah pilihannya.

Sementara, zaman sekarang kita punya internet. Saya bisa dapat perkembangan berita di Iran; bisa tahu kabar-kabar terbaru di Jepang. Ingin belajar filsuf Prancis, Jerman, Yunani kuno? Tinggal download e-book. Separah-parahnya toh masih bisa google. Di sini kita lihat: betapa generasi sekarang punya banyak influence dalam membentuk identitas.

Saya tertarik menyebut fenomena ini sebagai culture salad. Dengan merembesnya pengaruh mancanegeri di Indonesia, maka kita jadi makin terbuka. Sekat “nasionalisme” tidak lagi dianggap sakral. Perbedaan kewarganegaraan bukan lagi sesuatu yang “wah”.

Iyalah. Apanya yang “wah” kalau saya bisa main ke blog Bu Mary atau Pak Mingjie sekali langkah. Sama-sama orang biasa, sama-sama blogger. Sama-sama punya keluarga dan kesulitan hidup juga. Lalu saya bertanya: apa bedanya saya dengan mereka? Tidak banyak, sungguh!

 
Saya rasa inilah sebabnya gagasan nasionalisme klasik, yang menjunjung tinggi “mesti Indonesia asli”, mulai kehilangan pamor. Justru sekarang ini zamannya multibudaya dan akulturasi. Komunikasi membuat kita paham bahwa tidak ada yang istimewa amat dari warga negara ini dan itu, budaya ini dan itu.

Kalau saya boleh menilai, negara dan budaya kita di bumi pada dasarnya seperti mosaik. Tak sama tapi serupa. Unik dengan caranya sendiri-sendiri. Sebagaimana dicerminkan generasi saya yang tidak membedakan antara Kotaro Minami, Yo Ko, dan MacGyver, maka begitulah saya memandang dunia.

Saya sendiri kurang tahu bagaimana orang lain, tapi, masa sih cuma saya yang berpikir begitu? :mrgreen:

 

Epilog: “Culture? What Culture?”

 

Jadi, inti dari tulisan ini adalah…

…pertanyaan yang jadi judul di atas. Culture? What culture? ๐Ÿ˜† Adakah kultur yang unik di dunia saat ini? Bisakah orang menggolongkan “nasionalisme” berdasarkan kesamaan budaya. Saya rasa, susah! :mrgreen:

Sebagaimana sudah saya uraikan di atas, dunia kita — bukan cuma Indonesia — sekarang sedang memasuki tahap culture salad. Budaya dari macam negeri masuk ke ruang tamu; kita olah dan kita saring. Lalu kita berakulturasi. Perlahan-lahan terbentuk budaya baru yang, kalau boleh disebut, blasteran.

Saya ambil contoh dari tulisan lama saya. Apa yang membuat remaja mesjid tertarik membumbui majalah dinding dengan ilustrasi anime? Kalau dilihat sekilas Jepang dan Islam tidak ada hubungannya, tapi kok jadi begitu? Saya pikir, jawabannya sederhana.

 

akulturasi

 
Dengan mengamati budaya negeri lain, kita mengambil apa yang dirasa bagus, dan mencampurnya dengan milik kita. Dari “bahan dasar” yang berbeda kita meracik culture salad, menghasilkan campuran baru yang unik.

Sama halnya dengan kisah anak-anak zaman internet di atas. Dari budaya yang berbeda, mereka mengambil apa yang dirasa cocok, lalu mengembangkan sintesis. Zaman sekarang tidak aneh jika ada anak yang berlatar keluarga muslim tapi paham Thomas Paine; tidak aneh kalau ada anak yang suka barang-barang Jepang sekaligus The Corrs dan Aerosmith; juga tidak aneh kalau ada yang suka anime sekaligus dengar Led Zeppelin! :mrgreen:

***

Di tulisan kemarin, saya menjelaskan bahwa manusia itu aslinya satu. Dulunya satu, dan sekarang sedang akan menyatu lagi. Waktu itu saya menampilkan Tiger Woods dan Barack Obama sebagai ilustrasi.

 

tiger woodsbarack obama

Dua bapak di atas, biarpun sekilas berkulit hitam, sebenarnya mewarisi genetik banyak ras.
Tiger Woods (kiri): keturunan Thai, Cina, Belanda, Afrika, Indian.
Barack Obama (kanan): keturunan Kenya-Amerika, ibu berdarah Inggris.

 
Sekarang, di akhir tulisan ini, kita sama-sama menyadari: bukan saja ras-ras yang kembali menyatu, budaya pun juga ikut menyatu! ๐Ÿ˜ฏ Jika persatuan ras mewujud dalam bentuk anak-anak multiras, maka, di masa kini, persatuan budaya mewujud dalam bentuk culture salad. Perubahan ini digawangi oleh televisi dan internet.

Saya pribadi berpendapat bahwa konstruksi “identitas budaya”, pada akhirnya, akan bernasib sama dengan “identitas ras”. Bakal melebur, hilang batasnya. Menjadi budaya baru yang sifatnya campursari — sebagaimana anak-anak yang multiras menandakan hilangnya batas suku.

Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia “cuma beda di luar saja”. Biar kulitnya berbeda, kewarganegaraannya beda, warisan budayanya beda, tidak ada alasan untuk mengelompokkan manusia. Saya bilang: pergi sajalah jauh-jauh itu “nasionalisme”, “tribalisme”, “rasisme”, dan sebagainya. Karena kita ini sebenarnya sedang saling menyatu: baik secara lokasi, genetik maupun budaya. Lebih baik mencari persamaan daripada perbedaan, kan begitu? ๐Ÿ˜€

Akhir kata, saya ingin berpesan: ingatlah bahwa apa yang kita anggap ‘berbeda’ belum tentu aslinya seperti yang diributkan. Sebagaimana sudah dijelaskan, manusia adalah kawanan yang satu. Dulunya satu, kemudian berpencar, dan kini sedang menyatu lagi. Jangan sampai kita justru terjebak dan mengotakkannya secara sembrono. ๐Ÿ˜‰

Read Full Post »

Pembaca, pernahkah Anda membayangkan tentang manusia pertama? Sosoknya saya serahkan pada Anda. Jika Anda religius, boleh membayangkan Nabi Adam; jika tidak religius, boleh membayangkannya dalam konteks single origin hypothesis.

Sudah? Sekarang, bayangkan manusia pertama tersebut berkembang biak. Beranak-cucu, hingga punya banyak keturunan. Hingga kemudian terbentuk sebuah keluarga besar “manusia purba”.

Dan kisah ini pun dimulai…

 

I. Migrasi

 

Pertama-tama, mari kita bayangkan keluarga besar yang sudah disebut. Selama ini keluarga besar manusia tinggal di sepetak tanah. Benua Afrika yang subur adalah tempat mereka tinggal — semua kebutuhan terpenuhi di situ. Jika ingin makan daging, mereka berburu; jika tidak, mereka memetik buah dan daun. Kehidupan masih sederhana dan belum ada struktur sosial.

Meskipun begitu, seiring waktu, keluarga besar tersebut mulai membengkak. Anak-beranak, generasi ke generasi, hingga akhirnya jumlahnya jadi besar. Afrika yang tadinya makmur tak lagi cukup menampung mereka. Ibaratnya, makanan hanya untuk 10 orang, tapi populasi sekarang 50 orang. Maka mereka pun memutuskan mencari tanah baru.

Sedikit demi sedikit mereka pun berjalan…

 

out-of-africa

(image courtesy of University of Texas)

 
Keluar dari Afrika. Menuju tempat-tempat baru yang sebelumnya asing — hingga akhirnya mendarat di berbagai pelosok bumi.

 

to the world

(image courtesy of San Diego State University)

 

Sebagian memilih Eropa, sebagian lagi jalan terus sampai Asia. Sebagian lagi menyabung resiko menyeberangi Selat Bering; menjadi nenek moyang bangsa Aztec dan Inca. Adapun sebagian kecil mencoba berperahu melewati Samudra Hindia dan Pasifik.

Dari satu titik di benua Afrika, mereka menyebar mencari tanah-tanah baru. Perjalanan ini berlangsung selama puluhan ribu tahun.

 

II. Adaptasi

 

Syahdan, keluarga besar manusia sekarang tersebar di muka bumi. Ada yang memiliki tanah di Amerika; ada yang di Eropa dan India. Perlahan-lahan mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Yang tinggal di Eropa mendapat cuaca dingin dan sedikit matahari. Tubuh mereka pun beradaptasi: kulit yang tadinya gelap kini menjadi terang. Warna mata berganti menjadi cerah. Lingkungan yang tak bersahabat menuntut kerja keras… menghasilkan badan yang tinggi dan besar.

Yang tinggal di Asia Tengah mendapat lebih banyak matahari, tetapi tanahnya berdebu dan bergurun. Perlahan-lahan mereka mengembangkan bentuk mata sipit dan kulit coklat. Berkembanglah cikal-bakal ras mongol yang sekarang kita kenal.

Yang tinggal dekat khatulistiwa memiliki sinar matahari sepanjang tahun. Cuaca basah dan tanahnya subur. Tidak perlu berburu, apalagi bekerja menaklukkan alam seperti saudaranya di Eropa — maka berkembanglah ras yang badannya kecil-lincah dan berkulit cokelat.

Sedangkan yang tinggal di Afrika tetap dengan ciri-cirinya sejak awal. Berbadan kuat dan besar sebagai pemburu, berkulit gelap menangkal matahari. Mata dan rambut mereka hitam oleh pigmen penangkal ultraviolet. Maka demikianlah ras Afrika yang kita kenal sekarang.

Tentunya ada banyak ras lain yang belum disebut. Meskipun begitu, empat contoh di atas harusnya cukup jelas untuk mengilustrasikan konsep “ras” dan asal-usulnya — saya yakin Anda paham apa yang saya maksud. ๐Ÿ˜‰

 

III. Reuni

 

Nah, setelah ribuan tahun terpisah, ras-ras manusia ini kemudian bertemu kembali. Dunia kita ini memang aneh — semua yang tadinya berpencar, kemudian bertemu lagi pada akhirnya. ๐Ÿ˜€ Air laut naik jadi air hujan, jatuhnya ke bumi lagi. Biji padi disemai di sawah, akhirnya masuk ke lumbung. Demikian juga umat manusia yang beragam ras di atas.

Berkat kemajuan transportasi, sekarang tidak sulit bagi kita bertemu orang di benua lain. Tinggal naik pesawat atau kapal laut, maka jadilah. Malah bukan saja kita bertemu — kalau mau, menikah dengan orang ras lain pun tidak masalah! ๐Ÿ™‚

Inilah yang disebut sebagai gene flow dalam konteks biologi. Orang-orang dengan genetik yang berbeda, dari tempat yang berbeda, bisa bertemu dan berkumpul di satu tempat. Mengutip peribahasa: “Asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga”. Contohnya ada banyak di sekitar kita.

Tidak percaya? Coba saya tanya. Sepanjang hidup Anda di Indonesia, ada berapa banyak kenalan yang berdarah Arab? Tionghoa? Indo? Berani taruhan — pasti lebih dari satu! :mrgreen:

Adapun itu baru di Indonesia. Di Amerika Serikat, negara yang terkenal membuka diri pada imigran, terdapat populasi kulit putih, kulit hitam, Asia, Inuit, dan Hispanik. Jadi mungkin bisa dibilang: umat manusia yang tadinya terkotak-kotak oleh ras, kini sedang merapat kembali dan bersatu dalam belanga.

 

IV. Multiras: Melampaui Batas Suku

 

Sebagaimana sudah disebut, di masa kini ras-ras yang berbeda — hasil adaptasi dan evolusi ribuan tahun — mulai bertemu kembali. Orang-orang dari tempat yang jauh saling berinteraksi; beberapa malah sampai menikah dan berketurunan. Otomatis, ini berarti munculnya satu genre identitas baru: identitas multiras.

Atau, kalau boleh dibilang, anak-anak yang lahir dari perkawinan beda suku. Di Indonesia kita menyebutnya “blasteran”.

Saat ini fenomena multiras adalah hal yang umum. Paman saya, orang Jawa, menikah dengan wanita Batak dan mendapat seorang anak. Teman ngobrol saya waktu kuliah berdarah Arab. Cinta pertama saya gadis Indo-Padang, dan lain sebagainya. Pada akhirnya ini menunjukkan satu hal: identitas kita bukan lagi tunggal dan terkotak. Melainkan campursari antara budaya sini, budaya situ, genetik sini dan genetik situ.

Barangkali lebih mudah jika ditunjukkan lewat nama. Dulu selebriti kita punya nama “Indonesia” seperti Roekiah dan Raden Mochtar. Sekarang kita punya Rianti Cartwright, Indra Bruggman, Farah Quinn. Di Kanada ada David Suzuki; di Prancis ada Patrick Vieira; di Jerman ada Mehmet Scholl. Masih banyak contoh lain yang takkan muat disebut di sini.

Poin saya adalah, pada akhirnya, kita — sebagai manusia — mulai kembali “menyatu” setelah terpisah jarak. Baik itu jarak genetik, jarak budaya, dan jarak sejarah. Kehadiran mereka yang multiras adalah buktinya.

Betapapun di luarnya kita terlihat berbeda, sebenarnya kita datang dari tempat yang sama. Dari padang-padang yang jauh di Afrika, kita mengembara, terpisah, dan akhirnya bercampur lagi. Asia bercampur Eropa, Indian bercampur Eropa, Asia bercampur Afrika… dan lain sebagainya.

Boleh jadi di masa depan umat manusia semuanya ras campursari. Mungkin seperti Tiger Woods dan Obama? Siapa yang tahu? ๐Ÿ˜‰

 

tiger woodsbarack obama

Dua bapak di atas, biarpun sekilas berkulit hitam, sebenarnya mewarisi genetik banyak ras.
Tiger Woods (kiri): keturunan Thai, Cina, Belanda, Afrika, Indian.
Barack Obama (kanan): keturunan Kenya-Amerika, ibu berdarah Inggris.

 

V. Unity in Diversity

 

Hari ini, ketika sedang menulis post ini, saya jadi ingat lagi pada pelajaran PPKn yang didapat waktu sekolah. Anak-anak biasanya bosan dengan pelajaran ini — sekadar mengulang hal biasa, tidak penting, dan lain sebagainya. Meskipun begitu ada satu poin yang diajarkan di sana, yang paling saya ingat sampai sekarang:

Jangan membeda-bedakan teman. Jangan berbuat kesukuan. Jangan mengungkit SARA. Ingat Bhinneka Tunggal Ika: biarpun berbeda-beda tetapi satu jua.

Now how true that statement holds! Bukan saja kita berbeda-beda tapi satu, kita memang satu dari sananya. Berasal dari tempat yang sama di Afrika, kita kemudian berpencar — dan sekarang menuju untuk bersatu lagi. Hanya kepicikan dan rasa naif yang membuat kita mengingkarinya.

Sebagaimana sudah kita lihat bersama di atas. Semua bentuk kesukuan dan ras itu pada dasarnya hanya ilusi. Siapapun orangnya, tak peduli dia berdarah Melayu, Cina, Arab, Indian, Eropa, Eskimo — asalkan sesama manusia, maka dia adalah keluarga. And that’s all that matters.

***

Maka benarlah penulis masyhur H. G. Wells berkata, “Our true nationality is mankind.” Beliau bukan ilmuwan, apalagi ahli sejarah. Meninggalnya pun baru abad lalu. Meskipun begitu, saya pikir ucapan beliau mengilustrasikan sejarah panjang manusia dengan tepat.

Atau, kalau saya boleh mengadaptasinya di sini: We were one, are one, and will be one. In the end, our true nationality is mankind.

Anda setuju? ๐Ÿ˜‰

Read Full Post »

Selama beberapa tahun terakhir, saya bisa dibilang menjalani hidup yang “tipikal anak kost”. Kamar saya luasnya beberapa meter persegi; di rak ada beberapa buah buku. Baju dan celana panjang menumpuk di salah satu sisi. Tidak ada yang benar-benar luar biasa — kalau ada di antara pembaca yang pernah main ke kamar kos mahasiswa, pasti bisa membayangkan bentuknya seperti apa. :mrgreen:

Nah, yang hendak diceritakan di sini terkait dengan gaya hidup “anak kos” yang disebut di atas.

 

[IMG: instant coffees]

atas: berbagai kotak minuman instan yang ada di kamar saya. dari kiri ke kanan: vanilla latte, kopi 3-in-1, dan sereal bubuk

Sebagai anak kos, saya bisa dibilang akrab dengan minuman sachet. Mulai dari kopi instan, sereal, hingga bandrek dan teh tarik, semuanya pernah jadi persediaan di kamar saya. Yang tidak instan barangkali cuma coklat bubuk — saya suka minum coklat panas — paling tidak, saya masih harus menambahkan gula sendiri. Tapi itu bukan itu yang hendak dibahas di sini. ๐Ÿ˜›

Yang hendak saya bahas di sini adalah aspek sosial yang dicerminkan oleh kehadiran produk sachet tersebut. Seperti apa ceritanya, here goes.

 

Nilai Sebuah Kepraktisan

 

Salah satu aspek yang saya suka dari minuman sachet adalah kepraktisannya yang luar biasa. Mau “dipendam” di kamar, dibawa naik gunung, atau diringkas dalam tas untuk dibawa pergi, isinya relatif terjamin. Kasarnya, biar kena hujan dan badai sekalipun enggak bakal rusak. Adapun kalau hendak minum, tinggal tuang air panas—aduk sebentar—dan kemudian jadilah. Tidak ada lagi acara merebus daun teh selama setengah jam atau sebangsanya. Asalkan ada air panas dan pengaduk, maka semua beres.[1]

Di titik ini, minuman sachet memberikan kita kenyamanan yang belum pernah ada sebelumnya: memenuhi kebutuhan dalam waktu cepat. Ingin minum kopi, tinggal aduk. Ingin minum teh tarik, tinggal aduk. Malah yang seperti ini bukan cuma minuman. Kelaparan di tengah malam dan ingin makan mie? Tak usah repot, kan tinggal “hot water, please!”. :mrgreen:

Inilah yang disebut sosiolog George Ritzer sebagai salah satu ciri modernitas. Masyarakat yang modern, menurut Bapak Ritzer, adalah masyarakat yang mengutamakan efisiensi di segala hal. Mulai dari efisiensi waktu, efisiensi organisasi, hingga yang “kelas berat” seperti efisiensi pemerintahan. Dan perkara sepele seperti minum kopi tidak lepas dari pengaruhnya.

Ketika kita lapar, haus, atau sekadar ingin ngopi, maka itu bisa dilakukan dalam waktu cepat. Kita tidak lagi perlu keahlian meracik a la Mbok Jamu atau barista Starbucks. Cukup tuang, tambahkan air panas, dan aduk, maka jadilah. Malah saya ingat waktu jalan-jalan di Circle K tempo hari — di sana ada bubur ayam instan! ๐Ÿ˜ฏ Di sini kita lihat betapa dahsyatnya proses “instanisasi” itu berlangsung.

Singkat cerita, di dunia yang bergerak cepat, efisiensi menjadi hal penting. Demikian simpul Bapak Ritzer.

 

Instanisasi dan “McDonaldization”

 

Bicara zaman modern dan instanisasi, tentunya tak bisa tidak menyebut sebuah ikon terkenal. Apa lagi kalau bukan fast-food dan McDonalds? :mrgreen:

Bapak Ritzer, yang idenya saya pinjam untuk uraian di atas, punya pandangan menarik tentang restoran fast-food dan zaman modern. Menurut beliau waralaba tersebut mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat modern, yakni:

 
Efisiensi — makanan dihasilkan dan diantarkan secara cepat. Sejalan dengan keinginan kita untuk memenuhi kebutuhan secepatnya.

Prediktabilitas — kemungkinan munculnya yang tidak terduga, semisal makanan habis atau pegawai kosong, adalah minimal. Sejalan dengan keinginan kita hidup di dunia yang aman, terjamin, dan tidak neko-neko.

Kuantitas mengompensasi kualitas — tidak masalah apabila kualitas masakan sedikit rendah, yang penting produksi terjamin dan harga terjangkau. Sejalan dengan naluri kita memilih barang produksi massal, alih-alih limited edition yang (terlalu) mahal.

Teknologi menggantikan peran manusia — pekerjaan kasar diserahkan pada mesin/unit produksi (bukannya manusia). Sejalan dengan kehidupan modern di mana teknologi membuat hidup semakin nyaman.
 

Empat ciri modernitas ini kemudian disebut sebagai McDonaldization, mengambil nama perusahaan fast-food terbesar dan terkenal saat itu.[2] Menurut Pak Ritzer, McDonaldization adalah ciri khas kehidupan modern. Pengaruhnya amat luas — bukan saja di bidang makanan cepat saji, melainkan juga berbagai aspek lain dalam hidup kita.

 

The Other Side of McDonaldization

 

Di awal tadi, kita membahas tentang minuman sachet dan makanan instan. Pada dasarnya, kehadiran mereka tak lepas dari McDonaldization: produksi massal, modal teknologi, pasokan terjamin. Tambahkan konsep efisiensi yang juga sudah dibahas, maka lengkaplah empat “pilar” tersebut. Adapun ini baru salah satu contohnya — barangkali kalau kita bicara industri modern, hampir tidak ada yang tidak terembesi oleh spirit tersebut.

Kalau saya boleh menilai, jiwa zaman kita yang sekarang adalah jiwa modern ala fast-food. Kita selalu ingin mendapat barang yang cepat-saji, kuantitas berlimpah, dan seterusnya. Kita jadi tergantung pada teknologi. Kalau dilihat sekilas ini adalah hal yang bagus — tapi masalahnya bukan itu.

Masalahnya adalah ketika kita, tanpa sadar, menempatkan manusia sebagai obyek dari McDonaldisasi itu. Manusia ditempatkan dalam production line, “dicetak” sesuai kebutuhan dalam produksi massal. Pada akhirnya masyarakat sosial jadi persis seperti ayam goreng produksi McD: seragam, cepat saji, dan di mana-mana ada.

Anda yang pernah membaca keluhan saya tentang kampus di blog ini barangkali paham apa yang saya maksud. Sebagai orang yang dulunya menjalani kuliah sebagai calon insinyur, saya merasa bahwa kampus itu sekadar fast-track saja dalam menghasilkan lulusan. Sejak tingkat II teman-teman saya terbiasa berkata, “Kerja di Halliburton butuh IPK berapa ya?”, “Ingin ke Caltex,” dan seterusnya. Seolah-olah kampus itu seperti conveyor belt pabrik. Kita masukkan lulusan SMA, pergi ke ujung belt, dan di sana kita dapat insinyur. Tak jauh beda dengan kultur fast-food McD — ayam mentah, cemplung-cemplung, jadi.

Sedihnya, dunia ala fast-food itu tidak terbatas di pendidikan saja. Sekarang kita punya produksi massal idola cilik; kita punya produksi massal sinetron; kita punya produksi massal calon pemain bola di Inggris dan Spanyol sana. Masyarakat sekarang bukan saja sebagai penikmat hasil produksi — masyarakat sekarang adalah masyarakat yang turut menjadi bahan baku. Atau, meminjam ucapan Claudia Serena di komik Fantasista, “tak jauh beda dengan ternak.”

 

Deindividuasi – Hilangnya Sebuah Keunikan

 

Konon, kita hidup di zaman modern. Zaman yang identik dengan gerak cepat dan efisiensi. Perwujudannya diwakili oleh kultur fast-food dan minuman instan: kita ingin semuanya serba cepat. Pada akhirnya semangat ini merembes ke berbagai aspek sosial dalam hidup kita. Bukan saja kita ingin makan dan minum secara cepat, berbuat apapun kita ingin cepat. Lebih cepat, lebih baik.

Lantas, demi efisiensi, kita lari pada produksi massal. Mulai dari alat elektronik hingga botol kecap, semua ada industrinya. Bahkan sekarang kita punya “industri” insinyur, idola cilik, dan pemain bola! Saya pikir, dalam dua ratus tahun, Revolusi Industri telah drastis mengubah jalan hidup kita.

Tidak, saya tidak memasalahkan industri yang telah membuat kita maju sejauh ini. Saya tidak memasalahkan industri yang membuat saya bisa punya handphone, lampu neon, dan laptop. Yang saya masalahkan adalah semangat industri yang tidak bijak ketika bersangkutan dengan manusia. Tanpa sadar kita menerapkan McDonaldisasi di masyarakat — kita ingin menjadi efisien, tapi kita kehilangan jati diri.

Analoginya, kita tidak lagi peduli pada nilai keunikan seorang chef. Kita tidak perlu juru masak hebat di dapur McDonald’s. Resepnya sudah baku, bahan-bahannya sudah baku, kualitasnya juga terstandarisasi. Saya mungkin bisa masak Spaghetti Bolognaise kalau sedang di rumah, tetapi, di dapur McD, hal itu tidak berharga. Saya cuma harus masak makanan yang semua orang bisa: burger, ayam goreng, french friesyou name it.

Demi mengejar efisiensi, kita melebur dalam sistem dan melepas jati diri. Di sini produksi massal mengambil alih.

Semangat produksi massal inilah yang kemudian merasuk ke dalam berbagai aspek, terutama pendidikan. Alih-alih menyukai “manusia yang unik”, kita lebih suka mencemplungkan anak-anak ke dalam wahana produksi: produksi dokter, produksi insinyur, produksi idola cilik, dan lain sebagainya. Saya tidak bilang spesialisasi itu buruk — masalahnya, spesialisasi berlebihan membuat kita kehilangan ruang untuk jadi unik dan mengembangkan diri. Sebagaimana saya klaim di tulisan yang terdahulu,

[M]embuat kreativitas saya menumpul . . . Saya menghabiskan waktu sampai dini hari untuk mengerjakan laporan, tugas, dan sebangsanya yang terkait kuliah saya saja.

Sementara, di luar kelas, saya bisa belajar banyak tentang bahasa Jepang, sastra klasik, teori evolusi, filsafat etika, teknik photoshop, kritik sosial, dan lain sebagainya. Di samping juga menggambar dan bikin komik jika sedang ingin.

Ada banyak waktu dan energi yang harusnya bisa dipakai untuk hal-hal lain โ€” tetapi, di sini, saya seolah harus fokus pada target akademik saja.

 

Epilog: Secangkir Kopi di Pagi Hari

 

Pagi ini, seperti biasa, saya minum kopi instan persediaan di kamar saya. Rasanya lumayan enak, tapi generik. Kalau tidak ada bungkusnya barangkali saya tak bisa membedakan: apakah itu Indocafe atau Nescafe 3-in-1? Lha wong dua-duanya sama-sama campuran kopi, gula dan krimer. ๐Ÿ˜†

Lalu saya pikir, barangkali itu juga yang sedang terjadi di tengah-tengah kita. Toh kalau berkunjung ke dokter saya juga tidak tahu dokternya lulusan mana. Boleh jadi lulusan UI, UGM, atau malah swasta seperti Trisakti dan UKI. Yang membedakan barangkali cuma kepribadian dan sejarah hidupnya saja[3]. Mungkin begitu juga dengan para insinyur, ilmuwan, dan tokoh-tokoh profesional lainnya di sekitar kita…

To their credit, though, mereka punya kualitas yang bisa diandalkan. Barangkali seperti ayam goreng McD — tidak unik, di mana-mana ada, tapi selalu bisa bikin kenyang. Paling tidak mereka berkontribusi positif di masyarakat. Paling tidak, mereka membantu memenuhi kebutuhan masyarakat…

Sama halnya dengan ketika saya harus begadang dan membeli kopi instan di warung. Sisi positif dari industrialisasi. Setidaknya, sesuatu tidak sia-sia. ๐Ÿ˜‰

 

 

——

 
Catatan:

 
[1] ^ Gara-gara ini, saya sempat pangling waktu pulang liburan dan mendapati ibu saya merebus daun teh. Saking terbiasanya dengan instan, saya jadi lupa pada cara masak yang tradisional. ๐Ÿ˜†

 
[2] ^ Sebenarnya ini penamaan yang kontroversial, mengingat penyebutan nama “McDonald’s” berkonotasi pada zaman modern yang ruthless dan kapitalistik. Meskipun begitu harus dicatat bahwa Ritzer memakai istilah ini secara ilustratif — bukan hanya melingkupi McDonald’s tapi juga fast-food chain pada umumnya.

 
[3] ^ Terkait dengan ini, seorang dokter kenalan saya pernah bilang: “Dokter di mana-mana itu sama, sama-sama harus menyelamatkan orang. Nggak ada pasien yang pilih-pilih dokter lulusan UI, UNAIR atau UGM.” ๐Ÿ˜†

Read Full Post »

Sekali waktu ketika masih sekolah, seorang teman saya ditanya oleh Bapak Guru dari suku mana dia berasal. Saya sendiri waktu itu sedang rada melamun — waktu itu pelajaran sejarah, yang kebetulan saya kurang tertarik. Meskipun begitu saya ingat dia menjawab, “Padang”.

Technically, harusnya dia menjawab “Minang” — tapi itu bisa kita kesampingkan untuk saat ini.

Saya pikir ada yang aneh dengan klaimnya waktu itu. Sejak pertama kali mengenal dia, belasan tahun lalu, saya langsung ngeh bahwa matanya berwarna coklat. Hidungnya rada mancung, dan kulitnya relatif pucat untuk ukuran Asia. Kalaupun ada yang mencerminkan bahwa dia “orang Padang”, maka itu adalah jilbab yang dia pakai sejak SD dan kefasihannya baca Qur’an. Paling tidak itu sejalan dengan semboyan orang Padang yang saya tahu: “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah”.

Belakangan saya paham bahwa dia berdarah Indo. Barangkali dia dapat warisan itu sejak zaman penjajahan, makanya dia bisa dengan yakin berkata “Padang” ketika ditanya. Meskipun begitu — at risk of repeating myself — bukan itu yang hendak dibahas di sini.

***

Ada pertanyaan yang mengusik saya tiap kali menatap matanya yang coklat itu. Sebenarnya nenek moyangmu orang mana? Dari negeri yang jauh sampai kemudian tiba di SumBar, dan sekarang kamu di tanah Jawa? Portugis? Belanda? Atau barangkali dia bukan penjajah. Barangkali sekadar petualang Eropa serabutan macam Jean Marais

Bagi saya, dia adalah sosok yang menarik. Bukan karena dia cantik, melainkan karena dia membawa rasa penasaran saya ke tempat yang jauh: kapal-kapal pedagang, penjelajah, berlayar atas perintah bangsawan Eropa. Perjalanan sekian tahun menuju Malaka. Perjalanan membawa genetik Eropa dari tanah asalnya menuju kepulauan di Khatulistiwa…

Selalu ada yang unik setiap kali saya menatap matanya yang coklat itu. Dan setiap kali pula, saya selalu terkagum: betapa jauhnya manusia bisa berjalan, betapa kerasnya manusia bisa berupaya. Dari kincir-kincir angin di Belanda sampai lembah dan ngarai di Sumatra Barat, hingga akhirnya berhenti dan menetap di Pulau Jawa. Selalu ada yang spesial setiap kali saya memikirkannya.

Bayangkan, saya berkata ke diri sendiri. Bayangkan jauhnya.

Saya tahu, kehadiran bangsa Eropa mencapai Nusantara bukannya manis semata. Sebagaimana pelajaran PSPB memberi tahu saya di masa SD: banyak riwayat kelam yang menyertainya. Kolonialisme tidak indah. Meskipun begitu, sebagaimana saya tulis di atas, selalu ada yang spesial setiap kali saya memperhatikan teman yang disebut sebelumnya.

Bahwa di dekat saya ada seorang gadis, beragama Islam, berjilbab, dan relatif fasih membaca Qur’an, sementara nenek moyangnya mungkin petugas Zending missie beragama Protestan — dan bahwa dia lebih merasa sebagai “orang Padang”, alih-alih Belanda atau Portugis — membuat saya tertarik untuk merenung dan menuangkannya di sini dalam bentuk tulisan.

Bayangkan, saya berpikir. Bayangkan jauhnya.

Seandainya zaman penjelajahan tak pernah dimulai, maka dia takkan pernah lahir. Seandainya seorang pangeran Portugis tidak pernah memulai tradisi kelautan Eropa, kapal-kapal dagang VOC mungkin takkan singgah di Nusantara. Seandainya tidak ada kompas… seandainya tidak ada semboyan Gold, Gospel, Glory…

Hari ini, ketika saya sedang mengetikkan tulisan ini, saya kembali teringat padanya. Saya teringat pada matanya yang coklat, kulitnya yang pucat — kerudung yang dipakainya anatopis dengan raut wajahnya yang (sedikit) Eropa. Saya sudah lama tidak bertemu dengannya. Meskipun begitu, setelah melalui refleksi di atas, saya jadi sadar akan satu hal: She was indeed special.

Setiap kali saya menatapnya, saya membayangkan perjalanan yang ditempuh leluhurnya. Ribuan kilometer lewat laut, menantang badai. Mungkin juga sempat berperang/berselisih dengan penduduk lokal. Perjalanan panjang dan jauh. Dan saya bertanya, siapa yang memberinya bentuk mata dan warna kulit seperti itu.

Adakah leluhurnya dulu kelasi di kapal VOC? Atau barangkali bukan VOC. Barangkali dia naik kapal Portugis yang lebih dulu datang? Pertanyaan-pertanyaan macam ini terus berseliweran. Meskipun begitu saya pikir saya takkan pernah tahu.

Saya rasa, dia sendiri juga tidak tahu.

Kalaupun ada yang saya tahu, itu adalah bahwa leluhurnya telah jauh melangkah. Dari tanah yang asing di Eropa sana, terus mengarungi samudra, hingga akhirnya tiba di Sumatra Barat. Barangkali saya harus berterima kasih pada Pangeran Henry dari Portugal — sebab gara-gara dia abad penjelajahan Eropa dimulai, dan saya bisa merenungi perjalanan epic tersebut lewat kehadiran teman saya.

Walaupun, kalau boleh jujur, sebenarnya ada hal lain yang membuat saya berhutang budi pada pangeran tersebut. Tapi itu cerita lain untuk saat ini…

Read Full Post »

Older Posts »