Catatan: Jadi, ceritanya saya sedang ngobrol dengan geddoe dan mas gentole di post tentang migrasi tempo hari. Ada satu poin menarik yang muncul di situ, dan saya pikir tak ada salahnya diangkat jadi tulisan tersendiri. ๐
Waktu kecil dulu, saya suka nonton serial Sesame Street. Ada yang ingat serial ini? Dulu sempat tayang sore-sore di RCTI, dan menampilkan sosok-sosok boneka lucu seperti Big Bird, Grover, dan Cookie Monster. ๐
Para punggawa Sesame Street generasi baru (2009). Acara ini sudah berjalan selama 40 tahun di negeri asalnya.
[image courtesy of Muppet Wiki]
Waktu itu eranya tahun 1990-an. Belum lama sejak TV swasta boleh mengudara di Indonesia — dimulai oleh RCTI, kemudian SCTV, kemudian TPI dan kawan-kawannya. Ini masanya ketika saya usia TK dan SD, jadi bisa dibilang saya tumbuh besar bersama program mereka.
To be fair, though, kadang-kadang saya nonton TVRI juga — soalnya dulu ada Voltron dan ThunderCats di sana. ๐ Tapi bukan itu yang hendak dibahas di sini.
Nah, yang hendak saya bahas di sini terkait dengan “hobi” nonton TV zaman dulu. Ada apa dengan itu, nah, ini ada ceritanya lagi.
Nostalgia dulu…
Sekitar masa SD, saluran televisi favorit saya adalah RCTI. Banyak film-film bagus ditayangkan di sana: mulai dari Airwolf, MacGyver, hingga yang legendaris seperti Ksatria Baja Hitam. Kalau yang bermuatan edukasi, Sesame Street; yang bergenre kartun, Doraemon. Hampir semua teman saya nonton acara-acara tersebut. Entah itu di sekolah, di rumah, ataupun pas main ke rumah sebelah, yang dibicarakan adalah:
+ “Nonton Airwolf nggak kemarin?”
+ “MacGyver bersambung, hampir kalah sama Morgana.”
+ “Motor Road Sector, jreng-jreng…”(dan seterusnya)
Kasar-kasarnya, kalau nggak nonton TV, nggak gaul. ๐ Entah produk Jepang atau Amerika, asalkan menarik, maka bakal jadi bahan gosip di kelas. Bagi kami Kotaro Minami sama kerennya dengan MacGyver. Kalau belalang tempur adalah motor super, maka Airwolf adalah helikopter jagoan. Voltron sama kerennya dengan Patlabor…
…dan seterusnya. Kalau ada di antara pembaca yang seumur saya, pastilah paham apa yang dimaksud.
***
Tentu, yang saya sebutkan di atas itu produk zaman dulu. Generasi kelahiran ’90-an barangkali tidak tahu tentang KBH dan Airwolf. Meskipun begitu mereka punya ikon generasinya sendiri.
Seorang sepupu saya, yang sekarang masih SMA, tumbuh besar bersama Kapten Tsubasa. Anaknya mbak yang kerja di rumah saya, dulu hobi nonton Teletubbies. Jika dulu generasi saya punya idola, maka begitu pula dengan mereka. Entah bentuknya berupa Naruto, Sasuke, Aang, atau Ben 10 — asalkan sosoknya admirable, maka bisa jadi pujaan. Perkara asalnya dari Negeri Paman Sam atau Matahari Terbit… itu urusan belakangan.
Di sini saya ingin menekankan satu hal: anak-anak zaman sekarang tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dikelilingi budaya banyak negeri jauh lebih intens daripada kakek-neneknya. Ambillah drama seperti Pendekar Rajawali (Tiongkok), Full House (Korea), hingga One Litre of Tears (Jepang), semua siap mampir di televisi ruang tamu.
The Internet Revolution
Menariknya, walaupun di satu sisi saya menilai televisi sebagai agen budaya, saya tidak menganggapnya sebagai yang paling dahsyat. Gelar untuk ini jatuh pada media yang baru muncul belakangan, yakni internet. Dengan internet orang bisa berselancar ke tempat-tempat yang jauh — mendalami pikiran yang berbeda, juga budaya yang berbeda.
Barangkali lebih mudah kalau dijelaskan lewat contoh. Selama kisruh Iran kemarin, saya dapat berita dari Twitter dan Fark. Kalau sedang santai saya bisa berkunjung ke blog bu guru Amerika yang tinggal di Turki; kalau tidak, warga Saudi yang rada liberal. Saya bisa membaca jurnal keseharian sopir taksi di Singapura. Ada juga blog berita tentang Jepang, dan lain sebagainya.
Ingin belajar lewat internet? Itu juga bisa. Tinggal buka wikipedia, search google, atau tanya di Yahoo! Answers. E-book bisa diunduh, anime bisa ditonton. Siaran dan iklan mancanegara bisa diakses di YouTube. This being internet, kita bisa saling mengobrol, mengomentari, bahkan menertawakan kejadian di tempat jauh.
Seolah-olah, jarak dilipat saja oleh koneksi HTTP. Menurut saya ini hal yang hebat! ๐
Tentunya harus diingat bahwa, galibnya kemajuan teknologi, internet juga punya sisi negatif. Ada banyak kasus untuk ini. Toh ini tidak mengubah kenyataan. Sebagaimana sudah disebut, internet adalah jendela penghubung yang luar biasa antara warga dunia.
The Culture Salad
Bicara soal ini, saya jadi ingat lagi pada diskusi yang kemarin. Mas gentole bercerita di salah satu komentar,
[K]emarin sempat ikut seminar dan beli buku barunya Yudi Latif yang judulnya menyemai kebangsaan atau apa gitu. Debatnya seru. Kebanyakan orang tua sih. Nah di sini menariknya.
Kalo saya baca postnya sora dan juga melihat kecenderungan lambrtz, geddoe dan dnial untuk menjadi nationless dan stateless itu, sepertinya ada gap yang sangat besar antara dua generasi.
*) dengan perubahan seperlunya
Saya pikir tidak ada yang aneh dengan itu. Mengapa generasi zaman sekarang kok lebih suka persahabatan lintas batas dan humanisme universal, alih-alih nasionalistik? Well, simply put: itu karena mereka sejak kecil meng-embrace budaya banyak negeri!
Coba kita kilas balik. Zaman dulu, kakek dan nenek kita harus mengantri untuk bisa nonton gambar idoep. Televisi belum ada. Film yang masuk juga jumlahnya terbatas. Hal yang sama masih berlanjut sampai (barangkali) era Ayah dan Ibu saya. Sekarang? Bukan saja produk Hollywood yang masuk sini, film Jepang, Korea, Taiwan juga ada. ๐ Belum lagi kalau punya TV kabel atau parabola. Makin lengkaplah pilihannya.
Sementara, zaman sekarang kita punya internet. Saya bisa dapat perkembangan berita di Iran; bisa tahu kabar-kabar terbaru di Jepang. Ingin belajar filsuf Prancis, Jerman, Yunani kuno? Tinggal download e-book. Separah-parahnya toh masih bisa google. Di sini kita lihat: betapa generasi sekarang punya banyak influence dalam membentuk identitas.
Saya tertarik menyebut fenomena ini sebagai culture salad. Dengan merembesnya pengaruh mancanegeri di Indonesia, maka kita jadi makin terbuka. Sekat “nasionalisme” tidak lagi dianggap sakral. Perbedaan kewarganegaraan bukan lagi sesuatu yang “wah”.
Iyalah. Apanya yang “wah” kalau saya bisa main ke blog Bu Mary atau Pak Mingjie sekali langkah. Sama-sama orang biasa, sama-sama blogger. Sama-sama punya keluarga dan kesulitan hidup juga. Lalu saya bertanya: apa bedanya saya dengan mereka? Tidak banyak, sungguh!
Saya rasa inilah sebabnya gagasan nasionalisme klasik, yang menjunjung tinggi “mesti Indonesia asli”, mulai kehilangan pamor. Justru sekarang ini zamannya multibudaya dan akulturasi. Komunikasi membuat kita paham bahwa tidak ada yang istimewa amat dari warga negara ini dan itu, budaya ini dan itu.
Kalau saya boleh menilai, negara dan budaya kita di bumi pada dasarnya seperti mosaik. Tak sama tapi serupa. Unik dengan caranya sendiri-sendiri. Sebagaimana dicerminkan generasi saya yang tidak membedakan antara Kotaro Minami, Yo Ko, dan MacGyver, maka begitulah saya memandang dunia.
Saya sendiri kurang tahu bagaimana orang lain, tapi, masa sih cuma saya yang berpikir begitu?
Epilog: “Culture? What Culture?”
Jadi, inti dari tulisan ini adalah…
…pertanyaan yang jadi judul di atas. Culture? What culture? ๐ Adakah kultur yang unik di dunia saat ini? Bisakah orang menggolongkan “nasionalisme” berdasarkan kesamaan budaya. Saya rasa, susah!
Sebagaimana sudah saya uraikan di atas, dunia kita — bukan cuma Indonesia — sekarang sedang memasuki tahap culture salad. Budaya dari macam negeri masuk ke ruang tamu; kita olah dan kita saring. Lalu kita berakulturasi. Perlahan-lahan terbentuk budaya baru yang, kalau boleh disebut, blasteran.
Saya ambil contoh dari tulisan lama saya. Apa yang membuat remaja mesjid tertarik membumbui majalah dinding dengan ilustrasi anime? Kalau dilihat sekilas Jepang dan Islam tidak ada hubungannya, tapi kok jadi begitu? Saya pikir, jawabannya sederhana.
akulturasi
Dengan mengamati budaya negeri lain, kita mengambil apa yang dirasa bagus, dan mencampurnya dengan milik kita. Dari “bahan dasar” yang berbeda kita meracik culture salad, menghasilkan campuran baru yang unik.
Sama halnya dengan kisah anak-anak zaman internet di atas. Dari budaya yang berbeda, mereka mengambil apa yang dirasa cocok, lalu mengembangkan sintesis. Zaman sekarang tidak aneh jika ada anak yang berlatar keluarga muslim tapi paham Thomas Paine; tidak aneh kalau ada anak yang suka barang-barang Jepang sekaligus The Corrs dan Aerosmith; juga tidak aneh kalau ada yang suka anime sekaligus dengar Led Zeppelin!
***
Di tulisan kemarin, saya menjelaskan bahwa manusia itu aslinya satu. Dulunya satu, dan sekarang sedang akan menyatu lagi. Waktu itu saya menampilkan Tiger Woods dan Barack Obama sebagai ilustrasi.
Dua bapak di atas, biarpun sekilas berkulit hitam, sebenarnya mewarisi genetik banyak ras.
Tiger Woods (kiri): keturunan Thai, Cina, Belanda, Afrika, Indian.
Barack Obama (kanan): keturunan Kenya-Amerika, ibu berdarah Inggris.
Sekarang, di akhir tulisan ini, kita sama-sama menyadari: bukan saja ras-ras yang kembali menyatu, budaya pun juga ikut menyatu! ๐ฏ Jika persatuan ras mewujud dalam bentuk anak-anak multiras, maka, di masa kini, persatuan budaya mewujud dalam bentuk culture salad. Perubahan ini digawangi oleh televisi dan internet.
Saya pribadi berpendapat bahwa konstruksi “identitas budaya”, pada akhirnya, akan bernasib sama dengan “identitas ras”. Bakal melebur, hilang batasnya. Menjadi budaya baru yang sifatnya campursari — sebagaimana anak-anak yang multiras menandakan hilangnya batas suku.
Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia “cuma beda di luar saja”. Biar kulitnya berbeda, kewarganegaraannya beda, warisan budayanya beda, tidak ada alasan untuk mengelompokkan manusia. Saya bilang: pergi sajalah jauh-jauh itu “nasionalisme”, “tribalisme”, “rasisme”, dan sebagainya. Karena kita ini sebenarnya sedang saling menyatu: baik secara lokasi, genetik maupun budaya. Lebih baik mencari persamaan daripada perbedaan, kan begitu? ๐
Akhir kata, saya ingin berpesan: ingatlah bahwa apa yang kita anggap ‘berbeda’ belum tentu aslinya seperti yang diributkan. Sebagaimana sudah dijelaskan, manusia adalah kawanan yang satu. Dulunya satu, kemudian berpencar, dan kini sedang menyatu lagi. Jangan sampai kita justru terjebak dan mengotakkannya secara sembrono. ๐
Wah Led Zeppelin disebut!
Geddoe.
Sora.
…saya? ๐ *ge-er*
nasionalisme?
jadi para generasi ‘tua’ itu ga perlu khawatir ya, ketika generasi muda sedikiiit sekali yg tertarik belajar gamelan & seni2 tradisional indonesia (lbh tertarik mempelajari budaya jepang smp bon odori juga budaya korea). toh, bule2 amrik sampe cewe2 jepang berbondong2 dateng ke indonesia belajar nyinden, ndalang, dsb.
eh ada hubungannya ga, statement di atas dg postingan?
Apa salahku hingga kesebut? ๐
Culture as what?
Kalau aku sih tahu dan suka nonton wayang, paham cerita Mahabharata dan Ramayana, atau Punakawan yang merupakan tokoh lokal, mbaca novel Pram, mbaca cerita Majapahit dan kisah Gajahmada.
Selain itu tahu seperti apa idelismenya Captain America, pragmatisnya Iron Man, lucunya Monkey D. Luffy, sampai cerita mitologi Yunani dan Skandinavia, juga paha Arthurian Legend.
Eniwei, dengan belajar kebudayaan asing kita juga bisa menghargai kebudayaan sendiri.
Because, they know their culture and want to share it with me (or us), how I(or we) suppose to share culture if I don’t know my(or our) own?
@ Kgeddoe
Malah ngomentarin itunya. ๐
Anyway, biasalah. Mereka kan ikon kultur juga, jadi wajar kalau tercatut. ๐
/apasih
:::::
@ lambrtz
Itu cuma campur2 saja kok. ^^;;
:::::
@ restlessangel
Sebenarnya memang ada nyerempetnya ke situ. ๐ Soalnya kemarin mas gentole nanya, apa bedanya true nationality yang pakai sains sama berbasis kebudayaan. Ya saya bilang, budaya apa? Wong zaman internet gini budayanya campursari. ๐
Mengenai seni tradisional, IMHO yang penting “rasa memiliki”. Mau pribumi atau WNA, kalau merasa memiliki, pasti bakal memperjuangkan. Tinggal bagaimana kita mempromosikannya.
Euh… nggak OOT kok. ^^;;
:::::
@ dnial
Mbok ya ditanya ke yang punya komen, jangan ke saya.
Yup, seperti respon saya buat mbak memeth. Tinggal bagaimana “rasa memiliki” terhadap budaya ybs. Kalau sudah ada rasa memiliki, pemahaman & kesukaan akan datang sendiri. ๐
Rasa ingin berbagi bisa jadi pendorong yang ampuh IMO.
Uuh…jadi ngga perlulah itu ribut-ribut soal paten kebudayaan yang bikin 2 bangsa saling serang (di internet doank sih) ๐
ngomong-ngomong, jadi inget ini:
http://ngupingjakarta.blogspot.com/2010/02/kita-sudah-merdeka-lama-lho-kak.html
Seperti (lagi2) kata temen saya: “Dunia ini hanya selebar layar monitor.”
Yang penting gak bikin bom, lalu berniat mendirikan khilafah. ๐
kalo saya kok melihatnya anak jaman sekarang itu adalah anak yang kebingungan. kebingungan dalam artian mencerna dan melahap banyak budaya, bahkan mungkin tumbuh dalam budaya lain. Akhirnya mungkin berpikiran lebih terbuka pada pluralisme dan humanisme universal, tetapi di sisi lain, karena masih adanya sistem nation-state yang masih mempromosikan nilai nasionalistik, akhirnya si anak jadi keder sendiri. Mana dulu yang mesti didahulukan?
Kalau yang memang biasa ter-ekspos dengan internet, diskusi lintas budaya, mungkin bisa memutuskan humanisme universal, tapi kan banyak juga yang tidak dan berakhir dengan ribut-ribut soal batik atau reog ponorogo.
*eh, mudah2an saya masih nyambung* ๐
@ Felicia
*uhuk!*
Err… itu mah… ^^;;;
:::::
@ jensen99
Jadi ingat, dulu Bu Evy suka ngomong ini. ๐
*orangnya sekarang ga pernah ngeblog lagi* ๐ฆ
Jangan kuatir. Kalaupun ada yang macam itu, banyak anak WP & politikana yang siap tanggap. Gak usah dikomando juga jalan kok.:::::
@ Grace
Wah, poin yang menarik. Iya juga ya? ๐
*merenung*
Semacam yang di Facebook ituh?
Komennya mencerahkan kok. ๐
Mengingatkan saya akan cerita ketika Rabindranath Tagore berkomentar usai menonton berbagai sendratari di Yogya dan Bali, circa 1920-an, “Saya melihat India di mana saja, tapi saya tak mengenalnya” Bagi saya komentar Tagore itu memberi inspirasi bahwa para pendahulu kita tak pernah takut menerima dan mempelajari serta mengolah-ulang berbagai kebudayaan yang datang berkunjung dari kedelapan penjuru mata angin.
Saya malah pernah merasa tersesat di Internet..
Apalagi jaman awal-awal blogging dulu. Membaca tulisannya Wadehel yang kafir, Wak Somad yang anak pesantren tapi humanis, Ressay yang Syiah, Geddoe yang moody, Sora yang multikultur
Sumpah, saya bingung menempatkan diri..
Tapi akhirnya faham, ya memang begitu namanya dunia, muacem-muacem isinya..
Dan yang membuat saya faham adalah sebuah quote dari Shinosuke Nohara
Ah, akulturasi lagi, Shinchan kan dari Jepang??
eh, sora nonton one litre of tears???Mudah2an saya bisa menulis dan menanggapi dua post buatan Sora9n. Mudah-mudahan.
@grace
.
Terima kasih membantu mengutarakan beberapa poin dari pikiran yang mengganggu saya. Coba bandingkan tulisan Sora yang ini dengan gerakan IndonesiaUnite dan slogan pesta blogger yang kental sekali nuansa nasionalisme-nya. Bahkan politikana pun masih nasionalistik. Menurut saya ada masalah di sini, tetapi kita cenderung mengabaikannya saja. Padahal, ini bukan soal sepele di masa depan, sepuluh sampai seratus tahun lagi. Uraian Sora valid, tetapi apakah pilihannya hanya humanisme universal?
Yang di atas itu posisi Sora. Kamu gimana Grace?
@gentole :
Lha justru saya ini mau minta pencerahan e mas :-S
Saya ini termasuk salah satu anak jaman sekarang yang kebingungan itu. Tapi saya memang cenderung lebih ke arah humanisme sih. ๐ Simply put, nasionalisme saya timbul tenggelam, occasionally saja, buat saya selama tidak membuat rusuh dan benci bencian, jadi nasionalis sah-sah saja. Tapi ya itu, seringkali saya bingung, ini jadinya arahnya sebaiknya kemana?
Mengutip dosen saya,
“Ada clash besar yang terjadi antara rasa humanisme universal (dan rasa ingin meleburkan perbedaan antara negara) di masyarakat dengan sistem politik negara (dan elit) yang masih mempertahankan dan memegang kuat nation-state dan nasionalisme,”
dan ini alasan kenapa beliau skeptis dengan konsep ummah*jadi OOT* ๐*maaf lagi kalo komennya ngelantur dan ga nyambung* ๐
@ Oddworld
Kalau saya ingatnya justru ke “Wayang Islam” Sunan Kalijaga. ๐ Juga amalgam Islam-Hindu-Jawa yang menyertainya. Saya pikir mesjid beratap lancip dan kawan-kawannya itu hebat sekali — dua kultur yang bertolak belakang, baik secara ketuhanan, asal-usul, maupun ritual, bisa bergabung dengan selaras.
Betul, nenek moyang kita dulu “berani” mencampurkan budaya macam negeri yang datang ke sini. Saya pikir ada hubungannya dengan volume perdagangan/jalur laut yang lewat sini.
:::::
@ ManusiaSuper
Wah, masbro membuka kenangan lama.
Hehe, iya. Saya juga dulu sempat celingukan. Habis banyak betul influence yang bisa diambil di WP era 2007 itu. Waktu itu sempat berkaca ke para blogger yang relatif lebih dewasa: Bu Evy yang “ibu-ibu” banget; Mas Fertob (“hobi serius”), Kang Tajib (islam tradisional), Pak Urip (berjiwa pengajar). Kena “pengaruh” joesatch, bang Aip, dan geddoe juga. Tapi saya pikir akhirnya, ah sudahlah. Jadi diri sendiri saja. ๐
Walhasil beginilah jadinya…
Yup, yup. =3
Woo, ya tentu. Itu salah satu best-of-the-best drama Jepang, masa ga nonton. ๐:::::
@ gentole
Waduh, sampai mau ditanggapi secara khusus? ^^;; Terima kasih banyak, beneran saya jadi tersanjung. ^:)^
BTW masbro. Sekadar saran aja sih, tapi… mungkin ada baiknya jangan menganggap isu blogosphere terlalu serius. Dibawa santai saja. Ini toh bukan perang pena. Ga mesti ditanggapi dengan berkerut. ๐
Sekadar ilustrasi, dulu wadehel pernah dianalisis oleh seorang blogger yang bilang: “wadehel adalah perwujudan semangat postmodernisme!”. Tahu tidak dia bilang apa pas posting lagi?
Santailah, kita ini semangatnya main-main saja kok. ๐ Ga mesti silang-sengkarut dengan teks, -isme-isme, dan sebagainya. Kalau meminjam kalimatnya Joker: “Why so serious?” ๐
*gara-gara mansup jadi kebawa nostalgia* x(
* * *
BTW, mengenai isi komen…
IMHO, bisa dipandang seperti ini: Di kutub (ekstrim) pertama, ada nasionalisme sempit/fanatik. Di kutub (ekstrim) lain, ada humanisme universal. Tidak mesti berakhir di salah satunya. Bisa saja something in between.
Seperti saya bilang kemarin, saya ini libertarian. Saya pikir negara masih penting untuk mengurus ini-itu di masyarakat. Cuma jangan “terlalu diseriusi” lah. Masa sampai bikin sentimen ganyang-sini-ganyang-situ dsb.-nya. ๐
:::::
@ Grace
Astaga. Grace ngomong serius. Komennya smart pula. Sumpah, gue kaget. ๐ฏ
*urut dada*
Selama ini saya kira situ cuma adik ababil, menyegeje dan sok menderita. Ternyata bisa serius juga toh… ๐
*digebuk pakai pentungan ikan*
oke. so far saya adalah silent reader. tapi yg ini bikin saya gatel. dan keknya bakal panjang ๐
Mbak Grace:
well, mungkin saya bisa pake contoh diri saya sendiri. saya besar dan dekat dengan keluarga besar multi-religi, multi-ras dan ibu yang mau menjawab pertanyaan apa saja–saya ulangi, APA SAJA, tentang coitus interuptus sekalipun waktu saya kelas 3 SD. semua keanehan yang saya lihat, dengar dan rasakan (karena somehow apa yang orang lakukan dan kenakan berbeda dengan keluarga saya) selalu bikin kening saya berkerut. dan satu pertanyaan terjawab akan melahirkan rentetan pertanyaan lain. begitu komentar teman ibu saya yang dekat dari gadis hingga mereka sama-sama ibu-ibu.
satu hal yang saya ingat hingga sekarang: ibu saya nggak pernah berhenti belajar. menurutnya, orangtua harus lebih pintar dan cerdas dari anaknya biar anak nggak sungkan nanya. biar anak bakal merujuk orangtuanya duluan dan langsung nanya tanpa takut. dengan begitu, komunikasi antara ortu dan anak bakal lebih gampang. meskipun tidak gampang ‘ditundukkan’ ๐
terkait dengan entri ini, menurut saya akan jauh lebih baik untuk para ortu buat berpikiran terbuka selebar-lebarnya; nggak terkotak dengan karena-kamu-anak-maka-kamu-harus-nurut; nggak ngerasa karena-kami-idup-duluan-maka-kami-maha-tau. sorry to say, somehow ortu sering nggak ngerasa kalo anak ‘cuma kebetulan’ ada karena sel telur ibu kecepretan sperma si bapak. dan hasil cepret-cepretan itu bikin ortu ngerasa maha kuasa dan berhak atas idup si anak, dan karena itu semua nilai-nilai dan apapun yang diimani ortu maka harus diturutin si anak. hey! kami kan juga punya otak, panca indera, pilihan, dan kehidupan sendiri! dan yang kek gitu itu sering bikin anak keder.
in brief, sebenernya yang namanya budaya itu nggak prerogatif milik masyarakat yang bikin kok. saya setuju banget sama yang bilang kalo rasa memiliki itu bisa lahir dari mereka yang cinta sama hasil budayanya, macem bule-bule yang bela-belain belajar nembang dan ngedalang.
udin, gitu aja. makasiii ๐
[gokiiiilll… bisa bikin satu post ndiri ni!]
ps: kalo dirasa bahasa saya ga patut, saya rela kok dimasukkan kotak spam =P
@sora: lah saya dah lama gak nulis ini. Dan emang gak serius2 amat lah wong ini gak ada hubungannya dengan pekerjaan. Murni passion aja. Kayak diskusi yang dulu2. Ini saya lagi main sambil belajar dengan ngeblog, mikir sambil baca dan menulis. Tapi yah belum tentu juga saya sempat nulis. ๐ฆ
Lah
La
Kalau menurut saya, sehubungan dgn masalah budaya, sebaiknya sih nasionalisme tetap ada. Setidaknya dgn demikian kita tidak kehilangan jejak asal-usul kita dan menjaga kebudayaan masing-masing agar tidak punah. Akulturasi kebudayaan boleh saja tapi perbedaan adalah warna yg menghiasi dunia, kan?
IMHO, nasionalisme tidak salah, yg harus dibuang jauh-jauh itu fanatisme, chauvinisme, dan sejenisnya. ๐
*ditulis di atas bis yg sdg melaju menuju Bandung, mohon dikoreksi apabila typo*
*nulis sambil goyang2 gini pusing juga ya @.@*
@ Pitoe
Mau pegimane lage? Agama bilang begitu…
@ Bitch, the
Ini… mbak pito yang temannya Bang Aip bukan, ya? Saya beberapa kali lihat komen/link ke blognya di sana, tapi belum pernah berkunjung. Salam kenal mbak. ๐
Yup, setuju. ๐
:::::
@ gentole
Weleh, ternyata passion toh. ๐ Ya, mohon maaf kalau salah sangka. Habis kelihatannya masbro kok punya stake betul mengenai ini. Jadinya saya khawatir kalau-kalau ujungnya jadi serius + enggak friendly, begitu.
Cuma itu saja sih concern-nya. ๐
BTW, komennya terpotong? (o_0)”\
:::::
@ Felicia
Yaa, saya sih orangnya santai saja soal itu. Seperti reply ke mas gentole, posisi saya libertarian: negara itu penting untuk mengatur ini-itu di masyarakat. Sedikit-sedikit bagus, cuma jangan sampai overdosis. ^^
BTW, ke Bandung buat pulang kampung? Selamat berlibur kalau begitu. ๐
:::::
@ ManusiaSuper
Haiyah, tema sensitif dibawa-bawa.
@ Sora
Lah, agama kan hasil budaya…? *siyulsiyul*
@sora
Itu komen pake BB. Ribet.
Fiuh. Kok menulis
malessusah yak.Saya jadi teringat tulisan Goenawan Mohamad yang berjudul Nasionalisme.
Saya sebenarnya setuju dengan tesis bahwa penetrasi budaya pada akhirnya membuat batas-batas antar budaya itu menjadi tipis. Tetapi tidak terlalu setuju kalau akhirnya menuju pada satu budaya tunggal.
Logikanya sederhana, pencarian identitas adalah sesuatu yang tertanam dalam diri manusia, siapapun dia. Pada dasarnya setiap orang [dan juga masyarakat] ingin dianggap unik dan khas. Ada sesuatu yang membedakan dirinya dengan orang lain. Ada sesuatu yang membedakan suatu masyarakat dengan masyarakat lain. Dan salah satunya adalah budaya, dalam pengertian luas, menurut Koentjaraningrat.
Budaya, seperti nasionalisme dalam tulisan GM, menurut saya juga borderless. Tetapi jika nasionalisme bisa membuat kita membangun sekat-sekat dan tembok-tembok tinggi fanatisme disekeliling kita, maka budaya adalah kebalikannya. Budaya terlalu cair untuk dibentengi. Meskipun cair, budaya diperlukan dalam pencarian identitas seseorang.
Saya mengambil contoh saja budaya mudik. Pada akhirnya orang-orang akan berusaha mencari akar asal mulanya. Akar dimana dia memiliki suatu identitas tertentu, entah itu sebagai orang Jawa atau yang lain. Sebagai suku Jawa [sebagai contoh] dia bisa saja terpapar banyak sekali penetrasi budaya, tetapi akar mulanya yang menandakan identitas dirinya sebagai orang Jawa tidak akan pernah hilang.
Mungkin kita lebih senang disebut warga negara universal, tetapi di dasar batin kita, identitas sebagai suatu bagian budaya tertentu tidak bisa lepas begitu saja dan digantikan oleh budaya lain. Budaya tidak akan menyatu dan hilang meskipun Uni Eropa mendeklarasikan diri sebagai satu warga negara (UE). ๐ Dia hanya mengambil bentuk lain, menambahkan sesuatu pada apa yang sudah ada, atau menjadikan batas-batas antara identitas budaya menjadi tipis dan mudah dipenetrasi oleh yang lain.
Yah, mengapa harus mencari perbedaan jika bisa melihat persamaan? ๐ Seperti kata guru saya dulu, jika ada perbedaan maka pasti ada persamaan. Mungkin dasar yang dipakainya adalah persamaan dan pertidaksamaan dalam matematika. ๐
Tapi, jujur, tulisan ini bagus. Ntar lagi dilanjutin ya….
*clingak-clinguk*
*yang punya rumah belum datang*
*lanjut lagi aaahhhh…* ๐
Ras dan genetika memang pada dasarnya adalah terberi oleh alam. Sesuatu yang kita terima bahwa pada awalnya kita sama.
Tetapi budaya berbeda. Budaya adalah proses dan hasil pencarian ekspresi manusia. Apa yang dihasilkan oleh manusia sepanjang sejarah kehidupannya adalah budaya, dan output pencarian itu tidak pernah sama atau dengan kata lain sangat bergantung dari banyak aspek pemahaman manusia akan diri dan lingkungannya.
Diri mencakup kepercayaan, intelegensi, genetikanya, dan lain-lain. Lingkungan mencakup dimana mereka hidup, kapan mereka hidup, sampai aspek makrokosmos. Itulah yang membuat masyarakat pesisir sangat berbeda budayanya dengan masyarakat hutan atau pegunungan. Tetapi bukan berarti terisolasi dan tidak saling mempengaruhi.
Kembali ke jaman sekarang. Anak-anak yang tumbuh di jaman sekarang memang lebih sering terpenetrasi oleh budaya luar. Mereka lebih cocok disebut anak-anak multikultural. Atau generasi postmodernisme, atau generasi postkultural. Secara sadar atau tidak sadar generasi sekarang itu generasi MTV dan McD. ๐
Contoh lain misalnya adalah budaya Islam. What is Islamic Culture? Apakah budaya arab? Saya rasa tidak. Yang membentuk budaya Islam adalah umat Muslim di muka bumi ini yang tinggal di berbagai tempat dan membentuk pemahaman mereka sendiri tentang apa itu budaya Islam. Sangat beragam dan saling berpengaruh.
Satu pertanyaan sederhana, apakah budaya seperti budaya Islam ini bisa melebur dengan yang lain? ๐
*capek ngetik, ntar lagi dilanjutin…* ๐
Satu lagi, biar sekalian hetrik.
Itu makanya kalau saya suka bingung dengan terbentuknya negara berdasarkan ras/bangsa. Karena originalitas suatu ras sangat bisa diperdebatkan. Sama seperti Timor Leste yang akhirnya terbagi dalam 2 kubu yaitu Loro Sae dan Loro Monu. Siapakah mereka? Masyarakat yang pada dasarnya rasnya sama tetapi identitas budayanya berbeda. Yang satu teridentifikasi dengan Portugal dan yang satu dengan Indonesia [kasarnya begitulah].
Tetapi saya tidak pernah mendengar ada negara yang dibangun dengan dasar kesamaan budaya. Karena budaya terlalu cair untuk diberikan sekat dan dibentengi dengan identitas lain semisal nasionalisme atau negara.
*betul-betul capek nulis* ๐
@Sora :
*gebuk tongkol dulu*
Dasar tipikal kakak tukang bully, adiknya nyoba ngomong serius sedikit malah dihina dan disindiri, mau bikin self esteem saya turun, hah hah hah? (nottalking)
*halah*
@Bang Fertob :
Saya setuju bagian ini. Salah satu contoh yang sering saya lihat adalah berbagai macam bentuk dan aneka jenis jilbab dan baju wanita muslimah. Kebetulan kampus saya banyak mahasiswa dr berbagai negara, dan saya terbiasa terekspos dengan fashion style muslimah negara2 lain yang unik, dan lucunya, style ini kemudian mulai menyebar, membaur, orang Turki mulai menyukai abaya arab, mahasiswi indonesia berkerudung dengan gaya thailand, dsb.
Warna-warni ini indah buat saya, dan tidak ada yang bisa menyebut cara berpakaian negara A lebih islami daripada negara B.
Karena pakaian islami bukan cuma abaya hitam arab saja.
Para mahasiswi pengguna baju muslimah warna-warni ini berusaha untuk tetap mengikuti ajaran islam, dengan tetap menerima berbagai macam budaya disekitarnya yang masih cocok untuk mereka, dan ini seperti yang sora sebut di tulisan diatas dan sebelumnya, cmiiw
Dan buat saya, ini indah ๐
@ ManusiaSuper
*menyerah*
Pokoknya, segala keributan yang menyertai bukan tanggung jawab saya (kalau ada). [-(
:::::
@ gentole
Yup, yup. ^^
:::::
@ fertob
Eh ada mas Fertob. ๐
Soal itu, tentunya up to debate. Bagaimanapun itu sekadar wacana — di masa depan bisa saja amat berbeda. ^^
Tapi saya tertarik menganalogikannya dengan konsep ras-multiras. Di [salah satu komen] di post sebelumnya, saya bilang bahwa ras ekuilibrium (a la Tiger Woods) itu susah dicapai. Banyak faktornya. Secara teori tidak mustahil — tapi, secara praktek, berat.
Saya pikir sama halnya dengan budaya. Ada banyak faktor yang mencegah budaya dunia jadi ekuilibrium. Selera, penerimaan, interaksi, dsb.-nya. IMHO yang lebih gampang terjadi adalah “campursari beda rasa” di seluruh dunia: kalau di Indonesia ada masjid beratap lancip (Islam-Hindu-Jawa), maka di Jepang ada J-rock dan tarento (Western-Jepang).
Akhirnya lari ke perkara klasik. Mau jadi melting pot atau salad bowl? Nah ini yang belum jelas. Saya sendiri sekadar second-guess saja. ๐
Mmm… itu tergantung IMHO. Kalau orang itu sejak kecil tidak dipapar “budaya asal”, boleh jadi dia justru tidak punya attachment ke situ.
Ambillah contoh saya sendiri. Sudah pernah ditulis di [sebuah posting]. Semua orang bilang saya “orang Jawa” — memang turunan Jawa, lahirnya di sana, dst. Nyatanya? Saya nggak bisa bahasa Jawa. Buta dunia wayang. Perkara mistik seperti weton dan lelaku juga nggak ngerti.
Walhasil saya nggak pernah stake claim sebagai orang Jawa. Justru saya merasa ‘budaya asli’ saya adalah budaya kosmopolitan a la Jakarta. Sebab sejak kecil saya tinggal di situ.
(*selanjutnya bisa dibaca di post ybs*)
Di sini saya ingin menunjukkan bahwa “identitas diri sebagai orang Jawa” itu bisa hilang. Kalau ditanya orang mana, saya sering ngeles dengan bilang “Orang Indonesia”. Itu karena… eh karena… saya secara mental tidak merasa “Jawa”. Iyalah. Bagaimana mau Jawa, wong segala unsur kejawaan saya nggak ngerti. XD
/jadi curhat
//the point stands anyway
Uh-oh. Richard Dawkins and his “meme” wants a word with you.
*ditimpuk*
Anyway. Menanggapi sesuai konteks…
Kalau yang ini saya setuju. ๐ Walaupun dengan catatan: pemahaman manusia bisa membuatnya untuk tidak attached ke suku budaya manapun. Seperti saya uraikan di atas, tumbuh di daerah heterogen (Jakarta) membuat saya jadi kosmopolitan + cuek asal-usul. ๐
Saya pikir lebih cocok disebut “generasi internet”. MTV dan McD relatif sudah beberapa dekadelah. Sementara internet relatif baru, tetapi dampak revolusinya relatif sama — atau malah lebih — besar. ๐
Isramu?
In all seriousness, tergantung penganutnya lah. Seperti ilustrasi saya di post “anime jilbab”, ada anak ROHIS gambar animanga, gadis berjilbab ngefans sama Kenshin. Kalau penganutnya fleksibel, bisa. Kalau rigid ya susah. ^^
(CMIIW)
Sama, saya juga. Ambillah Indonesia dengan Malaysia. Sama-sama melayu, mayoritas Islam. Yang beda cuma dulunya dijajah siapa. Eh jadinya kok malah pisah. ๐
Mmm… saya rasa yang dimaksud dengan “negara berdasar budaya” itu adalah kumpulan orang yang merasa punya kesamaan identitas. Saya pakai pengertian umum di sini — nggak berani kalau pakai formal. ๐
Ibaratnya bangsa India merasa punya ikatan dengan peradaban Mohenjodaro-Harappa, agama Hindu, dsb. Ada unique feeling yang timbul di situ. Yaa, budaya memang cair, bisa ke mana saja. Tapi ada semacam “rasa memiliki” di sana — dan saya pikir ini yang penting dalam membentuk sentimen.
Perkara sentimennya masuk akal atau tidak, tentu urusan lain lagi.
Terima kasih sudah bersedia mencapekkan diri Anda di sini. ^:)^
/halah
@ Grace
Saya berbuat begitu supaya kamu jadi gadis yang tangguh; tidak rontok biarpun dihina-hina…!! (=3=)/
*digebuk tongkol betulan*
Saran, mbakyu. Coba ambil skrinsyutnya, terus di-upload ke gallery tersendiri. Sepertinya bakal menarik. ๐
[…] Salad budaya bukan eksklusif fenomena Internet. […]
On my second thought…
You know, yang saya sangat sesali dari punahnya burung dodo adalah adanya variasi yang hilang. Sudah terlanjur ada, kemudian hilang? Mendingan ga ada sekalian toh, ketimbang merasa kehilangan. Dan kalau ini juga terjadi pada budaya, yang notabene mempengaruhi saya lebih besar daripada spesies, ini akan sangat menyedihkan. It’s like you were being cruel by putting the emoticon :D, expressing your happiness, after talking about the eradication of varieties. ๐ฆ
Jadi begini. Saya tidak berpendapat bahwa nantinya semua akan menyatu. Tidak. Anak-anak mixed-culture seperti Obama dan Woods memang menjadi lebih banyak, tapi tidak membuat pure-blood macam Jawa tulen atau Cina tulen hilang (tulen di sini bukan dalam artian 100%, tapi ya katakan 90% + terikat dengan budaya “murni”-nya). Chinatown harus tetap ada. Little India harus tetap ada. Mereka harus tetap ada. Setidaknya ini harapan saya.
@ lambrtz
But that’s how nature goes. ๐ Bagaimanapun, dari zaman ke zaman pasti ada spesies yang punah karena gagal beradaptasi. Dinosaurus dan mammoth sekarang sudah punah. Archaeopteryx juga. Harimau Jawa, Harimau Bali juga sekarang sudah tak ada lagi.
Seleksi alam kan begitu. Yang bisa beradaptasi akan berlanjut; yang tidak akan tersingkir. Nah salah satu cara melewatinya adalah dengan evolusi — perubahan pelan-pelan ke arah yang lebih “sesuai tuntutan alam”. ^^
Budaya juga seperti itu. Perlahan-lahan berevolusi supaya bisa survive. Makanya ada teologi liberal, Islam kiri, dan kawan-kawannya. Tidak bisa statis, thole!
Soal itu, tentunya kembali pada persebaran informasi & budayanya. Juga pada preferensi pernikahan orang-orangnya. Seperti reply ke mas fertob di atas, pilihannya antara dua kutub: mau jadi melting pot atau salad bowl? Nah ini yang belum jelas. ๐ Saya pribadi memprediksi bakal lebih dekat ke arah melting pot — di sana-sini bakal ada variasi, tapi in general, relatif homogen. ^^
On related note, sekarang juga kan seperti itu. Biar “warna” nasionalismenya Cina, Jepang, Eropa, India, arus utamanya relatif homogen. Mayoritas pro-demokrasi, pro-HAM; suka nonton Hollywood dan dengar MTV; dsb. That’s minor variations in homogeneity. ๐
Why? ๐ Saya pikir itu karena masbro hidupnya zaman sekarang saja. Kalau hidupnya sekitar 2000-3000 tahun SM, barangkali akan bilang sbb:
Lagipula, “Chinatown” dan “Little India” yang masbro sebut itu juga bukan Cina/India yang orisinil. Itu budaya Cina/India yang sudah berevolusi. Sudah terpengaruh modernisasi, westernisasi, dsb.-nya.
Sama saja kalau saya mau fanatik bilang “Musik rock Jepang paling bagus, orisinil!” Woo, ndak bisa. Wong J-rock itu hasil evolusi budaya Jepang + modernisasi Barat. ๐
Saya jadi ingat seorang teman kuliah saya, peranakan Jawa-Batak, lahir dan dibesarkan di tanah Jawa. Mewarisi marga Batak dari ayahnya tapi tidak mengakui kebatakannya
Pernah sewaktu sidang, dia ditanya oleh seorang dosen penguji, “Marga kamu *******, kamu orang Batak ya?”
Jawabnya, “Bukan Bu, saya orang Jawa.” ๐
Saya sendiri, waktu beberapa waktu lalu ditanya soal perayaan Cap Go Meh oleh teman yang hobi memotret, harus bertanya dulu sama mama baru bisa menjawab sedikit-sedikit.
Intinya?
Yah, ga ada apa-apa sih, cuma mau cerita aja ๐
Oh iya ya. Mungkin saya salah ngambil contoh, soale terpaku dengan keadaan di Singapore sini, yang ciri khas Chinatownnya (konon kabarnya) adalah komunitas Cantonese di tengah mayoritas masyarakat Singaporean Chinese yang Hokkien. ๐
Eh BTW don’t take that seriously yah. I’ve just read your plurk post. Mungkin cuma saya aja yang agak konslet waktu nulis komentar itu.
@ Felicia
Euh… sepertinya itu gejala umum di kalangan anak yang orangtuanya merantau? CMIIW though. ^^;;
Di post yang saya link itu juga ada beberapa komen yang mirip. Umumnya orangtuanya Jawa, tapi kerjanya di luar pulau ybs. Walhasil ga dapat paparan budayanya sama sekali. ๐
Ceritanya nyambung sama topik kok. ^^
:::::
@ lambrtz
Ah, sama saja. RRC sekarang juga budayanya sudah terciprat komunisme dan industri. Nggak bisa dibilang originally Chinese lagi, pasti ada perubahan custom dan tingkah laku. ๐
Di sisi lain, India juga sekarang identiknya sama Bollywood dan Bajaj. Jadi, yah, begitulah… ๐
Makanya, jangan nongkrongin komputer terus… (=3=)/
*ditimpuk*
Dgn adanya internet, banyak kebudayaan akhirnya akan melebur. Karena sekarang toh sekat-sekat negara sudah mampu kita lampaui. Pada akhirnya masing-masing manusia akan menjadi kebpribadian yang unik, tergantung dari pengaruh apa yang ia temukan dan menemukan dirinya.
Dalam berbagai penelitian cross-culture (psikologi, antropologi, sosiologi) yang paling sering dilakukan [dan menjadi trend sampai sekarang] adalah berusaha membandingkan antara satu budaya dengan budaya lain terhadap suatu konsep. Misalnya ekspresi emosi, individualism/collectivism, dll. Para peneliti mengeksplorasi perbedaan itu karena mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lain.
Itu paradigma utama yang sering dipakai.
Tetapi ada pergeseran trend dewasa ini. Mereka melihat bahwa penetrasi budaya adalah hal yang niscaya. Lalu mereka mulai membandingkan antara suatu kelompok yang “original” dengan kelompok lain yang “mixed”.
Contohnya begini, meneliti perbandingan tentang konsep individualisme antara [contoh] mahasiswa India asli [pendatang dari India] di New York, mahasiswa ras India yang besar dan lahir di New York, dan mahasiswa kulit putih. Yang dilihat adalah jika ada suatu perbedaan maka tentunya ada pergeseran yang menjadikan perbedaan itu. Seperti makhluk transisi dalam teori evolusi yang sering diperdebatkan. Bagaimana pergeseran itu terjadi, dan faktor-faktor apakah yang membuat terjadi pergeseran konsep individualism.
Paradigma ketiga yang masih baru dlm penelitian budaya adalah berusaha menggali keunikan dan kekhasan suatu masyarakat budaya tertentu. Inilah penelitian yang mengeksplorasi keunikan budaya tertentu. Sering disebut dengan indigenuous psychology/sociology/dll….
Dalam pengertian luas, budaya bukan sekedar bagaimana kita menampilkan diri kita keluar, tetapi apa juga yang menjadi konsep dalam diri kita [covert] yang membedakan kita dengan orang lain yang berbeda asal-usul. Dengan kata lain, budaya bukan sekedar produk yang kelihatan tetapi juga diri kita juga adalah produk dari budaya itu [baik yang covert maupun yang overt].
Lalu apakah penetrasi unsur luar [televisi, internet, trend, dll] bisa membuat hal-hal dalam diri manusia itu berubah?
๐
Kalau berubah, saya setuju. Tetapi kalau menjadi satu, terlalu menyederhanakan masalah. Karena begitu banyak [dan sangat banyak] aspek yang membuat dunia ini benar-benar terhubung jadi satu dan benar-benar borderless dalam arti harafiah.
*ntar dilanjutin lagi….*
@ Fanda
Yup, yup. =3
:::::
@ fertob
That being said… bagaimana dengan reply saya di [salah satu komen] di atas? ๐ OK, barangkali tidak akan sepenuhnya jadi melting pot. Tetapi, IMHO, sangat mungkin untuk jadi relatif homogen (dengan variasi di sana-sini).
Kutipan:
Di sini saya melihat ada kecenderungan budaya global yang overarching. Di satu sisi kita punya keunikan tradisional, tetapi, di sisi lain, kita punya arus utama yang mirip-mirip.
Tentunya up to debate apakah pada akhirnya akan mencapai ekuilibrium. Tetapi, mengamati tren yang ada sekarang, saya rasa kemungkinan itu sedikit-banyak harus dipertimbangkan. (o_0)”\
Prediksi saya sendiri seperti sudah disampaikan lewat kutipan. Mayoritas akan mirip, tetapi, akan ada variasi di sana-sini.
(IMHO, CMIIW)
Ditunggu lanjutannya. ^^
[…] Sebab ya, di dunia ini tidak ada yang 100%. Budaya Indonesia, misalnya, tidak 100% Indonesia (ada banyak pengaruh luar juga). Negara yang 100% free market atau sosialis juga tidak ada — yang ada cuma mendekati […]
[…] dari sebuah posting blog bulan Februari lalu, Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia โcuma […]