Ketika saya berumur dua tahun, orangtua saya memutuskan untuk pindah rumah ke daerah pinggiran selatan Jakarta. Ini masanya menjelang tahun 1990-an, waktu itu daerah pinggiran ibukota masih baru berkembang — banyak wilayahnya yang masih berupa perkebunan dan empang. Meskipun begitu kedekatan jarak dengan ibukota menjanjikan perkembangan ekonomi, jadi, banyak pendatang luar daerah bermukim di sini. Anak-anak di wilayah saya sendiri coraknya jadi berbagai suku: ada yang dari Jawa, Makassar, Padang, Manado, dan sebagainya.
Kalau Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah tahu kisah tumbuh-kembangnya saya di lingkungan multikultur tersebut. Saya tumbuh dikelilingi oleh perbedaan: teman main saya ada yang berdarah Bugis; di sekolah punya teman yang orangtuanya dari Bali dan Ambon; dan seterusnya. Adik saya sendiri, biarpun berdarah Jawa, akhirnya jadi fasih pakai dialek Betawi — ini gara-gara pembantu yang mengasuh dia sejak kecil asalnya dari suku tersebut. Lalu ada juga temannya tante saya yang sering main ke rumah; beliau ini gadis Batak di perantauan. Jadi, yah seperti itulah kira-kira. 😛
Walhasil, saya jadi terdidik memandang kemajemukan sebagai hal yang lumrah. Ini mengantar saya pada cara pikir yang unik: sebenarnya kalau tidak dibeda-bedakan, semua orang itu sama, kok. Misalnya teman-teman saya dulu semuanya sama-sama suka main SEGA. Lalu sama-sama suka jajan Chiki, baca komik Dragon Ball, dan seterusnya. Akibatnya saya paling cepat jengkel kalau dengar orang menggunjing SARA — ada suku ini dibilang baik, tapi suku lain dibilang buruk — orang macam ini biasanya cari gara-gara. 😐 Sepengalaman saya sih perbedaan itu cuma ada kalau dibesar-besarkan.
Jadi, semenjak kecil hingga ABG, saya selalu memandang manusia sebagai kawanan yang satu. Duaratus ribu tahun lalu rombongan Homo sapiens pertama berangkat dari Afrika, mengisi celah-celah dunia. Ada yang bermigrasi ke Arab, Amerika, Asia… sampai yang terpencil seperti Polinesia juga ada. Dari satu kelompok umat berkembang jadi banyak. Semuanya bersaudara — baru belakangan berpencar jadi suku ini dan suku itu; negara ini dan negara itu.
Pandangan di atas begitu berurat-berakar di hati saya. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengerti dengan yang namanya tribalisme, rasisme, nasionalisme, religionisme — saya pikir pengotakan itu munculnya kalau kita ingin membedakan saja. Ada beda warna kulit, dikelompokkan. Ada beda batas negara, dikelompokkan. Ada beda agama, dikelompokkan; dan sebagainya. Pada akhirnya pembedaan itu menghasilkan attachment — bahasa Indonesianya kira-kira “rasa memiliki”.
Contohnya tentu saja gampang. Orang yang lahir dan besar di Jawa, misalnya, hampir pasti punya attachment pada kebudayaan Jawa. Orang yang lahir dan besar di Aceh punya attachment ke kebudayaan Aceh. Orang yang beragama Islam punya attachment pada umat Islam; yang beragama Kristen dengan umat Nasrani, dan lain sebagainya.
Sedihnya adalah, terkadang rasa memiliki itu jadi berlebihan. Hanya karena rasa memiliki orang jadi tribalis. Kaum yang ‘berbeda’ dan ‘lain’ dipandang rendah. Ras tetangga dianggap hina, negara tetangga dianggap saingan. Lalu ada juga yang berbau klasik: “Agama kita paling benar, yang lain bodoh semua!” Dan lain sebagainya. Ada banyak contoh yang lain, meskipun begitu, saya yakin Anda paham apa yang saya maksud. 🙂
Tentang Negara dan Attachment
Saya akan jujur di sini. Saya adalah orang yang anti pada segala bentuk pengotak-ngotakan umat manusia: entah itu landasannya kesukuan, keyakinan agama, ataupun batas negara. Sebagaimana sudah disebut saya besar di lingkungan yang heterogen; lalu saya belajar dari ilmu pengetahuan bahwa umat manusia itu aslinya satu keluarga. Di mata saya tidak ada landasan yang kokoh untuk mengelompokkan manusia dalam sekat ini-atau itu.
Mengutip dari sebuah posting blog bulan Februari lalu,
Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia “cuma beda di luar saja”. Biar kulitnya berbeda, kewarganegaraannya beda, warisan budayanya beda, tidak ada alasan untuk mengelompokkan manusia. Saya bilang: pergi sajalah jauh-jauh itu “nasionalisme”, “tribalisme”, “rasisme”, dan sebagainya. Karena kita ini sebenarnya sedang saling menyatu: baik secara lokasi, genetik maupun budaya. Lebih baik mencari persamaan daripada perbedaan, kan begitu? 😀
Nah, salah satu bentuk sekat yang sering bikin saya kurang sreg adalah kewarganegaraan. Bukan berarti saya menolak pemerintahan negara, sih. Haluan politik saya libertarian: saya menilai bahwa negara diperlukan untuk mengatur ini-itu di masyarakat, akan tetapi, tidak perlu ditingkahi sentimen berlebihan lah. Sebab sering sekali batas negara itu justru memicu kisruh yang — kalau boleh dibilang — berlebihan dan norak.
Misalnya peristiwa di atas. Ada yang ingat?
Saya pribadi berpendapat bahwa sekat-sekat seperti negara dan sebagainya itu semu. Hanya dibentuk oleh rasa memiliki (attachment) saja — tidak kurang dan tidak lebih.
Ini agak susah dijelaskan, jadi lebih baik kalau diuraikan lewat contoh.
Orang yang lahir dan besar di Amerika Serikat, misalnya, kemungkinan akan merasa terkait (attached) dengan budaya Amerika. Lalu dari situ ia mengidentifikasi dengan negara dan bendera Amerika. Akan tetapi hal yang sama juga bisa dikatakan kalau orang itu lahir dan besar di Indonesia. Barangkali ia akan merasa terkait (attached) dengan budaya Indonesia, lalu dari situ ia mengidentifikasi dengan negara Indonesia, bendera Indonesia…
Hal yang sama dapat dikatakan pada muslim yang mendukung gagasan Khilafah Islamiyah. Karena dia beragama Islam, maka dia merasa terkait (attached) dengan ide negara Islam. Kalau orang beragama Yahudi barangkali merasa attached dengan ide Negara Israel. Dan lain sebagainya.
Atau mungkin rasa memilikinya bukan dari agama, melainkan warisan genetik dan budaya. Keturunan suku-budaya Celtic barangkali merasa attached pada gagasan Negara Irlandia Raya (walaupun saat ini adanya Republik Irlandia dan Irlandia Utara, tapi itu cerita lain). Keturunan suku-budaya India merasakan keterikatan (attachment) pada warisan budaya Hindi, maka membentuk negara India; dan seterusnya.
Jadi pada akhirnya, saya memandang sekat-sekat negara itu tidak lebih dari sekadar attachment pada simbol. Orang merasa memiliki kesamaan budaya, kesamaan ras, atau kesamaan tempat lahir, lalu berkumpul bersama dan mendirikan paguyuban. Tidak ada yang salah dengan itu — sah-sah saja orang mau berserikat dan berkumpul. Akan tetapi ada problem besar yang diakibatkannya, dan ini akan saya bahas di bagian selanjutnya.
The Problem with It
Di atas tadi, saya sempat menyinggung tentang asal mula keragaman umat manusia (sebaiknya dibaca di tulisan yang di-link). Dari kelompok Homo sapiens pertama, manusia bermigrasi, lalu mulai mengembangkan identitas suku-budaya masing-masing. Jadi sebenarnya manusia itu awalnya satu — baru belakangan saja tercipta perbedaan seperti ras, budaya, dst. Perbedaan itu diakibatkan oleh migrasi dan tantangan alam.
Peta migrasi Homo sapiens. Yang menetap di Mesir melahirkan cikal-bakal budaya Mesir; yang menetap di Yunani melahirkan cikal-bakal budaya Yunani, dan seterusnya.
(image courtesy of San Diego State University)
Kemudian dari warisan tanah, budaya, suku bangsa, dan kesejarahan (among others) orang mengidentifikasi diri. Rasa memiliki itu kemudian jadi cikal-bakal identitas kebangsaan. Apabila mampu memiliki pemerintahan sendiri maka masyarakat ini dapat disebut sebagai “negara” (state).
Akan tetapi elemen identitas kebangsaan (nasion) itu sendiri bukan pembeda yang mutlak. Ras-ras yang berbeda bisa berbaur menghasilkan keturunan. Budaya yang berbeda bisa saling bercampur. Batas-batas negara bisa berubah, sebab muka bumi tidak tetap — benua bergerak, patahan bisa ambles, dan seterusnya.
Orang biasanya bilang bahwa “negara” itu diindikasikan oleh tanah, ras penduduk, warisan budaya. Akan tetapi kenyataannya, tidak satupun dari ciri-ciri tersebut yang bersifat absolut.
Jadi kalau ada orang yang suka teriak-teriak sukuisme, tribalisme, nasionalisme, tahu rasa dia: ternyata batas-batas itu semuanya semu. Ha!
Simulasi pergerakan muka bumi 250 juta tahun ke depan. Where is your nation now?
(image courtesy of PALEOMAP Project)
Di sisi lain, ada juga yang mengklaim bahwa suatu jenis “negara” itu dikehendaki oleh Tuhan. Misalnya Islam fanatik menghendaki Khilafah Islam. Sementara Yahudi dan Kristen Zionis menghendaki Eretz Yisrael. Mungkin ada lagi yang lain.
Meskipun begitu, seperti sebelumnya, klaim macam itu juga tidak feasible. Namanya keyakinan agama mustahil bersifat obyektif. Setiap agama punya doktrin keyakinannya sendiri-sendiri. Islam beda dengan Kristen, Kristen beda dengan Yahudi, Yahudi beda dengan Shinto dan Buddha. Salah besar kalau memaksakan argumen satu agama ke masyarakat seluruh dunia. Enggak bakal nyambung. 😐
***
Jadi bisa Anda lihat problemnya. Saya relatif tidak bersimpati pada ide-ide seperti “negara” dan “nasionalisme”, sebab memang batasnya kabur dan tak jelas. Coba saya tanya. 100 juta tahun lagi Indonesia ada di mana? 100 juta tahun lagi Israel dan Palestina ada di mana? Ha? Ha? 😐
That being said, bukannya saya bilang negara harus diberangus, sih. Seperti telah disebut saya seorang libertarian — saya menilai bahwa negara itu perlu untuk mengurus masyarakat. Tidak realistis mengharapkan masyarakat mengurus dirinya sendiri dengan adil. Cuma, kalau disertai chauvinisme dan ribut-ribut seperti “ganyang Malaysia”, Israel-Palestina, dan sebagainya… rasanya kok menyebalkan. Oh well.
Epilog: All in All is All We Are
Konon, Siddharta Gautama pernah mengajari satu hal. Bahwasanya semua penderitaan di dunia berakar dari persepsi (indra). Dari persepsi itu timbul rasa menginginkan sesuatu (craving). Lalu kalau keinginan itu sudah didapat, jadinya ingin dipertahankan (clinging). Yang terakhir ini bersumber dari rasa memiliki (attachment) yang sudah dibahas di atas.
Saya bukanlah seorang Buddhis, juga bukan orang yang amat religius. Meskipun begitu filosofi Buddha di atas membuat saya berpikir: barangkali, memang itulah penyebab dari kisruh antarnegara yang saya protes di atas. Umat yang tadinya satu berangkat dari Afrika, ketika sudah terpencar malah saling bertengkar dan ribut. Patok-mematok tanah, bersikap kesukuan, dan sebagainya. Pada dasarnya semua itu disebabkan oleh rasa memiliki: rasa memiliki budaya, rasa memiliki tanah, dan lain sebagainya. Padahal belum tentu.
Kadang orang merasa bahwa “negara” atau pembagian sejenis itu sebagai hak prerogatif kelompoknya. Sementara kenyataannya, garis batas “kelompok” yang digadang-gadang itu semu. Sebagaimana sudah kita lihat bersama.
Saya sering kecewa kalau membaca rubrik internasional di koran. Indonesia berseteru dengan Malaysia, biarpun sama-sama mayoritas Melayu dan beragama Islam. Korea Utara kisruh dengan Korea Selatan karena beda ideologi. Irlandia Utara dan Republik Irlandia karena masalah agama, lalu Israel dan Palestina. Semuanya gara-gara attachment. Dengan merasa diri sebagai “kami”, orang berpendapat bahwa mereka berhak atas tanah atau negara. Lalu membagi-bagi planet bumi dari situ.
Orang-orang ini lupa akan satu hal. Ketika manusia pertama muncul di muka bumi, tidak ada pengelompokan macam itu. Ketika umat manusia masih muda bumi menyediakan kebutuhan mereka: tanah, air, udara, ladang tani dan ternak. Lalu umat manusia bertumbuh besar. Ironisnya, sesudah menjadi besar, mereka berpecah. Orang lupa bahwa planet ini sebenarnya satu untuk semua. Kelompok demi kelompok bersaing: mulai mengambil tanah, mengeruk hasil bumi. Persis anak-anak yang berebut warisan ketika ibunya meninggal.
Saya amat kecewa bahwa manusia yang tadinya satu kemudian memecah-mecah dirinya sendiri. Lebih jauh lagi pembagian itu sering berujung kisruh. Bukan saja sekadar saling benci, kadang-kadang nyawa juga melayang. Ada banyak contoh di sejarah kita untuk itu.
Sebagai orang yang masa kecilnya dihabiskan di lingkungan heterogen — dan tidak sekalipun saya berantem gara-gara SARA selama itu — saya tidak bisa mengerti kenapa ide seperti “negara” bisa begitu populer. Di mata saya manusia adalah manusia; tidak kurang dan tidak lebih. All in all is all we are. Melampaui semua perbedaan adalah persamaan. Hanya persepsi yang membuatnya tampak berbeda.
Pada akhirnya negara itu sendiri jadi kehilangan makna. Ia tereduksi jadi makelar tanah air dan ideologi. Hanya karena kesesuaian ini-dan-itu, kita memutuskan mendukung negara ini atau itu. Demi tanah air. Demi suku bangsa. Demi warisan budaya. Demi ketetapan agama. Semuanya sia-sia. Apa jadinya kalau kamu dulu dilahirkan di benua yang berbeda, pada suku yang berbeda, dan agama yang berbeda? Akankah kamu sesemangat ini tentang negara?
One day, I hope you realize that there is no “us” other than what you perceive and attach yourselves to. Semoga semua makhluk berbahagia. 😉
i got no nationality, it’s just my passport says i’m indonesian. i’m a world citizen 😀
Menyatukan umat manusia?
Sepertinya kita perlu menunggu alien dari luar bumi datang untuk memerangi dan menjajah manusia. maklumlah, kadang yg namanya musuh nya lawanku adalah temanku
Somehow saya pingin menaruh ini di wall saya, biar kaum nasionalis dan religius fanatisis *halah* membaca, tapi ndak usah lah ya 😛
*baca dulu…*
Yang jelas, trend sekarang masih ke bertambahnya jumlah negara, belum ke pengurangan. Palestina Merdeka dan Papua Merdeka ada di daftar berikutnya, mungkin Tibet dan Kalimantan Merdeka juga segera menyusul… 😈
*habis baca*
Bingung saya mau komentar apa. Sehaluan sih. Kayanya mesti diposting di wall dulu baru dapat pemikiran berbeda. 😕
Kok tidak pakai mantra ASB. Memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat. Begitu, ‘kan? ‘Kan begitu?™
ini masih terkait sama post saya soal “politik cinta” waktu itu, yang belum saya selesaikan karena satu dan lain hal. saya tidak sehaluan. nanti tunggu perspektif gentole. *halah*
Ummm… jadi konsep Novus Ordo Seclorum sepertinya justru yang paling logis di sini… Menghilangkan sekat-sekat daerah dan kenegaraan demi tujuan yang sama: keberhasilan kapitalisme, hohoho… 😈
^
gagasan sora9n ini emang banyak efek sampingnya yang sepertinya luput dari pandangan optimis sora9n tentang kemanusiaan.
@ christin
Kadang-kadang memang saya merasa demikian kalau lihat blogger seperti mbak kris dan bang aip. 😆
:::::
@ Ando-kun
Kalau soal itu, jangan kuatir. Sebentar lagi tahun 2012. (ninja)
/kebanyakan nonton X-Files
//Fight The Future™
:::::
@ lambrtz
Well… okay? ^^;;
*siap-siap menyambut troll potensial* (gym)
:::::
@ jensen99
Kalau tren, ya itu urusan lain. Saya sih cuma mengamati bahwa tidak ada alasan yang bagus buat bikin negara.
:::::
@ Kgeddoe
*pergi gugel*
Ealah, ASB yang itu. Saya malah lupa ada kalimat ybs. 😆
:::::
@ gentole | Amd
Em, gimana ya. Seperti diuraikan di atas, poin saya bukan pada menyelesaikan masalah dengan menghapus negara. Melainkan bahwa, tidak ada alasan yang kokoh untuk membuat negara. 🙂
Segala sesuatu pasti punya dampak positif/negatif. Saya tidak bilang bahwa, kalau negara diberangus, semua beres. Yang saya sampaikan adalah bahwa penyekatan berbasis negara itu tidak feasible.
Dus, penekanan pada sebab, bukan akibat. 😉
*mudah-mudahan cukup jelas*
Bentar ah, sebelum saya posting di wall, tiba-tiba terpikir untuk jadi apokat setan™.
Mari bicara sebab.
Salah satu latar belakang dari left-wing nationalism (halah mentang-mentang left wing didukung 😆 ) adalah equality. Saya belajar terutama dari hashtag #nasibluarjawa yang sering digaungkan Alex dan Jensen dan kawan-kawannya, bahwasanya banyak dari mereka yang merasa bahwa orang di luar Jawa terasa dianaktirikan. Dalam kasus seperti ini, adalah wajar kalau mereka merasa emotionally attached pada tanah kelahiran / tempat yang mereka diami. Ndak usahlah bicara “bagaimana kalau kalian lahir / tinggal di tempat lain?”, karena kenyataannya mereka lahir dan ada di sana. Dan kalau kebencian sudah teramat sangat, bukannya normal kalau gerakan separatisme (i.e. membuat negara baru), untuk adanya kedaulatan penuh untuk menentukan nasib sendiri, untuk keluar dari ketidakadilan, lahir. Sedikit tautan rada OOT: [link]. Ini bukannya alasan yang cukup logis untuk adanya sebuah negara? 😕
Jadi ngene™. Saya sih sehaluan dengan Sora, tapi kadang-kadang saya merasa bahwa saya ini terlalu mengawang-awang, idealis di langit, seperti yang Sora kritisi dari Uni Snowie tempo hari. Ngono™. 🙂
BTW seingat saya ada juga hipotesis (teori?) yang mengatakan bahwa ada migrasi, kalau tidak salah malah sebagian besar, manusia dari Eropa ke Amerika lewat jalur barat, i.e. lewat Skandinavia, via Arktik lanjut ke Greenland sampai ke Amerika, lewat pantai Arktik pada jaman es yang masih berupa daratan, seperti Antartika jaman sekarang. 😕
@ lambrtz
Soal permasalahan kedaerahan itu, IMHO, problemnya di sentralisasi. Sifatnya lebih ke arah administratif daripada ideologis.
Saya pribadi maklum kalau orang di daerah #nasibluarjawa punya dorongan untuk berpisah. Sebab, ya, kenyataannya mereka kurang terurus. But like I said before, it’s largely administrative. Not ideological.
Bukannya hendak membanding-bandingkan sih, tapi Amerika Serikat tanahnya lebih luas daripada kita. Negara Bagiannya 50. Lha tapi kok ndak ada #nasibluarwashington misalnya? Nah itu karena administrasinya bagus. 🙂 Kalau administrasi Indonesia sebagus US saya rasa semangat memisahkan diri nggak bakal segitunya. Or so I guess.
The repression of state leads to the birth of smaller states.
Kalau begitu buat apa state yang pertama diberi kekuatan menindas. Harusnya diminimalkan saja wewenangnya sejak awal. Kan begitu?
/Libertarianism FTW \m/
Pandangan di atas memang terlalu idealis. 🙂 But, to be noted, saya tidak ingin mengubah dunia. Saya cuma menunjukkan apa adanya. Kalau bisa menggerakkan hati orang, bagus; kalau tidak ya tidak apa-apa. 😆
Uraian di atas sendiri sifatnya semacam cursor. Seperti tanggapan ke mas gentole/mas amed di atas:
Ada bedanya di antara dua itu. Go figure. 😉
Keliwatan. 😛
Wah, kalau itu saya kurang tahu. Di atas sendiri tulisannya “possible route”, jadi memang tidak 100% pasti. 😛
Either way, dalam kasus itu Homo sapiens-nya tetap dari Afrika lah. Jadi masih satu keluarga.
(disclaimer: sebenarnya ada dissenting voice terhadap hipotesis Out-of-Africa; walaupun begitu umumnya setuju bahwa manusia kuno [pra-sapiens] berasal dari Afrika. So that’s that)
Ehehe, tulisan yang menarik 😀
Saya jadi teringat sentimen negatif pada warga keturunan tiong hoa. Padahal nenek moyang bangsa Indonesia kan asalnya dari Cina Selatan :P. Artinya kan memusuhi keluarganya nenek moyangnya sendiri 😆
*menggampangkan masalah*AFAIK ada dua teori mengenai jalur migrasi ke Amerika. Untuk lebih jelasnya bisa lihat gambar berikut [Link]
– Pertama adalah lewat Rusia, lalu menyebrang di Selat Bering, dan menuju Amerika Utara. Hal ini ditandai dengan ditemukannya penanda genetik khas Asia (haprogroup A, B, C, D) di benua Amerika.
– Teori yang kedua, seperti yang disebutkan lambrtz, yaitu populasi yang membawa penanda genetik haplogroup X yang kemungkinan bermigrasi dari eropa dan melewati kutub utara, dan kemudian sampai di Amerika. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya jejak haplogroup X di daratan utama asia, jadi kemungkinan mereka melalui jalur kutub utara.
Wua, link-nya ndak jalan 😕
Gambar-nya (“World Migration”) bisa didonlot di sini [Mitomap]
@ Mizzy
Wuaaa, ada mbak Sukma. ^^v
Hehe, makasih link-nya. Sasuga orang Biologi. 😛
*eh bener kan ya*
Soal keturunan Tionghoa itu, sedapat saya dengar, lebih banyak elemen sosial daripada ras. IIRC karena secara finansial lebih makmur (keturunan pedagang). Lalu pas Orde Baru juga ruang geraknya dibatasi selain bisnis. Jadinya seolah ada jurang kekayaan. (o_0)”\
Ada perkara agama juga. Pribumi umumnya muslim, sementara Tionghoa umumnya Kristen/Buddha. Walhasil makin susah ketemu. ^^;;
*CMIIW though*
[rant] Sebagai orang yang menilai tampang oriental itu manis, saya tidak paham pada sentimen di atas. [/rant]saya selalu bertanya-tanya, sebenarnya apa syarat sebuah kelompok masyarakat dapat dikatakan “pribumi”?
apa itu skubangsa? apa itu ras? apa itu kewarganegaraan? mengapa masyarakat pada umumnya begitu kabur memandangnya?
*senam*
@gunawanrudy
Bukan Cina.
*melihat golok terbang*
@ gunawanrudy
Kalau secara definitif, saya juga kurang jelas. Tapi secara praktis mungkin maksudnya “berbau Nusantara” kali ya. As in warisan rasnya dari daerah/propinsi/apalah yang terkandung di wilayah NKRI. 😛
IIRC yang sering dianggap bukan pribumi itu keturunan “Cina” dan “Arab” (karena asal-usul luar negeri, dst). Lah tapi turunan Indo jarang dianggap “non-Pribumi”. Jadinya saya bingung juga. 😆
*selective grouping?*
:::::
@ lambrtz
Hus.
*gagasan sekelebat*
Rasanya gagasan “bukan pribumi” itu dibuat terlebih dahulu, baru ada “pribumi” sebagai antonim; bukan sebaliknya. Jadi basis pemikirannya bukan “pribumi” sebagai tolak ukur, di mana kaum lain akan dibandingan; melainkan, ada “bukan pribumi,” dan pribumi-bukan pribumi akan ditentukan melalui seberapa “lain” mereka itu “bukan pribumi.” Dus, bahwa Cina/Arab itu “bukan pribumi” itu sudah dijadikan premisnya, susah diutak-atik.
Agak belepotan bahasanya. Ketik satu tangan. Ya sudahlah.
*ngasal*
Lantas bagaimana dengan pernyataan ini; Jadi begini Mas, kalau di kemiliteran/kepolisian itu penuh displin, harus tepat waktu, bla…bla…bla… orang Banjar tidak cocok jadi tentara/polisi, cuma orang **** yang bisa menjadi seperti kami. TIap hari bangun pagi, upacara, berdisiplin, dan bla…bla….bla…
Diungkapkan oleh orang berbaju coklat dan orang hijau, tidak hanya pada satu kesempatan, dan tidak hanya oleh satu orang!
::::::
Pada dasarnya saya juga tidak pernah benci orang, apapun latar belakang suku, atau agama, atau apapun yang menjadi jenis pengkotakkannya. Hanya saja, kalau bisa dibilang saya justru ditanami kebencian oleh orang yang justru datang dari luar pulau. Liata saja contoh yang saya berikan.
Di kantor, saya juga sangat kecewa, harus mengesahkan fotokopi KTP anak anak berwajah “militer” yang bahkan tak bisa secuilpun bahasa Banjar! Mereka mendaftar di sini, karena Pulau Jawa yang padat itu teramat sukar untuk bisa didaftari, sementara di Pulau yang menjadi jajahan mereka, anak anak non-Jawa, sudah di stop duluan untuk bisa jadi polisi/militer. Kalau tidak percaya, tanyakan pada Gunawanrudy
Percayalah bung, penjajahan Indonesia, atau lebih tepatnya satu suku terhadap puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan suku lainnya bukan hanya soal perampokan hasil alam. Penjajahan juga sudah menggurita pada penjajahan administrasi, intelektual, bahkan ideologi!Satu hal yang tentunya harus diberangus!
Negara pertama di dunia itu apa?
Siapa yang pertama kali membuat kata “negara”?
😀
@ Kgeddoe
*mencoba membaca dan menguraikan pelan-pelan…* (@_@)
Lha, Indo (turunan Eropa) tampangnya juga berbeda daripada so-called ‘pribumi’. Tapi etnisnya jarang ditekankan, tuh. Beda dengan penggunaan sebutan “Cina” atau “Arab”…
*selective grouping much?*
*minum panadol*
:::::
@ Fortynine
Saya tahu. Sebagai orang yang kenal banyak anggota suku ****, saya juga sering dengar klaim yang mirip. Suku yang (katanya) paling menjunjung tinggi kesopanan; suku yang (katanya) paling sabar diterpa kesusahan, dst…
No, I don’t buy that. Dari pihak istrinya om saya (sebuah suku di ujung Sumatra), banyak tuh yang jadi polisi. So that’s that.
Lagipula, kalau mikirnya seperti di atas, nggak ada bedanya dengan sistem kasta. Masa kelahiran menentukan profesi? 😆 Ya sudah, jadikan saja semua profesi pedagang buat keturunan Tionghoa. Suku **** tidak boleh dagang. Mau tidak orang suku **** menerima itu?
*just saying*
Begitulah. Makanya seperti ditulis di atas, saya libertarian (mendukung minimalisasi kekuatan negara). Sebab nggak ada bagusnya negara yang kekuatannya berlebih. Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.
Contoh-contoh yang mas tuliskan sendiri menunjukkan dampaknya kalau kekuatan negara terlalu besar. Akibatnya jadi mudah disalahgunakan untuk kepentingan golongan. 🙄
:::::
@ Felicia
Coba ditanya ke either mas gentole (orang sejarah), mas gun (orang antropologi), atau mbak nenda (hukum internasional). 😛 Sayanya bukan orang sospol, je. 😆
@ Kgeddoe:
ngerti kok, ngerti.
pandangan itu pribumisentris, memakai kacamata apa-yang-disebut pribumi. mungkin itu tidak berlaku universal. mungkin.
saya lebih melihatnya saat era penjelajahan samudera. orang eropa sampai ke nusantara. melabeli orang nusantara sebagai “pribumi”. di saat yang sama orang nusantara pun melabeli orang eropa “bukan pribumi”. lama kelamaan ini pun mulai meluas ke kelompok-kelompok lain.
tapi memang. untuk mendapatkan klaim “pribumi”, mereka harus membutuhkan terlebih dahulu orang yang “bukan pribumi.” 😀
klaim hak milik. 😆
@ sora9n:
yang saya heran adalah, “cina” dan “arab” itu masuk ke indonesia sejak ratusan tahun yang lalu (bahkan sejak era majapahit). ketika “cina” dan “arab” masuk, belum ada itu indonesia. yang ada kerajaan aceh, malaka, mataram, ternate, klungkung, mengwi, dll. saat mereka masuk juga belum ada negara republik rakyat cina atau… emhhn, yang disebut “arab” itu dari negara-negara di timur tengah kan?
indonesia menyatakan diri merdeka 1945, dan diakui belanda 1949. konsep “indonesia” atau “persatuan korban jajahan belanda” baru lahir beberapa puluh tahun sebelum itu. mengherankan jika pada awal orde baru yang disebut “cina” ditawarkan pulang ke “negerinya” atau jadi wni dengan syarat. di mana “negerinya” itu? toh ratusan tahun sudah menetap di daerah-daerah di nusantara (tanpa melihat faktor strata sosial era belanda)? lebih heran lagi ketika ketika ada istilah “bukan orang indonesia”.
jadi indonesia itu apa? sebuah kelompok “pribumi”? sebuah negara?
faktor stereotip. lagi-lagi.
lagipula hibrid/peranakan itu statusnya menggantung. nggak kayak pure/totok.
*lagi malas ngetik banyak, ngungsi di tempat teman selama beberapa hari karena kunci kamar hilang*
@ gunawanrudy
Aha!
Itulah, saya juga bingung. Pada akhirnya batas-batas kepribumian itu jadi kabur. Sejak zaman Malaka ramai, pedagang TimTeng, Gujarat, Cina sudah masuk nusantara. Kontribusi POLEKSOSBUD-nya besar. Agama yang diakui NKRI sekarang juga semua bawaan pendatang.
Saya rasa pengelompokan “pribumi” vs “non-pribumi” itu tidak begitu makes sense. Sebab sejak dulu nusantara selalu terbuka pada arus migrasi dan kultur. 😕
Tadinya saya berpikir bahwa Indonesia itu aslinya ‘kumpulan nasion’. Akan tetapi belakangan — setelah banyak baca lagi — rasanya kok kurang tepat. Sebab suku-bangsa yang ada di sini bukan sekadar suku-bangsa yang diskrit. Banyak sinkretisasi dan modifikasi yang membuat batasnya jadi kabur. 😕
Misalnya agama Islam. Islam Jawa beda dengan Islam Betawi, sebab sudah tersinkretisasi dengan Hindu-Jawa. Islam Betawi rada mirip dengan Islamnya Habib Hadramaut, akan tetapi kulturnya beda — sebagai contoh sarung dan peci daripada gamis. Islamnya orang Padang dipengaruhi Wahabi-nya Imam Bonjol, dst.
Nah yang bikin masalah tambah ruwet…
Islamnya orang Jawa kenal kultur Jawa seperti wayang dan tembang, tapi Islam lainnya tidak. Islamnya orang Betawi kenal kultur Betawi seperti tanjidoor dan lenong, tapi Islamnya orang Padang tidak. Jadi perkara ‘suku bangsa’ ini aneh: dibilang saling menyatu, ya menyatu… tapi dibilang terpisah juga iya!
*bingung bingung dah tuh*
* * *
Jadi saya kurang yakin juga. IMHO menyebut Indonesia sebagai “kumpulan suku” itu mirip dengan menyebut siomay sebagai “kelompok tahu dan sayur”. Ada benarnya sih, tapi bumbu kacang (yang menyatukan semuanya) terlupa. Padahal tanpa bumbu kacang siomay itu tidak ada artinya. 😛
(CMIIW though)
Loh… mana ada Habib dan Encik zaman sekarang yang totok? Kalau ekspatriat sih iya!
Salam knal tmen2 blogger 🙂
postingannya menarik euy, berbicara tentang manusia teh jadi bingung uy, knapa di dunia ini bnyk bgt bahasa asing? knapa jg bahasa inggris jd bahasa internasional? generasi muda kita harusnya malu sama anak kecil umur 4 tahun di Amerika sudah pandai berbahasa Inggris!! bayangkan gan.. 😀
^
Salam kenal juga. 🙂
Kalau itu, sejauh yang saya tahu, prosesnya terkait dengan pembentukan budaya. Nenek moyang kita yang tinggal di Mesir membentuk budaya Mesir (piramid, sphinx, dsb), seiring itu bahasa Mesir Kuno berkembang. Nenek moyang kita yang tinggal di Cina membentuk budaya Cina (Tembok Besar, kung fu, dsb), seiring itu bahasa Cina berkembang. Dan seterusnya.
Jarak yang jauh mengakibatkan kebudayaannya berkembang sendiri-sendiri. Otomatis bahasa yang dipakai juga berbeda. Kurang lebih seperti itu. 🙂
Karena jajahannya dulu banyak, jadi banyak penduduknya belajar Bahasa Inggris. Mirip kakek-nenek kita dulu banyak yang bisa bahasa Belanda. 😛
yang punya blog ini kayanya ga pernah belajar sejarah / PKn deh. kalo nasionalisme yang disebutkan yang punya blog ini bukan nasionalisme yang sesungguhnya, tapi chauvinisme — nasionalisme yang berlebihan. nasiolisme ga sedemikian menakutkan atau perlu ditentang oleh kaum libertarian seperti yang punya blog ini deh
^
Emm… coba dibaca lagi posting di atas dan komen-komennya. 🙂 Saya tahu bedanya chauvinisme dan nasionalisme. Yang saya pertanyakan lewat posting adalah: ada tidak alasan kokoh untuk menyekati lewat negara? 😉
Begini, Anda mungkin tertarik baca-baca tentang konsep [nasion] dan [state]. Negara itu apa? Apakah kumpulan identitas-budaya (nasion) atau badan administrasi?
Nah di atas itu saya menguraikan bahwa pembentukan negara berbasis nasion itu tidak akurat.
Apakah negara itu disekatkan berbasis ras? Tidak. Buktinya Indonesia dan Malaysia sama-sama Melayu, tapi beda negara. Sementara dalam negeri Indonesia ada banyak suku: Melayu, Tionghoa, Arab; Jawa, Sunda, Padang, dsb.
Apakah negara itu disekatkan kesamaan budaya? Ini juga tidak. Budaya itu sifatnya mengalir. Saya contohkan lewat agama di Indonesia: agama Islam dari Arab, Hindu-Buddha dari India. Kristen bawaan Eropa, dsb.
Apakah negara itu disekatkan oleh bahasa? Lah di Bahasa Indonesia ada banyak serapan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris. Belum lagi bahasa daerah seperti Sunda, Jawa, dan Bali. 😐
Apakah negara itu disekatkan oleh tanah? Nah itu di atas saya jelaskan tentang pergerakan muka tanah. Benua bergerak, sungai bisa kering, dsb. Jadi batas tanah suatu negara itu tidak mutlak.
* * *
Jadi itu problemnya. Saya pribadi bukannya nggak ngerti chauvinisme terus menyalahkan nasionalisme. Kalau begitu mah dangkal sekali. Yang saya pertanyakan adalah basis dari penyekatan itu sendiri.
Kurang lebih seperti itu. Mudah-mudahan cukup jelas. 😉
@sora9n
basis penyekatan itu tidak pernah ada, kecuali ocehan para budayawan yang tidak pernah jelas. makanya kata GM, indonesia adalah sebuah ‘penanda kosong’ yang tidak pernah memiliki definisi yang tetap, yang selalu diartikan secara lain oleh orang yang berbeda. dalam polemik kebudayaan pada tahun 1930-an, bapak bangsa kita jungkir balik mencari basis atas keIndonesiaan, dan hasilnya adalah sejarah; bukan jawaban pasti. kecuali “keinginan untuk bersatu”. kayak jatuh cinta aja, irasional dan arbitrer.
ohayou
o genki desu ka
^
ano, sumimasen, kochira wa GUESTBOOK janai desu. ^^; moshi nanimono o kakitai nara, tokubetsu no PEEJI ga aru, sore wa ne: [link]
*switch Indonesia*
Jangan OOT lah mas; masa komentar gak nyambung sama postingnya. 😆
Kalau bicara soal basis penyekatan negara ya susah. Tapi ada ide klasik yang bisa dipertimbangkan. manusia itu cenderung hidup bermasyarakat sehingga terbentuk perkumpulan dengan berbagai atributnya : punya aturan yang melingkupi semua anggotanya, punya tanah tempat mereka tinggal. Jika masyarakat ini semakin besar maka atribut itu pun juga semakin berkembang : aturan yang mulai kompleks dan tanah yang semakin meluas. Dari sejarah kita dapat melihat perkumpulan seperti ini dalam berbagai istilah seperti suku, koloni, kerajaan atau negara. Jadi kayaknya basis itu bukan masalah tanah, tanah adalah sesuatu yang mutlak menjadi atribut bagi masyarakat. Tidak ada masyarakat yang tidak butuh tanah. Jadi mau bagaimana pergerakan tanah itu tidak relevan. Secara kasarnya terdapat hukum yang diam-diam diyakini manusia bermasyarakat yaitu masyarakat merasa tanah tempat mereka tinggal adalah milik mereka.
^
Nah, itu dia. Namanya masyarakat pasti memerlukan tanah. Masalahnya, boleh tidak tanah itu diklaim eksklusif milik satu suku/agama/dsb? Itu yang jadi masalah.
Taruhlah Israel-Palestina. Saya bisa mengerti bahwa Yahudi dan Arab di sana sama-sama perlu tanah. Tetapi bukan berarti hak tanah itu boleh dieksklusifkan sedemikian rupa, apalagi lewat SARA. (e.g. tanah cuma untuk Yahudi/cuma untuk Arab)
Saya sendiri memandang properti tanah itu sebaiknya dipandang per individu saja. Tidak usah bawa-bawa identitas kesukuan atau sebagainya — apalagi negara! 😛 Paling baik ditangani murni administratif IMHO.
Analoginya orang Batak bisa punya tanah di Jakarta, tapi kalau bermasalah, ke-Batak-an itu tak perlu dibawa-bawa. Kurang lebih seperti itu sih. (o_0)”\
Mungkin jika diposisikan seperti ini bagaimana,,,
>satu bumi satu negara terdengar seperti satu negara satu suku
ataukah
>satu bumi ragam bangsa yang dipersempit jadi satu bangsa ragam budaya
*
semoga bisa dipahami
^
Sebenarnya memang itu inti tulisan di atas. 😛 Umat manusia pada dasarnya satu keluarga di planet bumi; yang berbeda hanya coraknya saja.
Perbedaan corak itu sendiri bisa berupa suku, agama, dan budaya (among others). Kurang lebih seperti itu.