“Kamu itu orang mana sih?”
“Indonesia.”
“Iya, tapi suku mana?”
Kalau boleh jujur, saya sering punya masalah dalam menjawab pertanyaan di atas. Ini bukan karena saya multiras atau sebangsanya — hampir semua orang di sekitar saya akan berkata bahwasanya saya ini “orang Jawa”. Kulit saya sawo matang; rambut saya hitam, dan mata saya juga hitam. Kalau ada penampilan khusus yang membedakan, barangkali hanyalah kacamata yang saya pakai saja. =3=
*ditimpuk*
Oke, yang terakhir itu cuma bercanda. Tapi intinya, Anda boleh tanya ke orang-orang di sekeliling saya. Hampir pasti mereka akan berkata bahwa saya ini keturunan Jawa asli. Temannya tante saya yang berasal dari seberang pulau berkata demikian; guru les Bahasa Inggris waktu SMP berkata demikian; dan tak kurang ayah dan ibu saya juga berkata begitu. Jadi, menurut konsensus, saya ini adalah “orang Jawa”.
Tapiii… ada sebuah tapi, saudara-saudara.
Tapi.
Tapi.
Bahwasanya, saya tak pernah merasa diri sebagai suku yang disebut! ๐ฎ
Anda mungkin tak percaya, tapi begitulah adanya. Sebagai pemuda yang — katanya — Jawa, saya bisa dibilang sekadar “Jawa di luar saja”. Saya agak malu mengakui ini, tapi saya lebih piawai berbahasa Inggris daripada Jawa; lebih hapal Hiragana daripada Hanacaraka; juga pernah bertanya-tanya kenapa Gatotkaca tidak ikut membantu Sri Rama menolong Shinta. (*pembaca yang ngerti Mahabharata, silakan ngakak*) Kalau Raden Mas Minke merasa jadi anak mursal karena terpengaruh Eropa dan hilang kejawaannya, barangkali saya lebih parah. Barangkali saya bisa diibaratkan orang yang numpang lahir pada pasangan berdarah Jawa saja. ^^;
Tentunya semua itu ada penyebabnya. Kenapa bisa begitu, nah, ini ada ceritanya lagi.
When It Started
Sahibul hikayat, saya dilahirkan dalam keluarga “penjelajah” Pulau Jawa. Bukan “penjelajah” dalam artian Dora The Explorer, tentu. Yang saya maksud adalah, orang-orang dalam keluarga saya dilahirkan di tempat-tempat yang berbeda di pulau tersebut.
Ayah saya berasal dari Boyolali, sebuah kabupaten di Propinsi Jawa Tengah. Sementara, ibu saya tumbuh dan besar di pinggiran kota Surabaya. Mungkin ada di antara pembaca yang menyadari bahwa kultur Jawa Tengah dan Timur, walaupun mirip, sebenarnya memiliki sisi-sisi perbedaan: wayang vs. Srimulat, inggih-inggih vs. sindiran frontal; gaya abdi dalem dilawan humor “orang Madura”. Jadi bisa Anda bayangkan cultural mix-and-match yang terjadi di sini.
Sementara itu, saya lahir di… Jawa Barat. Bagian lain Jawa yang terkenal dengan lalap sambel, iklim dingin, dan penduduk yang (konon katanya) penyabar-kalem dan tak gampang marah.
Tiga tahun kemudian, adik perempuan saya lahir di… DKI Jakarta. Bagian lain Jawa yang akrab dengan kultur Betawi yang blak-blakan, santai, dan “gimana nanti aja”.
Alhasil, jadilah keluarga saya sebagai tempat bertemunya macam-macam budaya. Keluarga ayah saya njawa banget; keluarga ibu saya dengan Jawa Timurannya yang witty; saya melongok keluar melihat kota Jakarta, dan adik saya terpengaruh gaya Betawi yang santai hasil didikan lingkungan (dan Si Doel). Tambah ramai kalau Pakde saya datang dari Klaten, dan tante saya (dari pihak ibu) hadir. Yang satu akan bercerita tentang Pandawa Lima, sementara yang lain tertawa-tawa nonton Srimulat…
…you have the idea. Kalau ini disebut sebagai budaya Jawa, saya tak setuju. Rasanya lebih tepat kalau disebut sebagai “budaya campuraduk PULAU Jawa”. Yang kurang barangkali hanya Sunda, sebab keluarga saya cuma berdiam sekitar dua tahun di sana — yakni sekitar waktu saya lahir.
Dan belasan tahun kemudian, ternyata saya kuliah di Bandung. Maka lengkaplah…
Tapi Saya Bukan Orang Jawa!
Sebagaimana sudah dijelaskan, saya tumbuh dan besar di lingkungan budaya heterogen. Ada budaya Jawa Timuran; ada Jawa Tengah; ada Betawi hasil pengaruh lingkungan. Tambahkan fakta bahwa pembantu rumah tangga saya selama belasan tahun berasal dari keluarga Betawi, dan bahwa Si Doel (waktu itu) sedang jaya-jayanya — saya dan adik saya pun dengan sukses belajar ngobrol gaya Betawi.
Saya tahu, pada dasarnya, saya dan adik saya berdarah Jawa. Tapi apa mau dikata — kalau masing-masing ternyata lebih pandai berkata “Gue kate juga ape…” daripada inggih atau mboten ?
Yang berbau Jawa dari saya barangkali hanya nama saja (adik saya tertolong karena namanya berbau Arab). Dan juga tampang. Tapi, di luar itu, zero.
Mau ajak saya ngobrol tentang wayang? Beuh, nama Pandawa Lima saja saya tak hapal. Mau ngomong Jawa? Saya enggak ngerti. Hal-hal mistik seperti lelaku, weton, dan keris? NO WAY! Sumpah mati tidak melebih-lebihkan, sodara-sodara. Sebagaimana telah diutarakan di atas tadi, saya ini sekadar Jawa karena disangka orang. Padahal kenyataan sebenarnya tidaklah seindah itu. ๐ฅ
*halah*
Jakarta dan Pandangan yang Berbeda
Meskipun begitu, belakangan ini saya berpikir: jangan-jangan, kecenderungan saya untuk tidak mengelompokkan diri dalam suku tertentu aslinya disumbang oleh lingkungan tempat saya tumbuh. Jangan-jangan sebenarnya ada faktor pendorong juga dari luar, di samping “gado-gado budaya” yang disebut sebelumnya.
Kalau Anda pernah tinggal di Jakarta, atau pinggiran Jakarta, pasti tahu bahwa banyak di antara tetangga Anda adalah pendatang. Tetangga depan rumah saya dulu — yang kemudian jadi teman baik untuk waktu yang lama — adalah keturunan Bugis. Tetangga sebelah kiri dan kanan berasal dari Jawa. Agak jauh ke samping ada bapak-ibu asal Manado. Ada juga keluarga dari Padang, dan putri mereka jadi teman sekelas saya di SMP. Keragaman ini baru saya sadari belakangan ketika sudah ABG.
Rasa-rasanya, keragaman ini jualah yang mendorong saya berpikir sebagai berikut.
“Hei, peduli amat kalau saya bukan orang Jawa. Memangnya kesukuan itu penting, yah?” ๐
Kalau saya tak paham serat Arjuna Wiwaha, memangnya teman saya yang orang Bugis bisa? Kalau saya tak mengerti bahasa Jawa, memangnya kenapa. Teman-teman dan guru saya berasal dari berbagai Propinsi. Haruskah saya bicara Kromo Inggil dengan Bapak Siahaan dan Uni Hanifa? Menurut saya, tidak!
Alhasil, sejak itu saya jadi mengabaikan konstruksi sosial bernama “suku budaya”. Menurut saya itu hal yang kurang signifikan. Kita hidup di zaman di mana orang dari mancadaerah berkumpul, bukan lagi dalam kelompok-suku yang homogen. Kalau orang Dayak punya Mandau, orang Jawa punya keris — tapi, saya tak perlu bahasa Jawa untuk ngobrolin senjata daerah. Kan begitu?
Tentu, adakalanya saya ditanya tentang budaya Jawa oleh orang suku lain. Mungkin tentang wayang dan sebagainya. Untuk itu biasanya saya bilang, “Wah, mohon maaf, saya juga kurang tahu. Saya besar di Jakarta soalnya.” Habis perkara. Mungkin saya akan dibilang payah karena pengetahuan “kejawaan” saya kurang. Tapi, hei, saya kan selalu bisa belajar. ๐
Pemerhati Segala Bangsa
Efek lain yang saya dapat, gara-gara malas mengatributkan diri dengan kesukuan, adalah bahwa saya jadi terfokus pada betapa luasnya kemanusiaan itu. Sejak kecil saya belajar untuk melihat perbedaan; saya tumbuh dan besar di lingkungan yang heterogen. Guru-guru PPKn, biarpun digerutui para murid, selalu dengan rajin menekankan: “Jangan mengungkit SARA. Jangan membedakan teman. Jangan bersikap kedaerahan…” dan seterusnya.
Kalau boleh jujur, saya berhutang besar pada para guru tersebut. Merekalah yang — secara tidak langsung — membentuk saya agar memandang orang tanpa embel-embel stereotip. Saya tak percaya bahwa semua keturunan Tionghoa itu pelit dan culas (the fact that I favor oriental-looking girls does help). Saya tak percaya bahwa orang Jawa adalah yang paling sopan dan unggah-ungguh di Indonesia (saya pernah ketemu orang Jawa brengsek yang berprofesi sebagai penipu). Saya tak percaya orang Batak umumnya galak dan bicara keras (teman baik tante saya amat ramah dan ‘hobi’ mentraktir)… dan lain sebagainya. Di sisi lain saya percaya bahwa cewek Padang itu umumnya cakep-cakep. Agak generalisasi sih, but what can I do?
Alhasil bin walhasil, saya jadi terbiasa memandang orang di atas atribut kesukuan dan ras. Yang mana pada akhirnya…
…membuat saya jadi tidak peduli asal budaya sesuatu hal. Kalau ada sesuatu hal yang catchy, unik, menarik, atau paling tidak memorable, maka saya akan menyukainya. Biarpun asalnya dari seberang pulau atau samudra.
Saya suka masakan Padang, tapi juga suka lalap sambel-daun kemangi khas Sunda. Saya suka sayur asem, tapi benci setengah mati pada sayur lodeh. Saya belajar bahasa Jepang, sambil tertarik pada nama-nama Rusia dan Irlandia. Saya sama kagumnya pada Angkor Wat seperti saya kagum pada Borobudur. Gatotkaca tak jauh beda daripada Hercules dan Achilles; atau Ksatria Siegfried kalau Anda mau contoh dari Jerman.
Saya suka nonton dorama dan anime, dengar musik klasik, pasang lagu Bon Jovi dan Aerosmith — pokoknya, asalkan cocok, anything goes! ๐
Dan dengan demikian, saya pun mencoba untuk jadi anak semua bangsa. Saya bukan orang Jawa, bukan pula suku bangsa manapun di muka bumi. Meskipun begitu, saya tertarik mempelajari apa yang saya rasa menarik… sebagaimana sekantong keripik sanjay khas Padang atau teh wasgitel khas Jawa Tengah membuat saya tergiur. ๐
***
Dipikir-pikir, mungkin itu juga sebabnya tidak punya preference “cewek cantik itu seperti apa”. Cinta pertama saya orang Minang; tapi saya juga pernah naksir keturunan Sunda-Jawa dan Palembang. Saya suka tampang setengah-oriental seperti Susan Bachtiar (waktu beliau host Galileo!) — tapi juga tidak merasa tipe Kaukasus seperti Emma Watson itu jelek. Yang saya agak bingung barangkali kenapa banyak orang tergila-gila pada Maria Sharapova. Menurut saya banyak atlet putri lain yang lebih cantik daripada dia. ๐
*dilempar sandal*
*bletaaakkk*
…
…
Ahem.
Jadi, saya pikir, pada akhirnya saya tak usah peduli saja pada masalah “saya ini orang mana”. Sebab yang terpenting adalah menjalani hidup, menikmati keragaman budaya mancanegeri (dan daerah) — sambil sebisa mungkin jadi diri sendiri saja. Saya adalah anak semua bangsa yang belajar dari apa yang ada, apa yang bisa diresapi dan dinikmati. End of story.
Paling tidak, saya bisa baca Nibelungenlied sambil minum teh tarik dan makan emping…
Pertamax mahal ga yah?Saya jadi terbayang orang Cina yang di Jawa. Apa masih merasa Cina ya, soalnya beda sekali misal dengan yang di Singkawang dan Medan. Malah ada beberapa teman saya orang Cina yang kelahiran Banyumas dan sekitarnya malah ngapak-ngapak. ๐
Didik Nini Thowok. Nah lo. Lebih Jawa dari orang Jawa. ๐
Dan saya masih ga suka smiley baru.
Saya orang jawa, dan tidak merasa yang paling sopan dan unggah-ungguh
jelas tidak๐Yang menarik dari sudut pandang yang heterogen ini menurut saya adalah, ketika seseorang mulai kehilangan rasa kesukuannya, dan mulai tidak terlalu peduli dengan kesenian adatnya, yang menurut saya masih wajib di pelihara.
saya bertanya-tanya, mungkinkah ini akan sedikit banyak berdampak bagi rasa ketertarikan seseorang untuk mempelajari dan memelihara budaya asal sukunya?
Yah, tapi kita juga butuh orang-orang yang masih “setia” dengan sukunya, setidaknya dengan budayanya. Hanya demi menjaga agar budaya itu tidak hilang atau malah menjadi milik orang lain.
Saya malah sempat mengira orang Jawa, terutama Jawa Timur itu yang paling kasar. Lha wong setiap ketemua orang misuh-misuh terus. ๐
hahaha… ๐ ๐ ๐
[/senasib]
Di sini setiap ada yang nanya
lirik-lirik mbak Snowie(evilsmirk)
*ditimpuk*
(doh) blockquote-nya lupa ditutup, Sora benerin ya
oya, gimana kabar request saya?
Thanks b4
Saya cenderung seperti Nazieb, dan meskipun tidak tinggal di Jawa, begitu bertemu dengan orang Jawa lainnya, saya akan ngomong dengan bahasa Jawa. Termasuk dengan bos yang dari Suku Batak –tetapi bisa berbahasa Jawa–.
Bukan berarti tidak menghormati suku lainnya dan hanya mementingkan suku kita sendiri. Posisi semua suku sama. Yang menarik adalah di politik, di mana presiden Indonesia masih dilanjutkan oleh orang Jawa ๐
emang rada gak enak,sih kalau dibilang lupa kampung sendiri.
tapi yah mau gimana lagi?
contohnya saya keturunan etnis china,tapi belon pernah nginjek tuh negara.
mending kita menghormati t4 dimana kita lahir dan dibesarkan (itu kata guru kn saya,lho)
Saya bukan orang Jawa. Tidak ada darah atau keturunan Jawa sekali.
Menawi dipun tanglet kaliyan sepuh-sepuh, dalem meniko namung cengangas cengenges lan kringeten. Langkung gampil ngagem boso londo ketimbang boso jowo kromo ingkang sae. Ckckckkk…
Wonten crito pas dalem wonten Bandung. Kulo nyobi tiyang sepuh, simbahipun rencang kulo, Lampung asli, ngagem boso kromo inggil. ๐ฎ
*ngetes*
Hoalah, mengambil contoh satria Jawa impor dari India itu.
Lah kenapa nggak Antareja atau Antasena sahaja? ๐
*dhalang tancep kayon*
[serius]
Lah saya bisa dibilang lebih tersesat lagi (entah bisa dibilang Anak Semua Bangsa atau nggak). Rada aneh, saya suka menyesuaikan dengan kenyamanan orang.
Kalau ngumpul di lapo tuak bareng teman dari Papua misalnya, saya tak sungkan memanggil dengan sebutan “pace” sembari menemani minum. Dengan teman-teman yang berbahasa Jawa, saya layani dengan bahasa Jawa ala kadarnya yang saya bisa. Setahun belakangan karena sering ke Bandung, saya belajar bahasa Sunda agar mudah berinteraksi. Balik pulang ke Kalimantan, terpaksa kembali mengingat-ingat Bahasa Dayak Ngaju dan Banjar. Tapi ngerti dengar Hokkian, ngomongnya gak bisa. Ah iya, kata pacar saya, saya ini terlampau menyesuaikan dengan orang, lah di Jogja ini… contoh terkecilnya saja, makan di angkringan, ngomong dengan penjualnya pakai bahasa Jawa dengan panggilan “mas”, “pak”, atau “mbah” tergantung usia, lain kasus kalau makan di warung burjo, panggilan Sunda “A’a” atau “teteh” akan keluar begitu memesan atau membayar makanan.
Ah, parah… ๐
Btw, terakhir, apakah njenengan seberuntung RM Minke, dengan memiliki Bunda yang selalu menasehati agar tidak melupakan kultur Jawa? ๐
*nyelam di Bunaken*
@ lambrtz
Saya kurang tahu soal keturunan Tionghoa, sih — apalagi yang di luar Jawa (e.g. Singkawang & Medan ybs). Lha, kenalan saya biasanya ketemu di Jakarta atau Bandung. Umumnya generasi kedua/ketiga yg sudah berakulturasi. ^^a
/kota2 besar yg relatif heterogen
//malah ada yang pakai logat Sunda xD
Gimana kalau pakai smiley Jepun aja? ๐
(T_T) (-_-) (@_@) (^_^) (~_^) (>_<) (^o^) (_ _) (x_x) (=_=) (*_*) (u_u) (n_n) (o_0)
Lumayan ekspresif juga tuh. ๐
:::::
@ Frea
Mengenai rasa ingin memelihara budaya, saya rasa kembali pada rasa memiliki orang ybs. Kalau memang dia menyukai budaya Sunda/Jawa/Minang/apapun itu, nggak perlu disuruh juga dia bakal giat.
IIRC ada profesor dari Jepang yang jatuh cinta & tertarik melestarikan budaya Sunda. Waktu itu sempat ditulis di mading UKM Seni Sunda sih, tapi saya nggak ingat persis… intinya, kalau sudah suka, rasa memiliki itu pasti ada. Nggak mutlak terkait rasa kesukuan juga IMHO. (o_0)”\
:::::
@ Nazieb
Mengenai menjaga, ya, kembali pada si “pemilik” budaya aslinya sih. Tapi susahnya adalah, kalau ternyata keturunan suku ybs justru tercerabut dan gak tahu asal-usul…
seperti sayaxPKalau Jawa Timur, memang iya. Tapi kalau Jawa Tengah, biasanya jauh lebih sopan. IIRC orang2 Solo, Pacitan, Pekalongan dsb.-nya unggah-ungguhnya relatif sangat tinggi dibandingkan Surabaya/Madura. ^^
/sekurangnya mereka nggak gampang teriak “Jancuk kowe!” kalau lagi jengkel
:::::
@ rukia^^
Astaganaga! Inikah… terjemahan bahasa Bali dari dialog yang saya kutip di atas?? ๐ฏ
Tapi belakangan ini saya ngefans yang rada Timur Jauh, sih…
Lha, kan udah saya bilang di private plurk. Udah dibaca belum? (o_0)”\
:::::
@ isnuansa
Kalau saya, tergantung kebutuhan. ๐ Dengan ibu penjual makanan depan kampus, saya pakai Sunda; dengan teman asal Jakarta, pakai logat Betawi. Kalau sama teman dari Blora atau Nganjuk… pakai bahasa Indonesia.
Dengarnya sih ngerti, tapi nggak bisa interaktif. Skill Jawa saya cuma sebatas inggih-mboten saja. xD
Betul juga. Malah sampai dibuatkan urutan “Notonogoro”. ๐
:::::
@ vya
Saya juga, keturunan Jawa… tapi jarang betul main ke kota asal. Rasa-rasanya cuma tiga-empat kali dalam duapuluh tahun. ^^;
Masalahnya keluarga yang tinggal di sana juga jarang. Jadi, biarpun libur, yang mau dikunjungi juga nggak ada. ๐
Yup, yup. =3
:::::
@ rozenesia
Eh, ada
mbakmasDik Rozen. Hidup lagi rupanya itu blog?*menyerahkan kertas ujian dengan mata berkaca-kaca*
*pergi ke toilet dan menangis tersedu-sedu* ๐ฅ
Njenengan menuntut terlalu tinggi. Kalau Pandawa Lima saja saya tak hapal, bagaimana pula saya diminta menyebut Antasena-Antareja? Hah? HAh?
HAH??? ๐
*ditimpuk*
Saya juga… saya juga… ๐ฎ
Kalau sedang di Bandung, pakai Sunda sedikit-sedikit. (“kumaha atuh?”, “poho euy…”, “janten sabaraha?”)
Kalau sedang di Jakarta, pakai dialek Betawi. (“Gue kate juga ape?”, “Pan udah gua bilangin?”, “Ya ma’ap…”)
Kalau di Jawa… paling mantap sekadar inggih-mboten. Bukan karena tidak mau — melainkan karena skill bahasa Jawa saya benar2 mendasar dan hancur. Saya bahkan nggak tahu perbedaan antara kalimat ngoko/ngapak dengan kromo. (T_T)
Walhasil, saya ya begini2 saja. Justru lebih fasih bahasa Sunda daripada Jawa, yang notabene dipakai ayah, ibu, tante, dan pakde saya. ๐
…ndak juga. Ibu saya orangnya cenderung bebas. Lha beliau orang Jawa Timuran, je. Masalah budaya dan bahasa nggak seketat PakDe saya yang asal Klaten. ๐
/plus, gara2 beliau pula saya jadi numpang lahir di Jawa Barat…
*kesummon*
OOT
:: Rukia
Lihat perbuatan mu. Kan sudah saya bilang berkali-kali.
___
:: Sora
Well, Sora sayang. Ku kira kau tak perlu sekejam itu padaku kalau hanya untuk membela diri. Mau gak mau perkataanmu telah melukai harga diriku yang tinggi ini.
Dan seingatku belakangan ini kita tidak punya masalah.
Terserah kalau kau menyukai siapapun. Tapi tolong, hindari komentar yang ada kaitannya denganku.
Karna sepertinya beberapa teman kita tidak juga mengerti kalau tidak ada hubungan apapun di antara kita.
Atau, mungkin untuk menghindari kesalahpahaman yang berkelanjutan, tolong selesaikan ini dan katakan dengan tegas pada mereka.
Karena sepertinya mereka gak ada yang mau dengar kata-kataku.
… dan sudah cukup untuk menahan diri.
~ aku tidak suka diperlakukan begini dan aku harus mengatakan ini.
PS.
Kalo komentar ini dirasa mengganggu. Silahkan perlakukan sesuka mu.
^
Loh… loh… loh…
Kenapa jadi saya yang salah? Memangnya saya memperlakukan mbak seperti apa? ๐
Saya kan cuma bilang,
Kalo mbak merasa terganggu gara2 selera saya memilih Asia Timur (Jepang/Tionghoa/Korea dsb.) daripada SumBar, ya, mohon maaf. Tapi itu bukan urusan saya. ๐
I said, cewek Padang itu umumnya cakep-cakep. Gebetan SMP saya orang Padang; teman baik saya waktu SMA (cewek) juga orang Padang. Sekarang saya lebih pilih Asia Timur. Kenapa pula jadi mbak yang terganggu?
Kalau saya salah dengan bilang begitu, saya mau tahu salahnya di mana. Show me where I did wrong if I did. ‘Kay?
Ps:
Kalau lagi emosi gak jelas, baiknya jangan grasa-grusu nulis komen. Sekarang lihat hasil perbuatanmu. Saya jadi harus mengklarifikasi panjang-lebar begini. ๐
^^^
Kaget sanget ngertos wonten ‘komentar’ kados menika. ๐
Ingkang kapindo, monggo rencang sedoyo sesarengan kito saget sinau bab tresno punika. ๐
[/kromo]
Ini ceritanya:
Di suatu hari yang cerah, kau mengatakan bahwa menurutmu es-krim walls itu pada umumnya rasanya enak. Seseorang mendengar perkataanmu dan ‘menawari’ sebungkus es-krim dari jenis tsb. Tapi saat itu juga kau mengatakan bahwa kau menyukai coklat. Tentu saja sang es-krim merasa harga dirinya dilecehkan.
Intinya, tidak masalah kau menyukai coklat atau apapun itu. tapi kenapa kau mengatakan kau menyukai coklat tepat pada saat setelah es-krim diajukan padamu. Apa salah es-krim pada mu?
Do you see it now?
.
.
.
Oh. Jangan harap.
PS.
Tentu saja saya sedang tidak emosi. Dengan kata lain saya baik2 saja. Di sini sedang hujan, dan sudah berlangsung dari kemarin. FYI, saya jarang emosi kalo sedang hujan.
@ Snowie
What the fark?
Jadi situ maunya apa? Mau saya jawab “Ya” seperti ini?
waktu menanggapi mbak rukia? Itu malah tambah bikin gosip.
Atau mau saya jawab “tidak”, begini:
Bukankah kalau begitu, lebih berpotensi membuat mbak terluka? Sebab kesannya justru menyerang secara pribadi. Apalagi sebelumnya saya sudah menyebut soal “cewek Padang”.
Atau mbak mau saya bilang:
Mau begitu? Enggak kan?
Justru lebih baik kalau saya jawab, “Dulu saya memang tipe ke sana, tapi sekarang lebih ke Asia Timur.” Lebih general, tidak menyerang pribadi mbak, dan — yang terpenting — lebih mewakili kenyataan.
Kan begitu?
* * *
BTW, coba cek lagi komen mbak rukia. Dia itu nggak “menawarkan es krim”.
Jelas-jelas dia sekadar “lirik-lirik es krim”. Kalau si es krim jadi GR, ya, apa mau dikata…
* * *
FYI, saya sempat tanya pendapat teman2 lain lewat japri soal ini. Saya tanya: apa kalimat saya salah, atau bagaimana? Menurut mereka biasa-biasa saja tuh. Justru mereka bingung melihat reaksi mbak seperti di atas.
Perasaan mbak sakit hati adalah subjektif. Orang lain yg saya tanya, tidak ada yang merasa kalimat saya ofensif. Kalau banyak yang sepemikiran dgn mbak, mungkin memang saya yang salah — tapi nyatanya kan tidak. ๐
* * *
Anyway. Berhubung ini sudah melenceng sekali dari topik post, saya berikan satu kali lagi jatah menanggapi. Kalau masih ada lagi komen yang memanjang-manjangkan masalah ini, akan saya kirim ke akismet — kecuali jika argumennya kokoh, runtut, dan logis.
Sekian, terima kasih.
@ rozenesia
Saya nggak ngerti Jawa Kromo. >__>
sama.. pas EBTA SMP cuma dapet 60%, temen2 dapetnya rerata 80%..
anyhow..
ROFL.. almost literally.. ๐
ehm, tapi kalo tokoh wayang banyak yang bisa tiwikrama, kenapa ngga ada yang bisa time travelling yak?
*ngga ada hub sama thread, eh, blogpost*
ah, jadi inget hiruta, pa kabar ya tuh anak..
Wah, saya juga dah tercerabut dari akarnya. Orang bilang saya lebih cocok jadi orang jawa dibanding orang batak.
@ rifu
Ada gitu, EBTA bahasa Jawa Kromo?
Ya, tapi gw dulu dapet EBTA bahasa Sunda sih. Jadi mungkin memang MULOK kita beda. ๐
Ndak tahu. Tapi katanya, di Ramayana ada soal naik pesawat ke bulan gitu? CMIIW. (o_0)”\
/sebutannya “Vimana” kalo ga salah
Betul juga. Gimana kabarnya ya. ๐
BTW, emangnya mbak Ma nggak tahu?
:::::
@ Dana Telco
Loh, mas dana orang Batak? Selama ini saya kira orang Jawa! xD
/jadi malu
//selama ini juga mengira Jenar orang Jawa
ada, sama hanacaraka juga pulak! ๐
hehe, SMP gw pan di solo, jadi dapet mulok nya ya itu..
wah, yang ke bulan itu malah gw baru denger, huhu, padahal Ramayana itu buku wayang saya yang pertama, tapi ya bacanya tetep di jakarta, sebelum SMP di solo, racun dari film wayang india di TPI dulu kalo ga salah ๐
huhu, status facebook nya Ma yang lalu saja menyiratkan kalo Ma juga ngga tahu kabarnya tuh.. (ah iya, lu kan ngga fesbukan, defeat the purpose of anonymous blogging ๐ )
aktivitas terakhir di blognya mbak JP juga, sekitar november 2008..
btw, sama sekali ngga ada referensi ke Mbah Pram ya?
weh, mbaca tulisannya sora jadi seperti melihat diri sendiri
saya juga onderdil dari jogja + surabaya, tapi dirakit di padang hihihi
tumbuh besar di lingkungan dan sekolah yang berisi beragam suku, jadi u/ ngomong sehari-hari terbiasa pakai bahasa indonesia. ngomong pake bahasa jawa ndak bisa, bahasa minang juga ndak lancar :))
jadi kalau di tanya “kamu orang mana?” kujawab “orang indonesia dong”. kalau ditanya suku apa tinggal jawab “bapak ibu dari jawa, tapi saya lahir di padang”
tapi sebenernya pengen jawab… “saya orang bumi, earthling”
ihiyy….
@ rifu
Gw sih mau ke fesbuk, tapi cuma buat main gamesnya doang. Ambisinya cuma satu: jadi yang terbaik di Typing Master! ๐
/halah
//ketularan omongan yud1 nih gw ๐
Lha? Judul “Anak Semua Bangsa” itu kan asalnya dari Tetralogi Buru? RM Minke juga udah disebut, gitu loh.
:::::
@ bearnuts
Ternyata kita senasib. ๐
Saya juga pengen jawab seperti itu sih. Cuma rasanya kok rada… kurang umum ya? ๐
ups,
skipspeed reading FAIL.. ๐Di salah satu versi Mahabharata (kalau ndak salah salah satu versi India-nya), Bimasena pernah bertemu dengan Hanoman yang sudah tua (??), di mana Hanoman bercerita bahwa asal-muasal mereka sama (Bayu).
Kalau Ngoko?
Nanti pake Ngoko dah.
Tenang, saya ndak lancar kok, bukan Jawa gini.
^
Ngoko cuma bisa denger doang. Itu pun dengan vocab terbatas… tapi paling nggak mendingan dikitlah daripada kromo. ๐
*clingak-clinguk*
*tarik Sora dan Snowie*
Kenapa kalian jadi bertengkar? Maap, tiada maksud membuat kalian bertengkar ๐ฆ
jangan bertengkar lagi yah ๐ฆ
*jadi merasa bersalah*
*nangis di pojokan*
๐ฅ ๐ฅ ๐ฅ
Tulisan sora ini seperti mengingatkan keadaan diri saya…:-).
Ortu asli solo, tapi lahir dan besar di jakarta. Sebenernya saya masih mending (bangga…hehehehe) coz bisa mengerti bahasa Jawa (ngoko), walau ga bisa mempraktekkannya.
Tapi….tapi… sempet nyesek jg pas dulu kuliah di Solo satu angkot ma bule dari Denmark yang jauh2 ke Solo untuk belajar bahasa dan budaya Jawa.
Waktu itu sempet saya tanya,”Kenapa belajar bahasa Jawa?
Eh, bukannya jawab alasannya, dia malah balik nanya,”Kenapa tidak?”
aduuuh…waktu itu saya bener2 ga bisa ngomong…
o…ya, ini komen kedua saya…:-)
@gun
itu mah simply longevity, atau at best, almost immortality..
@rukia
*cep cep*
@ rukia^^
Makanya, jangan suka nggosip… ๐
:::::
@ aisha
Euh… sepertinya banyak keturunan Jawa yang senasib, yah? ^^;;
:::::
@ rifu
*menyaksikan rifu menenangkan orang lagi nangis*
Ternyata Rifu bisa ya seperti itu… ๐
*dilempar sandal* xP
*lempar sandal*
bagaimana dengan kau bung sora? xixixi.. ๐
Kalo aq lahir dan besar di Medan, kalau di Medan ditanya orang apa, aq jawab “Orang Jawa”, nah sekarang kedapetan kuliah dan kerja di pulau Jawa, dengan memelas kalau ditanya asli mana? aq mau gak mau jawab “Orang Medan”.
tapi belakangan ini paling kalo ditanya asli mana, paling aq nyengir sambil bilang “It’s Complicatedโข”, males menjelaskan cerita kenapa aq yang bertampang “sedikit Jawa” ini bisa berasal dari Medan.
Oiya, tentang wayang, pernah berniat dan bertekad mempelajarinya, pernah maen ke sebuah situs wayang, tapi ditengah perjalanan asik membaca keluar tulisan:
“This Site Hack By Bla bla bla…”
..T_T..
Jadi miris…padahal cuma pengen memperdalam pengetahuan tentang negeri sendiri..
Hwaduh, jadi bingung juga nih. Orang India tetangga sebelah jauh lbh apal soal beginian drpd temen2 orang jawa tempat aku ngekost dulu.
Jadi bingung sama orang Indonesia yang ngaku2 anak Bhima yang ngaku bernama Gatotkaca diakui sebagai produk “ASLI” Indonesia ๐ ๐
*digebuki para dalang dan penggemar wayang*
@ tierainrie
Coba ke wikipedia aja, mbak. Seenggaknya membantu sedikit-sedikit. ๐
/pengalaman pribadi
:::::
@ Ando-kun
Well… to be fair, memang nyatanya (hampir?) semua cerita wayang Jawa diimpor dari India. Jadi yang kayak begitu nggak aneh juga. ^^;;
Kalau nggak salah akarnya dari budaya Hindu yang berkembang di sana. Tapi kurang tahu juga detailnya seperti apa. ๐
/ceritanya doang sih
//konon desain wayangnya asli Indonesia
kalo ditanya saya org mana, saya jawabnya enteng aja kalo saya org Jawa… bukan krn asal-usul biologis, tp krn saya emang lahir di pulau Jawa…. hehehe
^
Yaa, etnis di pulau Jawa kan banyak. Itu yang sering ditanya orang. ๐ Sunda, Betawi, Jawa, Madura…
/warga keturunan juga ada
//arab, cina, india, dst
Ya,
saya juga pernah mengalami hal seperti anda…
Saya sering dianggap orang jawa oleh orang disekitar saya, padahal saya asli Lampung. Alasannya adalah warna kulit (kulit saya memang agak kecoklatan sih)….
lily – yg dulu suka muncul di blognya yud1
hmm, sora, pa kabar??
masih inget aku kan…ha3X
hmmm………
duh sora jangan segitunya dong
kalo kamu orang jawa, ya berusaha lah buat belajar terus mengenai budayamu itu
kalo semua orang jawa merantau, dan sikapnya kayak kamu, maka akan punah budaya jawa itu
aku ngomong gini bukan asal ngomong loh…
aku ini orang dari luar pulao jawa
tapi aku tinggal di jawa, lahir-gede di jawa, dimana semua orang pake basa jawa (krama,ngoko, dll), tapi di rumah aku selalu pakai bahasa indonesia dan menguasai bahasa daerah asalku, aku masih tau dan terus membawa nama suku-ku dan aku bangga akan asalku
aku bahkan malu kalau sampai tidak bisa bisa menjawab pertanyaan orang-orang mengenai budaya ku
nggak masalah kalo ada yg meragukan ke”asli”an ku
kalo orang mau bilang aku orang jawa yah itu terserah mereka
yang pasti aku merasa bukan orang jawa dan aku adalah orang dari daerahku yang masih menurunkan nama suku-ku dan aku lancar berbahasa daerah-ku, dan sangat cinta pada daerah-ku walau aku lahir di jawa…..
yah kalo aku sih begitu sora!!
dah jangan gitu banget lah
^
Jangan kuatir. Sedikit-sedikit saya masih baca e-book Mahabharata dan Ramayana, kok. ๐
Walaupun tetap nggak bisa bahasa Jawa sih… ๐
/lack of cultural exposure
//not that I don’t want to
///if you have good books, I may want to read
[…] Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah tahu kisah tumbuh-kembangnya saya di lingkungan multikultur tersebut. Saya tumbuh dikelilingi oleh perbedaan: teman main saya ada yang berdarah Bugis; di sekolah punya […]
[…] kenapa temanya world music, tentunya karena saya orang yang berwawasan multikultur dan menganggap batas negara itu semu. Tapi itu cerita lain untuk saat […]