Perhatian:
Topiknya agak berat dan panjang.
Secara umum, saya ‘berkenalan’ dengan bidang pembahasan yang satu ini sekitar empat-atau-lima tahun yang lalu; ketika membaca buku “A History of God” tulisan Karen Armstrong. Sebetulnya, ini bukanlah buku yang sangat khusus membahas tentang teologi, melainkan lebih ke arah penyikapan manusia atas konsep “Tuhan” dari masa ke masa… meskipun begitu, bukan itu yang hendak saya bahas kali ini.
Boleh dibilang bahwa perkenalan saya dengan beberapa konsep teologi (terutama yang semitik) dimulai dari buku itu. Saya sendiri sempat beberapa lama tertarik berpikir mengenai disiplin ilmu yang satu ini — memikirkan bagaimana sebenarnya cara kerja Tuhan; apa yang diharapkan-Nya dari manusia, dan seterusnya, dan seterusnya. Meskipun begitu, bertahun-tahun kemudian, saya menemukan beberapa hal yang membuat saya (secara pribadi) jadi agak kurang tertarik dengan bidang kajian yang satu ini, terutama jika sudah mencapai ranah debat.
Penjelasannya kira-kira begini.
(1) Tuhan, dan wilayah akhirat-Nya, adalah suatu entitas yang transenden[1] dan tidak terpersepsi oleh manusia di dunia.
(2) Seseorang merasa ragu akan teologi yang dianutnya, dia ingin membuktikan apakah keyakinannya itu sejalan dengan ‘kenyataannya’ di alam Tuhan.
(3) Maka, keragu-raguan orang itu hanya bisa terjawab jika ia pergi ke Akhirat dan ‘membuktikan’ cara kerja Tuhan yang sesungguhnya. Hanya dengan ini dia bisa membuktikan teologi mana yang sesuai dengan “keadaan sebenarnya” di wilayah Tuhan.
Nah, sampai di sini, kita bisa melihat bahwa “jawaban” untuk semua pertanyaan teologi hanya tersedia di akhirat. Dengan kata lain, seseorang harus meninggal lebih dulu untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan sebuah keyakinan teologis.
Jika misalnya saya seorang Muslim, dan saya ingin membuktikan ad oculos[2] bahwa teologi agama saya benar, maka saya harus meninggal dulu. Demikian pula jika saya seorang Kristen, Buddha, ataupun yang lainnya.
Tetapi, kemudian ada hambatan seperti berikut:
(4) Meskipun begitu, orang yang sudah masuk akhirat tak boleh lagi kembali ke dunia. Seandainyapun boleh (e.g. dalam kasus reinkarnasi), maka tetap saja tidak ada ingatan akan alam akhirat yang bisa dikorek darinya[3].
(5) Alhasil, akhirat tetap menjadi misteri. Tidak ada bukti empiris apapun yang bisa menunjukkan bagaimana cara kerja Tuhan dari singgasana-Nya di alam sana.
Otomatis, akhirat (dan cara kerja Tuhan) tak bisa dibuktikan secara empiris selama kita masih hidup di dunia ini. Kalau sudah begini, yang bisa dilakukan hanyalah pendekatan-pendekatan saja — baik itu dengan bantuan logika, etika, maupun kitab suci agama.
Tapi, semua itu sifatnya pendekatan — Anda hanya bisa menafsir dari yang bisa Anda tangkap di dunia ini. Dan penafsiran, baik itu menggunakan logika, etika, maupun teks religius, akan selalu berbeda antar satu orang dan lainnya.
Dan, kalau sudah masuk ke ranah debat, perkara teologi ini hampir pasti akan menjadi diskusi yang berkepanjangan dan seringnya malah jadi panas dan penuh flame 😛. Mengapa? Tak lain karena semua pihak yang terlibat merasa mempunyai penafsiran yang paling logis, etis, dan juga sesuai dengan agamanya (jika kebetulan si pembicara menggunakan dalil agama).
(+)
Apakah orang sekuler yang humanis akan cukup diterima oleh Tuhan?(-)
Tidak, saya rasa agama itu syarat terpenting. Tuhan mana mau memperhatikan orang yang lebih peduli pada sesama tapi kurang peduli pada-Nya.(+)
Kalau begitu, Tuhan itu semacam diktator megalomaniak dong? Masa Dia sebegitu inginnya disembah, sehingga kebaikan pada sesama manusia bernilai begitu rendah?(-)
Saya rasa bukan begitu. Sebenarnya…
Dan diskusi di atas boleh jadi akan berlangsung lama.
Dan, sekalipun Anda berdua akhirnya bersepakat akan suatu hal (e.g. “oh, jadi Tuhan itu sebenarnya…”), sesungguhnya itu tidak menjamin apa-apa. Bahkan, boleh jadi Anda berdua sebetulnya masih sama-sama salah.
Kok bisa?
Analoginya begini.
Dulu, di Cina, tidak boleh ada orang yang menatap wajah Kaisar. Jadi, tidak satupun yang tahu seperti apa sebenarnya wajah beliau.
Kemudian, ada yang bertanya: “seperti apa sih bentuk hidung Kaisar?”
Orang-orang pun ramai membicarakannya.
“Menurut saya Kaisar itu hidungnya agak pesek dan sempit. Lihat saja para pejabat; bukankah hidung mereka juga segitu. Dan lagi, bukankah kebanyakan orang Cina agak pesek hidungnya?”
“Ah, kalau menurut saya, Kaisar itu hidungnya agak lebar. Soalnya melihat warna kulit para penghuni Istana, kesannya mereka itu dari suku X.”
“Konon, sewaktu kecil Kaisar pernah jatuh dari pohon. Jadi mungkin saja ada bekas patah di hidungnya.”
Kemudian pembicaraan pun terus berlanjut. Hingga pada akhirnya orang-orang yang berdiskusi mencapai kesimpulan:
“Kaisar itu, pastilah memiliki hidung yang pesek dan agak sempit. Itu karena alasan-alasan bla-bla-bla… (disertai bahasan panjang lebar)
Akhirnya, mereka sepakat akan bentuk hidung Kaisar dari diskusi mereka hari itu.
Tapi, apakah benar bentuk hidung Kaisar sesuai hasil diskusi mereka? Itu tetap menjadi misteri.
…
…
Dan itu sama halnya dengan berbagai debat teologis. Anda berdebat, menyampaikan argumen, memilah filsafat ataupun kabar dari sumber agama… tentunya tanpa melupakan bahwa sumber teks agama yang sama bisa ditafsirkan berbeda oleh kedua pihak. Kalau dialog jadi panas, itu wajar.
Kalau Anda bisa mencapai titik temu, itu luar biasa…
…tapi, tak ada bukti bahwa hasil diskusi Anda itu mencerminkan ‘hal yang sebenarnya’. Tuhan dan akhirat masih tetap terselubung — selain yang ditunjukkan-Nya pada kita sedikit demi sedikit dari berbagai sumber[4]. Itu pun dengan asumsi bahwa penafsiran Anda akan diri-Nya cukup akurat; entah itu lewat akal, etika, maupun jalur agama. 😉
***
Dan inilah sebabnya saya tak terlalu suka terjun ke dalam yang namanya debat teologi. Capek. Dan nggak ada bukti once-and-for-all untuk menjatuhkan sebuah argumen, betapapun (menurut saya) argumen tersebut sangat lemah dan intuitively plausible. Apalagi kalau udah bawa-bawa fanatisme — dialog itu sudah hampir pasti bakal penuh flame layaknya ladang gas kebakaran. 😛
Jadi, saya pun lebih suka nonton debat (dan belajar sendiri) tentang teologi, daripada urun berpendapat di suatu forum. Tapi, tentunya ini mengecualikan kejadian luar biasa yang mungkin terjadi. Toh bukannya tak mungkin saya berubah pikiran. ^^
Ada pendapat lain?
~~~~~
Footnotes:
[1] Artinya kurang lebih “tinggi dan tak terjangkau”, baik secara fisik maupun akal.
[2] ad oculos, bahasa latin “dengan mata”. Maksudnya “pembuktian dengan mata kepala sendiri”. Dalam kasus ini, maksudnya pengalaman spiritual yang dialami sendiri, bukannya diceritakan oleh orang lain.
[3] Yang sering saya dengar, orang-orang yang -merasa- direinkarnasikan bisa mengingat kehidupannya di masa lalu, tetapi tak pernah membicarakan ‘masa transit’ mereka di akhirat. Adapun beberapa konsep reinkarnasi menyatakan bahwa ‘akhirat’ (atau tahap selanjutnya dari kehidupan) baru bisa dicapai setelah seseorang menyelesaikan siklus reinkarnasinya; dus, bisa saja memang tak ada ‘transit akhirat’ di antara dua inkarnasi.
[4] Sumbernya bisa saja dari kitab suci, filsafat, ataupun spiritualisme natural bawaan manusia. Atau bisa juga berupa wahyu, kalau Anda adalah seorang nabi. 😛
Whooaa… teologi 🙂
Saya pribadi melihatnya sebagai kajian ilmu yang menarik dan memancing rasa ingin tahu. Tapi kemudian untuk membahas hal ini (hingga sampai pada debat) dengan ide dan logika berfikir pribadi, menyampaikan argumen begini-begitu, nanti dulu… 😛
Kepuasan saat (misalkan) argumen kita nantinya `menang` dan disetujui toh gak menjawab kebenaran yang sebenarnya juga.
Jadi? Errr… mungkin kurang lebih sama, kalau ditanya bagaimana sikap saya saat diskusi tentang hal ini, lebih suka mengamati perkembangannya, tapi untuk urun peran ikut diskusi (atau debat di ladang gas 😛 ) bakal lihat kondisi dulu.
—
Ah iya, di salah satu resensi yang saya baca, pemikiran Karen ini cukup bagus buat orang yang lumayan punya basic keyakinan yang baik. Bisa jadi wacana dan pengetahuan baru terkait masalah teologi seperti ini dan bisa memahami fenomena baru di luar keyakinannya itu.
Sebaliknya, bagi kaum intelektual yang keyakinan agamanya rendah, bisa jadi sumber inspirasi buat `dakwah` keyakinan baru mereka, Atheisme gaya baru. Atheisme (yang humanis?) yang percaya konsep tuhan, hari akhir, hari pembalasan, tapi menolak kebenaran tiap agama yang ada hari ini.
Anyway, saya suka buku ini, masih ada keinginan buat punya milik sendiri, nanti… (mahal sih 😛 )
Jika maksud meninggal di sini di artikan harafiah, maka pendapat tersebut telah salah besar. Wong para nabi tentu tidak perlu mati dulu baru bisa membuktikan teologi yang diajarkannya toh. 😉
@ danalingga
Mas Dana, ini kan maksudnya membuktikan dengan ad oculos, membuktikan langsung dengan melihat sendiri…
Jadi mestinya pendapat di atas itu udah bener, 🙂
maksud saya nabi itu kan “melihat” sendiri, dan mereka mereka itu kan manusia sama seperti kita. Dan mereka tidak perlu mati dulu untuk membuktikan tersebut, jadi ya kita juga ndak mesti mati dulu baru bisa membuktikan. Lagian walau dah mati juga belum tentu dapat membuktikan kok, itu semua tergantung. 🙄
Ma udah duga kalo Dana pasti ke-summon ke sini,, 😆
Masalah tentang Tuhan itu, biar dibilang susah, belibet dan dengan kemungkinan besar ga bakal kejawab,, ga tau kenapa tetep bikin Ma pengen tau dan ngerti,,
Makanya jadi terus terusan nanya
dan kadang kadang ngerepotin yang ditanya*lirik Dana*
Masalah Teologi yang di-diskusiin, Ma ngerasa ini tuh masalah yang private banget, jadi kayanya ga bisa dan ga perlu di diskusikan,, kan kebanyakan dari pengalaman pribadi, yang bisa jadi beda beda,, lain ceritanya kalo mau belajar,,
*lirik Dana sekali lagi*
Hmm,, Sejarah Tuhan ya? Papa sih udah lama beli,, tapi ga Ma baca,, ketebelan,,
@ jejakpena
Seperti halnya soal debat bentuk hidung Kaisar Cina itu.
Lha, saya malah belajar teologi Kaballah dan Kristiani pertama kali dari buku itu… 😛
:::::
@ danalingga
Lho, post ini kan ditujukan buat khalayak umum. Tentunya, dari situ, saya berpikir bahwa — hampir pasti — tidak ada pembaca blog ini yang mendapatkan wahyu ilahiah. 😀
Makanya, dengan asumsi itu, saya menulis bahwa ‘jalan menuju akhirat’ itu, untuk manusia biasa, adalah lewat kematian. 🙂
-euh… ini generalisasi juga, sih-
Lagipula, di footnote [4] kan saya sudah mempertimbangkan adanya kemungkinan ‘wahyu’ sebagai sumber info; hanya saja tidak dimasukkan sebagai mainstream post ini.
Memang iya, setelah mati pun kita belum tentu langsung “bisa melihat” cara kerja Tuhan. Tetapi, transendensi alam Tuhan mengakibatkan kita mustahil memantaunya dari dunia fana ini…
Dus, karena kita tidak bisa memantaunya dari dunia ini, maka harus dari tempat lain. Bagaimana caranya ke tempat lain itu?
Yang paling umum, tentunya lewat kematian (mungkin ada jalan lain lagi; tapi saya bilang kan yang paling umum 😛 ).
Adapun boleh jadi kita tetap tak mendapat ‘bukti pengamatan’ setelah masuk akhirat. Tetapi, setidaknya peluang untuk mendapat bukti itu di sana lebih besar — terutama bila dibandingkan dengan kalau kita masih tinggal di bumi.
……
……
Sedangkan yang jadi inti dari post ini adalah ketidakmampuan kita menghadirkan bukti telak atas sebuah argumen teologis. OK, misalkan kita mempunyai seorang yang mendapat wahyu ilahiah soal ini. Ini kan hard fact. Tapi ada masalah.
Jika dia menyampaikan cerita tentang ‘teologi’ hasil pewahyuannya itu. Apakah orang-orang akan langsung percaya, atau skeptis dulu? Boleh jadi justru dia akan dinyatakan terkena halusinasi? 😉
Undisprovability itulah yang saya angkat di post ini, dan menjadi alasan utama saya untuk malas adu argumen di debat teologi dan semacamnya. 😀
:::::
@ Rizma
Kalau menurut saya, itu sebenarnya kebutuhan yang logis dimiliki setiap orang. Semua orang yang percaya -atau menaruh perhatian- pada Tuhan harusnya penasaran akan hal itu… karena itu menyangkut kepercayaan dan rasa ingin tahu kita. 😉
Nah, itu dia. Pengalaman pribadi itu sifatnya subyektif; dan susah untuk dijadikan landasan empirik. Memang itu boleh jadi benar dan akurat; tapi orang lain belum tentu percaya.
Salah-salah, pengalaman ‘bertemu Tuhan’ yang dialami seseorang justru dianggap sebagai halusinasi — atau malah dianggap sebagai pendapat mengada-ada. (seperti yang saya jelaskan buat komen Mas Dana di atas)
bagus artikelnya…
tapi mau komentar yang ini :
Salah satu hal yang jarang saya lihat dalam debat teologi adalah kebesaran dan kelapangan hati untuk melihat perbedaan.
Inti dari suatu perdebatan teologis terkadang tidak selalu berujung pada suatu titik temu (atau dlm bahasa lainnya kesepakatan), karena yang paling esensial dari dialog (debat) teologi adalah pemahaman. Dan memahami tidak selalu berarti menerima (tolerance and not acceptance)
Ketika kita mencoba “membedah” Tuhan (teo-logos), seharusnya kesadaran yang dipakai (menurut istilah Syafii Maarif) adalah kesadaran bahwa kita mencoba dari sesuatu yang nisbi (relative) menuju pada sesuatu yang absolut. Karena itu argumentasi kitapun menjadi relatif, dan sesuatu yang relatif tidak bisa menjangkau sesuatu yang absolut (Tuhan). Memahami bahwa kita (manusia) adalah relatif adalah kesadaran terpenting dalam memahami Tuhan. Implikasinya, tidak ada mutlak-mutlakan disitu, karena yang mutlak hanya punya Tuhan.
*sorry kalau kepanjangan*
hehehehe, titik temu memang sulit dicapai. yang jadi problem real adalah bagaimana walaupun tanpa titik temu, kita tetap bisa hidup dengan tenang.
nggak enak juga kalo pas mau jadi imam shalat tiba2 ada yang bilang, “jangan makmum sama dia. shalatnya ga sah.”
mau saya gampar, hah?!
@Rizma
kok lirik lirik aja kerjanya sih? Kapan bayarnya kalo gitu. 😛
@Sora
Ya, ya terimakasih atas penjelasannya, dan entah kenapa kali ini saya mengerti.
Karena itu tak boleh ada satupun makhluk di semesta ini –kecuali Dia– yang boleh mendaku kebenaran mutlak.
bener ga sora ? 🙂
Saya sih selalu mengikuti debat tersebut karena beberapa alasan. Meski sebenarnya saya juga tidak terlalu suka :
1. Kecenderungan menganggap bahwa salh satu pihak adalah yang paling benar, apalagi kalau sampai mencoba menjatuhkan pihak lain
2. Melihat perbedaan terus. Malah sampai ad-hominem.
weeeew
aku blom baca seluruhnya, tapi kulihat ada yang menjurus ke kematian. well aku juga sua topic kematian, ternyata kita sama2 nulis tentang kematian. comment ini sebenarnya gak nyambung yach ^_^;
@ fertobhades
Memang perasaan benar-sendiri itulah yang (biasanya) membawa diskusi teologis jadi semrawut dan penuh flame. Ini juga jadi salah satu alasan yang membuat saya malas ikut berdebat di sana; selain undisprovability yang sebelumnya. 🙂
Soal kebenaran, memang yang mutlak hanyalah diketahui oleh Tuhan. Ketakterbuktian yang sebelumnya membuat manusia mustahil mengetahui “hal sebenarnya” di alam sana — dan penafsiran manusia atas semua petunjuk, baik itu akal, etika, maupun agama, semua sifatnya relatif.
Tentunya kalau sudah begini tak boleh ada orang yang merasa memiliki ‘pengetahuan atas kebenaran mutlak’ itu; keculai kalau dia sendiri adalah nabi yang ditunjuki langsung oleh-Nya. 😉
:::::
@ Shelling Ford
Ngomongin siapa, Joe?
Tapi memang betul… yang juga penting adalah bagaimana hidup bersama dengan perbedaan. Hampir mustahil buat kita menyamakan seluruh dunia dalam satu persepsi. Kuncinya, IMO, sudah pasti lewat toleransi dan bukannya pemaksaan ide. 🙂
:::::
@ danalingga
Ah, terima kasih karena sudah memahami tulisan saya. 😛
:::::
@ agiekpujo
Tepat sekali. 😛
:::::
@ Mihael “D.B.” Ellinsworth
IMO, yang terpenting di dialog macam itu adalah semangat untuk mendengarkan dan bertukar pikiran. Kalau masih mempertahankan prinsip “saya pasti benar”, sudah pasti dialognya akan gagal…
Buntutnya? Tentu saja saling menjatuhkan dan ad-hominem. 😉
:::::
@ immoz
Soal kematian? Euh, saya menulisnya cuma kalau lagi ide aja kok. Tapi memang ini bahasan yang lumayan menarik minat saya sih; walaupun untuk mengalaminya masih harus nungguin saya meninggal dulu. 😛
Itu namanya deisme. Sudah ada sejak zamannya Aristoteles, dan menjadi sangat populer di zaman Renaissance — dan menjadi agamanya para founding fathers Amerika Serikat 😛 Para filsuf yang udah ‘tersiksa’ ngomongin agama, biasanya larinya ke sini. Dari Epicurus sampai Voltaire, dari Rosseau sampai Paine, dari Einstein sampai Flew.
Saya sendiri sudah sering bilang; Nggak usah susah-susah mencari kebenaran. Nggak bakal nemu. Sia-sia. Cukup jadilah orang yang berbudi, pilihlah agama yang nggak nyeleneh (konformis), dan janganlah jadi fanatis.
Kalau masuk surga ya syukur, masuk neraka apa boleh buat, nggak terjadi apa-apa ya apa mau dikata… 😛
—
Sampai di sana, ketika saya sudah bisa mencapai tingkat toleransi yang cukup tinggi itu, saya sudah bisa hidup tanpa membahas teologi. Tapiii, kadang-kadang agak miris melihat kaum pokoknya™ yang kebanyakan mau menerapkan sistem 1984 dalam kehidupan. Yang mau bijkin teokrasi dengan basis hegemoni intelektual. Ini yang bikin saya kadang nggak tahan mau ngomongin teologi 😦
Hmm…
Bahasan tentang agama itu memang yang paling susah, karena hasil pastinya ngga ada. 😐
Hmm… saya pernah dengar kalau orang yang berada di surga/di akhirat bisa meminta apa saja yang dia mau.
Kalau begitu bukankah mungkin untuk meminta reinkarnasi dengan menyisakan ingatan ketika ada di alam akhirat?
@ Xaliber
Kalau begitu skenarionya, saya bakal minta begitu 😛
@ Foltaire
Tentu saja.
Tapi, soal agama yang nggak nyeleneh, itu relatif lagi… bagaimana kalau lingkungan sekitar kita udah sangat rusak; sedemikian hingga agama Tuhan — yang sebenarnya — pun udah nggak bisa conform lagi di sana? 😉
Hehehe, itu sebetulnya termasuk salah satu ‘kejadian luar biasa’ yang saya pertimbangkan, kok. Sayangnya, lebih sering daripada tidak, diskusi sama orang2 macam itu justru berakhir dengan rusuh… alhasil, saya pun jadi sering kebawa males untuk melanjutkan debat sama mereka. 😛
:::::
@ Xaliber von Reginhild
Boleh jadi, kalau memang bisa. Tapi sejauh ini kan belum pernah ada orang yang seperti itu (yang ingat pengalaman di akhirat, maksudnya). Makanya akhirnya kita tetap nggak punya bukti soal cara kerja Tuhan itu. 😉
Bahkan, seandainya pun ada satu-dua orang yang punya ingatan macam itu, boleh jadi dia malah dituduh gila/berhalusinasi oleh lingkungannya. Susah memang. 🙄
idem ma sora
capek debat soal agama
toh pada akhirnya kembali pada keyakinan masing2..
ada yg merasa puas scr batin dgn agamanya, dan ada pula yang cenderung neglect
itu pilihan masing2…
dan menjadi tanggung jawab masing2 pada akhirnya kan? 🙂
Ya ikut-ikutan rusak sampai level tertentu. Yang penting masih jadi closet believer 😆
He-eh, itu yang masih susah 😛
ada yang udah pernah nonton kingdom of heaven?
di situ salah satu knight-nya bilang begini, (kira-kira, udah lama banget gak nonton lagi sih..)
“I never put stock in religion, I only do the best thing I could imagine, for ourself, for humanity. And if you know, that’s all that count”
Trus pas dia diutus ikut perang di tengah padang pasir, dan di tahan sama tokoh utamanya (“do you still follow your king even if it’s lead you to your certain death?”), dia bilang begini
“Every death is certain.”
tambahan gw: “And I won’t regret if I’ll die in this war. I always do the best I can, and if this is the time to end my life, I’ll end it proudly”
Sebenarnya saya orang yang sangat tertarik dengan teologi, bagaimanapun juga, itu merupakan bekal dasar dalam menjalani hidup. Tapi setelah nonton film itu, ternyata ada cara hidup lain yang sangat baik walaupun tanpa teologi sekalipun. Always live your life in your best possible way!
tambahan:
sepertinya gw seorang atheis saat ini
atheis yang selalu mengharapkan ke-ridho-an tuhannya tanpa perlu tau dia itu ada atau nggak
hahaha, bingung kan?
Kayak Atheist’ Wager, tuh, mas. Keren, dan masuk akal. Di satu sisi ‘sesat’, di satu sisi sangat religius.
Eits, ada tambahannya.
Bingung sih nggak. Itu ‘kan masih ada di antara pemahaman deisme dan agnostisisme 😛
@ grace
Betul sekali. Semuanya kembali pada pertanggungjawaban masing-masing di akhirat kelak. 🙂
:::::
@ sipahi.oftheporte
Saya udah nonton Kingdom of Heaven sih, cuma udah lama juga… (1-2 tahun lalu kayaknya 😛 ). Malah nggak inget ada quote yang itu,
Yah, sebetulnya teologi/agama itu membentuk perbedaan diantara manusia. Dan itu sulit untuk dibuktikan mana yang benar selama orang masih hidup di dunia ini…
Makanya, salah satu yang penting adalah bagaimana kita bisa hidup bersama dengan damai di tenah perbedaan itu. 😀
Itu… kayaknya termasuk agnostic theism deh. Coba aja baca di wkipedia soal itu; atau tentang deism yang disebut sama Wiseman Flew di atas. Ciri-cirinya mirip, soalnya. 😉
:::::
@ Wiseman Flew
Atheists’ Wager…?
Kayaknya kok rada ‘gue banget’ ya… tapi saya kan masih seorang theis. Nggak jadi ‘gue banget’ deh tuh. 😛
*kena timpuk*
Maksutnya pernyataan mas/mbak sipahi.oftheporte itu kayak Atheist’ Wager
@ Wiseman Flew
Lha, iya lah. Memangnya saya bilang apa? (o_0)”\
Kan saya bilang idenya ‘gue banget’. Biarpun poinnya bukan ditujukan bukan buat saya, tapi kan tetep aja idenya ‘gue banget’…
saya masih bingung soal ad oculos itu
maksudnya itu kita lihat langsung konsep Tuhan seperti apa?
itu bisa dilihat pake mata kepala sendiri
gak ngerti yang itu konsep itu kan abstrak sifatnya kok pembuktiannya jadi empiris dilihat pake mata
atau maksudnya Tuhan yang ngasih tahu langsung
tlg jelasin y
thanks
@ secondprince
Eeh, itu maksudnya kira-kira seperti “terbukti langsung” di hadapan kita. “Di depan mata” itu kan cuma ungkapan, seolah-olah memang kita lihat dan mengerti di depan kita. 😀
Misalnya kita ‘berjumpa’ secara spiritual dengan Tuhan, kemudian mengerti “seperti itukah…”
Seperti itu kira-kira. Jadi ad aculos itu lebih ke arah kebenaran yang dialami/dibuktikan sendiri, bukannya sekadar mendengar dari orang lain saja. 🙂
Duh gw kalo baca blog lo serasa jadi orang paling bego, huhuhu.
Gw dulu beli buku Sejarah Tuhan versi bahasa Indonesia, pas keliatan baca di rumah langsung kena damprat nyokap, hue
*serius mode*
Prinsip ad aculos itu mirip pemikiran sufistik nya Imam al Ghazali ya, yang kira kira ‘memahami agama dengan mengalami dan membuktikan sendiri’, namun sering didebat lagi oleh orang2 dari kelompok tertentu, yang menuduh kalo cara2 seperti itu adalah super-sesat, karena agama hanyalah harus diterima dengan ikhlas oleh hati (dan bukannya oleh panca indera lain yang misleading).
@ Apret
Gw juga baca versi Indonesianya, kok, yang terbitan Mizan itu. ^^
Kurang lebih sama sih dengan yang lo bilang. Kalo menurut gw, “menemukan Tuhan” itu adalah pengalaman yang sifatnya personal. Jadi, pembuktiannya juga hanya bisa diyakini oleh orang yang bersangkutan.
Ada juga yang berpendapat bahwa itu masalah hati seperti yang lo bilang juga. Tapi, karena sifatnya yang cenderung relatif per orang, teologi ini jadi susah dibuktikan dengan metode ilmiah… ^^
Sebagai disiplin ilmu Teologi adalah upaya sistematis akal budi menjelaskan iman(nya),. Jadi memang ada dua bagian dalam teologi yaitu akal budi yang terbatas dan iman tentang Yang Tak Terbatas.
Dengan menggunakan logika matimatis akal budi = terbatas = minus. Dan Yang Takterbatas = plus.
Maka -(minus) x +(plus) hasilnya minus. Kesimpulan kesimpulan dalam teologi selalu terbatas.
Maka, mempelajari teologi semestinya mengantar orang lebih rendah hati, mengenal keterbatasan dirinya yang sedang menggapai Ketakterbatasan. Alias lebih beriman.
@ Kang Adhi
Betul, memang adanya dua bagian itu yang membuat ilmu ini sulit untuk dibuktikan secara mutlak kebenarannya. Yang pertama (akal) didirikan berdasarkan persepsi, pengalaman, dan kesadaran manusia; sifatnya terbatas. Sedangkan yang satu lagi (Ketuhanan) tidak terbatas, tidak terjangkau, dan terpisah sama sekali dari dunia tempat akal biasa bergantung…
Oleh karena itu, teologi kemudian menjadi ilmu yang sulit dipastikan dan cenderung relatif di mata setiap orang. Inilah sebabnya saya jadi agak kurangtertarik dengan debat di bidang kajian ini… ^^
Setuju. 🙂
[…] it would only end with one conclusion — as I have written down in [this post] (in Indonesian). Theology can’t be verified nor falsified. It lacks of experimental standard […]
[…] memaksakan keyakinan! Tentunya kalau ada hal yang jelas mustahil dibuktikan secara telak (misal: teologi), tak seorangpun berhak memaksakan kebenarannya. Gitu aja kok repot. FAQ […]
Diterimanya seseorang oleh Tuhan itu adalah hak prerogatif Tuhan. kita sebagai manusia hanya bisa berbuat dan berdoa. yang jelas hubungan kita dengan Tuhan dan manusia berjalan dengan baik.
[…] begitu, seperti sebelumnya, klaim macam itu juga tidak feasible. Namanya keyakinan agama mustahil bersifat obyektif. Setiap agama punya doktrin keyakinannya sendiri-sendiri. Islam beda dengan Kristen, Kristen beda […]