Kalau boleh menilai diri sendiri, saya bisa dibilang orang yang berjiwa insinyur (walaupun punya keberatan pada kuliahnya, tapi itu cerita lain). Bagaimanapun ini bukan hal yang aneh. Sebagai orang yang sekian tahun belajar di jurusan teknik, sudah pasti ada pengaruh yang meresap. Ini sifatnya psikologis: orang-orang di sekitar saya berpikir secara engineering, maka saya jadi ikut terbawa. Kurang lebih seperti itu.
Beberapa pembaca mungkin kurang akrab dengan dunia yang disebut, jadi ada baiknya saya cerita sedikit dulu.
Di dunia insinyur, tuntutan utamanya adalah “bagaimana agar hidup manusia jadi lebih mudah.” Misalnya insinyur elektro; mereka berupaya memudahkan hidup orang yang terkait listrik (misal: desain pembangkit listrik, pengkabelan, dsb.) Insinyur sipil berupaya memudahkan hidup orang dengan bangun-membangun, dan seterusnya. Kasar-kasarnya: kalau dokter punya job description menyehatkan orang, maka insinyur punya job description membuat orang jadi nyaman.
Nah, upaya “membuat orang nyaman” di atas adalah hal yang rumit. Namanya insinyur sudah tentu bekerja dengan teknologi. Ada yang lewat teknologi listrik, mesin, atau lain sebagainya. Semuanya bekerja menghasilkan penemuan lewat teori dan perhitungan. Teori dan perhitungan bagi insinyur, ibaratnya batu bata untuk tukang bangun rumah: elemen penting yang dipakai untuk membangun. Kalau ada itu, semua jadi gampang. Nah tapi ada masalah.
Biarpun insinyur punya seperangkat hukum fisika dan matematika yang bisa dipakai, pengerjaannya tidak mudah. Banyak hambatan yang membuat teori kita jadi tidak sesuai, harus diperbaiki sedikit — biarpun dasarnya sudah benar. Misalnya seperti berikut.
Dalam ilmu fisika, terdapat aturan yang disebut Hukum Bernoulli. Ini adalah hukum yang mengatur jalannya aliran fluida.
Seorang insinyur diminta untuk meneliti aliran limbah dalam pipa. Langsung saja dia hitung dengan Hukum Bernoulli. Ternyata hasil perhitungannya salah! Padahal matematikanya sudah benar, tapi kenapa begitu?
Penyebabnya: karena Hukum Bernoulli cuma berlaku untuk fluida ideal, semisal air murni. Sementara limbah umumnya campur-baur antara padatan, air, dan gas — jauh sekali dari ideal. Jadi perhitungannya tidak menghasilkan apa-apa.
Saya dan teman-teman suka berkelakar soal ini, dan bilang: “Tuh lihat, di dunia ini tidak ada yang ideal. Teori sebagus apapun pasti meleset — jadi pelajaran kita itu aslinya gak guna.”
Tentunya yang di atas itu cuma bercanda. But you get the point. π
Ini problem yang selalu menghantui para insinyur di bidang manapun. Teori yang sempurna itu tidak ada. Sedikit-banyak pasti ada kompromi. Bisa saja idenya benar, teorinya benar, dan seterusnya — tapi, di dunia nyata, namanya gangguan itu pasti ada. Entah nilainya besar atau kecil. Tidak mungkin ada sistem di lapangan yang 100% sesuai teori. No way!
Ini mirip membandingkan soal fisika yang dikerjakan anak SMA dengan fisika sebetulnya. Di SMA kita disuruh mengerjakan soal, tapi dalam kondisi ideal: tidak ada hambatan udara, tidak ada gesekan, dan sebagainya. Sementara kondisi sebenarnya tidak begitu. Seringnya sih dunia nyata lebih rumit daripada dijelaskan dalam buku.
Teman saya yang anak elektro pernah cerita tentang Arus Eddy yang mengganggu voltmeter. Lain kali, dosen dari jurusan mesin cerita tentang oli: jadi ada oli masuk mesin, mempengaruhi bensin yang aslinya hendak dibakar. Walhasil output energinya berkurang. Hal-hal semacam itulah. Saya sendiri cengar-cengir saja mendengarnya, sebab, di jurusan saya, hal-hal seperti itu juga terjadi.
Ceritanya saya dan beberapa anggota kelompok pernah praktikum dengan pompa. Sesudah mencatat suhu dan tekanan, datanya harus dihitung dan dibandingkan. Tapi kok perbandingannya tidak cocok? Ternyata ada katup yang ngadat, jadi bukaannya tidak sempurna! Akhirnya aliran air yang dihitung jadi meleset. Baru belakangan si asisten bilang ke anak-anak bahwa alatnya rada terganggu. Tapi secara umum tidak apa-apa — jadi angkanya dikompensasi saja dengan kesalahan sekian-sekian.
Praktikannya sendiri cuma bisa angkat bahu. Mau bagaimana lagi? π
***
Jadi, lima atau enam tahun belajar di jurusan teknik mengajari saya satu hal: di dunia ini tidak ada yang sempurna kecuali ide-ide. Teori sebagus apapun, sesempurna apapun, kalau sudah masuk dunia nyata, pasti ada kompromi. Tidak mungkin tidak.
Lalu saya berpikir, jangan-jangan itu juga yang terjadi di ilmu sosial. Bertahun-tahun kita punya teori psikologi, sosiologi, dan ilmu politik, tapi kok kita masih belum paham? Jangan-jangan karena ada banyak elemen yang harus dipertimbangkan di dalamnya, tapi justru terabaikan. Sama halnya dengan kasus arus Eddy dan hukum Bernoulli di atas…
…mungkin. Mungkin lho. Saya kan bukan ahli di bidang itu.
Pada akhirnya, saya sendiri jadi rada skeptis dengan yang namanya “kesempurnaan” atau “100% ini-itu”. Sebab ya, di dunia ini tidak ada yang 100%. Budaya Indonesia, misalnya, tidak 100% Indonesia (ada banyak pengaruh luar juga). Negara yang 100% free market atau sosialis juga tidak ada — yang ada cuma mendekati salah satunya. Tegangan listrik diukur dengan voltmeter, sebagian arusnya ada yang masuk ke voltmeter (jadi akurasinya tidak 100%), dan seterusnya.
Jadi saya pikir, ah kacau nih kalau orang berani bilang, “Sistem pemerintahan sempurna. Dijamin 100% sukses!” Biasanya yang bilang begitu golongan sayap kanan, tapi itu sebaiknya tak dibahas di sini…
***
Di sisi lain, ada juga tidak enaknya dari “didikan” bersikap realistis di atas. Gara-gara itu saya jadi tidak sabaran kalau berurusan dengan orang yang idealis tapi tidak mengerti lapangan. Ini sifatnya universal: tak peduli yang dibicarakan itu politik, sosial, atau keseharian, kalau itu terjadi, biasanya saya jadi mangkel. Perasaan ini susah dijelaskan.
Misalnya waktu ada gerakan “tolak bayar pajak” gara-gara Gayus Tambunan. Saya dongkol betulan waktu itu. Seriously, do they even think? Coba, apa jadinya administrasi negara, kepercayaan investor, dan sebagainya kalau itu terjadi. Ini mirip dengan ilustrasi Hukum Bernoulli di atas: dikiranya dia paham semua masalah, lalu menerapkan teori dari situ — padahal kenyataannya tidak sesederhana yang disangka. Ha!
Lain kali, saya berdebat panas dengan seorang troll soal Israel-Palestina (saya tidak memihak siapa-siapa di situ; ceritanya panjang). Dia bilang HAMAS itulah yang benar. Saya tanya, situ mengerti tidak sejarah geopolitik Yerusalem? Masalahnya bukan sejak 1948 atau khilafah, melainkan sampai zaman Romawi. Eh dia marah. Saya sendiri bukannya tak berusaha kalem, tapi tetap saja…
Hal-hal semacam itulah. Susahnya terbiasa berpikir realistis adalah, kita jadi tidak sabar melihat orang yang naif. Kesannya kok hidup di awan. Idealisme itu bagus, tapi mbok ya diimbangi dengan asupan realitas.
Jadi ini semacam PR juga buat saya. Mengendalikan marah itu gampang, tapi mengendalikan jengkel… wah, susah sekali. Sebab itu tatarannya dalam hati (bukan perbuatan). Saya masih harus belajar banyak soal itu.
Meskipun begitu ada juga dampak positifnya. Gara-gara itu, kalau saya memberi saran, jadinya dipandang sebagai “saran yang bermutu”. Pokoknya sebisa mungkin realistis. Ini berlaku terutama kalau sedang mendengarkan orang curhat — saya sih biasa saja, terserah mereka mau terima atau tidak. Sejauh ini sih mereka selalu mau dengar. π
Saya sendiri bersyukur mendapat didikan cara berpikir realistis selama di kampus. Paling tidak sekian tahun di sana telah mengajari saya untuk bersikap membumi… hal yang ternyata merembes ke berbagai aspek lain dalam hidup. But hey, that’s what education is supposed to be, right? π
Idealisme itu bagus, tapi ya disesuaikan dengan keadaan, situasi, dan jaman…
saya rasa di semua bidang juga teori tidak diaplikasikan 100% di lapangan. Tapi yaaa.. di sekitar saya tetap saja akan ditemui manusia-manusia idealis salah kaprah. Mungkin karena baru kenal ilmunya
mantap kali bang..
makasih pencerahannya.
gak ada yg sempurna.. bahkan dalam kondisi yang dianggap sempurna pun bisa terjadi Chaos. (teori chaos)
Intinya, berpikir realistis! π
Kalau aku, pernah berpikirnya seperti ini: Apa yang absolut di dunia ini adalah relativisme.
*Salam kenal ya π
Mungkin ada baiknya sampeyan juga mempelajari ilmu sales.
Hidup khil- *dibekep*
Ah ya, ndak mesti sayap kanan sih. Kayanya sayap kiri radikal juga begitu. π *lirik troll-troll londo di blog satunya Om Gentole*
Hahahaha, iya, mengendalikan jengkel itu susah betul. π
..dan buat saya keduanya itu sama susahnya. π
*belajar kebijaksanaan dan kesabaran lagi*
Persis!
Ilmu-ilmu yang saya dapat di bangku kuliah jurusan ilmu pendidikan mentah total ketika saya berhadapan dengan siswa sesungguhnya di kelas.
Teori pengajaran dari para dosen S2 dan S3 itu gagal total, karena hampir semuanya tidak mempertimbangkan aspek ‘manusiawi’ peserta didik. Tidak ada satu mata kuliah pun yang dapat menyiapkan saya ketika siswa saya mogok belajar karena dia dipaksa kawin orang tuanya…
Dunia ini tidak sempurna, hadapi saja.. 8)
@ bumikitta | Takodok! | Asop
Well, something like that… π
:::::
@ nindityo
Yup, begitulah. Aliran fluida sendiri sebenarnya bisa dibilang chaos, sebab repot sekali memperhitungkan — di antaranya — efek turbulensi. Kadang-kadang perlu analisa probabilitas juga. π
:::::
@ Natalia
Kalau saya ingatnya sama kutipan Rhenald Kasali, “Yang mutlak di dunia ini cuma perubahan.” π
BTW, salam kenal juga. ^^
:::::
@ lambrtz
Well, mungkin dalam waktu dekat… π
Haiah, mereka kan ngomongnya pakai bahasa Inggris. Kalau yang di atas itu versi Indonesia. π
:::::
@ Kgeddoe
Kan? π
:::::
@ Grace
Selamat melanjutkan berguru kalau begitu. π
:::::
@ ManusiaSuper
Wogh, contoh yang brilian. π―
Dan saya jadi teringat kisah siswinya Mas Amed… π
*sigh*
hai, salam kenal, Bung Sora.
Blog yang menarik. mudah2an anda ngga keberatan saya numpang komen2 disini.
insinyur arsitektur mungkin salah satu yang selalu ketarik-tarik antara teori dan aplikasi di lapangan semenjak awal kuliahnya.
mungkin juga ini yang bikin anak-anak arsitektur di lingkungan aktivitas kampus keliatan seperti selalu “mikir bolak balik mau ngambil keputusan” sampe keliatan seperti orang plin plan dan ngomongnya loncat-loncat dari ide besar tiba2 ke detail teknis.
hem.
lagi-lagi soal balance ini keliatannya?
“idealis boleh, tapi harus lihat-lihat keadaan dulu, apa anda sudah memahami idealisme yang anda anut itu atau belum, karena idealisme itu, tidak akan ada yang 100% betul”
itu yang saya tangkap dari post ini. mungkin meleset ya? π
Itu kenapa saya nggak pernah mw jadi sempurna π
Tapi memang byk org yg menganggap dunia ini sempurna, gmn cr ngajarin spy bs sdkt realistis?
Ah ya mengendalikan jengkel itu susah,kl sdh sampe tahap sangat,ya amarahlah yg tersulut
@ tiffa
Salam kenal juga, silakan berkomentar. ^^
Yaa, bisa dibilang memang intinya di balance. Kalau terlalu teoretis, jadinya tidak akurat di lapangan. Sementara kalau dasar teorinya lemah, nggak akan berhasil juga. Jadi perpaduan terbaiknya adalah: dasar teori kuat (e.g. lewat kuliah) + dilengkapi oleh lapangan.
*CMIIW though*
:::::
@ reikira
Well, kurang lebih? π
:::::
@ rukia
Disuruh terjun ke lapangan saja. π Misalnya orang yang sok merasa bisa ngajar, dipaksa jadi guru…
*sambil bakar hio untuk para suhu spt pak urip, mas amed, om mansup* ^:)^
kalau kata teman saya dulu, idealisme + realita = kompromi? π
Pada akhirnya lah ya kompromi ya π
Membayangkan setelah sekarang anger management sudah ada pamor, nanti bakal ada “jengkel” management π
*jadi inget jaman kuliah dulu*
mungkin itulah yang disebut dengan kondisi ideal pada saat mendesain sesuatu.
faktanya, kondisi ideal itu tak akan pernah bisa dipakai karena pasti ada faktor yang akan mengganggu kondisi ideal tersebut…
Yang sempurna itu cuma 1 : 68%. Hehehehe…
Bagi saya, pendidikan [di jalur formal] itu mengajarkan apa yang ideal, apa yang “seharusnya” terjadi. Tetapi mungkin lupa mengajarkan bahwa apa yang ideal itu harus berhadapan dengan “apa yang real” dan apa yang “sedang” terjadi.
Saya juga begitu. Ketika mendapatkan teori-teori psikologi intervensi sosial, saya membayangkan apa yang bisa dilakukan di masyarakat dengan bermodalkan ilmu itu. Hasilnya, saya berhadapan dengan kenyataan yang jauh dari teori. Itulah uniknya, bukan saya yang mengintervensi tetapi justru saya yang “diintervensi”. π Akhirnya, pemahaman akan teori berubah total. Dia tidak lagi utuh tetapi sudah ditambah dengan banyak perubahan.
Itulah mungkin yang membuat saya sedikit mengerti betul apa arti “error” dan kemungkinan kesalahan dalam sebuah teori. Mengandaikan “ceteris paribus” sama saja dengan berada di dunia utopia. Semua punya kesalahan, ada dinamika, ada perubahan, ada kompromi. Bahkan itu juga terjadi di ilmu pasti.
Tetapi itu mungkin yang membuat orang mengatakan saya terlalu relatif. Relativitas lagi… π Tetapi dalam beberapa hal, kita harus selalu punya patokan. Semua hal bisa direlatifkan tetapi dalam beberap hal selalu ada yang absolut [dalam pengertian harafiah]. Sama seperti 1+1=2.
Sama seperti “Gerakan Tolak Bayar Pajak” diatas. Saya menyorotnya dari sisi moral karena dikatakan bahwa ini adalah “Gerakan Moral”. Gerakan moral seperti apa yang landasan berpikirnya tidak bermoral [immoral] atau justru tidak ada sangkut pautnya dengan moral [amoral]?? Analoginya sama dengan “Karena polisi korupsi maka kita bisa melanggar peraturan lalu lintas seenaknya”.
Ah, kok saya jadi curhat…. π
@ Felicia
Bukannya memang seperti itu? ^^;
:::::
@ Annasophia
Lho, memang kompromi itu yang jadi intinya. π
Sebentar, ini prospek yang menarik. π
*apasih*
:::::
@ itikkecil
Saya pikir juga begitu. (o_0)”\
:::::
@ fertob malas login
Eh ada mas fertob. π
Sepertinya memang di mana-mana seperti itu, ya? ^^;;
Kalau soal patokan, di bidang teknik sebenarnya cukup jelas. Misalnya Hukum Newton, di mana-mana matematikanya sudah jelas. Hanya saja suka ada “pengganggu” di lingkungan alam (misal: udara dan gesekan). Jadi perhitungannya tidak selalu persis.
Teori dan persamaan itu sendiri akhirnya jadi semacam rule of thumb. Sedikit melenceng pasti ada, tapi pada umumnya dia cocok. π
Jangan-jangan 1+1=2 itu juga hasil kompromi. π *eh*
Tunggu, Bung Sora punya program menarik untuk “Jengkel” Management? Ini peluang bagus!
ulasan yg cerdas sekali tentang pentingnya cara berfikir realistis,
dan hey ya, tak ada teori yang sempurna, toh smua teori yg tercipta itu berdasarkan eksperimen dan riset kan ? dan seberapa jauh hasilnya, tentu tak bisa mencakup keseluruhan alam raya yang maha luas ini
makasih atas tulisan yg keren ini π
@ Haris Istanto
Mohon maaf komentarnya dihapus. Sudah dinyatakan sejak awal, dilarang spam di blog ini. π
[aturan di halaman license]
:::::
@ Annasophia
Hah? Maksudnya? π
*bingung*
:::::
@ warm
Sama-sama. π
Hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kesempurnaan dan realisme di dunia engineering jarang ditemukan di dunia desain dan seni, lho. π
Saya kira cukup wajar; Karena approaching method-nya saja berbeda, kalau kami lebih kepada fungsi-fungsi aplikatif yang digunakan di dunia, sehingga lebih kepada “menghargai dan menggunakan ketidaksempurnaan untuk mencapai hal-hal yang sempurna”, intinya. Kalau salah satu jalur buntu, saya cari jalur yang lain, tanpa perlu berpatok pada apa-apa, kalau memang harus.
Contohnya tipografi bakteri yang dibuat mahasiswa Belanda yang saya baca tempo hari, coba cek di Google.
Susahnya, ya itu. Di dalam dunia desain semuanya serba subjektif, dan saya sendiri sering dongkol kalau kata dosen alternatif yang saya buat bagus, dosen yang lain tidak. π
Ya…idealis saya kira sulit untuk hidup, kalau disini. π
berarti apa yang kita pelajari sekarang, sekalipun mungkin tidak 100% berguna, itu tetap diperlukan sebagai patokan. sekalipun yang kita jadikan patokan juga mungkin kurang dari 30%, karena dalam dunia nyata tidak ada kondisi yang seideal yang kita pelajari.
(kenapa di post ini saya suka menyimpul-nyimpulkan kesimpulan yang tidak tersimpul? haha maaf intermezzo)
@mihael ellinsworth
tapi bukan berarti seni dan teknik itu bertentangan kan? apa dua-duanya bisa dipakai bersama-sama untuk memecahkan suatu problem?
jadi clash di post ini adalah:
idealis vs pragmatis
(haha maaf saya meracau)
Maksudnya ya jelas bukan? π
1+1=2 juga hasil kompromi.
Ada angka ‘1’ ketemu angka ‘1’ lain, tapi dari mana angka ‘2’. Mungkin kompromi juga yang menciptakan angka ‘2’ yang datang dari ‘1+1’, tapi angka ‘1’ datang dari mana kalau angka ‘2’ punya asal ‘1+1’. Ah, ngelantur dan salah π
Tapi ya memang intinya kompromi antara konsep dengan realitas ya.
@reikira:
[…]Contohnya tipografi bakteri yang dibuat mahasiswa Belanda yang saya baca tempo hari, coba cek di Google.[…]”
Barangkali itu sebabnya kenapa dalam Bahasa Inggris ada kata worldly-wise (kasarannya “kenal dunia” kalau menurut saya) yang diperlawankan dengan naive (masih “mentah”).
Mungkin kalau dalam kajian agama itu seperti polemik fundamentalisme versus kontekstualisasi. Pihak fundamentalis selalu ngotot bahwa produk-produk keagamaan jaman rasul, generasi setelahnya, dan setelahnya lagi sudah sempurna dan tidak perlu diutak-atik lagi. Padahal toh barangkali kasusnya sama dengan aplikasi hukum-hukum fisika yang disebut tadi. Hukum-hukum/ide-ide itu tidak bisa diterapkan dalam semua situasi, selalu saja akan ada perkecualian nantinya. Semua ide dan hukum itu pada hakikatnya cuma perampatan dari berbagai macam fenomena, kan?
Semoga masih nyambung sama tulisan utamanya. π
@ Mihael Ellinsworth
Lho, tumben blogwalking. Ke mana aja mas? π
Hmm, memang beda pendekatan sepertinya. AFAIC engineering itu lebih ke arah obyektif. Kalau bagus ya bagus, kalau jelek ya jelek. Misalnya kalau insinyur sipil disuruh lihat jembatan, pasti sepakat apakah jembatannya “bagus” atau “jelek” — diukurnya dari kekokohan, daya tahan dsb. Hal-hal yang sifatnya semua orang sepakat.
Sementara seni itu lebih ke arah subyektif. Penilaian bagus/jelek tidak dilengkapi matematika, pengukuran, hukum alam, etc., melainkan lewat persepsi. Jadi memang beda cara dalam memandang persoalan. ^^;
*CMIIW though*
:::::
@ reikira
Ya, kurang lebih seperti itu. Intinya sih, lihat saja kenyataan dan teori itu seberapa jauh bedanya. (o_0)”\
Misalnya Hukum Bernoulli yang di atas. Kalau air dalam pipa sekadar butek, ketepatan perhitungan bisa 95%. Tapi kalau airnya tercampur lumpur, bisa jadi cuma 30% (harus dihitung pakai rumus lain). Something like that.
Arsitek? π
:::::
@ Annasophia
Wah, kalau itu ceritanya panjang, jadi sebaiknya tak dibahas di sini. π Tapi saya ingat ada joke matematika yang rada mirip…
Or something like that. (ninja)
:::::
@ syllachtea
Yup, kurang dan lebih. π
BTW fundies kita sama-sama tahulah. Mereka itu kan hobi sekali bersikap jumud + menggampangkan masalah. π
Emang. Nanti ada juga malah ngalor ngidul, tambahan lagi kalo ternyata beda arah bahasannya. Saya ke mana situ ke mana π
Tapi lain waktu saya penasaran penjelasan matematisnya. Pernah denger dari temen yg belajar kalkulus di sana katanya di kuliah kalkulus dipelajari ya itu kenapa 1+1=2 π
Mangtaps Sora, tulisan terbaik yang kubaca hari ini.
inspiratif +1 π
tulisan yang mencerahkan…
untungnya kuliah gak ngajarin relita…klo realita diajarin, kapan selesainya tuh kuliah???
hmm…1 kucing kompromi sm 1 kucing…pasti lebih dari 2 deh XD
menurutku, kita juga harusbersikap terbuka dengan hal-hal lain,supaya pemikiran kita pun jadi meluas. kalau saya lingkupnya seputar statistik, dan agak kaku juga sebenernya sewaktu ngomongin cara pandang anak dari ranah sosial π
Mau nanya tentang kalimat ini neh sora9n : “Saya sendiri bersyukur mendapat didikan cara berpikir realistis selama di kampus. Paling tidak sekian tahun di sana telah mengajari saya untuk bersikap membumiβ¦ hal yang ternyata merembes ke berbagai aspek lain dalam hidup. ”
Apakah ada pelajaran khusus tentang hal itu dari kampus? Kalau ada, mata pelajaran apa dan berapa sks? Atau belajar dari lingkungan kampus, seperti teman sekampus, dsb? Thx.
^
Begini, itu tidak ada pelajaran resminya. Meskipun begitu, kalau pernah kuliah, pasti akan paham — itu yang disebut EDUKASI. π
Ibaratnya orang yang pernah sekolah dibandingkan dengan yang tidak pernah sekolah. Pasti ada beda cara berpikir, beda kebiasaan, beda tatakrama, dsb. Padahal tidak diajarkan di kelas, tapi kok berbeda?
Nah ini mirip dengan saya kuliah di atas. Tidak ada mata kuliah “berpikir realistis” di kampus. Meskipun begitu, karena saya berada di lingkungan teknik… ya jadinya seperti di atas. π Sedikit banyak dapat pengaruh; belajarnya dari pengalaman dan lingkungan.
Kurang lebih seperti itu. Cheers. π