Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘keseharian’

Kalau boleh menilai diri sendiri, saya bisa dibilang orang yang berjiwa insinyur (walaupun punya keberatan pada kuliahnya, tapi itu cerita lain). Bagaimanapun ini bukan hal yang aneh. Sebagai orang yang sekian tahun belajar di jurusan teknik, sudah pasti ada pengaruh yang meresap. Ini sifatnya psikologis: orang-orang di sekitar saya berpikir secara engineering, maka saya jadi ikut terbawa. Kurang lebih seperti itu.

Beberapa pembaca mungkin kurang akrab dengan dunia yang disebut, jadi ada baiknya saya cerita sedikit dulu.

Di dunia insinyur, tuntutan utamanya adalah “bagaimana agar hidup manusia jadi lebih mudah.” Misalnya insinyur elektro; mereka berupaya memudahkan hidup orang yang terkait listrik (misal: desain pembangkit listrik, pengkabelan, dsb.) Insinyur sipil berupaya memudahkan hidup orang dengan bangun-membangun, dan seterusnya. Kasar-kasarnya: kalau dokter punya job description menyehatkan orang, maka insinyur punya job description membuat orang jadi nyaman.

Nah, upaya “membuat orang nyaman” di atas adalah hal yang rumit. Namanya insinyur sudah tentu bekerja dengan teknologi. Ada yang lewat teknologi listrik, mesin, atau lain sebagainya. Semuanya bekerja menghasilkan penemuan lewat teori dan perhitungan. Teori dan perhitungan bagi insinyur, ibaratnya batu bata untuk tukang bangun rumah: elemen penting yang dipakai untuk membangun. Kalau ada itu, semua jadi gampang. Nah tapi ada masalah.

Biarpun insinyur punya seperangkat hukum fisika dan matematika yang bisa dipakai, pengerjaannya tidak mudah. Banyak hambatan yang membuat teori kita jadi tidak sesuai, harus diperbaiki sedikit — biarpun dasarnya sudah benar. Misalnya seperti berikut.

Dalam ilmu fisika, terdapat aturan yang disebut Hukum Bernoulli. Ini adalah hukum yang mengatur jalannya aliran fluida.

Seorang insinyur diminta untuk meneliti aliran limbah dalam pipa. Langsung saja dia hitung dengan Hukum Bernoulli. Ternyata hasil perhitungannya salah! Padahal matematikanya sudah benar, tapi kenapa begitu?

Penyebabnya: karena Hukum Bernoulli cuma berlaku untuk fluida ideal, semisal air murni. Sementara limbah umumnya campur-baur antara padatan, air, dan gas — jauh sekali dari ideal. Jadi perhitungannya tidak menghasilkan apa-apa.

Saya dan teman-teman suka berkelakar soal ini, dan bilang: “Tuh lihat, di dunia ini tidak ada yang ideal. Teori sebagus apapun pasti meleset — jadi pelajaran kita itu aslinya gak guna.”

Tentunya yang di atas itu cuma bercanda. But you get the point. ๐Ÿ˜›

Ini problem yang selalu menghantui para insinyur di bidang manapun. Teori yang sempurna itu tidak ada. Sedikit-banyak pasti ada kompromi. Bisa saja idenya benar, teorinya benar, dan seterusnya — tapi, di dunia nyata, namanya gangguan itu pasti ada. Entah nilainya besar atau kecil. Tidak mungkin ada sistem di lapangan yang 100% sesuai teori. No way!

Ini mirip membandingkan soal fisika yang dikerjakan anak SMA dengan fisika sebetulnya. Di SMA kita disuruh mengerjakan soal, tapi dalam kondisi ideal: tidak ada hambatan udara, tidak ada gesekan, dan sebagainya. Sementara kondisi sebenarnya tidak begitu. Seringnya sih dunia nyata lebih rumit daripada dijelaskan dalam buku.

Teman saya yang anak elektro pernah cerita tentang Arus Eddy yang mengganggu voltmeter. Lain kali, dosen dari jurusan mesin cerita tentang oli: jadi ada oli masuk mesin, mempengaruhi bensin yang aslinya hendak dibakar. Walhasil output energinya berkurang. Hal-hal semacam itulah. Saya sendiri cengar-cengir saja mendengarnya, sebab, di jurusan saya, hal-hal seperti itu juga terjadi.

Ceritanya saya dan beberapa anggota kelompok pernah praktikum dengan pompa. Sesudah mencatat suhu dan tekanan, datanya harus dihitung dan dibandingkan. Tapi kok perbandingannya tidak cocok? Ternyata ada katup yang ngadat, jadi bukaannya tidak sempurna! Akhirnya aliran air yang dihitung jadi meleset. Baru belakangan si asisten bilang ke anak-anak bahwa alatnya rada terganggu. Tapi secara umum tidak apa-apa — jadi angkanya dikompensasi saja dengan kesalahan sekian-sekian.

Praktikannya sendiri cuma bisa angkat bahu. Mau bagaimana lagi? ๐Ÿ˜†

***

Jadi, lima atau enam tahun belajar di jurusan teknik mengajari saya satu hal: di dunia ini tidak ada yang sempurna kecuali ide-ide. Teori sebagus apapun, sesempurna apapun, kalau sudah masuk dunia nyata, pasti ada kompromi. Tidak mungkin tidak.

Lalu saya berpikir, jangan-jangan itu juga yang terjadi di ilmu sosial. Bertahun-tahun kita punya teori psikologi, sosiologi, dan ilmu politik, tapi kok kita masih belum paham? Jangan-jangan karena ada banyak elemen yang harus dipertimbangkan di dalamnya, tapi justru terabaikan. Sama halnya dengan kasus arus Eddy dan hukum Bernoulli di atas…

…mungkin. Mungkin lho. Saya kan bukan ahli di bidang itu. :mrgreen:

Pada akhirnya, saya sendiri jadi rada skeptis dengan yang namanya “kesempurnaan” atau “100% ini-itu”. Sebab ya, di dunia ini tidak ada yang 100%. Budaya Indonesia, misalnya, tidak 100% Indonesia (ada banyak pengaruh luar juga). Negara yang 100% free market atau sosialis juga tidak ada — yang ada cuma mendekati salah satunya. Tegangan listrik diukur dengan voltmeter, sebagian arusnya ada yang masuk ke voltmeter (jadi akurasinya tidak 100%), dan seterusnya.

Jadi saya pikir, ah kacau nih kalau orang berani bilang, “Sistem pemerintahan sempurna. Dijamin 100% sukses!” Biasanya yang bilang begitu golongan sayap kanan, tapi itu sebaiknya tak dibahas di sini…

***

Di sisi lain, ada juga tidak enaknya dari “didikan” bersikap realistis di atas. Gara-gara itu saya jadi tidak sabaran kalau berurusan dengan orang yang idealis tapi tidak mengerti lapangan. Ini sifatnya universal: tak peduli yang dibicarakan itu politik, sosial, atau keseharian, kalau itu terjadi, biasanya saya jadi mangkel. Perasaan ini susah dijelaskan.

Misalnya waktu ada gerakan “tolak bayar pajak” gara-gara Gayus Tambunan. Saya dongkol betulan waktu itu. Seriously, do they even think? Coba, apa jadinya administrasi negara, kepercayaan investor, dan sebagainya kalau itu terjadi. Ini mirip dengan ilustrasi Hukum Bernoulli di atas: dikiranya dia paham semua masalah, lalu menerapkan teori dari situ — padahal kenyataannya tidak sesederhana yang disangka. Ha!

Lain kali, saya berdebat panas dengan seorang troll soal Israel-Palestina (saya tidak memihak siapa-siapa di situ; ceritanya panjang). Dia bilang HAMAS itulah yang benar. Saya tanya, situ mengerti tidak sejarah geopolitik Yerusalem? Masalahnya bukan sejak 1948 atau khilafah, melainkan sampai zaman Romawi. Eh dia marah. Saya sendiri bukannya tak berusaha kalem, tapi tetap saja…

Hal-hal semacam itulah. Susahnya terbiasa berpikir realistis adalah, kita jadi tidak sabar melihat orang yang naif. Kesannya kok hidup di awan. Idealisme itu bagus, tapi mbok ya diimbangi dengan asupan realitas.

Jadi ini semacam PR juga buat saya. Mengendalikan marah itu gampang, tapi mengendalikan jengkel… wah, susah sekali. Sebab itu tatarannya dalam hati (bukan perbuatan). Saya masih harus belajar banyak soal itu.

 
Meskipun begitu ada juga dampak positifnya. Gara-gara itu, kalau saya memberi saran, jadinya dipandang sebagai “saran yang bermutu”. Pokoknya sebisa mungkin realistis. Ini berlaku terutama kalau sedang mendengarkan orang curhat — saya sih biasa saja, terserah mereka mau terima atau tidak. Sejauh ini sih mereka selalu mau dengar. ๐Ÿ˜›

Saya sendiri bersyukur mendapat didikan cara berpikir realistis selama di kampus. Paling tidak sekian tahun di sana telah mengajari saya untuk bersikap membumi… hal yang ternyata merembes ke berbagai aspek lain dalam hidup. But hey, that’s what education is supposed to be, right? ๐Ÿ˜‰

Read Full Post »

Sejauh yang bisa saya lihat, keluarga saya dari pihak ibu umumnya mempunyai jiwa witty khas Jawa Timuran. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh — ibu saya sendiri lahir dan besar di Surabaya, sementara kakek-nenek saya juga asalnya dari situ. Jadi bisa dibilang saya mendapat pengaruh budaya Jawa Timuran dari mereka.

(di sisi lain, ayah saya orang Jawa Tengah; tapi itu takkan kita bahas di sini)

Kalau ada pembaca yang punya kenalan orang Jawa Timur, kemungkinan besar sudah tahu bahwa suku ini punya unggah-ungguh (kesopanan) yang rada unik. Berbeda dengan Jawa Tengah yang tenang, sabar, dan mengutamakan harmoni, orang Jawa Timur relatif lebih vokal menyuarakan isi hati. Adapun mereka punya cara unik untuk melakukannya. Bukan dengan tegas, apalagi bentak — melainkan dengan sindiran dan tertawaan.

Iya, dengan tertawaan. Ada sebuah humor (atau anekdot?) Suroboyoan yang terkenal tentang sopir becak yang ngebut. Kontan, penumpang yang sport jantung protes ke si sopir. Jawaban si sopir?

“Wis murah kok njaluk slamet!”

(id: “Sudah murah kok minta selamat!”)

Well, you got the idea. Kasar-kasarnya, kalau orang Batak marahnya bikin menciut, maka orang JaTim marahnya bikin dongkol. ๐Ÿ˜† Ada semacam witticism yang terkandung dalam cara mereka berekspresi, kalau saya boleh menyimpulkan seenaknya.

Nah, ibu saya adalah turunan dari suku yang disebut di atas. Dan sebagaimana bisa ditebak… beliau juga mewarisi semangat yang sama dalam bersikap. Terutama sebagaimana diterapkan pada anak-anaknya.

Dan sebagai anaknya, otomatis saya jadi ‘terdidik’ supaya bisa menanggapi up-to-par. Mau bagaimana lagi? ๐Ÿ˜†

Semuanya bermula di satu hari belasan tahun yang lalu…

Ibu saya: So, kemarin aku ketemu ibunya teman kamu pas arisan.

Saya: Oh. Terus?

Ibu: Ibunya cantik lho. Anaknya cakep juga kan? :mrgreen:

Saya: *gobsmacked*

Ibu: (tanpa peduli reaksi saya) Ya iyalah anaknya cantik. Wong ibunya cakep…

Sementara di latar belakang, saya terkapar diam tak mampu bicara. Benar-benar tak mampu berbicara. Sungguh mati tidak melebih-lebihkan, saudara-saudara. Waktu itu saya speechless betulan. (=_=!)

 

onion-thunder

What a speechless reaction may look like

 
Waktu itu saya masih SMP, barangkali sekitar kelas satu. Jadi sejak itu saya mulai belajar mendalami satu hal: the art of witticism. Kalau ibu mau berbuat begitu lagi ke saya, maka paling tidak saya harus bisa menanggapi! (u_u)

Dan demikianlah adanya hingga suatu sore di tahun 2002… ketika beliau iseng mengecek meja belajar saya dan menemukan sebuah foto terselip diantara buku-buku.

Ibu: Eh, siapa ini, ada foto cewek berjilbab pakai seragam SMA…

Saya: GRAAAA~!!! ๐Ÿ˜ˆ

Ibu: Coba jawab pertanyaan ibu. Itu foto kamu dapat karena dikasih, minta, atau mencuri? (^_^)

Saya: Aku nggak mencuri fotonya kok. Aku cuma mencuri hatinya aja… (=3=)

(*sambil mendengus*)

Kontan, beliau menertawakan saya habis-habisan di tempat. But that’s one good comeback anyway. Kan begitu? ๐Ÿ˜†

Tentu, masalah dialog aneh-aneh antara ibu dan saya tidak mesti terkait romance. Ada juga yang temanya relatif netral dan tidak berhubungan dengan itu.

Ibu: Janji adalah hutang. Ingat itu, kamu sudah janji mau melakukan X, harus kamu lakukan.

Saya: Tapi hutang kan bisa diputihkan. Misalnya hutang Tommy pas jaman Pak Harto…

Ibu: Nggak bisa. Pokoknya, nggak bisa. [-(

Saya: Err… eh… kalau begitu, restrukturisasi hutang! ๐Ÿ˜€ Kan ada aturan-

Ibu: NGGAK BOLEH!! ๐Ÿ˜ˆ

Galibnya diskusi ibu dan anak, sudah tentu ujung-ujungnya saya yang berkompromi. Tapi, yah, yang penting kan usahanya. ^^a

Lain kali, saya bilang ke beliau sebagai berikut.

Saya: Dipikir-pikir, sebenarnya tampangku rada mirip ibu. Kalau [adik saya] lebih mirip bapak. (=3=)

Ibu: Ih, mirip-miripin. Aku tuh beda sama kamu. Aku dulu rajin kuliah, pinter, nggak kayak kamu sekarang.

Saya: Eh jangan salah. Sebenarnya aku ini cowok pinter, rajin, dan berkualitas. Hanya saja nggak ada yang sadar. ๐Ÿ™‚

Saya: Kalau orang yang tercerahkan, pasti sadar akan kualitas diriku. (u_u)

Ibu: Ada po yang bilang gitu? Kalau ada cewek yang setuju, bawa sini. Biar kenalin sama aku.

Saya: …… XD

Lah, ibu. Bukannya aku gak mau bawa, tapi… kalau adanya di seberang pulau atau negeri, gimana ngenalinnya? XD bukan berarti waktu itu lagi ada sih…

 
Meskipun begitu, tak ada yang setegas kalimat beliau tiap kali ditanya tentang hal di bawah ini. Selama belasan tahun jawabannya selalu sama.

Saya: Ibu, aku ini ganteng nggak? ๐Ÿ˜€

Ibu: Enggak. Jelek.

Serius, beliau selalu bilang begitu. Bayangkan betapa sesaknya perasaan saya. ๐Ÿ˜ฅ Tapi, berhubung saya sudah kebal, biasanya saya melanjutkan begini:

Saya: Padahal sendirinya narsis. (=3=) Siapa tuh yang kemaren ngaku2 dirinya pinter, rajin, pandai bergaul…

Ibu: Eh, aku tuh narsis cuma di rumah aja. Kalau sama tetangga atau sejawat, ya, jaga wibawa lah.

Ibu: Orang itu harus tahu cara membawa diri… (u_u)

Saya: Jaim… (=3=)

Ibu: Biarin. (*sambil lanjut dandan di depan cermin*)

***

Kalau boleh jujur, terkadang saya merasa bahwa saya dan ibu itu seperti dua sisi mata uang. Cara berpikirnya beda, pandangan politiknya beda, generasinya juga beda. Tapi sebenarnya toh sama juga. Sama-sama suka ngeyel, jaim, dan — ssst ini rahasia ๐Ÿ˜› — sama-sama hobi curcol. Cuma bedanya, saya kalau curcol lewat tulisan. Sementara beliau lewat omongan. ๐Ÿ˜†

Walaupun ada juga bedanya soal itu. Saya ini orang yang relatif jujur dalam mengungkapkan perasaan, sementara beliau orangnya no-nonsense. Jadi, tiap kali beliau menelepon malam-malam…

Ibu: So, [adik] lagi di rumah nih. Kamu pulang nggak liburan ini?

Saya: Mmm… lihat nanti dululah. Tergantung kesibukan aja.

Ibu: Kamu kan udah lama nggak pulang. Rindu nggak sama ibu? (^_^)

Saya: Lho ya jelas. Aku RINDUUUUU banget sama ibu. Beneran. Sumpah mati aku kangen sama ibu. ๐Ÿ˜Ž SUER!!!

Ibu: Ceilee… bener?

Saya: BEN-NER BANGET. Sumpah!!

Ibu: Aku gak percaya. Udah ah, segitu aja. Ntar kalau mau pulang bilang-bilang ya.

Saya: Eh serius itu… (=3=)

Ibu: Iya deh, aku percaya. Udah ya, dadah.

(bunyi telepon: *tuuut-tuut-tuuuuut*)

Saya: XD

Sepertinya beliau nggak percaya. Ah, ya sudahlah. Yang penting udah dibilangin. ๐Ÿ˜†

Read Full Post »

Santai tapi Serius

Guru matematika saya waktu SD dulu, seorang ibu guru, pernah mencetuskan suatu kalimat di depan kelas. Waktu itu suasana kelas sedang agak ramai — barangkali bisa dibilang berisik. Saya sendiri lupa persisnya seperti apa, soalnya itu sudah belasan tahun lalu (ya iyalah :mrgreen: ). Meskipun begitu saya ingat beliau mengumumkan seperti berikut ini di depan kelas.

“Anak-anak, kalau mau ngobrol jangan sekarang. Kita ini santai tapi serius, bukannya serius tapi santai. Kalau serius tapi santai, itu nggak serius.”

Dulunya saya bingung, apa bedanya antara “santai tapi serius” dan “serius tapi santai”. Toh dua-duanya sama-sama mengandung kata “serius” dan “santai”. Kenapa pula yang satu dibilang “nggak serius” sama Bu Guru? ๐Ÿ˜•

Belakangan saya paham bahwa “Sersan” (serius tapi santai) adalah acara lawak di Radio Prambors era ’80-an. Mungkin maksud beliau, tidak bisa disamakan dengan Sersan Prambors… santai tapi serius, bukan berarti jadi melawak. :mrgreen: Mungkin begitu maksudnya. Yah, entahlah — saya juga kurang tahu. Wong zaman segitu saya belum lahir. ๐Ÿ˜†

***

Begitupun, terlepas dari permainan istilahnya, ucapan Bu Guru di atas terus terngiang di benak saya. “Santai tapi serius”. Beliau tidak ingin anak-anak didiknya jadi terlalu serius dan pendiam. Meskipun begitu, beliau juga tidak ingin kalau jadinya malah terlalu santai dan ribut. Jadi harus ada keseimbangan di situ… begitu yang saya tangkap dari ucapan di atas.

Waktu itu saya belajar dari Ibu Guru tentang tambah-kurang kali-bagi. Meskipun begitu, bertahun-tahun kemudian ketika saya belajar jadi insinyur — dengan segala matematikanya yang lebih abstrak — ucapan tersebut adalah ajaran beliau yang paling profound. Buat apa saya habis-habisan jadi nerd, menyeriusi ilmu pengetahuan, kalau akhirnya tidak bisa santai? Sementara di sisi lain, justru hidup itu (bagusnya) kombinasi antara serius dan santai! ๐Ÿ™‚

Kenapa bisa begitu? Coba kita bayangkan.

Dulu saya kuliah dari pagi sampai sore, mengutak-atik integral, mekanika fluida, dan sebagainya. Pulang-pulang mengurus tugas, dan besoknya kembali lagi. Tiap hari seperti itu, what gives? Keseriusan itu datang beruntun sampai tidak bisa dinikmati. Kesannya kok seperti robot saja. Barangkali saya bisa bertahan karena masih bisa online, jalan-jalan, dan download berbagai macam hiburan.

Contoh yang lebih mendetail, ambillah ilustrasi sebagai berikut.

Misalnya saya peneliti di bidang material. Bersama dosen saya, saya melakukan penelitian mengenai doping berbasis nanoteknologi. Setiap hari nongkrong di lab, melakukan analisis dan sebagainya. Pulang membaca jurnal, tidurnya dini hari. Kehidupan pribadi tersita. Meskipun begitu penelitian itu berbuah manis.

Setelah beberapa waktu, saya dan dosen saya menemukan metode doping yang efektif. Akhirnya kami membuat paper. Kemudian teknologi ini dimanfaatkan oleh industri — memudahkan hidup banyak orang — dan saya jadi berjasa lewat penemuan itu.

Tapi, seperti pertanyaan sebelumnya: What gives? Kehidupan pribadi saya tersita selama berminggu-minggu. Makan tak enak, tidur tak nyenyak (karena memikirkan riset). Barangkali tidak sempat main bola atau pergi ke mall. Karena terlalu serius, saya mengorbankan kesantaian. Pada akhirnya hidup jadi kosong dan hampa. Atau, kalau boleh dibilang, garing.

Di sini kita lihat bahwa “terlalu serius” membuat saya kehilangan sisi yang lebih manusiawi. Sehari-hari berhadapan dengan komputer, jurnal, dan sebagainya, barangkali saya sudah lupa cara mengenali body language. Barangkali teman-teman sekitar bakal dongkol karena saya tak mempan disindir, jadi cuek, dan lain sebagainya.

Sama halnya dengan semua bidang lain. Saya ambil contoh riset material karena itu bidang yang saya akrab, tapi, coba bayangkan kalau pekerjaannya lain. Mungkin programmer, arsitek, atau pemain bola. Demi mengejar profesi kita jadi terlalu serius dan lupa bersantai. Akibatnya kita jadi cuek dan kurang bersahabat. Kasar-kasarnya, jadi “kurang manusiawi” — kalau itu frase yang tepat.

 
Bicara soal ini, saya jadi ingat lagi pada ucapan Pak Arsene Wenger. Beliau pelatih bola tim favorit saya yang, kebetulan, rada hobi melempar quote filosofis.

“Any man who concentrates his energies totally on one passion is, by definition, someone who hurts the people close to him.”

[sumber]

Terlalu serius itu tidak baik. Bukan saja kita jadi tumpul dan monoton, kita juga menyakiti orang-orang di sekitar kita. Padahal belum tentu niatnya seperti itu.

Di sini saya ingin menekankan bahwa, sebagaimana disampaikan oleh Bu Guru Matematika di awal tadi, yang baik adalah “santai tapi serius”. Santai karena kita memang punya hak untuk itu. Serius, karena kita perlu untuk memajukan diri. Tidak bisa cuma berfokus ke salah satunya dan melupakan yang lain.

***

Dalam salah satu posting blog tempo hari (berjudul 15 Books that Define Me), saya menyebutkan salah satu buku yang jadi inspirasi saya. Buku tersebut adalah autobiografi Richard Feynman — almarhum fisikawan yang juga peraih Nobel.

 

cover

 

Mengapa buku ini berkesan? Well, simple: karena Feynman adalah perwujudan semangat “santai tapi serius” yang sudah disebut. :mrgreen:

Feynman adalah seorang jenius. S1 di MIT, pascasarjana di Princeton. Kesehariannya berkutat dengan fisika. Tetapi apakah dia orang yang nerd? Oh, tidak. Justru dia sosok yang santai abis. Dia hobi mengisengi rekan sejawat, ikut belajar melukis, juga pernah tiga hari tidak tidur keliling Las Vegas. Akan tetapi dia serius ketika tiba waktunya. Dengan penelitiannya dia berkontribusi di dunia fisika… malah sampai mendapat hadiah Nobel. Prestasi yang tidak ringan kalau menurut saya.

Di sini kita melihat bahwa keseriusan Feynman dibarengi dengan kesantaiannya menjalani hidup. Santai tapi serius. Dan saya pikir, memang itu yang kita butuhkan. Menyeimbangkan antara sisi manusiawi dan keseriusan kerja. Jangan sampai kita terjebak jadi robot di dunia yang makin instan.

Sebagaimana diindikasikan jauh di atas tadi, terlalu serius itu berpotensi jadi destruktif. Baik terhadap kita sendiri maupun pada orang lain.

On related note, kan memang banyak masalah kita di dunia terjadi karena orang-orangnya terlalu serius? :mrgreen: Bom bunuh diri terjadi karena pelakunya terlalu serius memegang ajaran agama (sampai kelewatan). Sentimen “ganyang Malaysia!” karena kita terlalu serius pada nasionalisme. Bukan berarti agama dan nasionalisme itu jelek, sih. Sah-sah saja, cuma mbok ya jangan sampai kebablasan.

Mengutip kalimat legendaris Joker di film The Dark Knight, yang sekarang terasa basi saking seringnya diulang-ulang

“Why so serious?”

***

Jadi, singkat cerita…

Selamat hari Selasa kisanak. Sudahkah Anda bersikap santai selama ini? ๐Ÿ™‚

 

——

Terkait:

Read Full Post »

“Surely it is more interesting to argue about what the truth is, than about what some particular thinker, however great, did or did not think.”

~ David Deutsch

 
Kalau boleh jujur, saya sering dongkol setiap ketemu orang — baik di dunia nyata maupun internet — yang setiap kali berbicara membubuhkan atribusi. Maksudnya sedikit-sedikit main quote, begitu, sehingga idenya jadi terkesan ‘wah’. Contoh untuk ini pernah dijelaskan oleh xaliber di posting lawasnya:

Si A: Saya rasa, untuk menyatukan rakyat kita membutuhkan pemimpin yang keras.

Si B: Oh, tentu! Saya juga setuju. Tapi asal tahu saja, teori seperti itu namanya integrasi berdasarkan konflik. Masyarakat bisa terintegrasi karena adanya coercion dari penguasa dan menentukan musuh bersama; teori ini sempat diutarakan oleh Dr. Nasikun pada bukunya yang berjudul Sistem Sosial Indonesiaโ€ฆ

Barangkali karena saya pribadi kurang suka gaya bahasa berbelit bumbu jargon, makanya jadi begitu. Seperti yang dibilang Pak Deutsch di atas: yang lebih penting itu idenya, bukan orangnya. Kan begitu? ๐Ÿ˜›

Yaa, bukannya saya anti kutipan, sih. Sah-sah saja buat menyampaikan poin, tapi mbok ya jangan berlebihan kalau lagi diskusi. Masa dikit-dikit kutip Plato, Machiavelli, Nietzsche, dkk., dllsb. ๐Ÿ˜ Ilmu itu yang penting komunikasi bung, bukan jualan nama!

On related note, sebenarnya tulisan yang kemarin juga bisa dibumbui quote berbagai ilmuwan terkenal: Dawkins, Huxley, Darwin, dst. Pertanyaannya, buat apa? Saya pikir pembaca juga lebih suka lah kalau disampaikan sederhana begitu saja. So there. ๐Ÿ˜†

 

Ps:

Sekadar postingan curhat, jangan terlalu dipikirkan. ๐Ÿ˜›

Read Full Post »

Konon, kebahagiaan itu letaknya di hati. Seseorang tidak mesti kaya dan berkelimpahan untuk bisa bahagia — asalkan bisa mencukupi kebutuhan dan bersyukur, maka itu saja sudah cukup. Yang penting adalah bagaimana memaknai apa yang kita punya sebaik mungkin.

Sebenarnya ini wisdom yang amat populer; beberapa orang mungkin bilang “basi”. Meskipun begitu, mau tidak mau, saya jadi ingat juga gara-gara adegan di bawah ini. ๐Ÿ˜†

 

cat-and-shoe
 

“You can’t always get what you want, but if you try, sometimes you may just get what you need.”

~ Rolling Stones

Have a nice day, Neko-san. ๐Ÿ™‚

 

 
——

Ps:

Belakangan ini saya jadi sering posting gambar/foto. Maunya sih menulis panjang-lebar, tapi apa daya… ๐Ÿ˜ฎ

(baca: mood belum balik sepenuhnya pasca hiatus)

Read Full Post »

Hari Sabtu kemarin, saya sedang bongkar-bongkar koleksi CD lama, dan menemukan CD berikut ini di dalam kardus.

 

Classics for The Weekend - cover

Classics for The Weekend, terbitan EMI Records

 

Mendadak saya jadi ingat bahwa saya sudah lama sekali mendiamkan koleksi musik klasik dalam DVD backup. Mungkin sudah setahun lewat, atau dua tahun (saya lebih banyak mendengar lagu-lagu Jepang belakangan ini). Meskipun begitu, ‘pertemuan’ dengan CD tersebut tak urung membuat saya bernostalgia. Ternyata sudah enam tahun berlalu sejak saya membeli CD tersebut. ^^;

 
Enam Tahun Lalu, 2002
 

Jadi, ceritanya, sekitar tahun 2002 hingga 2006, saya sedang bersemangat mendengarkan musik klasik. Waktu itu saya masih SMA — dua komposisi pertama yang saya sukai adalah Canon in D karya Pachelbel dan Air karya Bach. Kenapa bisa ketemu dua lagu ini…

…karena waktu itu saya sedang men-download OST Neon Genesis Evangelion, dan dua lagu ini ada di dalamnya. ๐Ÿ˜› Saya masih ingat waktu itu mengunduh kedua track tersebut menggunakan Telkomnet Instan yang mahalnya benar-benar mencekik leher x(.

Kemudian saya berpikir begini:

Kalau men-download satu track sebesar 5 mb menggunakan Telkomnet, maka kenanya sekitar satu atau satu setengah jam. Kurang lebih sama dengan 10-15 ribu rupiah per satu lagu.

    (tarif telkomnet tahun 2002: + Rp. 9000/jam)

Jika saya membeli CD asli, maka saya dapat 17 track sekaligus — tetapi saya cuma perlu membayar Rp. 80.000. Berarti, satu lagu sekitar Rp. 5000! ๐Ÿ˜€

Dengan demikian, saya pun membeli CD klasik pertama saya. Tak lain dan tak bukan, CD yang cover-nya sudah Anda lihat di awal tadi.

Meskipun begitu, CD di atas itu menjadi satu-satunya CD klasik original yang saya miliki sejauh ini. Hingga memasuki masa kuliah, saya lebih sering membeli CD MP3 yang membundel musik klasik… atau, kalau bisa, mengunduhnya lewat internet[1].

Alhasil, berkat koleksi tersebut, menjelang akhir kelas 3 SMA saya sudah berkenalan dengan karya-karya Chopin, Tchaikovsky, dan juga Mozart. Meskipun begitu, yang paling saya suka sampai sekarang adalah Bach — terutama dua karya beliau, yakni Inventions dan Brandenburg Concerto no. 2. Entah kenapa dua karya tersebut terasa berkesan di hati saya. ๐Ÿ˜›

*halah*

 
Masa Kuliah, 2004-2006
 

Meskipun demikian, kesukaan saya pada musik klasik berkembang lebih jauh semasa kuliah tahun pertama dan kedua. Sekitar waktu ini, saya mulai mendengarkan karya para komposer yang tadinya jarang/belum pernah saya perhatikan — antara lain Vivaldi, Rachmaninoff, Strauss, dan Wagner.

Adapun bisa dibilang bahwa semasa kuliah ini selera saya mulai mengerucut. Dari yang tadinya “pendengar-segala”, menjadi lebih fokus pada karya beberapa komposer saja.

Seperti sebelumnya, Bach masih menduduki tempat pertama. Di tempat kedua adalah Vivaldi, dengan karyatamanya Four Seasons (I like every single one of them! ^^ ). Sedangkan sisanya dibagi-bagi antara Chopin, Tchaikovsky dan Strauss.

Soal ‘bagi-bagi’ yang disebut terakhir ini rada unik. Sebenarnya saya menyukai gaya Tchaikovsky yang bersemangat. Meskipun begitu, ternyata saya juga senang mendengar komposisi waltz a la Strauss. Mungkin bisa dianggap saling menyeimbangkan. ๐Ÿ˜† Sedangkan Chopin… saya suka pianonya (e.g. Nocturne atau Military Polonaise no. 3). Tapi ternyata saya juga sering menyetel Grand Valse Brilliante. Ini agak susah dijelaskan. ^^a

 

Di sisi lain, ada juga komposer yang saya kurang suka. Dan gelar ini jatuh pada…

…Wagner. Walaupun beberapa orang berpendapat bahwa komposisi Wagner itu “bergelora”, reaksi saya justru:

“Ini apaan?” ๐Ÿ˜•

…ketika mendengar Ride of The Valkyries atau Overture to The Flying Dutchman. Komposisinya terlalu bersemangat, sampai terkesan rada… narsis. Di satu sisi meledak-ledak, tapi di sisi lain terasa gelap dan pekat.

Mungkin ada hubungannya dengan sejarah hidup sang komposer[2]. Either way, it doesn’t suit my taste. >__>

 
Hal yang mirip, walaupun dengan dosis yang jauh lebih ringan, terjadi ketika saya mendengar karya Mozart. Walaupun (katanya) beliau adalah salah satu komposer paling jenius yang pernah hidup, rasanya semangat bermusik beliau kurang cocok dengan saya. ๐Ÿ˜• Saya sendiri mengakui bahwa beberapa karya beliau itu bagus (misal: Eine Kleine Nachtmusik, Horn Concerto no. 4). Tapi tetap saja… rasanya kok bukan selera saya, ya. ^^a

Mungkin ini yang disebut sebagai “masalah selera”. Oh well.

Yang jelas, sampai sekarang, saya masih memegang urutan komposer favorit yang sama: Bach > Vivaldi > Chopin = Tchaikovsky = Strauss. Jadi, dari sini, Anda bisa menebak seperti apa kepribadian saya sesungguhnya. :mrgreen:

***

Singkat kata, saya kemudian membentuk favoritisme sendiri di bidang musik ini. Meskipun demikian, seperti yang sudah disebut sebelumnya, kemudian saya mulai lebih tertarik mendengarkan musik yang lebih kontemporer… sehingga koleksi musik klasik akhirnya jadi terabaikan. (-_-)

 
Masa Kuliah, 2006-2008
 

Ini masa di mana saya mulai sering mendengarkan J-Musics. Sebenarnya bukannya baru banget sih, mengingat saya sudah mulai mendengarkan T.M. Revolution, L’Arc-en-Ciel, dan Maaya Sakamoto sejak masa SMA. Meskipun begitu, kebiasaan ini jadi makin intens di masa kuliah… sehubungan dengan lancarnya akses internet dan FTP yang menyediakan barang-barang Jepang. ๐Ÿ˜›

Mulai masa ini, saya berkenalan dengan band (dan penyanyi) yang sebelumnya jarang saya dengar: Antic Cafe, Kagerou, Ellegarden, Chihiro Yonekura, YUI… the list goes on. Di masa ini juga saya mulai ‘berburu’ lagu-lagu Barat era 1980-an: Aerosmith, Scorpions, Bon Jovi dan Mr. Big. Sebenarnya selera musik saya yang sangat melebar berkembangnya juga dari sini.

Alhasil, perlahan-lahan koleksi musik klasik jadi terlupakan…

…hingga akhirnya, dua tahun kemudian, saya menemukan CD yang sudah disebut di awal tadi.

Dan baru dua hari yang lalu, saya menyetel musik klasik lagi di komputer saya. Yay! :mrgreen:

BTW, setelah beberapa waktu mendengar Vivaldi dan Bach lagi, saya jadi heran. Kok bisa ya sampai terlupakan begitu? Padahal komposisinya bagus-bagus. ๐Ÿ˜•

*jadi merasa bersalah*

Anywaay, all’s well that ends well. Rasanya seperti ketemu anak hilang. ๐Ÿ˜†

 
*putar musik*

*di latar belakang: Grand Valse Brilliante dari Chopin* ^^

 

 

 

——-

 
[1] Saya kurang yakin dengan definisi “membajak musik klasik”. AFAIK, para komposer zaman Barok (Bach, Vivaldi, dkk) hidup pada abad 17. Sementara karya yang pembuatnya sudah meninggal lebih dari 100 tahun akan masuk dalam public domain. Kalau begitu membajak karya mereka nggak melanggar hukum, dong? ๐Ÿ˜•

Atau kita harus memperhitungkan peran label rekaman sebagai pemain/penyedia karya klasik ybs?

*bingung*

 
[2] Konon katanya, Wagner menjalani hidup dalam depresi. Sebagai tambahan, dia juga sangat terpengaruh oleh filsafat Schopenhauer yang cenderung seklusif dan pesimistik.

Kalau benar begitu, wajar saja jika karyanya terkesan ‘gelap’ dan meledak-ledak. It’s likely to reflect his own life, IMHO. ^^;

Read Full Post »