Sejauh yang bisa saya lihat, keluarga saya dari pihak ibu umumnya mempunyai jiwa witty khas Jawa Timuran. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh — ibu saya sendiri lahir dan besar di Surabaya, sementara kakek-nenek saya juga asalnya dari situ. Jadi bisa dibilang saya mendapat pengaruh budaya Jawa Timuran dari mereka.
(di sisi lain, ayah saya orang Jawa Tengah; tapi itu takkan kita bahas di sini)
Kalau ada pembaca yang punya kenalan orang Jawa Timur, kemungkinan besar sudah tahu bahwa suku ini punya unggah-ungguh (kesopanan) yang rada unik. Berbeda dengan Jawa Tengah yang tenang, sabar, dan mengutamakan harmoni, orang Jawa Timur relatif lebih vokal menyuarakan isi hati. Adapun mereka punya cara unik untuk melakukannya. Bukan dengan tegas, apalagi bentak — melainkan dengan sindiran dan tertawaan.
Iya, dengan tertawaan. Ada sebuah humor (atau anekdot?) Suroboyoan yang terkenal tentang sopir becak yang ngebut. Kontan, penumpang yang sport jantung protes ke si sopir. Jawaban si sopir?
“Wis murah kok njaluk slamet!”
(id: “Sudah murah kok minta selamat!”)
Well, you got the idea. Kasar-kasarnya, kalau orang Batak marahnya bikin menciut, maka orang JaTim marahnya bikin dongkol. ๐ Ada semacam witticism yang terkandung dalam cara mereka berekspresi, kalau saya boleh menyimpulkan seenaknya.
Nah, ibu saya adalah turunan dari suku yang disebut di atas. Dan sebagaimana bisa ditebak… beliau juga mewarisi semangat yang sama dalam bersikap. Terutama sebagaimana diterapkan pada anak-anaknya.
Dan sebagai anaknya, otomatis saya jadi ‘terdidik’ supaya bisa menanggapi up-to-par. Mau bagaimana lagi? ๐
Semuanya bermula di satu hari belasan tahun yang lalu…
Ibu saya: So, kemarin aku ketemu ibunya teman kamu pas arisan.
Saya: Oh. Terus?
Ibu: Ibunya cantik lho. Anaknya cakep juga kan?
Saya: *gobsmacked*
Ibu: (tanpa peduli reaksi saya) Ya iyalah anaknya cantik. Wong ibunya cakep…
Sementara di latar belakang, saya terkapar diam tak mampu bicara. Benar-benar tak mampu berbicara. Sungguh mati tidak melebih-lebihkan, saudara-saudara. Waktu itu saya speechless betulan. (=_=!)
What a speechless reaction may look like
Waktu itu saya masih SMP, barangkali sekitar kelas satu. Jadi sejak itu saya mulai belajar mendalami satu hal: the art of witticism. Kalau ibu mau berbuat begitu lagi ke saya, maka paling tidak saya harus bisa menanggapi! (u_u)
Dan demikianlah adanya hingga suatu sore di tahun 2002… ketika beliau iseng mengecek meja belajar saya dan menemukan sebuah foto terselip diantara buku-buku.
Ibu: Eh, siapa ini, ada foto cewek berjilbab pakai seragam SMA…
Saya: GRAAAA~!!! ๐
Ibu: Coba jawab pertanyaan ibu. Itu foto kamu dapat karena dikasih, minta, atau mencuri? (^_^)
Saya: Aku nggak mencuri fotonya kok. Aku cuma mencuri hatinya aja… (=3=)
(*sambil mendengus*)
Kontan, beliau menertawakan saya habis-habisan di tempat. But that’s one good comeback anyway. Kan begitu? ๐
Tentu, masalah dialog aneh-aneh antara ibu dan saya tidak mesti terkait romance. Ada juga yang temanya relatif netral dan tidak berhubungan dengan itu.
Ibu: Janji adalah hutang. Ingat itu, kamu sudah janji mau melakukan X, harus kamu lakukan.
Saya: Tapi hutang kan bisa diputihkan. Misalnya hutang Tommy pas jaman Pak Harto…
Ibu: Nggak bisa. Pokoknya, nggak bisa. [-(
Saya: Err… eh… kalau begitu, restrukturisasi hutang! ๐ Kan ada aturan-
Ibu: NGGAK BOLEH!! ๐
Galibnya diskusi ibu dan anak, sudah tentu ujung-ujungnya saya yang berkompromi. Tapi, yah, yang penting kan usahanya. ^^a
Lain kali, saya bilang ke beliau sebagai berikut.
Saya: Dipikir-pikir, sebenarnya tampangku rada mirip ibu. Kalau [adik saya] lebih mirip bapak. (=3=)
Ibu: Ih, mirip-miripin. Aku tuh beda sama kamu. Aku dulu rajin kuliah, pinter, nggak kayak kamu sekarang.
Saya: Eh jangan salah. Sebenarnya aku ini cowok pinter, rajin, dan berkualitas. Hanya saja nggak ada yang sadar. ๐
Saya: Kalau orang yang tercerahkan, pasti sadar akan kualitas diriku. (u_u)
Ibu: Ada po yang bilang gitu? Kalau ada cewek yang setuju, bawa sini. Biar kenalin sama aku.
Saya: …… XD
Lah, ibu. Bukannya aku gak mau bawa, tapi… kalau adanya di seberang pulau atau negeri, gimana ngenalinnya? XD bukan berarti waktu itu lagi ada sih…
Meskipun begitu, tak ada yang setegas kalimat beliau tiap kali ditanya tentang hal di bawah ini. Selama belasan tahun jawabannya selalu sama.
Saya: Ibu, aku ini ganteng nggak? ๐
Ibu: Enggak. Jelek.
Serius, beliau selalu bilang begitu. Bayangkan betapa sesaknya perasaan saya. ๐ฅ Tapi, berhubung saya sudah kebal, biasanya saya melanjutkan begini:
Saya: Padahal sendirinya narsis. (=3=) Siapa tuh yang kemaren ngaku2 dirinya pinter, rajin, pandai bergaul…
Ibu: Eh, aku tuh narsis cuma di rumah aja. Kalau sama tetangga atau sejawat, ya, jaga wibawa lah.
Ibu: Orang itu harus tahu cara membawa diri… (u_u)
Saya: Jaim… (=3=)
Ibu: Biarin. (*sambil lanjut dandan di depan cermin*)
***
Kalau boleh jujur, terkadang saya merasa bahwa saya dan ibu itu seperti dua sisi mata uang. Cara berpikirnya beda, pandangan politiknya beda, generasinya juga beda. Tapi sebenarnya toh sama juga. Sama-sama suka ngeyel, jaim, dan — ssst ini rahasia ๐ — sama-sama hobi curcol. Cuma bedanya, saya kalau curcol lewat tulisan. Sementara beliau lewat omongan. ๐
Walaupun ada juga bedanya soal itu. Saya ini orang yang relatif jujur dalam mengungkapkan perasaan, sementara beliau orangnya no-nonsense. Jadi, tiap kali beliau menelepon malam-malam…
Ibu: So, [adik] lagi di rumah nih. Kamu pulang nggak liburan ini?
Saya: Mmm… lihat nanti dululah. Tergantung kesibukan aja.
Ibu: Kamu kan udah lama nggak pulang. Rindu nggak sama ibu? (^_^)
Saya: Lho ya jelas. Aku RINDUUUUU banget sama ibu. Beneran. Sumpah mati aku kangen sama ibu. ๐ SUER!!!
Ibu: Ceilee… bener?
Saya: BEN-NER BANGET. Sumpah!!
Ibu: Aku gak percaya. Udah ah, segitu aja. Ntar kalau mau pulang bilang-bilang ya.
Saya: Eh serius itu… (=3=)
Ibu: Iya deh, aku percaya. Udah ya, dadah.
(bunyi telepon: *tuuut-tuut-tuuuuut*)
Saya: XD
Sepertinya beliau nggak percaya. Ah, ya sudahlah. Yang penting udah dibilangin. ๐
Read Full Post »