Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Blogging’ Category

Update Juni 2014: Sebagian posting telah diset privat.

 

Saya pertama kali menulis blog sekitar bulan Mei 2006, pertama-tama di livejournal, kemudian pindah ke blog WordPress yang sekarang. Waktu itu saya masih kuliah tingkat dua, dan kalau boleh dibilang, menulisnya benar-benar santai: pakai kata ganti gw-lo, banyak membahas keseharian, dan isinya cenderung personal. Hampir tidak ada tulisan panjang-lebar yang serius. Bolehlah dianggap bahwa itu masa-masanya saya masih kroco di dunia blog. Tapi soal itu sebaiknya tak dibahas di sini. :mrgreen:

Nah, yang hendak dibicarakan di sini terkait dengan masa-masa awal ketika baru pindah ke WordPress. Saya mulai menulis di sini sekitar bulan Desember, jadi, kurang lebih sekitar 6 bulan sejak awal ngeblog. Kalau dihitung-hitung: persis sudah empat tahun saya menulis di alamat ini.

Dulu di tahun 2006-07, banyak blogger hebat yang menulis di WordPress, di antaranya Bang Aip, Mas Fertob, Mas Joe, dan Kang Tajib. Sekarang hampir semua punya hosting pribadi. Lalu ada blog Wadehel yang — waktu pertama kali baca — sempat bikin kaget dan rada trauma. Walaupun begitu belakangan saya mulai bisa memahami maksud di balik tulisannya, so that’s fine. 😛

Lalu saya juga ketemu banyak teman yang luar biasa. Dari yang (waktu itu) masih SMA sampai yang sudah bapak/ibu dan berkeluarga, semuanya menarik dan enak diajak ngobrol. Ada begitu banyak nama sampai-sampai tak bisa disebut satu-persatu. Mulai dari generasinya kgeddoe dan mas Gun; generasi saya sebangsa mbak Hiruta dan Chika; lalu yang lebih muda generasinya xaliber; generasinya mas AmedFaridMansup… sampai yang sudah paruh baya seperti bu Evy dan Kang Tajib di atas. Banyak di antaranya yang sudah berhenti ngeblog atau pindah website. Bagaimanapun itu hal yang wajar. Empat tahun itu waktu yang lama.

Menariknya adalah, selama empat tahun itu, saya bisa dibilang tak pernah ganti-ganti identitas. Sejak dulu ya, kalau orang melihat saya di blogosphere, pasti namanya sora9n. Sejak dulu mayoritas isi blog saya bertema J-stuffs, opini serius, atau ngobrol tentang sains. Dan sejauh saya ingat, blog ini hampir tak pernah ganti tampilan — ganti theme cuma sekali; ganti header dan tampilan sidebar pun demikian. Ibaratnya: kalau Anda pernah berkunjung ke sini dua tahun lalu, lalu baru main ke sini lagi, dijamin panglingnya cuma sedikit. :mrgreen:

Akan tetapi sebagaimana halnya benda di dunia ini, tidak ada yang abadi. Hal-hal di sekitar saya berubah; garis besar pemikiran saya juga berubah. Sementara apa yang ada di blog ini sudah mengkristal pencitraannya: bahwa saya begini-dan-begitu, bahwa blog ini *diasumsikan* isinya begini-dan begitu. Jadi saya berpikir begini. Barangkali sudah waktunya saya mencoba mengakomodasi perubahan itu.

Saya, misalnya, semenjak tahun 2009 sudah tak rajin mengikuti barang-barang Jepang. Saya tidak tahu anime atau dorama terbaru, juga tidak tahu kabar J-music terbaru (walaupun saya masih menulis seri nihongo di blog ini; tapi itu sekadar melanjutkan yang sudah ada saja). Haluan filosofis saya juga berubah: dari yang tadinya religius-liberal (c. 2006) menjadi teis agnostik (c. 2007) hingga sekarang agnostik tanpa embel-embel (sekitar akhir 2007? lupa 😛 ). Semua perubahan itu tercermin di berbagai rangkaian posting di blog ini. Dari masa ke masa garis besar haluan ngeblog saya terus berubah dan, di saat ini, saya telah berjalan begitu jauh — sedemikian hingga ada perbedaan yang visible antara diri saya dulu dan sekarang.

Masalahnya adalah bahwa blog ini menimbulkan ekspektasi pada pembacanya. Kalau orang dengar istilah “blog sora-kun” barangkali yang terlintas adalah: “blog yang suka ngomong jejepangan, teori evolusi, atau coretan keseharian“. Sementara ada banyak hal yang ingin saya eksplorasi di luar itu yang belum tentu cocok dengan audiens.

Jadi saya menetapkan bahwa Garis Besar Haluan Ngeblog (GBHN) saya telah berubah. Saya ingin membicarakan hal lain; saya ingin mengomunikasikan hal-hal berbeda dengan segmen pembaca yang (boleh jadi) juga berbeda. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti ngeblog di sini dan melanjutkan di blog yang baru.

 

ZENOSPHERE

Link dan banner dari blog tersebut

 

Yup, that’s about it. Jadi, setelah empat tahun ngeblog di alamat ini, saya akhirnya memutuskan untuk pindah rumah. Masih di bawah pengawasan bapak kos Oom Matt di WordPress, cuma beda nomor kamarnya sahaja. Silahken dikunjungi atau di-subscribe kalau berkenan. 😛 biarpun isinya sejauh ini baru dua posting

 
Jadi, ada apa di blog baru ini?
 

Rencananya di blog tersebut saya akan lebih banyak merilis tulisan bertema serius; kira-kira seperti terkandung di kategori deeper thoughts. Berhubung pendidikan saya teknik maka temanya akan berkisar antara sains dan engineering — walaupun bukan tak mungkin bakal ada tulisan nyerempet ilmu sosial. Bagaimanapun memang dua bidang itu sering bertabrakan. 😛 (see also: teori evolusi, antropologi)

Rencananya saya juga ingin mencoba gaya menulis baru di sana. Alih-alih membuat tulisan panjang-lebar tapi jarang update seperti di blog ini, saya akan lebih fokus pada posting pendek-tapi-rutin. Sebisa mungkin tidak lebih dari 1000 kata; jikapun lebih, sungguh mati tiada maksud. Mudah-mudahan masih bisa ditoleransi kalau kepanjangan. 😛 Harapannya sih bisa rajin update sambil tetap menjaga mutu.

 
Wrapping it up…
 

Akhirnya saya mengucapkan terima kasih pada pembaca yang sudah menyambangi blog ini selama empat tahun terakhir. Mulai dari yang rajin berkunjung dan berkomentar; yang sekadar membaca tanpa komentar; yang sampai ke blog ini lewat link; sampai yang tersasar ke sini gara-gara google. Semua hits itu telah membantu menyemangati saya selama mengisi tulisan di blog ini.

Sebagai informasi, rata-rata harian kunjungan blog ini sejak tahun 2007 adalah 183, 328, 412, dan 335. Semuanya disumbang oleh kehadiran, diskusi, dan link balik para pembaca.

Oleh karena itu, menutup perjalanan panjang di blog ini: terima kasih banyak untuk semua perhatiannya. Terima kasih banyak, sebanyak kunjungan Anda semua ke blog ini. m_(u_u)_m *plak*

Komentar akan tetap dibuka sampai Tahun Baru 2011, setelah itu akan ditutup untuk seterusnya. Silakan meninggalkan pendapat, kesan-pesan, atau sebagainya — sejauh tidak melanggar rambu-rambu berkomentar, respon anda akan diterima dengan baik.

Akhir kata, terima kasih banyak, dan sampai jumpa. Adios!

 

— SHQM

 

Addendum:
Saya merasa agak terbebani karena — sejauh saya ingat — ada tulisan yang bersifat hutang dan tak pernah dilunasi sampai blog ini tutup. Yang pertama kelanjutan seri nihongo; ada banyak sekali materi yang tak sempat saya tulis. Yang kedua bagian penutup seri mekanika kuantum: semestinya sudah ditamatkan pada awal tahun 2009, akan tetapi sampai sekarang ternyata terbengkalai. Untuk ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. ^:)^

Saya menulis dua bidang tersebut semata dengan semangat Free Culture — saya percaya bahwa ilmu pengetahuan selayaknya disebarkan seluas mungkin tanpa diambil untung. Akan tetapi untuk menulisnya butuh waktu dan energi yang lumayan, dan itu adalah hal yang jarang saya miliki dalam dua tahun terakhir.

Read Full Post »

Akhirnya balik juga dari hiatus. Yaay.

 

onion

 

Ya, saya tahu, saya melewatkan banyak kejadian penting selama dua bulan terakhir. Sebenarnya semua itu bisa jadi topik yang menarik untuk diblog. Tapi, apa daya — saya sedang tak hendak online (walaupun tanpa direncanakan sebelumnya). Jadi, karena dibuang sayang, biarlah saya rangkum semua itu dalam bentuk kalimat pendek saja.

Dan inilah topik-topik post yang — boleh jadi — akan mewarnai blog ini, seandainya saya tak hiatus…

 
Football
 

Josep Guardiola = Master of Pep Talk (no, really).

Champions League 2009 chant: “SORRY DORRY MAN UNITED. SORRY DORRY MAN UNITED…”

Brasil > Amerika > Italia > Mesir

Miracle on Grass. Do you believe in Miracle? YES!

Real Madrid buang-buang duit di tempat yang salah.

 
Asinine
 

Persyaratan jadi bintang sinetron: (1) berpenampilan menarik, (2) pernah disiksa suami. (I’m looking at you, Manohara)

Demi Garuda di dada, aku menolak stempel 100% Mesir asli!

“Situ pro-rakyat? Kalau iya, lanjutkan. Lebih cepat lebih baik.”

Dan semua orang mendadak bicara UU ITE… (methinks it was meme of yesteryear)

 
Politics and Whatnot
 

Good night, my sista. Marg Bar Dictator!

Fars Fark News > CNN

“Tapi itu tiang pancangnya dipasang di masa jabatan saya!” ~ kata Bu Mega tentang Jembatan Suramadu.

Media massa: Apa itu Neoliberal? Neoliberal adalah… *wharrrrgarbbll*

Nenek moyangku punya Ambalat / Gemar mengarung luas samudra / Menerjang ombak, tiada takut / Menantang badai, sudah biasa~

 
Somewhat Obvious
 

Banyak jendela yang terbuka sepanjang malam di gedung SMA 3 Bandung. (it is said that a ‘Noni Belande’ may appear behind one)

Jalan Ganesa sampai Taman Lalu Lintas (Bandung) bisa ditempuh dengan dua jam jalan kaki, bolak-balik.

Adik saya ternyata nggak ngefans sama CrisRon. (“Pake shortpants gitu? Ihh, enggak banget!”)

Cake Blueberries-nya Amanda Brownies itu enak.

Biasa: tante saya menginap dua minggu di Puncak. Aneh: terdengar suara kursi berderit-derit sepanjang malam. WTF: seorang temannya mendadak terkunci di WC kusam selama 30 menit; pintu terbuka setelah ia memanjatkan doa. [Scary]

 
Personal Interests, Technical Stuffs
 

Apa itu String Theory? String Theory adalah…

Being multirace is (was?) one delicate matter. (Kathleen Tamagawa, Sunny Yamagata)

Banyak orang salah paham tentang Nietzsche. (I’m looking at you, Nietzsche Wannabes and Straw Atheists)

Camus dan Sartre itu serupa tapi tak sama. Ibarat segitiga siku-siku dan samakaki. (*wharrrrgarbl* =_=! )

Hei, ternyata baca textbook psikologi itu asyik. =3

Laughing at Nothing: Humor as a Response to Nihilism, oleh John Marmysz. Buku bagus yang mengupas tentang nihilisme dan (sedikit) eksistensialisme. Rencananya mau saya review tempo hari, tapi, yah sudahlah. Mungkin lain waktu.

*baca ulang daftar*

*kecewa*

Sial, padahal banyak yang bisa jadi postingan bagus. Kelewat dua bulan aja, udah pada basi. (x_x)

*ngomel-ngomel gak jelas*

Tapi ada sisi baiknya. Setidaknya, niat saya untuk mengucapkan SORRY DORRY MAN UNITED di blog ini tercapai…

Read Full Post »

Tadi sore, ketika saya sedang menanggapi diskusi di sebuah post yang lagi panas, mas gentole melontarkan ide cemerlang:

Itu katarsis buat dia. Bisa meledak di jalan kalau dikeluarin. Ada ide bikin layanan “anger management” untuk para bloger? Anybody?

Saya pikir, ini ide yang brilian! 😯 Jadi, langsung saja saya inkorporasikan ide beliau dalam bentuk tulisan berikut. Silakan dibaca (dan diberi masukan/koreksi jika berkenan). 😀

Seperti apa?

Read Full Post »

Beberapa di antara pembaca mungkin bertanya, ke mana perginya saya selama dua-tiga minggu terakhir, hingga tak sempat meng-update blog ini, blogwalking, atau menanggapi komentar yang masuk. Saya tak hendak membicarakan penyebab tersebut panjang-lebar di sini. Tetapi, cukuplah jika saya katakan bahwa terdapat beberapa hal — di dunia nyata — yang cukup menyita perhatian untuk diselesaikan.

Well, to tell the truth, it’s personal. Not going to relate it here—so sorry for that. 😉

Jadi, untuk pembaca yang menunggu update blog ini selama tiga minggu terakhir (kalau ada), post ini sekaligus berperan sebagai pengumuman. Saya tak yakin kapan akan mulai posting lagi — ada beberapa ide yang sudah jadi draft — tetapi, kapan dirilisnya, akan sangat bergantung pada situasi saya ke depannya.

Saya juga ingin mengingatkan pada pembaca bahwa blog ini bersifat pribadi: di mana saya menulis dengan santai, tanpa kendala, dan tanpa tenggang alias deadline. Beberapa di antara Anda mungkin menunggu kelanjutan post bahasa Jepang, seri QM, atau post baru apapun di blog ini. Bukannya saya tak mau menulis atau memenuhi keinginan Anda. Fact is, saya tidak selalu bisa menulis (dan merilis post) kapanpun saya mau.

Ada kalanya dalam hidup saya merasa butuh istirahat. Dan kalau itu terjadi… saya cuma bisa berharap Anda memaafkan saya atas keterlambatan tersebut. Sebagaimana halnya tempo hari. Mohon maaf yang sebesar-besarnya. :mrgreen:

***

Anyway, saya tak bisa janji kapan akan mulai menulis lagi di sini. Mengikut kata ahli meteorologi di tipi-tipi™, gempa besar biasanya diikuti oleh gempa susulan yang kecil-kecil. Jadi mari kita lihat apa yang akan terjadi ke depannya… kalau semuanya beres, maka tulisan baru akan muncul dalam beberapa hari ke depan.

Tentunya dengan asumsi saya tidak tewas tertimpa bangunan. Tapi, hei, ini kan cuma analogi. 😛

’til next time, and thanks for reading.

 

 
——

Ps:

Ada beberapa komentar yang masuk ke blog ini selama masa rehat saya tempo hari. FYI, saya tak akan membalas semuanya; hanya beberapa yang saya anggap penting yang akan saya tanggapi.

 
PPs:

Rupanya WordPress sekarang menyediakan fasilitas nested reply. Saya lebih suka sistem komentar a la message board yang dulu, BTW. 😐

*sambil mematikan fitur ybs*

Read Full Post »

Sekadar pengumuman… tak perlu dikomentari. Sekaligus juga berperan sebagai update log untuk saya. 😛

Seminggu terakhir ini, saya mengerjakan update untuk tulisan “Beberapa FAQ tentang Evolusi“. Sebanyak delapan pertanyaan baru (beserta tanggapannya) sudah saya post-kan di tulisan ybs.

Saya juga menambahkan kelompok baru di FAQ tersebut, yakni seksi III – Kesalahan Argumen terkait Adaptasi, Mutasi, dan Spesiasi. Sehingga FAQ tersebut kini memiliki pembagian sbb.:

I. Tentang Definisi dan Konsep “Teori”
(3 pertanyaan)

II. Kesalahan Argumen terkait Ancestry
(4 pertanyaan)

III. Kesalahan Argumen terkait Adaptasi, Mutasi, dan Spesiasi
(6 pertanyaan)

IV. Kesalahan Argumen terkait Aspek Filosofis dan Sosial dari Evolusi
(5 pertanyaan)

V. Famous Last Words
(1 pertanyaan)

 

Total: 19 pertanyaan

Topik baru yang ditambahkan:

  • Tentang minimnya fosil peralihan
  • Tentang salah kaprah Teori Lamarck sebagai Teori Darwin
  • Tentang mekanisme evolusi pasca-Darwin
  • Tentang mutasi yang (katanya) tidak pernah menguntungkan
  • Tentang keberlangsungan makroevolusi
  • Tentang pembentukan keragaman secara acak
  • Tentang tidak adanya hewan campuran/setengah spesies A dan B
  • Tentang Manusia Piltdown dan Nebraska
  • Tentunya halaman tersebut masih akan di-update. :mrgreen:

    Saya juga membuka diri pada koreksi dan masukan apabila ada di antara pembaca yang berkompeten. Umpan balik bisa disampaikan lewat komentar di halaman FAQ yang bersangkutan.

    Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

    onion-rei

    Read Full Post »

    Okay, You Win.

    Mas Fertob berkata,

    Dan mohon diperbanyak tulisan tentang Mekanika Kuantum. Maklum, basic saya bukan Fisika. Dulu waktu UMPTN pernah diterima di Teknik Kimia ITB tapi nggak saya ambil, dan malah lari ke Psikologi. 😆

    Saat itu saya menjawab:

    Lima dulu lah. Mungkin kapan2 saya nulis soal fisika lagi, tapi nanti dulu. Ini aja udah mabok. XD

    Tapi. Meskipun begitu.

    Tiga hari yang lalu, ketika sedang mengerjakan tulisan bagian #4, saya menemukan bahwa word count saya sudah mencapai:

     

    3286

     

    …ketika sedang menulis seksi

     

    #4.2

     

    …dengan rencana subbab terakhir bernomor

     

    #4.6

     

    *OMGWTFBBQLOLRUSRSLYDOINTHAT* xD

     

    Maka, saat itu juga saya putuskan: bahwa saya akan memperbanyak jumlah tulisan tentang QM sebagaimana di-request oleh beliau. :mrgreen:

    Yah, begitulah adanya. Saya yakin tidak ada di antara pembaca yang mau membaca tulisan di blog dengan word-count mencapai 8000, dan saya yakin beberapa diantara pembaca juga sudah merasa bahwa tulisan bagian #3 agak terlalu panjang. 😆 Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membagi tulisan QM bab #4 menjadi beberapa post terpisah.

    Bagian 4.1. — QM dan Filsafat Determinisme

    Sudah saya rilis tepat sebelum postingan ini. Silakan dinikmati. 😉

    Bagian 4.2. — Memandang Kenyataan: Filsafat Para Ilmuwan

    Juga sudah saya rilis sebelum postingan ini. Lagi-lagi, silakan dinikmati. 😀

    Sedangkan sisanya, dengan berat hati terpaksa menunggu di harddisk laptop saya. Adapun outline dari keseluruhan bab #4 sudah saya upload dalam bentuk [file .doc] — bisa Anda baca jika berminat.

    (tadinya mau saya upload pakai txt, tapi ternyata nggak boleh. ya sudahlah akhirnya pakai .doc =_=! )

    ***

    Dengan demikian, struktur baru rangkaian tulisan QM adalah seperti berikut ini.

      1 – Quantum Philosophy: The Menacing Concepts

      2 – Paradoks dan Keruntuhan Superposisi

      3 – Beberapa Interpretasi Mainstream

      4 – Singgungan dengan Dunia Filsafat

      — a) QM dan Filsafat Determinisme

      — b) Memandang Kenyataan: Filsafat Para Ilmuwan

      — c) Adakah Kehendak Bebas?

      — d) Teater Kuantum: Pengamat, Pemain, dan Sudut Pandang

      5 – Kesimpulan Akhir dan Rangkuman

    Bisa Anda lihat bahwa seri tulisan QM sekarang diproyeksikan berjumlah delapan (empat bagian + empat subbagian dari tulisan #4). Jadi, untuk Anda yang mengharapkan tulisan QM diperbanyak… well, you accidentally get what you want. Cheers. ^^b

     

     

    ——

    Ps:

    Off the record set. Tahukah Anda? Ternyata dua post yang dirilis sebelumnya memiliki word count sebanyak: 2841 dan 6309 (yang terakhir ini kalau semua halamannya dijumlahkan). Now it gets frightening… ^^;;

    Apa enaknya saya ikut NaNoWriMo aja, ya? 😛

    Read Full Post »

    Doh…

    Ternyata sudah sebelas hari sejak tulisan paling akhir dirilis di blog ini. Adapun post yang harusnya dirilis hari ini baru seperempat jadi… meskipun begitu, bukan itu yang hendak kita bahas kali ini.

    Jadi, ceritanya, dalam seminggu terakhir energi saya terkuras untuk macam-macam hal.

    Hei, jangan meremehkan. 😐 Walaupun saya ini cuma mahasiswa biasa berumur dua dasawarsa yang pacar pun tak punya, saya tidak sekurangkerjaan itu hingga cuma bisa menulis di blog saja. Saya yakin Anda paham bahwa saya orang yang berjiwa produktif. 😐

    *dilempar sandal*

    *plaakkk* x(

    Ahem. (u_u)

    Kembali ke topik. Sebagaimana disinggung sebelumnya, ada beberapa kesibukan yang mewarnai hari-hari saya belakangan ini hingga membuat blog yang Anda baca ini terbengkalai, bahkan postingan QM pun terlupakan. Adapun beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

    1. Kuliah, PR, dan UTS
    2. Apa itu? Ah, sori. Anggap saja nomor #1 di atas tidak ada. 😛

       

    3. Diskusi yang melelahkan di internet soal medan elektromagnet
    4. Actually, I don’t want to talk about it.

       

    5. Kena flu
    6. Mungkin kedengarannya sepele, tapi begitulah adanya. Sejak kembali dari liburan saya terus-menerus diserang pilek. Bahkan tadi malam saya mendapat bonus berupa batuk berkepanjangan. Mungkin karena di Bandung sedang musim hujan. 😐

       

    7. Nonton anime 25 episode
    8. I.e. Code Geass season 2. Mungkin kapan-kapan saya tulis reviewnya.

       

    9. Baca Tetralogi Buru
    10. Baru selesai 3-4 hari yang lalu. Buku #2 selesai dibaca waktu libur; buku #1, #3, #4 dibaca setelah masuk kuliah. Bacaan yang sarat dan berisi, IMHO. ^^

       

    11. Melanjutkan tulisan QM bagian #4
    12. Yang ini baru seperempat jadi. Tahukah Anda, bahwa para fisikawan kuantum sebenarnya memiliki background filsafatnya sendiri-sendiri?
       
      Heisenberg mengusung idealisme, Bohr seorang positivis, dan Einstein mengedepankan realisme saintifik. Sebenarnya ini topik yang menarik, tapi apa daya kesehatan saya sedang terganggu. Salahkan flu yang hinggap tanpa permisi di atas. (-_-)

    ***

    Yah, begitulah.

    Jadi, dengan mata berkunang-kunang dan sedikit batuk (pileknya sudah pergi), saya menuliskan postingan ini. Mudah-mudahan saya bisa cukup sehat lagi dalam waktu dekat.

    *sniff*

    BTW, jangan-jangan saya jadi rada emosional belakangan ini gara-gara sakit. Tapi masa sih. 😆

     

    *kembali ke draft*

    *kok masih panjang banget ya* x(

    *pergi makan*

    Read Full Post »

    *rehat dulu dari seri postingan mekanika kuantum*

     

     
    Belakangan ini, saya jadi ingat pada sebuah post di blognya Pak Enda.

     
    “Tapi ya silahkan saja untuk dicoba”, tambah MEREKA, “kami tidak pernah menghalangi siapapun untuk menyebrang dan hidup di alam maya, kami cuma mengharap agar kamu dapat cerdas dan bisa beradaptasi dengan baik, berperilaku sesuai normal, kebiasaan yang sudah berlaku disini.”

    “Kata orang bijak, masuk kandang kambing mengembik masuk kandang harimau mengaum.” MEREKA berperibahasa. “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”

    […]

    Alam kasar dan ALAM MAYA pun kadang bersinggungan. Kadang-kadang penduduknya bisa ketemu, dan itu biasanya menimbulkan kengerian.

    Beginilah jadinya kalau orang tidak siap berhadapan dengan internet. Datang-datang langsung main ad hominem, fallacy, dan trolling. Belum tahu dia kalau ini ranah publik yang punya etika. 😆

    Satu lagi:

    […] gw baru saja liat blog teman2 segenggongblogmu yang ternyata semua sama saja dengan engkau, mikir cuma di permukaan dan tidak mencoba untuk ke dasarnya. bagusnya mereka tidak seagresif dirimu. dan gw perhatikan tuhan kalian itu wikipedia yak. bagus sekali, itu memang tuhan yg selalu up to date.

     
    [sumber]

    Generalisasi apa ini? Mempertuhankan Wikipedia? Saya kan temannya Si Lemon di WordPress Indonesia; otomatis saya juga kena, dong. 😕

    Kalau iya… makan tuh referensi. :mrgreen:

     

    ~can’t help
    ~but feeling amused 😆

    ***

    Begini, bukannya saya peduli Si Lemon itu siapa, berbuat apa, dan mau diapain. Itu urusan kalian. Permintaan saya cuma satu:

    Mbok ya kalau bertingkah di blogosphere itu yang dewasa. Jangan menyerang kepribadian, apalagi generalisasi gak jelas. Ditambah lagi hate-speech-nya sampai merambat ke blog orang lain (here, here). Paling tidak, tunjukkanlah kesan yang relatif baik dan bersahabat. 😐

    You’re disrupting the peace here. ‘Nuff said.

     

    ———

    Baca juga:

      The Core Rules of Netiquette
      — Tentang etika di internet

    last updated at: Sept 19, 2008. 11:56 am

    Read Full Post »

    Going back a few days, the idea of writing this post is triggered by some discussion happening in Geddoe’s recent post, in which he talked about a Shakespearean notion of “good” and “bad”:


    “Nothing is either good or bad, but thinking makes it so.”

    While the idea about illusion of “good” or “bad” has been on the spotlight of discussion (attended by me, him, and mas gentole amongst other), the topic then slided on how value on things shall be determined. A topic which, in turn, led to each of us talking about our own idea of valuing “good” and “bad”.

    Of course this, like many philosophy-themed discussions in coffee-shops, shall run free in the naturally-vast discourse: human ethics, mankind in general, and possibility of a universal moral conduct, if any. The discussion itself was quite lively (IMO) — however, due to the nature of statement-based reply discussion[1], and attempt of guarding against being OOT ( 😛 ), I feel that some of my idea wasn’t conveyed as well as intended; thus may be confusing to follow in some parts.

    So, without further ado, I decided to write down my own view about it in this personal blog, in order to give a big picture of all my previous comments. Here goes…


    Note:

    For background information: My theological stance is, presently, agnosticism. That said, I don’t consider supernatural-based morality conduct (i.e. religions and holy scripture) as prime components in defining my view on ethics.

    Also note that any discourse concerning afterlife, heaven, hell, purgatory, and such is not of any interest — and deemed irrelevant — in this post.

    ***

     

    Part I – Defining Value

     

     
    1. On Agnosticism

     

    As an agnostic, I have been aware of metaphysical ideas’ being unverifiable, unfalsifiable, and imperceivable — at least, not in this world. Among those ideas are religions, holy scriptures, religious teachings, and even the God himself.

    I don’t want to go into lengthy explanation about God-or-not — that’s not my focus this time — and you can read [this post] if you want to understand. What I want to say is that I have casted doubt upon absolute truth in unverifiable claims of God and afterlife.

    To rely on unverifiable things’ existence to value things, for me, doesn’t seem favorable. That’s why I narrowed the scope of defining values only into worldly aspect.

    One thing to note, however: I am not against God and religion, as you may find out in my posts and comments here and here. How I see God is like seeing Schrodinger’s Cat: it is both possible that He exists or not — something like that. I am not enforcing that anyone must or must not believe in Him; it’s due to personal matter and subjective consideration anyway.

    Quoting Asimov,

    “I prefer rationalism to atheism. The question of God and other objects-of-faith are outside reason and play no part in rationalism, thus you don’t have to waste your time in either attacking or defending.”

     

    ……

     

    2. On Value

     

    Back to the topic. Then, if not for God and religion’s sake, what do we do? How can we define what is “good” and “bad” in this world?

    Now, I’m going to describe few keys of importance in this matter.

    As I have described in my comments in Geddoe’s post, I take for granted that there is one imperatively good thing to protect in this world. Namely, “happiness” of people.

    Quoting from my own comment,

    I take for granted that happiness is the most important thing in this life, if afterlife not to be considered. So, maximizing the sum of happiness for everybody, along with my own, is on top priority.

    This — as you may have guessed — is a utilitarianistic idea. 😉
     
    Apparently, I have stated that people’s happiness is imperatively good in itself. Well, assuming we only live once in this world, and not having an afterlife — I will feel damned if I get a miserable one. However the most important thing is not my happiness only: others’ happiness also plays important role.

    Or, talking with diagram:

    Utilitarianism
    |
    +— Individual Happiness (i.e. per person)
    |
    +— Global Happiness (i.e. “the greater good” )

     

    ……

     

    3. On Utilitarianism

     

    What’s with utilitarianism? Quoting Wikipedia,

    Utilitarianism is the idea that the moral worth of an action is solely determined by its contribution to overall utility, that is, its contribution to happiness or pleasure as summed among all persons.

    (link)

    That said, everything is conducted in order to make for “the greater good”. If you’re a fan of 24 TV series, I’m sure you’re accustomed to this. CTU agent did suicide mission to prevent nuclear warhead exploding in LA; risking one’s life for the sake of confidential terrorism data, etc., etc. As convincing as its name (“utilitiarianism”; from “utility”), usefulness is the most important thing in focus here.

    A dramatic example is shown in season 2 of 24, in which CTU’s #1 agent Jack Bauer elected to fly nuclear bomb out of the city, as the only way to prevent the bomb exploding in the city — with a certain one-way ticket that he will have to explode with the bomb. Luckily then surprise happened, but that’s another story.

    At that condition, nobody in CTU would want him to die; he’s the best agent — but there’s no other choice, no other way out. So there he went.

    Of course, utilitarianistic move doesn’t always imply that, to win collective and greater good, we must do some personal sacrifice. Rather, it merely conveys the idea that “collective/greater needs are better prioritized over personal/smaller needs”.

     

    ……

     

    4. Individual and Collective Happiness

     

    4.1. My “Egocentric” Idea

     

    Back then in the discussion in Geddoe’s post, I proposed a seemingly utilitarian idea that, in the end, reveals itself to be a view concerning my needs:

    Strange as it may be, but that’s how I think it is. As for your point: is the family planning good? I said: yes. Why?

    Because it prevents baby boom, then prevents food shortage, then prevents economics difficulties, and in the end, I don’t need to face food shortage — and economic recession — at the latter stage of my life. That, is my happiness. ^^

    I support nature preservation. Because I don’t want to live in spoiled earth, drink contaminated water, and I want the coffee beans to stay on its highest quality. Therefore, I can continue (or even maintain) this happiness I already have upon living on this earth.

    Eventually, everything goes back to my own happiness. I always commented upon this myself, that this is some kind of selfishness. What differs it from hedonism is, I am considering things in the long run. ^^

    A bit self-oriented, perhaps. But hey, why are we living on earth if not to have a gulp of happiness in it? 😛

    That is almost paradox. Being selfish in itself, that is to preserve my own happiness — but, as a byproduct, contributes positively to others’ happiness. Now, isn’t it strange? 😆

    To a certain degree, I freely confess that this view is based on economics’ worth of things. However I bring this into topic not without intention: what I want to show is that, to some extent, individual happiness may overlap with the course of collective happiness, i.e. collective “good” I have defined on the beginning of this post.

    If I am to prioritize my happiness over collective’s, then I can do many shortcut means to happiness and prosperity. Doing corruption, cheating on trades and bargains, doing evil for my own sake. However, this isn’t good: as I have implied in the next comment,

    You may ask: “if happiness in life is that important to you, then you don’t need to care for ethics! You can do evil for your prosperity, and live hedonistically.” But no…

    If I (and many people) do that, the happiness won’t be sustainable. Economics will fall, peace will be scarce, world fall apart — I won’t be able to drink my vanilla coffee and watch football match every weekend.

    In my opinion, personal happiness that will do harm to the social system isn’t good. Basically it’s not self-sustaining: my happiness today may lead me to the downfall the next day. Either directly or indirectly: people may bring me to the police, or doing martial law on my greed — or, if they chose to be ignorant, it is the society downfall that will befall me.

    Maybe today I (along with few else) can manipulate our taxes for profit — but, in a long run, the collapse of the economy will find its way to us. Just like many employee from Soeharto’s reign feasted upon international debt in 80’s, as their misdeeds now caused the unending-yet monetary crisis in Indonesia.

    It is alright to have your personal desire fulfilled. Just don’t forget to care whether it is doing more harm or good in a long run. 😉

     

    4.2. On Collective “Goodness”

     

    I am among people who believe that, if something has no harmful side effects, then doing it en masse wouldn’t be hurting anyone. So, I believe that if everyone has the same idea as I explained in point 4.1., then it wouldn’t result in something disastrous. My bet: it would be even capable of maximizing sustainable happiness for everyone. 😉
     
    Talk about example. I’m against war because it may lead to the disappearance of peace and wealth already accumulated, which is the source of happiness of many people (me included). What will happen if many people think the same way? You bet…

     

    ……

     

    5. Revisiting My Value: Is it Purely Subjective, or can-be more Objective?

     

    Of all things, let’s take another look of our definition this far.

  • Assuming that there is no afterlife, then happiness is the most important focus in this world
  • Well, if you only life once, you wouldn’t want to have it gone miserably…

  • Then, we have to work to maximize our happiness
  • And do it sustainably. Just remember the point 4.1. 😉

  • In the macro scope…
  • Apparently, if happiness is our focus, then maximizing it for the biggest sum of it, individually and collectively, is an automatic goal. Hence the utilitarianism.

    Economically talking, this kind of value system is quite reasonable. However, there is one question:

    Happiness is relative. It is due to person, and tends to be subjective.

    How do you define a “collective good”, if the core definition of the goal (i.e. happiness) is still due to subjectivity?

    This is a delicate issue. For example, how do I know if there is a psychopathic general, seated on a high position, in my country’s army hierarchy? He may feel happiness through ethnic cleansing or such. Same goes for possible psychologically-deviant people: they may want to do pedophilic actions — or perhaps craving for cannibalistic feast, e.g. like the legendary Dr. Hannibal Lecter. 😛
     
    In my opinion, there are three reasonable ways for examining this:

    1. Validate with “greater good”

    2. If this is about to make loss of the current happiness of people in status quo, without better reward at all, then it’s not good. Prohibitable.

       

    3. Is it in harmony with sustainable sources of happiness?

    4. Best illustrated like this: tax corruption is subjectively good, but not for the society’s sustainability; warfare ambition may be subjectively good, but may end up giving miseries to many people (including own’s citizen); and so on.

       

    5. Validate with economical means

    6. Will allowing these desires result in favorable economic trade-off?
       
      For instance, let’s take subjective view that supports genocide. In most cases it will harvest international criticisms and, possibly, reluctance from other countries to do diplomatic activities. At this rate this isn’t a good tradeoff, and shall just be avoided at all.
       
      On lesser extent, but more down-to-earth example: letting go of rapists may end up in society’s insecurity and tension, leads to riot, then halting all activities in it. Bad trade-off in the end. 😉

    On personal point of view, I’d like to note that defining “good” is subjective to each person by nature. Nevertheless, there’s a way to make it seem more objective — that is, to consider it on the base of worth-to-worth and consequential results. Comparing the eventual trade-off with the decision made can be of some good measurement; though it doesn’t apply in every case.

     

    ……

     

    Part II – On Universal Moral Conduct

     

     
    6. The Collective Goal

     

    Based on our discourse thus far, you may have guessed how it would sound. Apparently it’s not different from the ideal of utilitarianism per se. That is,

    To maintain the sum of collective and individual “good” (i.e. happiness) in the longest duration possible

    Pay attention to the keyword “duration”. The sustainability, as I have described in part 4, plays important role in this aspect. Simply said, nobody wants to have happiness that ends fast — or, in worse scenario, ends up as a nightmare. 😉
     
    When I said about “universal” moral conduct, it is more like these — as digested from the points I have described before.

    Maximize your happiness wisely; Respect others’. Keep your environment in good form for everyone’s benefit. Do not be dangerously selfish, so that you end up ruining everyone’s previously existing happiness.

    One may ask, though:

    Why does it have to be sustainable? If you can live with it all your life, and then the system breaks as soon as you die. It doesn’t cost you anything at all, right?

    Well, actually that’s true. At least for me. If I die first and the system breaks down later, I don’t have to care — I’m lucky to have enjoyed it all my life.

    To this question, I freely confess, the answer is only through altruism. In the system of which we take no interest after leaving, then it’s the possible answer.

    Nevertheless, there’s this interesting quote I saw while reading a linux guru’s interview in local magazine:

    “My mentor told me back then: ‘if you feel that you have learnt much from the open-source gurus and net forums, be grateful for it. That is, by sharing your knowledge to the newbies like you once were.'”

    From old InfoLinux magazine I ever read. Well, perhaps that’s also one good idea… 😛

     

    ……

     

    7. Side Issues

     
    Back in that discussion, I was mentioning something aside these utilitarianism and ethical things; though are still related in the discourse of ethics. It was about two matters which will be addressed below.

     
    7.1. About Religious Ethics Influence

     

    Despite my being agnostic and doubting the truth about God/religions in common, I still manage to react rather positively towards them. Quoting — once again — from my own comment,

    I do think that metaphysical grounds (in this case, religions) may prove its usefulness — I do find some religious teachings fits well to help us developing as mankind. Among them Golden Rule, Christianity’s idea of love and compassion, and Gandhi’s ahimsa. There are also some hadith that (IMO) conduct some good morality… They provided me some leaps of understanding of morality, which in turn helped me in developing those personal values.

    While I see myself as mostly utilitarian person, I do find that some religious teachings possess a usable merit of their own. And, to some degree, many of it would fit to my utilitarian value system scheme.

    I do have admiration for Golden Rule because of its simplicity but, nevertheless, outstanding idea of “don’t do to other what you don’t want to be treated as such”. It fits with the idea of sustainable source of peace — as well as Christianity’s teaching of love and peace.

    Another came from the Koran, which as follows:

    And I will not worship that which ye have been wont to worship, nor will ye worship that which I worship. To you be your Way, and to me mine.

    (109:4-6)

    That, of all things, implies an idea of acknowledging different beliefs and religions between people.

    While I’m merely an agnostic, these messages have their versatility to suit to my contemporary idea of universal value of norm. I don’t necessarily believe in God and/or religions. However, I do think that humanity may inspire from any wisdom they have inherited through their long history. Be it from philosophy, religion, or perhaps anthropology and history as well.

     

    7.2. About System-Efficiency and Contrasting-Happiness Ideas (Re: LGBT and Same-Sex Marriage)

     

    This topic was also mentioned, though slightly. Back then my view was as follows:

    When deciding “good” and “bad” of things, I don’t see them per se; rather I try to see the usefulness of it.

    Perhaps I’d better illustrate with example. For instance about morality, I don’t support same-sex marriage. Why? Simple. Marriage is intended to protect children’s rights; they are born penniless and powerless. An ideal marriage not only protect the children’s finance until they’re ready to work by themselves: it also proved acknowledgement to the infants, provide legal status, and — in addition — assuring inheritance from their parents. There’s a legal certainty about who’s whose father, who must be held responsible financially, etc, etc. This is for different-sex marriage (DSM).

    In same-sex marriage (SSM), there’s no benefit out of it. They don’t have children whose legal and financial needs to be protected. Some ruling may enable them to adopt child, but that’s just making new problem out of nothing! It’ll just become an inefficient system with bulky mechanism. 🙂

    That’s why, I prefer DSM and disregard SSM. In term of usefulness and efficiency, it doesn’t comply with my standard.

    My view on this is, although SSM is all about happiness, I don’t see a need to support them. That is more to the efficiency and usefulness of the rule.

    However, I do support the rights the SSM couple as long as it is about universal human rights. I am against discrimination for them — what I don’t agree is about the legal fuss for an importance that, for me, doesn’t have strong enough foundation. My stance on this is rather on the middle: I ‘m not staunch that it mustn’t happen, just that I don’t feel there’s any benefit out of it.

    That said, any law — or conduct — that gives away too little or no benefit, or inefficient in its manner, isn’t considered “good” by me.

    Another fitting example will be Indonesia’s government SPMB (national college entrance exam) form showing “Warga Keturunan” (i.e. descendant of immigrants) field. While this is reflecting truth and probably useful for statistics, this is — in my opinion — a dilly-dally. Let alone the possibility that those citizens may as well feel offended!

    ***

    Move on to the next case. This one isn’t naturally related with the essence of “efficiency” I just have mentioned; rather it’s about the presence LGBT themselves.

    I personally think that I can’t prevent anyone’s emotional (or hormonal) affection to each other, even if I wanted to. So there goes. Simply said, I’m neutral in this one. My only minor concern is that, if they are going for PDA — just don’t do it near the people intolerable to it. For their own sake. 😉

    My note is, if they can be productive, useful, courteous, and mingling positively in society, then it’s categorically alright. So there you have it.

     

    ……

     

    8. Wrapping It All…

     
    So, it comes to an end. I hope that you have been able to get a big picture of my own definition of “good” and “bad”, and some of my contemporary world-view. Of course, like any other means of man-made idea to define ethics, I expect that this is far from perfection. I suppose that there are even loopholes in it, though.

    The intention of writing this post is to inform about how I perceive the world, and how I considered an ethic suitable for my own use (thus also replying some questions I received back then 😛 ). I’ll be more than happy if anyone would tell me what they think; or showing loophole(s); or — by any means — giving feedback that may result in fruitful discussion. 🙂
     
    Thank you for reading. Replies and inquiries can be sent via the comment facility at the bottom of this page.

     

     

     

    ——

    Note:

     
    [1] Statement-based reply discussion, i.e. somebody commented on something, then I reply his/her answer based on the statements/questions he/she uttered. For most cases this provides lively dialogue, but I often find this mechanism hindering for long and vast subjects.

    E.g. when somebody talked about my utilitarianism, I was focused on it, rather than explaining the big picture along with it (i.e. the simultaneous self-and-collective utilitarianism, etc.). The space and formatting was also little compared to a blog post; hence my decision of writing this one. ^^

    Read Full Post »

    Ada sebuah dialog yang sampai sekarang masih saya ingat, yang berasal dari bonus episode serial GARO. Saya sendiri menonton episode tersebut sekitar hampir setahun lalu; sekitar bulan Maret 2007.

    Syahdan, karakter Kaoru Mitsuki mengalami mimpi aneh di mana ia bertemu dengan mendiang ibunya, yang bercerita tentang sang ayah di masa lalu.

    (FYI: ayahnya Kaoru ini bernama Yuuji Mitsuki, beliau bekerja sebagai pelukis dan ilustrator buku anak-anak)

     

    kaoru_gg.jpg

     

    Mrs. Mitsuki:

    “He used to say this: ‘up until now, I was happy just to draw. That’s the reason I keep drawing’

    But one day, his thought changed. A person appeared; someone who felt something for the paintings he made. She said, “it was pretty. How fun! How scary! And so on.”

    Kaoru:

    “That person, she was… you, Mom?”

    Mrs. Mitsuki:

    (smiles)

    “The paintings he created were able to affect someone. There’s someone waiting for the drawings he is creating…

    …He said, having such an important person makes him happy.”

    ***

    Yah, begitulah.

    Yuuji Mitsuki, pada awalnya, sekadar menjalankan apa yang dia suka. Menggambar adalah hal yang membuatnya bahagia — sebagaimana yang disebutkan oleh ibunya Kaoru di atas, itu adalah salah satu alasan mengapa ia terus menjalani hobinya itu.

    Hingga akhirnya dia menyadari bahwa ada orang yang mengamati karya-karyanya. Orang yang menyukai dan menanggapi karya yang dibuatnya. Mengomentari lukisannya. Dan juga, menunggu setiap kali ia menyelesaikan lukisannya. Hal yang pada akhirnya menjadi sumber kebahagiaan dan motivasi dalam berkarya di masa depan.

    But, fun thing is, it doesn’t only apply in painting.

    Hal yang sama juga terjadi dalam bidang tulis-menulis. Seseorang mungkin memulai hanya karena ia suka menulis. Apapun itu — entah itu sekadar tulisan pribadi, atau opini, ataupun cerpen dan fiksi sebangsanya. Ada semacam kebahagiaan jika orang membaca tulisannya, lalu memahami apa yang ingin disampaikan. Lebih lagi jika pembaca menilai bahwa tulisan tersebut menarik. Atau malah menanggapi idenya dan menyumbangkan saran: “Hei, mungkin lebih baik begini. Mungkin lebih baik begitu…” dan lain sebagainya.

    Sebagaimana Pak Yuuji di atas mendapatkan motivasi dari perhatian atas karya-karya beliau, seorang penulis (atau blogger pada versi lebih ringannya) pun berpotensi merasakan hal yang sama lewat atensi pembaca.

    Tentunya ada kemungkinan sebaliknya, yaitu tulisan yang dirilis justru menjadi pemicu debat berkepanjangan dan tidak berujung (evolusi, anyone? :mrgreen: ). Tetapi tak bisa disangkal bahwa atensi pembaca adalah hal yang penting dalam semangat berkarya seorang penulis.

    Dua tahun yang lalu, saya adalah mahasiswa biasa yang senang menulis. Dengan alasan tersebut, saya mendaftarkan diri di sebuah layanan blogging gratis, dan meletakkan post pertama saya di sana. Menyusul setelahnya adalah post-post lain yang arsipnya bisa Anda lihat di sini.

    Sejak saat itu, saya telah menerima banyak respon dan tanggapan — yang, pada gilirannya, telah membuat saya makin bersemangat dalam menulis dan menyampaikan ide-ide saya. Tanggapan-tanggapan yang, boleh jadi, telah memacu diri saya untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik dari sebelumnya… walaupun tanpa saya sadari.

    Dan hari ini, tanggal 29 Mei 2008, pukul 19:45… adalah tepat dua tahun keberadaan saya di blogosphere. 🙂

    I simply have, as always, been motivated by all your support through time. Thank you for everything. ^^V

     
    Terima kasih banyak dari saya untuk semua dari Anda yang telah:

  • Membaca tulisan-tulisan saya. Entah dengan diiringi reaksi positif, negatif, atau malah cuek saja. Pokoknya: thank you for reading. 😉
  • Menulis komentar dan melakukan trackback — terima kasih, karena telah membantu saya memahami pemikiran Anda, juga membantu saya memandang topik dari sudut pandang lain. ^^
  • Melanggankan blog saya via feed. Terima kasih sudah menganggap blog saya cukup noteworthy untuk diikuti. 😛
  • Berkunjung ke blog ini. Terima kasih telah membantu menaikkan hits. 😛
  • Memasukkan tulisan saya ke del.icio.us.
  • Menyebut saya dengan akhiran -sensei. Sebetulnya saya sendiri nggak terlalu suka disebut demikian — but thanks anyway. ^^;;
  • Bersedia berdiskusi dengan saya di seantero blogosphere. Percayalah, saya belajar banyak dari semua tanggapan yang Anda berikan. 😉
  • …dan seterusnya. Mungkin ada yang terlewat, jadi silakan ditambahkan lewat fasilitas komen kalau berminat. ^^
  • Dan akhirnya, terima kasih sudah membaca post ini sampai habis. Sampai jumpa di post berikutnya, dan selamat malam. 🙂

     

     

    —–

    Ps:

    Gak terima komen berisi “makan-makan™!”. Tagihan berpotensi dikirim ke akismet. ^^

     
    PPs:

    Ternyata hari ini bertepatan dengan ultahnya Joe dan Om ManSup. Kebetulan yang aneh…? ^^;

    Read Full Post »

    Older Posts »