Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘IPA’

Ada sebuah kenangan menarik yang saya alami sekitar tahun 2001, kurang lebih waktu saya baru masuk SMA. Peristiwanya terjadi ketika jam pelajaran fisika dan membahas tentang gerak jatuh bebas.

Kalau Anda pernah belajar tentang Hukum Newton, kemungkinan besar sudah tahu tentang peristiwa “apel jatuh” yang legendaris. Bahwasanya, ketika Pak Isaac Newton melihat apel jatuh dari pohon, ia langsung mendapat inspirasi. Kemudian beliau menulis perhitungan rumit dan hasilnya diterbitkan dalam buku ‘Principia Mathematica’. Singkat cerita, Newton menjadi ilmuwan besar karena merenungi fenomena jatuhnya buah apel tersebut.

Nah, yang hendak saya ceritakan di sini ada hubungannya dengan peristiwa “apel jatuh” di atas.

Sebagaimana sudah disebut di awal, peristiwa ini terjadi ketika jam pelajaran fisika. Waktu itu ibu guru sedang menerangkan di papan tulis, ada rumus ini-dan-itu — meskipun begitu yang paling berkesan adalah satu ilustrasi yang ada di buku paket.

Buah apel tergantung diam di pohon (kecepatannya nol). Kemudian apel tersebut jatuh.

Setiap detik jatuhnya apel semakin cepat, sebab ditarik gravitasi.

Maka lewat matematika dapat dihitung bahwa:

(kecepatan) = (gravitasi) * (waktu)

v=g.t

Saya tidak tahu bagaimana dengan orang lain, tetapi bagi saya waktu itu, ilustrasi di atas benar-benar membuka mata. Dalam sekejap fisika yang rumit jadi sederhana. Tidak ada hafalan rumus ini untuk GLB, rumus itu untuk GLBB — yang ada cuma ilustrasi, lalu dihubungkan ke rumus matematik. Begitu simpel. Begitu masuk akal, logis, elegan.

Belakangan saya mempelajari bahwa, walaupun di awalnya sulit, materi-materi lain di pelajaran fisika itu sebenarnya tidak jauh beda dengan ilustrasi di atas. Tidak jauh berbeda dalam artian begini: mulai dari hukum gerak, gravitasi, hingga elektromagnet, semuanya bisa dijelaskan secara logis dan sederhana. Tidak ada rumus ajaib yang — meminjam istilahnya Carl Sagan — seolah-olah diturunkan dari Gunung Sinai.

 

moses-f-ma

Bukan dari Gunung Sinai. 😛

 

Di balik kerumitan rumus, terdapat penjelasan logis yang mudah dicerna. Lebih lagi hukum-hukum tersebut menggambarkan lingkungan alam sehari-hari. Saya yang waktu itu masih ABG amat terkesan.

 

Sains dan Keindahan Alam

 

Sudah sekian tahun berlalu sejak peristiwa di atas terjadi. Meskipun begitu dampak yang ditinggalkannya masih berbekas sampai sekarang. Boleh dibilang bahwa peristiwa di atas turut berperan menentukan kesukaan saya belajar sains/IPA.

Walaupun contoh yang saya sebut di atas cuma melibatkan fisika, inti kekaguman yang dihadirkannya adalah science in general: bagaimana alam semesta yang rumit dapat dijabarkan dengan sederhana dan masuk akal. Di balik peristiwa yang kita lihat sehari-hari terdapat serangkaian proses maha indah. Saya mungkin terdengar norak atau berlebihan kalau bilang begini, tapi percayalah: there is actually joy in science! ^^v

Ini hal yang sifatnya rada subtle. Kalau Anda cuma mengamati alam sambil lalu, tidak mungkin bisa memahaminya. Harus coba untuk melihat lebih dekat. Dan untuk ini tidak mesti orang yang sekolahnya IPA, jurusannya IPA — tidak. Semua orang bisa menikmati ilmu alam. Saya ambil contoh berikut.

Anda mungkin pernah jalan-jalan ke air terjun dan melihat berbagai fenomenanya. Ada air terjunnya, ada jeram; kadang-kadang ada juga pelangi di situ. Sepintas lalu kita setuju bahwa pemandangannya indah, tetapi kenapa bisa indah?

Kenapa air terjun bisa terbentuk? Karena ada hukum fisika, air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Kenapa langit berwarna biru? Karena sinar matahari yang dibiaskan atmosfer paling banyak meloloskan warna biru. Kenapa kadang-kadang ada pelangi di air terjun? Karena titik-titik air membiaskan sinar matahari jadi tujuh warna, lalu dipantulkan sedemikian rupa sehingga dapat terlihat. Dan seterusnya, dan lain sebagainya.

Saya yakin Anda bisa melihat keindahannya di sini. Orang tak perlu jadi ilmuwan untuk menghayati ilmu alam. Asalkan orang mau bertanya dan belajar, dia bisa menikmati sains. Ini hal yang harus dicoba untuk bisa memahaminya.

Adapun itu baru dilihat dari bidang fisika. Kalau kita membahas air terjun dari sudut pandang geologi, mungkin banyak lagi analisis yang menarik. Mengapa bisa terbentuk level yang curam; mengapa bisa terbentuk jalur sungai dan air terjun… (saya tidak tahu; pendidikan saya bukan di situ 😛 ).

Atau mungkin dari bidang biologi: mengapa ada spesies yang hidupnya di dekat sungai, tapi tidak di tempat lain. Mengapa ekosistem air terjun berbeda dengan kota, dan seterusnya. Lagi-lagi saya tidak tahu pasti — saya cuma paham sedikit biologi dari buku Richard Dawkins dan S.J. Gould. Meskipun begitu ini adalah pertanyaan-pertanyaan menarik yang saya rasa juga akan menarik jawabannya. 🙂

 

Ilmu Pengetahuan Membebaskan

 

Sekarang saya mau cerita sedikit dulu tentang sejarah. 😛

Sahibul hikayat, menurut para ahli arkeologi, umat manusia purba zaman dulu memiliki ketakutan irasional terhadap alam. Ketika terjadi petir, misalnya, disangkanya pertanda bahwa alam sedang marah. Oleh karena itu mereka harus menyembah-nyembah supaya alam jadi tenang. Mereka menganut bentuk kepercayaan primitif bernama animisme/dinamisme — penyembahan terhadap unsur alam.

Di masa kini kita tahu bahwa animisme/dinamisme itu kepercayaan salah kaprah. Pengetahuan ilmiah menunjukkan bahwa, alih-alih kemarahan dewa, petir itu sekadar interaksi atom-atom di awan. Bencana kekeringan bukan karena dewi kesuburan marah, melainkan karena perubahan iklim. Pada akhirnya bencana itu dijelaskan sebagai peristiwa alam biasa.

Seiring kita memahami alam, kita tidak lagi takut pada hal-hal yang sifatnya takhayul. Malah justru dari pemahaman itu kita memanfaatkan alam untuk kepentingan kita. Kincir angin dipakai untuk pembangkit energi; irigasi makin canggih; bedil mesiu untuk melindungi dari hewan buas. Pada akhirnya ilmu alam menjadi pembebasan dari masalah dan rasa-takut.

Di bagian sebelumnya saya bercerita tentang menikmati alam dengan sains. Itu adalah karunia yang luar biasa. Akan tetapi, kelebihan sains sesungguhnya bukan hanya itu: dia juga membantu kita menghilangkan ketakutan-ketakutan kita. Baik itu yang sifatnya rasional maupun tak-rasional.

Jika nenek moyang kita dulu ketakutan dengan badai dan gempa bumi; dengan harimau dan penyakit kolera — maka kita sekarang memandangnya biasa saja. Seiring kemajuan teknologi ketakutan-ketakutan tersebut makin menyusut. Akhirnya tidak ada lagi yang ditakuti. Mungkinkah kelak hal-hal seperti hantu dan jin dapat dijelaskan lewat sains? Tentunya kalau begitu kita tak perlu takut lagi. Siapa yang tahu? :mrgreen:

 

Science: Breaking The Myth

 

Sebagaimana sudah diuraikan panjang-lebar di atas, sains (atau IPA, terserah pakai istilah mana 😛 ) adalah sebuah karunia besar. Asalkan orang mau belajar dan berpikir, maka ia bisa mendapatkan keindahannya. Orang tidak perlu kuliah di jurusan eksakta atau IPA untuk menikmatinya. Yang menghambat orang dari belajar IPA barangkali sekadar prejudice saja: bahwa IPA itu sulit, banyak rumus, atau cuma bisa dicerna orang ber-IQ sekian, dan seterusnya.

Saya pikir sebenarnya tidak persis begitu. Memang untuk mendalami IPA orang harus punya kecerdasan lumayan. Tetapi itu cuma berlaku kalau Anda terjun ke level teknis. Insinyur perlu matematik, dosen fisika perlu matematik, farmakolog harus tahu reaksi kimia blablabla — tetapi orang biasa tidak terjun ke bidang teknis. Di sini ada perbedaan yang harus dicatat.

Saya pikir, kalau orang ditakut-takuti untuk belajar IPA, maka dia takkan bisa menghayati keindahannya. Alangkah sayangnya kalau sampai seperti itu.

Untungnya, sejauh dapat saya lihat, tren-nya saat ini adalah “IPA untuk semua orang”. Saat ini banyak buku dari ilmuwan terkenal ditujukan ke masyarakat awam. Mulai dari Richard Dawkins, Lawrence Krauss, hingga yang paling terkenal Stephen Hawking. Semua berusaha menyampaikan bidang keilmuannya secara populer. Lebih lagi banyak di antaranya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. So far, so good.

Saya percaya bahwa sudah saatnya stigma “IPA sulit dan mengerikan” dibuang jauh-jauh. Sebab kalau IPA dianggap sulit, dia akan makin jauh dari masyarakat. Dan kalau sudah begitu… bukan tak mungkin masyarakat dikerjai oleh penipuan berkedok ilmiah. Yang terakhir ini perkara yang serius yang tidak bisa diremehkan kepentingannya. Malah kalau saya boleh menilai: ini alasan penting mengapa masyarakat awam HARUS mengakrabkan diri dengan sains. 😕

Anda ingat “Profesor Desa” Djoko Suprapto dan Blue Energy? Ini contoh luar biasa bagaimana masyarakat dan Presiden (!) Indonesia tertipu mentah-mentah oleh ilmuwan palsu. Ini menunjukkan betapa ketidaktahuan masyarakat akan sains bisa dimanfaatkan sedemikian rupa. Meskipun begitu nasi telah menjadi bubur. Seandainya pejabat dan masyarakat Indonesia waktu itu lebih melek-sains dan hati-hati, barangkali peristiwa tersebut dapat dicegah.

 

Penutup: It’s A Beautiful World

 

Singkat cerita, saya ingin memakai kesempatan ini untuk menekankan satu hal: belajar IPA bukanlah hal yang harus dipandang sebagai momok atau menakutkan. Sama sekali tidak. Sebagaimana sudah ditulis di atas, justru IPA itu mempunyai banyak manfaat. Semua orang, terlepas dari background akademisnya, berhak merasai keindahannya. Keindahan di sini sifatnya konseptual.

Sekalinya Anda sudah melihat ada apa di balik jatuhnya buah apel, terbentuknya pelangi, asal mula keragaman umat manusia — hal-hal tersebut akan menimbulkan kesan tersendiri. Susah dijelaskan! 🙂 Kadang-kadang kesan yang ditimbulkannya bisa begitu kuat dan mendalam.

Jangan sia-siakan karunia ini dengan bilang “ah itu emang dari sononya”, “ah emang gue pikirin”. Nooo, you’ll be damned! Rugi kalau mikirnya seperti itu. :mrgreen: Syukurilah kecerdasan kita dengan cara memanfaatkannya. Sesungguhnya akal-budi manusia adalah pemberian yang luar biasa. Kebetulan saya punya cerita menarik soal ini.

Sekitar tahun 2007, saya bersilang pendapat dengan beberapa orang yang menolak Teori Evolusi. Orang-orang ini percaya bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk bersamaan, sekali jadi. Saya bilang: kalau seperti itu, sama saja dengan menyatakan “Tuhan menciptakan pelangi, tujuh warna sekali jadi. Haleluyah, amin!”. Sementara di baliknya terdapat serangkaian hukum fisika optik maha indah.

Saya bukanlah orang yang religius. For the record, saya seorang agnostik. Meskipun begitu saya percaya: kalau orang beriman menolak sains, itu sama saja dengan menghina Tuhan. Asumsinya Tuhan bekerja dengan proses. Kalau kita mengaku beriman, tapi lebih suka mengabaikan proses yang aslinya indah tersebut… itu sama saja dengan mengabaikan karya besar-Nya di bumi. Padahal harusnya kebesaran itu dihayati dengan seluas dan selengkap-lengkapnya. 😉

***

Akhir kata, belajar IPA/sains/ilmu alam itu adalah sebuah anugerah. Terlepas dari apakah Anda religius atau tidak, apakah Anda agamis, ateis, agnostik, deis, atau lain sebagainya — jangan sia-siakan karunia ini.

Sebab kita tinggal di semesta yang elegan, dan kita beruntung punya kemampuan mengapresiasinya. Amat ironis kalau ternyata kita justru mengabaikan anugerah yang besar tersebut, lantas kembali memeluk pola pikir yang kuno dan menggampangkan masalah.

Read Full Post »