Kalau boleh jujur, saya adalah orang yang suka jalan-jalan di toko buku. Kadang-kadang disertai membeli, walaupun lebih seringnya tidak (tergantung kondisi keuangan dan ada/tidaknya judul yang menarik). Saya sendiri orangnya jarang belanja dan makan di food court, jadi, kalau sedang berada di mal, hampir pasti berkeliling lapak penjual manuskrip™. ๐ *halah*
Berawal dari kebiasaan di atas, akhirnya saya jadi punya modus operandi kalau sedang di toko buku. Boleh dibilang semacam tips-dan-trik: bagaimana menentukan buku yang cocok, apakah harganya sesuai, dan seterusnya. Tentunya yang saya lakukan ini bukan aturan baku — orang lain mungkin punya trik tersendiri. Meskipun begitu saya menemukan rule of thumb di bawah ini lumayan berguna, jadi tidak ada salahnya kalau dibagikan lewat blog.
Seperti apa metodenya, here goes.
#1:
Google review sebelum membeli
Adakalanya ketika sedang menyusuri rak, saya melihat buku yang tampaknya bagus. Meskipun begitu pengarangnya tidak terkenal, jadi kualitasnya susah ditebak. Biasanya kalau begini saya mengeluarkan ponsel dan bertanya lewat internet — siapa lagi ahlinya kalau bukan mbah Google?
Pencarian tersebut biasanya mengantar ke laman Amazon atau Goodreads buku bersangkutan. Dari sini saya bisa membaca customer review dan melihat argumennya. Reviewer yang baik umumnya menjelaskan dalam poin: apakah suatu buku itu penyampaiannya menarik, datanya up-to-date, dan seterusnya. Jadi saya bisa meraba-raba kualitas buku yang diincar tersebut. Semakin banyak review yang dibaca, semakin bagus.
Bukan berarti review online itu mutlak sih; kadang-kadang ada juga yang underrating atau overrating. Meskipun begitu, paling tidak saya dapat opini tambahan sebelum membeli. ๐
#2:
Kalau lisensinya public domain, pertimbangkan harganya
Salah satu jenis lisensi buku adalah public domain. Buku yang masuk grup ini adalah buku yang copyright-nya sudah habis/tidak diperbaharui oleh penulisnya. Oleh karena itu biasanya berupa karya klasik yang penulisnya sudah lama meninggal. Penulis yang terkenal di antaranya Charles Dickens, Dostoyevski, dan Oscar Wilde.
Nah, buku yang copyright-nya sudah habis ini biasanya tersedia gratis di internet. Jadi kalau Anda ketemu buku public domain di toko, jangan lupa pertimbangkan harganya sebelum membeli.
Sebagai ilustrasi, saya pernah ketemu buku Oscar Wilde di rak impor. Bahasa Inggris. Harganya? Rp. 130.000. Sudah tentu saya abaikan. Itu buku copyright-nya sudah basi, berani betul minta duit segitunya. Pastilah mahalnya di cukai impor saja. ๐
Nah, dalam kasus seperti di atas, lebih baik pertimbangkan mengunduh e-book. Bisa dari Wikisource, Project Gutenberg atau Planet PDF. Kalau harga bukunya murah tentunya tidak masalah. Saya sendiri beli Crime and Punishment-nya Dostoyevski seharga Rp. 25.000 (terjemahan Indonesia). Yang penting jangan terlalu mahal saja — salah-salah keuangan yang jebol. ๐
#3:
Usahakan cek berbagai rak; suka ada buku yang salah tempat
Ini problem yang universal hampir di semua toko buku. Kadang-kadang ada buku yang klasifikasinya tidak tepat, jadi tidak ketemu oleh calon pembeli. Sebenarnya dapat dimaklumi, sih. Bagaimanapun tidak mungkin petugas toko membaca satu per satu.
Ini saya alami waktu jalan-jalan di rak berlabel “Psikologi”. Isinya buku-buku semacam ‘Bagaimana Memotivasi Diri’, ‘Mencoba Meraih Teman’, dan sebagainya. Anehnya tidak ada textbook formal seperti ‘Pengantar Ilmu Psikologi’. Cari punya cari, ternyata adanya di… bagian “Kesehatan”. ๐
Lain kali saya menemukan novel historis (fiksi) masuk rak “Sejarah”. Novel historis maksudnya novel berlatar sejarah, misalnya tentang agen rahasia semasa perang dingin (dekade 1960-1990). Nah yang macam ini kan fiksi. Tapi sering bersebelahan dengan materi serius seperti ‘Sejarah Modern Turki’. Jadinya terlihat out-of-place.
Lalu ada juga yang benar-benar ajaib: satu buku, tak ada kawan, raknya nyasar dan tidak nyambung! Tadinya saya bingung kenapa bisa begitu. Belakangan saya dengar bahwa banyak oknum pecinta buku suka berbuat hina. Jadi ada buku tinggal satu, tapi orang ini tak mampu beli. Oleh karena itu dia kacaukan supaya tak diambil orang — ditaruh di rak yang jauh — supaya beberapa hari kemudian bisa dia beli. Benar-benar egois dan menyebalkan! ๐
Walhasil, setiap kali ke toko buku, saya jadi sering mondar-mandir berbagai rak. Sebab lumayan sering ada buku bagus tapi raknya salah tempat.
#4:
Kalau beli nonfiksi, perhatikan level bahasan. Apakah pemula, menengah, atau teknis?
Biasanya kalau belanja buku, yang saya beli adalah nonfiksi (saya jarang baca novel; entah kenapa kurang tertarik). Temanya sendiri bebas saja. Kadang beli sains populer, meskipun begitu, sering juga materi sosial (saya suka baca sejarah). Nah yang hendak dibahas di sini terkait jenis bacaan tersebut.
Sejauh saya lihat, genre nonfiksi pada umumnya terbagi dalam tiga level: untuk kalangan umum (pemula), untuk kalangan umum yang tertarik mendalami (menengah), dan untuk kalangan teknis (umumnya berupa textbook). Jadi orang yang hendak beli buku nonfiksi sebaiknya paham ke level mana dia hendak masuk.
Nonfiksi level pertama biasanya untuk anak-anak atau young adult. Umumnya banyak ilustrasi, dan — kalau sains populer — tidak banyak main istilah. Nonfiksi level kedua ditujukan pada orang dewasa, sebab isinya lebih serius dan banyak tulisan (buku-buku Richard Dawkins masuk sini). Sedangkan nonfiksi level ketiga adalah yang paling berat. Bahasannya formal dan umumnya bersifat studi. Secara fisik terlihat jumlah halamannya banyak (> 400) dan dilindungi hardcover. Kalau hendak beli yang macam ini, sebaiknya pastikan Anda sudah cukup menguasai topik.
Saya sendiri punya pengalaman buruk terkait level-levelan di atas. Sekali waktu, saya membeli buku kumpulan esai Goenawan Mohamad. Langsung saja saya dihajar istilah-istilah ajaib: poststrukturalisme Adorno, feminisme Kristeva, dan apalah itu sebagainya. Lha saya belum pernah belajar filsafat? Ya sudah, jadilah membacanya ditemani Wikipedia. ๐
Jadi moral ceritanya adalah, know your level. Jangan sampai beli buku yang akhirnya menyusahkan buat dibaca. ๐
#5:
Buku impor atau terjemahan?
Beberapa penyuka buku yang saya kenal, baik IRL maupun di internet, sering beranggapan bahwa kualitas terjemahan Indonesia umumnya jelek. Saya pribadi memandangnya biasa saja. Kadang ada terjemahan yang bagus dan enak dibaca, meskipun begitu, ada juga yang tidak. Soal itu kembali pada skill si translator.
Nah, perdebatan yang muncul kemudian adalah sebagai berikut: lebih baik mana, membeli buku dalam bahasa aslinya atau terjemahan?
Perkara ini tentunya kembali pada si (calon) pembaca. Soalnya begini: kadang-kadang, di samping menuntut kemampuan berbahasa asing, buku impor itu umumnya jauh lebih mahal. Misalnya buku Harry Potter edisi #3. Sejauh saya ingat versi aslinya seharga Rp. 242.000 — sementara terjemahannya sekitar Rp. 80.000. Kalau orangnya lancar Bahasa Inggris dan siap keluar kocek sih OK. Lha kalau tidak? Uang dan kemampuan bahasa Inggris kan tidak semua orang punya. (=3=) *halah*
Terkait itu, saya sendiri kadang tertarik hendak beli buku impor. Sayangnya, berhubung harganya mahal… yah sudahlah. Terpaksa berpuas diri dengan terjemahan (kalau ada). ๐
*biasa saja sih, lagian bisa download e-book ini*
#6:
Apabila hendak beli buku bertema sensitif, pastikan isi dan penulisnya kredibel
Kalau Anda sering main ke toko buku bagian SosPol, kemungkinan besar pernah lihat buku-buku bertema “panas”. Ada yang tentang keterlibatan CIA di awal Orde Baru, politik Israel-Palestina, hingga yang konspirasi abis menyebut Freemason dan Bilderberg. Buku-buku ini membahas tema sensitif yang — meminjam istilahnya Dan Brown — “mengguncang iman”.
Pertanyaannya, tentu, apakah yang tertulis di sana dapat dipertanggungjawabkan. Bukan apa-apa — pasalnya, tema yang sensitif berpotensi dipakai penulisnya mengampanyekan misi/opini pribadi. Sementara fakta aslinya terabaikan.
Saya ambil contoh yang saya akrab. Penulis terkenal Harun Yahya membenci Teori Evolusi; di buku-buku dan videonya menjelaskan berapi-api. Akan tetapi dia tidak memberitakan secara berimbang. Di satu sisi mengkritik, tetapi di sisi lain keberhasilan ilmiah teori tersebut tidak disampaikan. Sang penulis mengesani bahwa “Teori Evolusi di ambang keruntuhan” dan sebagainya. Padahal sebenarnya tidak.
Contoh lain, barangkali The Da Vinci Code-nya Dan Brown. Konon buku ini mengungkap “fakta” rahasia Gereja Katolik. Nah tapi ada masalah: berbagai “fakta” yang diaku Dan Brown itu ternyata banyak dikritik keakuratannya. Walhasil si pengarang dituduh melakukan smear campaign pada agama Katolik. Hal-hal semacam itulah.
Jadi bisa Anda lihat problemnya. Buku bertema sensitif itu bisa menyesatkan, sebab belum tentu penulisnya obyektif. Langkah terpenting di sini adalah memastikan bahwa isi buku dan penulisnya kredibel.
Saya sendiri akhirnya jadi sering googling intensif sebelum beli buku jenis ini. Pastikan apakah penulisnya berlatar belakang akademis; pastikan apakah penulisnya netral (lewat berbagai review); lalu pastikan juga bahwa penulisnya tidak mengada-ada (a la Pak Harun dan Pak Brown di atas). Bukan salah saya kalau bersikap hati-hati — sebab kalau tidak, bisa-bisa saya dicekoki propaganda! ๐ฟ
Jadi intinya, waspadalah akan apa yang Anda baca. Waspadalah, waspadalaaaaahh… ๐ฟ
***
Well, kurang lebih seperti itulah aktivitas saya kalau sedang berburu buku. Tentunya tidak sempurna, sebab disarikannya cuma dari pengalaman pribadi. Meskipun begitu sejauh ini lumayan berguna, sih. ๐ Tulisan ini sendiri dibuat gara-gara saya baru beli buku baru kemarin, jadi apa yang teringat langsung dituangkan.
BTW, kalau ada di antara pembaca yang punya tips dan trik berguna lainnya, monggo dibagikan lewat komentar. ๐ Will be nice to hear.
tips : berhati-hatilah atas usaha perampokan terhadap diri sendiri ๐
wauw tfs sora. Saya lebih sering beli buku fiksi jadi ya agak “bertaruh nasib” juga
Tips saya cuma satu; sebelum ke toko buku, apalagi kalau niatnya cuma
numpang bacacuci mata, ada baiknya mengisi perut terlebih dahulu. Kalau perlu bawa air minum sekalian. Biar nyamanOya, jangan tertipu cover buku juga. Kalau cuplikan di bagian belakang buku hanya memuat testimoni dari orang-orang terkenal, carilah yang bungkus plastiknya sudah terbuka. Buku tester. Entah kenapa saya sebal dengan buku yang pelit ringkasan cerita ๐
Soal buku terjemahan, untuk fiksi sih ga masalah ya. Lebih bersahabat, ya di kantong ya untuk orang-orang yang akan meminjam buku tsb nantinya.
Kok entah kenapa ini mirip sama gaya tulisan saya. ๐Mungkin bisa sebagai tambahan;
0) Bikin wishlist sebelum berburu. Kalau ketemu yang kayaknya menarik di sana juga lalu ditambahkan ke daftar.
1) Kalau termasuk pelit, atau menganut komunisme, ketahuilah bahwasanya bukan yang public domain saja yang bisa Saudara-saudara unduh di Internet.
2) Burulah lapak manuskripโข secondhand!
3) Terkadang (terkadang lho) karya public domain yang mahal itu ada value tambahannya; kertas baguslah, ilustrasilah. Di luar itu biasanya pasti ada versi murahannya yang paling banter 20-30 ribuan. Kecuali terjemahan โ kadang aslinya gratisan tapi terjemahannya ‘kan belum tentu. (CMIIW)
Juga,
Terkutuklah buku-buku yang di bagian belakangnya berupa testimoni saja tanpa sinopsis.
@ christin
Tenang, jangan kuatir. Bagaimanapun saya beli buku tidak serajin mbak kris membeli sepatu… (=3=)
*eh* (ninja)
:::::
@ Takodok!
Oh iya, yang satu itu memang menyebalkan. ๐ Ada juga ‘saudara’-nya yang agak mendingan, tapi masih segenre: buku yang sinopsisnya cuma 1-2 kalimat.
Ruang sisanya diisi teman-teman si penulis ngomongin dirinya, kepribadiannya, dsb. (doh)Eh tapi kebanyakan itu penerbit kurang terkenal, sih. Kalau produksi mapan seperti Gramedia/Mizan/Serambi biasanya ndak segitunya. ๐
Saya sih mikirnya, kalau memang penasaran, mending sesudah beli terjemahan unduh versi digitalnya. Dengan beli terjemahan itu kan kita sudah memberi royalti. Jadi tidak separah kalau cuma ngunduh tanpa beli.
/debatable, though
//me tidak terlalu purist soal itu ๐
:::::
@ Kgeddoe
Hus.
Hohoho, very much THIS. ๐
*suka lihat-lihat toko loak juga*
Iya e. Kadang-kadang yang seperti itu menyebalkan. ๐ Ibaratnya beli kucing dalam karung sambil diramai-ramaikan orang. Ad populum, ini…
*halah*
saya juga suka membeli buku. tapi lebih memilih buku fiksi. dan salah satu cara meyakinkan diri saya kalau buku itu pantas buat dibeli adalah dengan membacanya terlebih dahulu. sayangnya memang repot kalau semua buku yang ada di toko buku itu dibungkus dengan plastik.
tentang asli vs terjemahan, sebenarnya saya lebih memilih untuk mencari yang asli, karena kadang-kadang penterjemahnya keliru dalam mengartikan maksud si penulis.
sayangnya, harga buku impor memang luar biasa mahal *sigh*
Hampir semua buku pelajaran bahasa asing terbitan lokal tidak bisa dipercaya! Apalagi bahasa Inggris! ๐ฟ
Oh, bahasa Jepang juga. Ada itu bukunya yang cuma mengajari membacot + sedikit grammar saja tapi bahkan tidak ada materi hiragana-katakananya. Padahal itu kan esensial sekali. ๐
hampir sama dgn yg sy lakuin kl ke toko buku, jdnya bs berjam-jam di TB :p
Sy jg ga suka buku yg blkgnya testimoni tanpa ringkasan,biasanya cm sy mskin list aja,trus cr tw dl ttg isinya,layak beli ato nggak.
Oya soal buku secondhand, tau TB onlen utk buku2 second ga? Di Bali ga ada TB second,walo uda pny ebooknya tp tetep lbh enak bc hardcopy-nya,scr laptop ga bs diajak tdr2an ๐
@ itikkecil
Kalau membaca yang sudah terbuka, itu memang yang paling afdhol. ๐
Mengenai terjemahan… saya biasa saja sih. Cuma kadang lihat ada yang menerjemahkan idiom bahasa Inggris secara literal, jadinya membingungkan. Atau prosanya kaku (jadi tidak enak dibaca), dan seterusnya. ๐
*pernah lihat buku apa gitu…*
*frase ‘Holy Grail’ diterjemahkan plek jadi ‘Cawan Suci’* xD
:::::
@ syllachtea
Iya gitu? Saya jarang baca buku bahasa Jepang di toko, sih. Jadinya kurang tahu. (o_0)”\
BTW tabel hiragana-katakana gampang lah nyarinya. Di internet banyak. ๐
di blog ini juga ada:::::
@ rukia
Yang saya tahu di Amazon ada seksi used book. Kalau dalam negeri biasanya dagang di Kaskus, sih. (o_0)”\
(disclaimer: saya belum pernah coba, jadi tidak tahu detailnya)
Nice tips sorakun ๐ smg brmanfaat buat semua.
Sama juga sih. Sebelum ke toko buku biasanya googling dulu. Jujuganku adalah Goodreaders. Tapi buku nonfiksi kadang2 sulit cari referensinya. Jadi jalan terbaik yah…
1. Pilih beberapa buku yang aku minati.
2. Bawa ke bagian informasi, minta tolong mbak/mas-nya untuk membukakan segel plastiknya
3. Cari tempat duduk (kalo ada) lalu mulai membrowsing isi buku-buku itu.
4. kalo terjemahan, apa terjemahannya bagus/tidak. Daftar isinya. Penjabaran atas poin-poin di daftar isi. Biasanya sih buku itu bagus/tidak akan terlihat di beberapa halaman pertama.
5. Buku-buku yang tidak jadi kubeli aku kembalikan ke informasi,
6. Buku-buku yang dibeli langsung dibawa ke kasir
Kalo misalnya emang lg ga ada duid tipsnya mending melacong ke toko buku yang bukunya bebas dibaca (ga ada plastik segelnya) and ada tempat duduknya..
Kalo mau baca buku motivasi bisnis or we, cek bab2 awal.. Kalo exaggerating, 99% isinya kemungkinan full of crap and isi keseluruhan biasanya bisa dirangkum hanya dalam 1 paragraf.. Ga banyak baca buku kaya gini sihh, imo rada buang waktu..
Banyak buku2 yang kaga ada reviewnya, macam buku2 religi keluaran lokal, jadi mending langsung baca sendiri aje..
Banyak buku religi yang sesat.. Memanfaatkan “keluguan umadh” mengenai agama lain.. Kadang2 gw iseng baca only for teh lulZz..
Buat yang suka baca buku yang masih .pdf, mendingan cari versi audio booknya ato cari audio book dengan tema serupa.. Bisa didengerin sambil tidur2an and mata kaga merah ngeliatin monitor atopun buang2 kertas buat ngeprint.. Cuman kalo yang satu ini, kudu ngarti bahasa yang diomongin..
AnywayZz..
Nice read.. Got some interesting points, not agreed with all those but still nice..
Segini dulu dah dari saya.. Enter tak tambah..
Nambah.. Kalo baca buku terjemahan yg banyak humornya, mending cari versi aslinya.. Soale banyak “jokes” yang jadinya garing kalo ditranslate.. ๐
Aye..
@ Adi
Sama-sama. ^^
:::::
@ Fanda | Jabizri
Terima kasih tambahannya. ๐
HHm…. Great tipsnya,,, kalo saya mah,,, suka ke Gramed(red:gramedia) dengan berlama-lama dan membaca di sana.. yang akhirnya tidak beli ๐
Salam semangat selalu Mas…
saya kalo jalan-jalan di toko buku biasanya cari komik sih ๐
jadi soal terjemahan saya ga begitu bermasalah, malah ada yang improvisasinya sangat sangat hebat sampe bikin ngakak ๐
dan untuk kesekian kalinya saya tetep berpendapat buku beneran (hardcopy) lebih nyaman dibaca ketimbang ebook ๐ (entah kalo suatu saat nanti saya punya peranti pembaca ebook :P)
saya biasanya beli buku kalau lagi ada diskon atau di bazaar buku aja sih…
biasanya buku2 yg uda agak lama, jatuhnya jadi murah di bazaar buku…
buku2 lainnya yang masih terhitung baru sih, pinjem aja ke rental buku ๐
Saya jarang ke toko buku. Selain buku lokal yang memang “sulit” dibaca (termasuk terjemahan), koleksi buku berbahasa Inggris masih terbatas hanya untuk fiksi. Itupun hanya berlaku untuk toko buku besar dan terutama di kota-kota besar. Paling2 aku cuma:
1. pinjem di perpus
2. beli on-line
3. unduh (walaupun mata pedih baca versi pdf)
Tips yang bagus. ๐ ๐
Hobi saya juga bertandang ke toko buku, dan berlama-lama di sana. ๐
info yang bermanfaat mas…ayo silahkan berkunjung ke toko buku kami
Jarang beli buku di toko buku, kalo kesana paling cuma liat-liat sambil numpang baca ๐ . lebih banyak pinjem di perpus, beli di tempat buku bekas sama download di internet ๐ .
Benar sekali ๐ … waktu saya nyoba isng-iseng nyari buku-buku tentang programming yang bertema OOP , algoritma & struktur data yang ada di rak buku komputer adalah tips dan trik bikin blog, facebook, twitter dan teknik jadi hacker. OMG, mana buku-buku ya bermutunya ya…. ๐
OOT :
ke TKP… baca ๐ฏ !! ๐ ๐ ๐ Coba saya beli edisi itu ๐
Sedikit masukan nih, saya pribadi kalau ke toko buku dan ada buku yang lumayan menarik [biasanya dari judul atau sinopsis] saya gak langsung beli. Pulang dan google di rumah so waktunya lebih banyak daripada langsung google di toko buku atau tanya temen [yang hobi juga] siapa tahu dia punya atau pernah baca. Keuntungannya kalau bukunya bener-bener bagus terasa sangat puas sekali tetapi kerugiannya mau beli buku kok kayaknya susah banget plus kalau kurang beruntung bukunya udah keburu dibeli orang. Saya pribadi lebih memilih “susah” daripada “menyesal kemudian”.
Layak di bingkai emas
Nomor 4 pernah saya alami! Udah beli mahal-mahal, ternyata pas dibaca gak ada yang ngarti sama sekali. Paling cuman kata pengantar doang ๐ฆ
tipsnya bagus…
saya juga suka jalan-jalan ke toko buku tpi akhirnya ga ada yang dibeli ๐