Catatan Awal:
Artikel ini adalah bagian kedua (dari delapan) tulisan bersambung, dengan tujuan menjelaskan konsekuensi filosofis mekanika kuantum pada pembaca kasual.
Daftar tulisan selengkapnya:
Bagian 1 – Quantum Philosophy: The Menacing Concepts
Bagian 2 – Paradoks dan Keruntuhan Superposisi
Bagian 3 – Beberapa Interpretasi Mainstream
Bagian 4 – Singgungan dengan Dunia FilsafatDalam proses:
Bagian 4 – Singgungan dengan Dunia Filsafat
d) Teater Kuantum: Pengamat, Pemain, dan Sudut Pandang (TBA)
Bagian 5 – Kesimpulan Akhir dan Rangkuman (TBA)
BTW, ide penulisannya disumbang oleh Mas Gentole waktu diskusi di post-nya Kopral Geddoe. Well, thanks for the idea. 😛
Disclaimer:Tulisan ini dibuat oleh saya, seorang mahasiswa teknik yang kebetulan mempelajari mekanika kuantum dan fisika modern di bangku kuliah. Dengan demikian, saya membuka diri kepada pembaca — jika kebetulan ada yang berkompeten — untuk meluruskan seandainya terdapat kesalahan penjelasan dalam rangkaian tulisan ini.
Overview
Di tulisan yang lalu, kita telah membahas konsep-konsep dasar QM yang bersifat non-intuitif/berlawanan dengan pengalaman sehari-hari. Sekarang, kita akan membahas lebih lanjut dua gejala yang menjadi ‘jantung’ dunia QM, yakni probabilitas dan superposisi kuantum.
Secara umum, hampir semua paradoks/interpretasi non-intuitif di dunia QM disumbang oleh dua hal tersebut (misal: Kucing Schrödinger, Wigner’s Friend, Quantum Immortality). Nah, akar dari paradoks inilah yang hendak kita selidiki.
Sebenarnya, bagaimana dua hal ini bekerja?
Daftar Isi: |
……
II
Paradoks dan Keruntuhan Superposisi
2.1. Lebih Lanjut tentang Superposisi Kuantum
Berbicara superposisi, tentunya kita harus membahas dulu contoh kasus paling terkenal yang pernah hadir. Yak — apa lagi kalau bukan si kucing Schrödinger?
2.1.1. Revisiting the Schrödinger’s Cat
- Lebih lanjut: Schrödinger’s Cat ; Quantum Superposition
Terakhir kali membahas tentang superposisi, kita sampai pada saat Erwin Schrödinger menolak tafsiran probabilistik Max Born. Saat itu ia melontarkan paradoks sebagai berikut:
“Misalnya terdapat sebuah kotak. Di dalamnya kita siapkan labu gas beracun dan palu yang terhubung dengan pencacah Geiger. Jika pencacah Geiger berbunyi, maka palu akan jatuh dan memecah labu gas beracun.
“Kemudian kita masukkan seekor kucing bersama zat radioaktif, yang probabilitas peluruhannya sebesar 50% dalam satu jam.
“Dengan demikian, setelah satu jam, kemungkinannya sama — yakni gas beracun mengalir (kucing mati) atau gas beracun tetap tersimpan (kucing hidup).
“Ini berarti kucing mati sekaligus hidup. Bagaimana mungkin ini terjadi?”
Inilah paradoks kucing Schrödinger. Dengan harapan menumbangkan tafsiran Born, Schrödinger menyampaikan sebuah skenario ekstrim yang tak masuk akal… mungkinkah kucing mati sekaligus hidup di satu waktu?
Para ilmuwan kemudian menyebut kondisi campuran ini sebagai superposisi keadaan. Fokus kini teralih pada Max Born — mampukah ia menjawab tantangan?
Di luar dugaan, Born ternyata bisa menjawab dengan tangkas.
“Jika tutup kotak dibuka, maka kita akan tahu keadaan si kucing: apakah kucing sudah mati, atau masih hidup. Di sini cuma ada satu kemungkinan yang bisa jadi kenyataan.
“Probabilitas kuantum berfungsi sebagai perkiraan, tetapi pengukuranlah yang memberi kepastian.”
Intinya, menurut Born, hanya ada satu kemungkinan yang boleh mewujud. Apakah kucing mati, atau hidup? Tidak mungkin dua-duanya terjadi bersamaan.
Probabilitas kuantum adalah petunjuk. Tetapi, kenyataan cuma ada satu! Ini jelas meruntuhkan klaim Schrödinger bahwa kucing terjebak antara fase “hidup” dan “mati”.
Tapi, benarkah demikian?
2.1.2. Masih adakah Superposisi?
Argumen Schrödinger seolah tumpas oleh penjelasan Born. Pengukuran selalu memberikan hasil tunggal; inilah sebabnya kita tak pernah menemukan kucing “setengah mati-setengah hidup” di dunia nyata. Meskipun demikian, masih ada masalah.
“Kucing memang terpastikan keadaannya setelah kita melakukan pengamatan. Tetapi, bagaimana jika kita tak pernah membuka tutup kotak?”
Jika kotak tak pernah dibuka, tentunya kita tak tahu apakah kucing mati atau hidup. Kita bisa saja memasukkan kucing ke dalam kotak, lalu kotaknya kita kubur, dan kita pergi jalan-jalan ke mall. Kabar si kucing?
Sabodo teuing. Don’t know, don’t care. *sadis*
…
Tetapi, coba sudut pandangnya diubah. Satu jam kemudian… bagaimana sebenarnya nasib kucing yang kita kubur?
Kemudian kita sadar: kepastian belum didapat. Kucing masih sama mungkinnya antara hidup dan mati!! 😯
Inilah paradoks terbesar yang dihadirkan oleh percobaan Kucing Schrödinger. Bahwasanya,
Selama tak dilakukan pemeriksaan, kemungkinan kucing mati atau hidup sama-sama 50%. Mengikut ide Schrödinger, maka kucing akan berada dalam keadaan superposisi (antara mati dan hidup).
Jika tafsiran probabilistik benar, maka hal ini akan terus berlangsung sampai keadaan menjadi terpastikan (i.e. melalui pengamatan).
Penjelasan di atas, sesungguhnya, memiliki konsekuensi filosofis yang sangat serius. Apa yang serius?
Yang serius adalah penjelasan akan superposisi itu sendiri:
Tak ada jalan bagi kita untuk mengetahui keadaan kucing sebelum kotak dibuka. Apakah kucing mengalami superposisi, atau tidak?
Jika kita mencoba mengamati, maka hilanglah keadaan tersebut.
Keadaan kucing sebelum kotak dibuka tak bisa diverifikasi, difalsifikasi, ataupun dibuktikan secara empiris.
Ganti kata “kucing” dengan “atom”, “elektron”, “partikel”, atau apapun gejala alam yang coba dijelaskan oleh QM — dan “kotak dibuka” dengan “pengukuran”.
Pembaca yang terbiasa dengan filsafat mungkin segera tahu ke mana larinya diskusi ini, dan apa yang ‘luar biasa’ dari ilustrasi di atas. Meskipun demikian, diskusi filosofisnya saya simpan untuk bagian empat yang akan datang.
Sekarang kita bahas dulu argumen Born tentang pengamatan. 😉
……
2.2. Pengamatan yang Menentukan
- Lihat juga: Quantum Measurement Problem
Terlepas dari sifat kontroversial yang dimiliki oleh superposisi keadaan, ada satu hal menarik. Secara teori, perkiraan Max Born tentangnya sangatlah kokoh.
Hasil percobaan QM selalu mengikuti sebaran probabilistik.
Ini mendukung teori Born: fungsi gelombang adalah elemen probabilitas suatu benda.Dengan demikian, seluruh sistem fisika kuantum berlandaskan pada sifat kebolehjadian/probabilitas. Alhasil, keadaan sistem kuantum tidak pernah pasti sampai kita melakukan pengamatan*. Kondisi di mana sistem ini belum pasti, inilah yang disebut sebagai superposisi keadaan. Jika pengamatan sudah dilakukan, maka superposisi akan hilang. Hanya ada satu keadaan yang kita temui.
*) Perlu dicatat bahwa “pengamatan” di sini tidak berarti harus melibatkan manusia. Jika kita hendak mengukur spin elektron, maka sebuah detektor pun bisa dianggap sebagai “pengamat”. Di sini kita menggunakan kata tersebut dalam makna luas.
Singkatnya, superposisi kenyataan memang tak terhindarkan, apabila kita bicara probabilitas. Meskipun demikian, terdapat kata kunci yang menentukan di sini: “pengamatan”.
Betapapun banyaknya kenyataan yang bisa terjadi, semua itu runtuh menjadi satu hasil akhir setelah pengamatan dilakukan. Inilah sebabnya terdapat perkataan: “pengamatan memegang peran penting di dunia kuantum”. 🙂
Pernyataan ini kemudian diperluas dalam bentuk sebagai berikut:
“Pengamatan” bisa direduksi sebagai interaksi antara sistem kuantum dengan benda asing, e.g. elemen detektor. Sedangkan pengamatan meruntuhkan superposisi.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan: interaksi antara sistem kuantum dengan benda asing apapun dapat meruntuhkan superposisi.
Dengan demikian, interaksi sistem kuantum dengan benda asing di luarnya — termasuk alam sekitar — akan menyebabkan efek pengamatan, yakni hilangnya superposisi keadaan.
Penjelasan ini cukup mudah untuk dibayangkan. Misalnya saya punya sebuah atom yang belum diukur, dan kemudian ada foton nyasar yang menumbuk elektron di dalamnya. Maka posisi elektron tersebut otomatis terpastikan — ia bukan lagi sebentuk probabilitas, melainkan sudah “mengada”. 😀
Misalnya seperti berikut:
Elektron masih belum jelas berada di mana
Kemudian ada seberkas foton entah dari mana…
Ha! Ketahuan! 😀
Menariknya, elektron yang tadinya konsep probabilitas (abstrak) tiba-tiba “mengada” secara fisik. Tentunya ini bisa jadi bahasan filosofis yang menarik. Tetapi — lagi-lagi — diskusi filosofisnya saya tunda sampai bagian empat. =9
……
2.3. Kemungkinan yang Terpastikan
- In the end, there can be only one. ~ Highlander (1986)
Para fisikawan umumnya sepakat bahwa kenyataan yang terjadi hanya ada satu, terlepas dari banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi. Meskipun demikian, masih ada tanda tanya besar:
(1) Bagaimana proses menghilangnya superposisi?
Dan, yang tak kalah pentingnya,
(2) Apa yang terjadi dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terwujud?
Inilah yang kemudian menjadi perselisihan. Boleh jadi dampak yang diakibatkan oleh pengamatan lebih dalam daripada yang terlihat. 😕
Mengenai hal ini, pendapat para fisikawan umumnya terbagi dua. Ringkasan dari kedua pandangan tersebut akan saya jabarkan di bawah ini.
2.3.1. Keruntuhan Fungsi Gelombang
- Lebih lanjut: Wave Function Collapse
Ini adalah teori pertama yang muncul untuk menanggapi paradoks kucing Schrödinger. Keruntuhan Fungsi Gelombang — selanjutnya saya singkat KFG — memberikan deskripsi sebagai berikut.
Ketika superposisi terjadi, setiap kemungkinan memiliki sebuah “nilai”. “Nilai” ini bersifat unik, tertentu, dan menghubungkan dua keadaan — yakni masa kini dan masa depan.
(dalam matematika, konsep ini diwakili oleh eigenvalue)
Setelah pengamatan dilakukan, maka fungsi gelombang akan tereduksi menjadi sebuah keadaan tunggal (eigenstate). Inilah yang hasil akhir yang bisa kita amati.
Keruntuhan ini mewujudkan sebuah probabilitas secara fisik. Di sisi lain, probabilitas lain yang sebelumnya ada kini terkalahkan: mereka kehilangan makna fisik dan menghilang.
Singkatnya, fungsi gelombang mengalami keruntuhan. Kolaps. Dari banyaknya kemungkinan yang ada, alam memilih satu kejadian — berdasarkan derajat probabilitasnya — sambil mengorbankan yang lain. Jika Anda pernah belajar biologi, ini identik dengan banyaknya sperma yang gugur sebelum mampu membuahi sel telur. ^^
Ilustrasinya kira-kira seperti berikut.
Teori ini diterima karena gagasannya yang relatif simpel-tapi-tepat sasaran. Jika kita melakukan percobaan kucing Schrödinger, misalnya, dan ternyata kucing mati, maka probabilitas “kucing hidup” telah kehilangan makna fisis. Vice-versa jika ternyata kucing masih hidup. Kejadian yang kita amati bisa mewujud karena telah “mematikan” kemungkinan-kemungkinan yang lain; inilah yang coba disampaikan oleh KFG.
Update:
Secara teknis, probabilitas yang ‘hilang’ gagal mewujud karena sarana fisiknya sudah diambil. E.g. dalam kasus kucing Schrödinger, sarana fisik untuk mewujud cuma ada satu (“kucing”).
Nah, menurut KFG, sarana fisik ini diperebutkan oleh dua probabilitas (“kucing mati” / “kucing hidup”). Probabilitas yang menang mendapat wujud fisik, sementara yang kalah terpaksa mengabstrak/tak bisa mewujud.
—cek juga di komentar saya yang ini
Meskipun demikian, kesuksesan KFG tidak berhenti sampai di sini. Pada gilirannya KFG akan turut menyumbang pada berbagai interpretasi mainstream di dunia QM — hal ini akan saya bahas di bagian tiga yang akan datang.
- Lebih lanjut: Quantum Decoherence
Setelah beberapa waktu KFG diterima oleh para fisikawan, sebuah teori baru mulai muncul ke permukaan. Teori baru ini memiliki konsep dasar yang berbeda dibandingkan KFG — para fisikawan kini menyebutnya sebagai teori “dekoherensi kuantum” (selanjutnya disingkat DK).
Jika KFG menyatakan bahwa fungsi gelombang tereduksi begitu saja setelah pengamatan, maka DK memberikan tafsiran yang sama sekali lain. Ada dua landasan yang diketengahkan oleh DK — kita akan membahasnya satu per satu.
Teori DK #1: Superposisi di Skala Kuantum
Ketika sebuah sistem kuantum (e.g. atom, elektron) mengalami superposisi, setiap kemungkinan memiliki sebuah “nilai”. “Nilai” ini bersifat unik, tertentu, dan menghubungkan dua keadaan — yakni masa kini dan masa depan.(sama dengan KFG)
Meskipun demikian, semua kemungkinan tersebut saling terikat dan memiliki fasa* yang sama.
Apabila pengamatan dilakukan, maka salah satu probabilitas** akan menyesuaikan fasa dengan lingkungan. Sedangkan yang lainnya mengalami pergeseran fasa, menjadi tak bisa teramati oleh kita.
*) Fasa: elemen yang terdapat dalam fungsi kompleks, i.e. mengandung nilai real dan imajiner. Fungsi gelombang adalah fungsi kompleks.
**) Di sini kemungkinan dipandang sebagai fungsi gelombang masa depan.
Berubahnya fasa yang tadinya sama menjadi berbeda, inilah yang disebut sebagai dekoherensi. Jika digambarkan dengan diagram,
Tentunya kemudian timbul pertanyaan: ke mana perginya fungsi-fungsi gelombang yang tak teramati. Ada dua kemungkinan untuk ini.
Pertama, fungsi gelombang tersebut meresap dan bergabung ke lingkungan sekitar. Kurang lebih mirip dengan batu yang dicemplungkan ke tengah laut: efeknya ke laut sih ada (misalnya riak, bunyi “plung”, dan tinggi airnya bertambah), tetapi kecil saja dibanding keseluruhan sistem. ^^
Kedua, kemungkinan tersebut tidak hilang, tetapi mewujud di… dunia paralel. WHAT!? 😯 Sehingga sebenarnya tidak ada probabilitas yang tersia-sia. Hanya saja karena adanya beda fasa, maka dunia tersebut tak bisa kita amati sama sekali. Inilah yang disebut sebagai many-worlds interpretation (MWI).
Meskipun begitu, soal dunia paralel ini tidak akan saya bahas sampai post berikutnya. Sekarang kita akan membahas butir berikutnya dari teori DK, yakni superposisi di ranah makro. 🙂
Teori DK #2: Superposisi di Skala Makro
Sebenarnya, superposisi di skala makro (e.g. kucing Schrödinger) tidak benar-benar terjadi.Superposisi berawal di skala kuantum. Meskipun demikian, superposisi ini tak pernah bertahan lama — selalu ada gangguan-gangguan dari luar yang bisa merobohkan superposisi tersebut.
(ingat penjelasan sebelumnya mengenai konteks “pengamatan”, i.e. interaksi dengan lingkungan)
Dunia makro memiliki banyak gangguan/interaksi dengan alam: cahaya, panas, statik, dan lain-lain. Probabilitas kuantum akan terkikis oleh gangguan-gangguan ini sebelum sempat “beraksi” di dunia nyata.
Bagian inilah yang benar-benar membedakan antara KFG dengan DK. Jika KFG memungkinkan terjadinya paradoks seperti Kucing Schrödinger, maka DK tidak membolehkannya sama sekali. Selalu ada hambatan lingkungan sebagaimana yang dijelaskan di atas — superposisi tidak pernah mewujud di dunia makro.
Alam semesta kita dipenuhi oleh berbagai ‘gangguan’ yang bisa berinteraksi dengan sistem kuantum. Berkas cahaya, radiasi elektromagnet, dan kontak dengan permukaan materi — semua itu berpotensi melakukan ‘efek pengamatan’ yang kita singgung di bagian sebelumnya! 😯
Pembahasan kita mengenai dunia kuantum sejauh ini, ternyata tidak memasukkan variabel lingkungan alam sama sekali. Inilah lubang kelemahan yang diincar oleh DK. Alhasil, kucing Schrödinger kini bukan lagi sebuah paradoks… setidaknya menurut DK. ^^;
2.3.3. Jadi, yang Mana yang Benar?
Nah, hal ini masih diperdebatkan oleh para fisikawan. Salah satu pangkal masalahnya ada pada apakah fungsi gelombang dianggap entitas fisik atau nonfisik. Dan apakah kasus-kasus dalam pengukuran kuantum harus dipandang secara individual, general, atau statistik? Ini yang butuh penelaahan lebih jauh.
Sebuah interpretasi QM bisa saja menjelaskan berbagai gejala dengan baik menggunakan KFG (misal: tafsiran Kopenhagen), tetapi bukan tak mungkin ada interpretasi lain yang setara justru menggunakan DK (misal: MWI, Bohm). Yang penting, bagaimana interpretasi tersebut bekerja secara keseluruhan.
Inilah sebabnya terdapat berbagai interpretasi QM yang berlandaskan pada baik DK maupun KFG. Bagaimanapun, kedua teori tersebut masih diakui hingga saat ini. ^^
……
2.4. End Note: Kesimpulan Sementara
Akhirnya kita sampai di bagian akhir pembahasan. Berdasarkan penjelasan yang telah kita lalui, maka kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Superposisi kuantum adalah hal yang tak terhindarkan di dunia QM (konsep probabilitas Born). Meskipun demikian, superposisi mustahil untuk diamati. Setiap upaya pengukuran, atau interaksi dengan alam sekitar, akan langsung meruntuhkan superposisi pada saat itu juga. Terdapat dua teori pembentukan kenyataan kuantum, yakni (1) Keruntuhan Fungsi Gelombang, (2) Dekoherensi Kuantum. Keduanya sama-sama diakui oleh kalangan fisika modern.
Sekian untuk post kali ini. Di bagian berikutnya, kita akan membahas sekilas beberapa interpretasi mainstream di dunia QM, bersama dengan feature-feature unik yang mereka miliki. ^^
Akhir kata, semoga bisa memberikan pencerahan. Koreksi dan masukan — apabila ada di antara pembaca yang berkompeten — sangat diharapkan. 🙂
……
2.5. Referensi Untuk Bagian Ini
Sebagaimana post sebelumnya, referensi untuk bagian ini saya letakkan di halaman khusus tersendiri. Silakan diklik jika berminat. 😉
Komen dulu untuk menunjukkan saya update. Anda ini sebaiknya kerja di televisi, pintar naro bagian paling bikin penasaran di akhir acara, udah gitu digoda-goda melulu lagih. Tapi memang semuanya harus dibaca dan dimengerti. Huah. Kayaknya, saya butuh waktu khusus untuk membacanya, dan memikirkannya, dan itu gak sebentar, dan tentunya gak gampang. Maklum, bukan anak IPA. Tapi saya penasaran juga. Keep the good work, masbro. Semoga jasamu ini dibalas di akhirat kelak. 😀
*belajar lagi!*
Aargh.. saya masih tidak mengerti. Fast reading juga, sih… 😆
Karena yang saya tahu cuman sedikit,, jadi saya tidak tahu mau nanya apa. 😀
Eh, kok jadi probabilitas ya? sesuai dengan prinsip saya (saya saja, lho!!),, kalo berurusan sama ipa itu kan ‘pasti’ tidak ada kemungkinan. tapi disini kenapa masih ada pertentangan? berarti teorinya belum sempurna?
Aargh… ga ngerti,,
@ gentole
Ah, terima kasih. 😛
Jadi, saya berbakat bikin page turner?
:::::
@ syaorannatsume
IPA membahas ketidakpastian juga kok. ^^ Di SMA kelas dua, itu masuk pelajaran matematika, namanya “Statistik dan Probabilitas”.
Prinsipnya sama dengan yang dibahas di sini. 🙂
Selamat, Anda baru saja berpikir seperti Albert Einstein.
Soal probabilitas di QM, ini memang bagian yang paling misterius. Belum ada yang tahu kenapa bisa begitu. Yang sudah ketahuan, probabilitas ini diakibatkan oleh fungsi gelombang… tapi, kenapa dan bagaimana? Nah, ini yang masih gelap. ^^
Einstein sendiri merasa bahwa teori kuantum belum lengkap. Makanya dia sering bilang “Tuhan tidak bermain dadu”. 🙂
Jadi intinya adalah:
“Jangan beli kucing dalam karung”?
^
Lebih tepatnya, “jangan beli kucing dalam kotak”. 🙂
sebab ada kemungkinan 50% kita beli kucing mati 😆Jadi inget “God’s Debris”, disitu dibilang kalo tuhan bunuh diri dan mayatnya jadi probabilitas dan materi dasar seragam yang membentuk alam.
Nice reading.
Kalo soal statistik & probabilitas di smp juga udah belajar dasarnya. Tapi kan rumusnya bisa diterapkan juga,, walau ‘kadang2’ benar dan ‘kadang2’ salah. 😆
… ga jadi mikir gituan, lah!
saya agak penasaran sama bagian 2.1 itu,, tapi sayangnya masih harus dilanjutkan di bagian 4. hmm,, ditunggu, deh!
*belajar lagi*
@ Shinte Galeshka
Wah, itu ide yang menarik. 😀
Teori DK sendiri ada nyerempetnya ke situ. Karena fungsi gelombang tidak menghilang, maka — diduga — terdapat superposisi global di latar belakang.
Nah, superposisi ini mencakup seluruh fungsi gelombang di alam semesta (dan dunia paralel; kalau benar ada).
Saya rasa ini lumayan thought-provoking, terutama bagi mereka yang teis/panteis. ^^
*sambil masukin ke daftar kajian bagian 4* 😆
:::::
@ syaorannatsume
Kenapa? Einstein itu manusia sakti, lho. (o_0)”\
*beneran!* 😆
Sebenarnya bagian 4 itu rencananya lebih ke arah filsafat, jadi nggak terlalu menekankan fisikanya lagi. Tapi, yah, kita lihat aja kalau ada yang mau ditambah ke depannya. 😉
kelihatannya GD memang mau mengkaitkan teori-teori fisika yang advance itu dengan filosofi.
mungkin perlu dibaca juga biar bagian 4 jadi tambah seru
nunggu bagian berikutnya deh …
?
iya, sih.. tapi itu karena bom atom yang ‘katanya’ karyanya albert einstein. walo einstein menentang,, tapi tetap saja..
cuman alasan sederhana doang..
gelombang itu ga bisa dideteksi, kan? saya jadi tambah tidak mengerti,,
bagian ke-3nya tentang apa? sudah masuk kebagian filsafat belum?
@ Shinte Galeshka
Hmm, mungkin kalau ada yang punya saya pinjem. Belum pernah baca soalnya. 😛
::::::
@ syaorannatsume
Euh… sebetulnya dibilang “karya” Einstein, ya ada benernya. Tapi kurang cocok juga. ^^;
Yang ditemukan Einstein itu persamaan massa-energi, E=mc². Rumus ini dipakai untuk budidaya nuklir secara umum, di antaranya PLTN dan bom atom.
Energi nuklir sendiri punya beberapa kelebihan (e.g. energi terbarukan, daya besar, polusi rendah). Tetapi bagaimana dimanfaatkannya… ya, kembali lagi ke masing-masing orang. 😕
Fungsi gelombang itu persamaan yang mengatur gerak benda di mekanika kuantum. Kalau di dunia sehari-hari, kira-kira sebanding dengan F=m.a (Hukum Newton II). ^^
Rencananya soal pandangan para ahli fisika soal QM. Kira-kira mirip dengan halaman wikipedia yang ini: Interpretation of Quantum Mechanics.
* * *
BTW, ini memang bukan materi SMA, kok. Jadi jangan kuatir kalau banyak nggak nyambungnya. ^^;
eh, saya copas dari sini tapi belum nuwun sewu ke yang empunya, mohon permisi ya mas
[…] Sedikit tentang Mekanika Kuantum dan Filosofinya (1/5) Sedikit tentang Mekanika Kuantum dan Filosofinya (2/5) […]
Wah menarik 🙂
tidak sia-sia saya menunggu
Ok saya save lagi ya
Btw karena saya menilai diri saya tidak kompeten maka saya mengikut saja
Saya lebih cenderung ke DK dibanding KFG, apa yang menyebabkan superposisi2 itu menghilang begitu saja? Rasanya ini malah menimbulkan masalah besar apakah superposisi itu benar-benar ada? Karena kemungkinannya sama
Jika superposisi benar2 ada maka ia tidak akan bisa teramati dan justru malah menghilang
Jika superposisi benar2 tidak ada maka adalah wajar pengamatan hanya menghasilkan entitas tunggal.
DK sedikit berbeda seperti yang Mas bilang tetapi implikasinya justru tetap mempertahankan keadaan Superposisi.
Entahlah apa pemahaman saya yang salah ya? tolong diluruskan. Saya belajar subjek ini dulu secara otodidak jadi peluang kesesatannya besar sekali. Waktu belajar dulu bahkan saya berpikir kalau semua materi itu tidak memiliki wujud real materi karena semuanya adalah ruang abstrak dalam skala QM. Masalah yang membuat saya jadi frustasi soal Keadaan dan Ketidakadaan
Salam
@sora|sp
*membaca komen SP*
*liat lagi post sora*
#&%*%*&^%##(????
*mencoba bersabar*
@ spidolhitam
Ah, silakan. Dengan senang hati. ^^
:::::
@ secondprince
Maksudnya menurut KFG? (o_0)”\
Sejauh yang saya tahu, karena sarana fisik untuk mewujud cuma ada satu. Jadi — mau tak mau — cuma ada satu kejadian yang bisa mengambil bentuk fisik, sementara yang lainnya tereliminasi.
Apabila ada dua kejadian A dan B yang sama mungkinnya, mereka harus “bersaing” untuk mendapat perwujudan fisik. Yang kalah cuma bisa mengabstrak, karena sarana untuk “mengada”-nya sudah diambil. 😕
Kurang lebih seperti analogi sperma yang saya sampaikan di atas. Yang bisa membuahi sel telur (dan beranjak ke tahap selanjutnya) cuma satu, sementara yang lainnya mati/gagal melanjutkan kehidupan. ^^
* * *
BTW, post-nya sudah saya update. Rasanya kemarin sudah disertakan penjelasannya, tapi ternyata belum. ^^;; Terima kasih pertanyaannya. 🙂
Yup, itu dia. Superposisi memang misteri. Keberadaannya tak bisa diverifikasi, falsifikasi, ataupun dibuktikan secara empiris. Secara teori, harusnya ada — tetapi, prakteknya bagaimana?
Nah, ini memicu munculnya pandangan baru. Namanya Ensemble/Statistic Approach. Menurut pandangan ini probabilitas kuantum harus dipandang secara statistik. Jadi, apabila kita melakukan percobaan Kucing Schrodinger 1000 kali, maka akan terdapat 500 kucing mati dan 500 kucing hidup.
Kasarnya, menurut ide ini, superposisi kuantum tidak pernah terjadi. Probabilitas QM harus dipandang secara statistik bukannya individual… lebih lanjut akan saya bahas bagian tiga. 🙂
Wujud real materi di QM, sebenarnya ada. Hanya saja: setiap benda yang belum diukur harus dinyatakan secara probabilitas. Nah, ini yang membuatnya seolah abstrak.
Pengukuran berfungsi memastikan seperti apa benda yang sebenarnya, bukan lagi sekadar kira-kira. Jadi, ada kesan bahwa benda yang tadinya belum jelas kemudian “mengada” setelah diukur… kurang lebih seperti ilustrasi elektron di seksi 2.2. ^^
:::::
@ gentole
Hmm, mungkin masbro tertarik baca buku populer tentang QM. Judulnya “Mengenal Teori Kuantum”, terbitan Scientific Press Jakarta. Karangan J.P. McEvoy dan Oscar Zarate.
Ini buku bergambar yang menyampaikan konsep QM untuk pembaca kasual. Saya sendiri belajar dari situ sebelum dapat materinya pas kuliah, jadi harusnya nggak terlalu berat juga. ^^
@Sora
Wah terimakasih penjelasannya Mas, saya terbantu sekali
Paling tidak ada beberapa hal yang masih perlu saya pikirkan dan pelajari.
*mesti bongkar buku-buku dulu di rumah*
Salam
@Gentole
Wah Mas kayaknya saya sama awamnya dengan Mas dalam masalah ini 🙂
Salam
Salam….Asyik juga mengikuti postingan mas.
Mau tanya lagi ya ..
Kalau Superposisi tampak seperti “dunia bayangan yg memungkinkan untuk direalisasikan”
Sedangkan Pengukuran tampak seperti ” suatu realisasi atas kemungkinan yg ada”
Dengan mengandaikan seperti ini ….tampaknya bisa dimengerti
Apa begitu mas?
@ cahaya einstein
Lha, iya. Itu prinsip yang sama dinyatakan oleh KFG. ^^
Kurang lebih begitu. 🙂
[…] mungkin ingat, di tulisan yang lalu kita membahas dua butir dari teori Dekoherensi Kuantum (DK). Nah, yang diadopsi oleh Tafsiran Kopenhagen Modern adalah butir […]
nanya lagih! hehe, sedang kritis nih
kan yang mengakibatkan keruntuhan fungsi gelombang itu pengukuran.
jadi, untuk kasus kucingnya bang scrodinger dalem kotak, selama kita ngelongok dalem kotak (melakukan pengukuran), kucingnya masih ga idup ga mati?
jadi kalo kita ngelongok dalem kotak terus ternyata kucingnya mati, berarti, kucingnya mati gara2 kita??
*merasa bersalah pada kucing
@ piqs
Ah, silakan. ^^
Intinya sih, sementara pengukuran belum dilakukan, maka kucingnya masih antara hidup dan mati. (o_0)”\
Jadi sebenarnya masalahnya agak membingungkan:
Alhasil, jika kita buka kotak dan kucingnya mati, maka itu gara-gara kita. (tadinya superposisi -> mati)
Tapi, jika kita buka kotak dan kucingnya hidup, maka itu juga gara-gara kita! (tadinya superposisi -> hidup) 😆
*bingung kan?*
* * *
Akar masalahnya sendiri ada di peluruhan radioaktif. Selama zat radioaktifnya belum meluruh, maka si kucing masih hidup.
Probabilitas peluruhan radioaktif, 50%.
Jadi, selama kita belum memastikan, dia berada di kondisi 50-50. Baru setelah dipastikan, kita mendapat hasil akhir: kucing hidup atau kucing mati. Tapi nggak mungkin campuran antara keduanya. ^^
hoo..
“Akar masalahnya sendiri ada di peluruhan radioaktif. Selama zat radioaktifnya belum meluruh, maka si kucing masih hidup. ”
humm, kalo gitu,,, bener kalo saya bilang, jadi yang melakukan pengukuran itu si pencacah geiger, karena dia yang pertama kali “memutuskan” apakah si zat radiaktif itu meluruh atau tidak (dan juga memutuskan nasib si kucing) ?
Yup, tepat. ^^
Di sini pencacah Geiger berperan sebagai “pengamat”. Seperti yang sudah ditulis di atas: interaksi dengan detektor pun berperan meruntuhkan superposisi.
Bisa dibilang bahwa yang menentukan nasib si kucing sebenarnya adalah pencacah Geiger. Jika pencacah Geiger “mengamati” luruhan radioaktif, maka kucing mati. Sebaliknya, jika tidak, maka kucing akan tetap hidup. 🙂
Hanya saja, apakah pencacah Geiger sudah mendeteksi peluruhan atau belum, kita (manusia) kan tidak tahu. Jadi tetap saja akhirnya kita harus membuka tutup kotak untuk memastikannya. ^^
[…] tulisan selengkapnya: Bagian 1 – Quantum Philosophy: The Menacing Concepts Bagian 2 – Paradoks dan Keruntuhan Superposisi Bagian 3 – Beberapa Interpretasi Mainstream Bagian 4 – Singgungan dengan Dunia Filsafat a) QM dan […]
[…] tulisan selengkapnya: Bagian 1 – Quantum Philosophy: The Menacing Concepts Bagian 2 – Paradoks dan Keruntuhan Superposisi Bagian 3 – Beberapa Interpretasi Mainstream Bagian 4 – Singgungan dengan Dunia Filsafat a) QM dan […]
[…] tulisan selengkapnya: Bagian 1 – Quantum Philosophy: The Menacing Concepts Bagian 2 – Paradoks dan Keruntuhan Superposisi Bagian 3 – Beberapa Interpretasi Mainstream Bagian 4 – Singgungan dengan Dunia Filsafat a) QM dan […]
ya, saya mengerti soal misteri kucing Schrodinger ini. penjelasan sederhananya ada di anime To Aru Majutsu no INDEX episode 12…