Ada sebuah scene dari buku pertama serial Harry Potter, yang sampai sekarang masih membekas di pikiran saya. Saat itu Harry baru saja berkenalan dengan Ron Weasley, dan sedang naik kereta dalam perjalanan menuju Hogwarts.
Ron had taken out a lumpy package and unwrapped it. There were four sandwiches inside. He pulled one of them apart and said, “She always forgets I don’t like corned beef.”
“Swap you for one of these,” said Harry, holding up a pasty. “Go on -”
“You don’t want this, it’s all dry,” said Ron. “She hasn’t got much time,” he added quickly, “you know, with five of us.”
“Go on, have a pasty,” said Harry, who had never had anything to share before or, indeed, anyone to share it with. It was a nice feeling, sitting there with Ron, eating their way through all Harry’s pasties, cakes, and candies (the sandwiches lay forgotten).
Syahdan, Harry Potter tidak pernah punya teman selama sebelas tahun pertama hidupnya. Ia selalu dikerjai oleh Geng Dudley; paman dan bibinya bersikap acuh-tak-acuh; apparently the ingredients to create an emo boy. Orang bertanya-tanya kenapa dia tidak tumbuh jadi seorang misantropik. Saya sendiri merasa bahwa, jika saya yang menulis ceritanya, hampir pasti saya akan membuat Harry jadi karakter yang brooding dan membenci dunia… tapi itu cerita lain untuk saat ini.
Pertanyaannya adalah: motif apa yang membuat Harry membeli begitu banyak pastel dan permen di atas Hogwarts Express, lantas mengajaknya bertukar dengan sandwich Ron? Sebagai tanda persahabatan? Mungkin. Atau sekadar simpati setelah melihat rasa inferioritas Ron? Itu juga mungkin. Meskipun begitu, saya merasa bahwa ada suatu pendorong yang tak kalah pentingnya, yang membuat Harry berinsiatif berbagi pastel dengan Ron:
“Go on, have a pasty,” said Harry, who had never had anything to share before or, indeed, anyone to share it with.
Harry bukan saja tak punya sesuatu yang layak dibagi dalam sebelas tahun. Lebih jauh lagi, dia tak punya seorangpun untuk berbagi: materiil atau moral, Keluarga Dursley tak pernah memberinya kesempatan itu.
***
Ilustrasi suguhan J.K. Rowling di atas membuat saya berpikir, bahwasanya manusia mungkin kodratnya adalah ‘makhluk berbagi’. Bukan karena ingin merasa penting — melainkan karena berbagi itu melegakan. Entah itu kebahagiaan, kesedihan, atau sekadar cerita remeh-temeh, orang tak ingin mengalaminya sendiri.
Ketika Anda masih SD, Anda mungkin pernah mendapat nilai ulangan 100, lantas ingin cepat pulang dan menunjukkannya pada orangtua. Ketika Anda berulang tahun, Anda menyusun daftar teman yang ingin Anda ajak makan-makan; ketika Anda menikah, Anda mengundang famili dan relasi; dan lain sebagainya.
Selalu ada yang kita cari untuk menyampaikan isi hati. Orang yang bilang bahwa dia tak butuh berbagi adalah pembohong. Ketika dia bahagia, dia ingin bercerita; ketika dia sedih, maka dia ingin dimengerti. Orang yang tidak punya niat berbagi adalah orang yang kesepian.
Another Version of Hedgehog Dilemma
Tetapi, apakah saling berbagi itu jaminan kebahagiaan? Sedihnya, tidak selalu begitu.
Analogikan kasusnya seperti ini — saya modifikasi sedikit dari dilema landak-nya Schopenhauer.
Misalnya terdapat bayi landak yang baru lahir di musim dingin. Agar bayi landak tidak mati kedinginan, maka ibu landak harus tidur berdempetan dengannya, memberikan panas tubuh pada si bayi tersebut.
Tetapi landak adalah hewan berduri. Jika si ibu terlalu dekat dengan anaknya, maka sang anak akan menderita tertusuk duri. Sedangkan jika si ibu terlalu jauh, maka sang anak tidak mendapat kehangatan yang dibutuhkan.
Di sini si ibu landak harus berhati-hati. Niatnya berbagi kehangatan boleh jadi justru dipersepsi sebagai serangan/abuse oleh si anak.
Terkadang niat untuk berbagi saja tidak cukup. Ada faktor-faktor lain yang, jika tidak dipertimbangkan dengan baik, justru berpotensi membawa dampak negatif.
Bayangkan seandainya pastel Harry Potter dianggap sebagai penghinaan oleh Ron. Mungkin dia akan berkata, “Saya memang miskin, OK! Kamu tak perlu berbagi seperti itu!” Bayangkan seandainya, ketika Anda bercerita pada teman tentang nilai 100 di ulangan, teman Anda menanggapi, “Iya deh, kamu pintar. Puas?” Dan lain sebagainya.
Menurut saya ini hal yang ironis. Ketika orang hendak berbagi, atau sekadar bercerita tentang hidup, reaksi yang didapat bisa sangat negatif. Padahal niat aslinya mungkin tak seburuk yang disangka.
Case for Avoidance
Salah satu hal yang disorot oleh analogi landak — baik versi aslinya ataupun modifikasi yang saya paparkan di atas — adalah bahwa bersikap menghindar (avoidant) bisa jadi jalan keluar. Daripada menyakiti atau disakiti, lebih baik untuk bersikap diam dan menghindar.
Schopenhauer mengibaratkan landak sebagai manusia. Setiap kali manusia berinteraksi dengan yang lain, maka mereka berpotensi saling menyakiti. Baik lewat kata-kata maupun perbuatan. Disadari atau tidak disadari. Disengaja atau tak disengaja. Pada akhirnya manusia jadi seperti landak yang dikisahkan: mereka ingin berdekatan, tetapi ketika berdekatan, mereka justru saling tertusuk. Oleh karena itu, daripada saling menusuk, lebih baik jika mereka berjauhan saja.
Tapi apakah ini jalan keluar yang baik?
Saya merasa bahwa masalah sebenarnya lebih mendasar daripada itu. Bersikap avoidant tidak menyelesaikan masalah. Dia sekadar menghindarkan kita dari rasa sakit, tetapi sumber rasa sakit itu masih tetap ada. Selama landak masih punya duri, maka begitulah adanya. Dan selama manusia kesulitan memahami yang lain, maka kemungkinan mereka menyakiti yang lain akan tetap terbuka.
***
Ada kalanya dalam hidup, saya ingin berbagi sesuatu hal pada orang lain. Tetapi saya tidak punya orang yang siap menerimanya.
Ada kalanya dalam hidup, saya mempunyai orang yang siap mendengarkan dan menerima — tetapi saya tidak ingin berbagi dengannya.
Dan ada kalanya dalam hidup, saya berbagi sesuatu hal pada orang yang (saya kira) siap menerimanya — tapi ternyata saya salah. Terkadang rasanya menyakitkan. But then that’s what life is all about.
But still, I do harbor this one feeling. To have someone to whom you can confide, and whom you can share many things with, is luxury. Sebagaimana sudah saya tulis sebelumnya, orang yang mengatakan bahwa dia tak hendak berbagi adalah orang yang kesepian. Di saat bahagia kita ingin bercerita; di kala sedih kita ingin dimengerti. Orang-orang yang (sok) emo mungkin bangga dengan kesendiriannya — tetapi saya bertanya, seberapa seringnya mereka merenungi hal itu.
Mungkin Schopenhauer benar. Manusia sebenarnya seperti landak: ingin saling berinteraksi, tapi tanpa sengaja justru saling menyakiti. Bersikap hati-hati mungkin merupakan pilihan terbaik.
saya suka: kata-kata
orang yang mengatakan bahwa dia tak hendak berbagi adalah orang yang kesepian. Di saat bahagia kita ingin bercerita; di kala sedih kita ingin dimengerti. Orang-orang yang (sok) emo mungkin bangga dengan kesendiriannya โ tetapi saya bertanya, seberapa seringnya mereka merenungi hal itu.
ternyata berbagi kebahagiaan tidak selalu membawa implikasi positif, sebelum berbagi tentu kita harus tahu dulu kondisi orang yang menjadi tempat kita ingin berbagi
…I think you need a girlfriend. preferably the somewhat genki-type with enough composure and understanding not to cross the line.
tapi, yah, semua orang juga sama, kan. niat baik tidak selalu dipersepsikan baik, dan niat biasa-biasa saja bisa dipersepsikan buruk. itu kan hal yang wajar. ‘keberbagian yang melegakan’ itu memang tidak selalu melegakan juga untuk orang lain, dalam banyak kesempatan.
all we do is only trying to strike a balance. also to say that people being able do such completely and perfectly are probably infinitesimal to none.
emo?
Itu karakter yang ada di sesame Street bukan?
[/OOT]
ehem….
*serius*
Berbagi kebahagian dan kesedihan kepada orang lain itu hal sulit buat saya. Kalau lagi bahagia, kadang ada teman yang nyeletuk “sombong” jadi saya lebih suka tersenyum sendiri dan hanya bercerita pada keluarga – itu pun kadang-kadang.
Kalau lagi sedih, saya juga nggak pernah mau berbagi sama orang lain, kalaupun bercerita, nggak akan pernah sampai ke masalah inti, sampai ada seorang teman yang bilang “saya itu tidak jujur pada diri sendiri, dan selalu memendam sendiri, berusaha mengatasi sendiri, pusing sendiri, akhirnya bingung sendiri”.
Ketika sora ada di persimpangan jalan dan bingung mau ke mana, sebaiknya minta bantuan keluarga, entah kakak, adik, atau orang tua, setidaknya mereka adalah orang-orang yang akan tetap menerima sora apa adanya ๐
perkataan orang yang tidak kompeten, karena dirinya sendiri nggak pernah ngelakuin*lupa*
@ sora-kun
That
@ yud1
btw yud, dirimu menyuruh (kalimatnya sih nggak nyuruh, tapi anggap saja menyuruh dengan tidak langsung ) sora buat cari pacar, kenapa kamu sendiri nggak cari? gimana dengan ***** ? dia cocok denganmu (IMO)
*dihajar yud1*
Hmm, kalau begini semuanya bisa jadi salah. Kalau dalam kasusnya Harry dan Ron tadi, saya rasa bisa dengan sedikit “memainkan situasi”. Mungkin skenario yang tidak memicu salah paham kira-kira: Harry akan membiarkan Ron memakan sandwich-nya sementara ia memakan pastelnya sendiri. Ron akan tergiur dengan pastel Harry. Nah, baru setelah itu Harry akan menawari Ron pastelnya, sehingga Ron tidak merasa terlecehkan dengan pemberian Harry.
Hmm…. bisa tidak kalau caranya seperti itu? Yang saya takutkan adalah kemungkinan bahwa pemberian dengan cara seperti itu bisa memberi kesan tidak ikhlas : |
So sweet ^^
well yeah, berbagi toh tak pernah rugi, masalahnya memang.. gak gampang menemukan seseorang yang mau & ikhlas berbagi dengan kita, apa adanya..
http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=why-children-like-to-share ?
dan saya malah teringat kata-kata teman saya: “tidak ada yang istimewa dari berbuat baik.”
mungkin dia bener. sesungguhnya itu salah satu kodrat manusia, soale ๐
Sora,bener tuh,waktunya cari cewek.. Atleast virtual girlfriend gitu..kan bisa milih sndiri mau tipe apa.. *ngawur* xD.
Btw,apa keinginan berbagi ini lah yg membuat manusia memutuskan untuk menikah? (Selain untuk alasan kebutuhan seksual,anak,dll)
Keren….
You have a thoughtful opinion coming from a deep contemplation.
Interesting ! Sharing makes our lives lively
yaa.. saya setuju ๐
tapi IMHO, asal kita berbagi dengan tujuan baik dan dengan cara baik2, orang yg diajak berbagi juga akan paham. makanya setidaknya pinter2 aja menilai apakah orang yg bersangkutan bisa dan bersedia diajak berbagi.
kalo sudah memutuskan berbagi dengan seseorang tapi ternyata orang tersebut malah bereaksi negatif, ya emang nasib, setidaknya kita sudah berusaha menilai positif terhadap orang tersebut. banyak2in aja isi ulang pulsa hoki ๐
tinggal gimana caranya hubungan yg sudah terlanjur negatif itu dinetralkan ato dipositifkan lagi ๐ *biasanya ini yg susah, dan banyak orang takut ngga bisa mengembalikan lagi ke kondisi semula*
just my Rp 2,- ๐
*terharu*
sora… menyentuh banget…
rasa -rasanya saya juga sering merasakan hal itu.
kita memang tak pernah benar -benar bisa sendirian. Walaupun kita mengatakan ‘saya bahagia walaupun sendiri’, di dalam hatinya dia pasti merindukan orang lain untuk sekedar mengungkapkan apa yang dirasakannya.
namun, ya memang begitulah, kadang saat kita ingin menyampaikan ‘A’ misalnya, tiba-tiba tertangkapnya oleh orang lain itu ‘B’, sehingga terjadilah miss dan akhirnya ada salah satu pihak yang tersakiti. Jadinya, dalam berinteraksi juga harus ada seninya ya, sebab tiap orang itu berbeda -beda. Jadi menghadapinya pun juga beda.
Bayangkan, jika kita bertemu dengan seribu orang dalam hidup kita, itu artinya kita punya seribu cara dan seni dalam menghadapi mereka. Luar biasanya. Positifnya adalah, itu bisa membuat kita banyak belajar dan terus berproses menjadi semakin manusiawi.
hmm…. hidup adalah kebersamaaaan bukan persamaan…. bagaimana caranya menyatukan perbedaan dalam kebersamaan… yayaya…. membangun nuansa indah pelangi dari warna warna dan rupa yang bermacam macam dan berbeda beda…. menjadi bangunan indah kesejatian diri…. huuuuwaaaaaaaaakakakaak
Salam Sayang
My mind is open now with the Sonic’s Dilemma errr… i mean Hedgehog Dilemma.
Saya pernah menjadi landak yg selalu menjauh karena tidak ingin menyakiti dan disakiti, tapi ya itu tadi.. ada saat2 dimana kita ternyata harus berinteraksi sosial, seperti misalnya mendapat nilai tes yg bagus, lulus kuliah, dapet kerja, bla3x.
Saya merasa perlu untuk menyalurkan kegembiraan saya kepada orang lain, yah mungkin sekedar agar lega saja, tapi mungkin tersirat sesuatu yang lain pada saat saya menyampaikan kegembiraan tsb.
Misalnya saya sampaikan hal2 tsb kepada ortu, maka mereka pasti akan bahagia krn anaknya dapat dibanggakan dan ortu merasa tenang bahwa si anak dapat menghadapi masalah2 yang menerpanya.
Atau ketika menyampaikan hal ini kepada teman2 yang belum merasakan kebahagiaan ini akan membuat mereka termotivasi utk merasakan kebahagiaan yang sama.
Walaupun kedua contoh efek di atas adalah efek samping, krn efek utamanya hanya ingin lega dan gembira yang meluap.
Lalu ya saya kadang takut utk menyampaikan hal ini krn takut teman yg saya ceritakan malah menganggap saya sombong dan menunjukkan perbedaan status (beda tempat kuliah/kerja kan menentukan gengsi tuh ujung2nya).
Well thx for the info, everything has its consequency, greater the risk means greater the returns.
Saya pikir,IMO Harry membeli begitu banyak pastel dan permen adalah hal yang biasa bagi anak seumur dia. Apalagi dia selama ini [dari cerita] tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal itu (baca: membeli hal-hal yang diinginkannya), dan ketika ia telah dijemput dan diberitahu bahwa ia tidak semiskin yang ia kira, sudah hal yang wajar ia membeli hal-hal yang disukainya dalam jumlah agak sedikit berlebih.
Juga ketika mendengar Ron mengeluh soal makanannya. selain itu, saya juga berfikir, Harry menawarkan makanan tersebut juga sebagai tanda bahwa ia ingin berteman dengan Ron. ^^
Yeh, itu mah sang penerima aja yang sensi.
Dan dalam hidup emang ada yang gitu, saat kita niatnya berbuat baik, eh malah disalah pahami.
…tapi katanya, kalo kita bisa mengatasi kesalahpahaman itu, orang tersebut bisa jadi sangat baik sama kita. ^^
sepertinya, orang lain juga banyak yang mengalami ini…
Saya jadi ingat kata-kata: “kehilangan sesuatu emang menyakitkan, tapi lebih menyakitkan kehilangan sesuatu yang tidak pernah dimiliki”
BTW, itu biasa kok…
Semangat Sora!
kata kuncinya: “Mohonkan, Yakini, Sambutlah
Gambare ne! ^^
*Ketinggalan*
Eh, saya kok malah denger, landak itu punya sifat “seperti ingin menyerang” terhadap makhluk lain
[…] baiknya kalo saya link ke sini ^^ Tags: Ikhlas, Milis, […]
Itulah sebabnya, terkadang menjaga rahasia itu sulit sekali… ๐
Itu juga sebabnya kita semua disini jadi blogger.
ah, masalah seperti ini yang sering terjadi. ketika seseorang bercerita mengenai kebahagiaannya memperoleh nilai baik, pekerjaan yang bagus, gaji yang di atas rata-rata, pokoknya sesuatu yang bersifat bahagia, entah kenapa ada suara-suara sumbang yang tidak suka dengan hal baik tersebut.
bersikap menghindar dan tidak mau berbagi juga bukan jalan keluar. bisa-bisa dianggap asosial dan penyendiri. masalah seperti ini tampaknya tergantung dari pribadi masing-masing. mungkin memilih orang yang tepat untuk berbagi adalah hal yang perlu diperhatikan dalam kasus ini… ๐
ingin saling berinteraksi, tapi tanpa sengaja justru saling menyakiti. Bersikap hati-hati mungkin merupakan pilihan terbaik.
hmm, yah itulah yang menyebabkan kadang kita merasa teman dekat itu sebenarnya musuh kita yang paling berbahaya.
berbagi mungkin juga termasuk fitrah manusia yah ๐
tulisan yang bagus
….and I’m giving you a standing ovation, seriously ๐
hidup memang penuh pro dan kontra..
hal-hal diatas merupakan sebuah proses pengenalan diri kita terhadap orang-orang sekitar. Kita jadi tau siapa teman yang bisa menerima kita apa adanya maupun yang tidak.
Mungkin proses avoidance tidak perlu kita lakukan, jika kita bisa melonggarkan zona comfort kita kepada orang lain, melonggarkan batas toleransi kita terhadap hal-hal yang terjadi kepada kita akan terasa lebih baik ๐
salam kenal,anyway ๐
memiliki sahabat untuk berbagi memang anugrah. ๐ karena ya memang tidak mudah mencari teman atau sahabat untuk berbagi yang sesuai yang kita mau, yang tidak menghakimi, atau malah membuat kita justru menyesal telah berbagi cerita dengannya.
sungguh menyentak
panjang banget… capek mbacanya, hihihi
You know…Sora, that i feel when i close to him. Kadang2 bingung, soalnya tuh orang kalo diinjek aja kayaknya ga bakal teriak deh he…he..
I almost given up on him …hiks…hiks..:-(
Hai, salam kenal yah…
Berbagi adalah hal yg indah dlm persahabatan. Tp tentu saja kita tetap hrs melihat karakter org itu, baru memutuskan kita akan berbagi ‘apa’ dan dgn ‘cara bagaimana’ dgn org tsb. Karena karakter org berbeda, maka mungkin cara berbagi dgn si A dan si B akan berbeda.
Btw, I’m a Harry Potter fan, and I like the way you take one of the scenes into this thought about sharing. Nice post!
oooo… indaaah yaaaaaaaaaaaaaa
Nice post…
Dari postingan dan all comment saia seolah diajak untuk “turn back time”
Anyway thanks ya….
Tapi Ada yang ingin saia tanyakan…
Tentang seseorg yang masih ingin berbagi dengan org yang telah mengecewakannya bahkan yg mnrut saia “even the worst” org ini rela meminta maaf terlebih dahulu kpd org yg telah berbuat slah kpdnya.
Bagaimana pndapat anda sekalian (yg g punya blog juga boleh jawab ๐ ) thd org spt cerita saia tsb?
Karena dlm pikiran saia mungkin org ini hanya ingin membina hubungan baik yang telah terjalin…bagaimanapun itu caranya.Tapi bukankah dg cara begitu dia akan terlihat bodoh dan g berharga ???ataukah dia termasuk kategori org yg terlalu baik….???
*answer ya…please…*
Sora….koq comment ku g kliatan… ๐ฅ
need answer nih
@ Getzu
Sori, komennya masuk ke program anti-spam. Baru sempat saya loloskan. ^^
IMHO sih, kalau memang bukan dia yang salah, kenapa juga harus minta maaf? Itu cuma membuat si orang yang mengecewakannya jadi makin gak sadar bahwa dia itu menyebalkan. (o_0)”\
Tapi mungkin ada pertimbangan lain, sih. Saya sendiri nggak mau kalau harus mempertahankan hubungan sampai segitunya.
Tergantung sudut pandang. Kalau menurut saya pribadi sih… itu nggak sepenuhnya jelek, tapi ya terlalu naif. ๐
yah memang kasian sih dianya.
tapi itu menunjukan bhw dia masih punya jiwa sosial yg tinggi
ketimbang org yg lari dari kesalahannya. iya, ‘kan?
kalo saya sih, belum tentu bakal maafin org itu dgn gampang.
bukannya menjengkelkan diri sendiri?
menurut ilmu psikolog, lebih baik jgn menahan sakit dihati.
entar, HANCUR..HANCUR HATIKU{2x}
ps : itu kata Olga
speechless…
[…] manggut-manggut. Saya sempat berpikir bahwa penjelasan om saya di atas itu ada hubungannya dengan hasrat manusia untuk berbagi. Sebab, ya, memang manusia itu makhluk sosial. Meskipun begitu cerita di atas kemudian membuat saya […]