Ada hal menarik yang diucapkan oleh seorang dosen saya, di hari pertama beliau mengajar kuliah semester ini. Kejadiannya berlangsung kemarin pagi; saat itu beliau sedang menjelaskan textbook yang beliau gunakan.
Tentunya penjelasan ini dilakukan sambil menunjukkan buku yang dimaksud ke seluruh kelas, tapi yang menarik bukan itu.
“Kalau kalian perhatikan, di halaman depan ini terdapat penjelasan: dilarang memfotokopi, dilarang memperbanyak, dilarang… dilarang… dan seterusnya. Sebenarnya ini wajar. Tetapi, tidak sepenuhnya reasonable.
“Kalau saya paksakan semua mahasiswa harus beli textbook asli, maka cuma ada satu-dua mahasiswa yang punya. Ingin beli pun belum tentu bisa, sebab yang jual cuma sedikit — itu pun belum tentu harganya terjangkau untuk kantong semua orang.”
Tadinya saya pikir beliau akan melanjutkan dengan ide bahwa knowledge needs to be free — tetapi, saya salah kira.
“Ya, saya bukannya ingin mengajar kalian agar mengabaikan hak orang lain. Mengarang textbook itu susah. Tapi menyuruh kalian tidak memfotokopi, rasanya kok mustahil. ๐
“Jadi saran saya, kalian carilah fotokopian yang sudah dibuat oleh orang lain. Jangan menambah dosa.”
*gubraks* xD
“Menyuruh Anda fotokopi itu kan dosa. Tapi kalau saya suruh Anda cari fotokopian yang sudah ada… yah, dosanya kira-kira 1/x lah.”
*seisi kelas tertawa*
“Kalau terpaksa harus fotokopi juga? Ya, sudah. Apa boleh buat. Anda memang tak punya pilihan lain.” (u_u)
Akhirnya, setelah panjang lebar dengan poin-poin di atas, beliau menutup penjelasan dengan kalimat berikut.
“Intinya, saya tak keberatan kalau Anda mau fotokopi. Hanya saja, ingatlah ini di masa depan kelak:
“Jika nanti Anda sudah bekerja dan berpenghasilan, dan kemudian teringat betapa Anda pernah terbantu selama kuliah oleh buku ini, usahakanlah untuk membalas budi jika mampu. Anda toh bisa lulus kuliah karena bantuan para penulis itu juga.
“Mayoritas Anda akan jadi insinyur. Gaji Anda mungkin akan di atas lima juta rupiah per bulan. Hargailah fondasi yang memungkinkan Anda sampai ke posisi itu.”
Di titik ini, saya duduk diam, sambil berpikir dan bertopang dagu.
Begitu susahnyakah untuk menghargai hasil karya orang, sampai seorang dosen harus menekankan untuk mahasiswanya di depan kelas? ๐
Ini bukan soal keuntungan jangka panjang, sebagaimana yang pernah saya tulis dulu sekali di blog ini. Ini murni soal penghargaan. Bahwa kita (mungkin) telah terbantu oleh banyak hal yang tak kita dapat dengan semestinya — tetapi, untuk menunjukkan gratitude saja kita masih malas.
Ambil contoh buku kuliah, seperti yang disebutkan di atas. Atau software bajakan (Windows, Photoshop, dst.). Atau yang lebih ringan, seperti album musik Jepang yang jarang dijual di sini, tapi sangat kita sukai. Jika kita menikmati karya-karya tersebut, sudahkah kita merasa berterimakasih dan ingin menghargai pembuatnya?
Ini tak mesti berhubungan dengan uang. Anda bisa mengklaim bahwa barang aslinya mahal dan Anda tak sanggup membelinya, tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah apakah Anda punya niat untuk berterima kasih. Mulai dengan berandai-andai: “Jika saya punya uang, saya ingin melunasi ‘hutang’ tersebut” ; “jika saya sudah berpenghasilan” ; “jika saya mampu” ; dan lain sebagainya.
Kalau katanya orang Jepang,
“Kimochi dake de jyuubun.”
(= “Perasaan saja sudah cukup.”)
Intinya ada di perasaan grateful dan ingin menghargai itu sendiri. Apakah niat itu nantinya bisa dilaksanakan, itu urusan lain lagi. Sayangnya justru semangat inilah yang sering tak kita miliki.
***
Bicara soal itu, saya sendiri punya cita-cita bahwa saya, suatu hari nanti, akan mempunyai satu kopi legal Adobe Photoshop — karena program tersebut — versi bajakannya — telah banyak sekali membantu saya dalam menggambar dan bikin komik. Walaupun nyatanya saya (sampai sekarang) masih belum mampu melakukannya karena keterbatasan finansial, tetapi setidaknya saya berkeinginan melakukannya jika mampu.
Tentunya beda kasus jika saya men-download satu album musik dan kemudian tak menyukainya. Saya tak perlu membayar untuk itu — lha, wong saya nggak dapat apa-apa, kok? Paling-paling saya harus menghapusnya dari harddisk supaya tak dituduh menyimpan illegal copy; tapi itu cerita lain untuk saat ini.
…
…
Begitupun, tentunya semua itu pendapat pribadi. Saya tak bisa memastikan bahwa semua orang akan berpikir serupa. ๐
Hanya saja alangkah baiknya jika kita bisa mengembangkan kultur “menghargai” dan “berterima kasih” ini. Sebab membuat software, memproduksi album, dan menulis textbook itu bukan hal yang mudah — dibutuhkan waktu, energi, serta resource tersendiri untuk melakukannya. Kerja keras itulah yang harus kita cermati sebagai penikmat karya yang bersangkutan, bukannya sekadar menikmati saja dan lantas pergi.
—–
Terkait:
Saya terharu, nih, beneran. Saya sering banget fotokopi buku atau download musical sheet gratis. Mungkin memang harus berterimakasih, setidaknya dengan berpikir untuk berterimakasih. ๐ Kasusnya mirip tuh dengan saya zaman kuliah dulu. Saya dapat makalah yang gak boleh dikutip. Saya mati-matian nyari imel penulisnya untuk minta izin ngutip. Dia orang Belanda dan akhirnya malah ngasih artikel2 dia yang lain, yang relevan dengan apa yang saya mau tulis. Padahal cuma buat diskusi kelas, tapi gak enak aja ngutip tanpa izin.
@ gentole
Well, IMO sih, sebenarnya yang penting adalah “pengakuan” terhadap si pembuat karya. Sebab untuk membuat benda-benda itu sendiri belum tentu mudah… nah hal ini yang sering luput dari perhatian kita. ๐
Biasanya, kalau soal ini, yang terngiang di benak saya adalah semangat para punggawa open-source. Prinsip mereka tentang hak cipta ini unik sekali: mau kode programnya dibaca, diutak-atik, atau dijual lagi ke orang lain pun boleh saja. Asalkan nama pembuat dan lisensi aslinya selalu dicantumkan.
Kalau sudah begitu… rasanya kok keterlaluan sekali kalau bersikap nggak sopan. ^^;;
BTW, saya merasa bahwa penulis yang dikontak mas gentole seide dengan anak2 OSS itu. ๐
*berpikir untuk beli windows asli*
Kadang dilema juga.
Beberapa buku yang banyak diacu mahasiswa di universitas luar negeri susah didapat di Indonesia, setidaknya di Jogja. Di perpustakaan (sepertinya :D) ga ada. Dengan “terpaksa” (selain karena ga punya duit untuk beli dari toko online) aku dulu harus download dari sebuah situs file-sharing. Untungnya setelah di tempat yang baru aku bisa menemukan buku yang asli (walaupun cuma pinjam), dan, kalo nanti “gaji” turun (belum turun :(( ), aku berencana untuk beli buku aslinya dalam waktu dekat.
Terus….
Apa lagi ya…
*berpikir untuk beli windows asli* (ikut2 dana)
(om bill gates tetep butuh duit kan? :p)
*berpikir untuk beli cd onmyouza dan shonen knife asli*
*berpikir untuk beli cd sore*
*berpikir untuk beli…ga habis2 nih, mp3 + software bajakanku di rumah banyak banget, masa masih harus bayar royalti ke john lennon + george harrison yang dah mati itu*
OOT:
aku bingung, kok tulisan tanggalnya :
” di/pada Agustus 22, 2008 pada 8:28 pm”
di/pada??
@ dana
Suara dalam hati:
*dilempar sandal*
:::::
@ lambrtz
Lah… jangan dipikirin beli/ganti ruginya dulu. Kan “jika mampu”. Yang penting itu cita-citanya dulu!
Intinya sendiri bukan pada kemampuan atau keharusan untuk membeli barang legal, melainkan kemauan untuk memberikan penghargaan pada si pembuat. Seperti yang saya tulis di post,
…
Sesungguhnya, segala sesuatu diawali dari niat… (u_u)
*preaching mode*
*ditimpuk sandal lagi* xD
Ah, itu kesalahan penerjemahan di WordPress. Soalnya blog ini terdaftar di WP Indonesia, jadi menunya diterjemahkan secara otomatis. ^^;
Tulisan yang bagus. Mungkin, suatu hari nanti, sy juga harus maen Winning Eleven & Pro Evolution Soccer yang asli… ๐
*betapa saya berterima kasih pada gim2 bola bajakan anak bangsa itu…*
( & gara2 gak ada gim bajakannya, gak satupun teman2ku mo beli PS3. Walhasil, blum pernah maen… ๐ฆ )
Gim-gim bola itu, masbro, bukan benda biasa. Mereka adalah contoh karya paling agung yang pernah hadir di zaman kita. (u_u)
Inilah satu dari sedikit game yang bisa mengumpulkan anak-anak, dari berbagai suku dan ras di satu kampung, untuk bermain bersama di sebuah rental PS!! ๐
[/fanatik]
PS3 mah masih baru. Lha, saya nyentuh PS2 baru 2-3 kali sepanjang hidup? >_>*selama ini main WE/PES di komputer soalnya* ๐Saya selalu berusaha mencari barang yang asli, kecuali kalau terpaksa. Buku hukum impor kan suka mahalnya Naudzubillah min Dzalik. Di atas sejutaan rata-rata yang bagus. Kalau g minjem perpus yaa terpaksa deh, you know lah. Ntar kalau punya duit banyak sih mau koleksi buku aslinya.
^
Ha, dan itu sebabnya gw lebih suka ‘berburu’ di toko loak. Buku-buku first hand, apalagi textbook, mahalnya emang naudzubillah. =_=!
Walaupun buku2 teknik semahal-mahalnya gak ada yang sampe 1 jutaan sih; dan ada edisi khusus negara berkembang yang harganya di kisaran 100rb (terbitan Wiley & Sons). Tapi tetep aja toko loak FTW. ๐
*sambil baca Adventures in American Literature seharga 50 ribu rupiah*
*padahal edisi barunya di Amazon 70 dolar* XD
Waduh. Semasa saya kuliah dulu, seingat saya hanya ada satu dosen yang benar benar menulis buku yang bagus. dan tentu saja beliaupun menganjurkan mahasiswanya untuk memfotokopi hasil karya beliau.
Sementara dosen lainnya malahan sibuk menyuruh mahasiswanya menggandakan buku sebagian maupun seluruhnya tanpa rasa bersalah.
Kalau saya? Saya punya banyak koleksi mp3 dan video video bajakan di harddsik. Bahkan salah satu partisi harddisk saya sisanya sudah mencapai tahapan Megabytes.
Bagaimana saya menghargainya? Untuk musik Slank. Saya sudah niatkan untuk membeli seluruh CD aslinya. Dimana saya sendiri sudah punya koleksi kaset aslinya.
Kolesksi CD original terbentur dengan penjaga penjaga toko yang kebanyakan cuma tau band baru macam de masip atau kenjen ben.
Plus lagi masalah klasik dalam mencari kaset,CD,VCD, dan DVD original Slank di Kalimantan Selatan: KEHABISAN STOK.
^
Kalau yang ini saya juga mengalami. Album2 musik Jepang (yang saya suka) di sini hampir gak ada yang jual. ^^;
Di sisi lain, yang sering nongkrong di toko cuma artis semacam L’Arc~en~Ciel dan Utada Hikaru. Jadi pengalaman kita banyak miripnya juga. ๐
Oh, kalau gitu anda harus mengantarkan saya ke toko yang menjual buku2 loak tersebut minggu depan. ๐
^
……what? ๐
Elah, nyari toko loak itu nggak susah, kali. Gw aja selalu nemu di tiga kota yang berbeda. ๐
Cari sendiri, sono.
Kalau saya sudah “punya banyak uang” dan “cari uang sendiri” mungkin saya akan memilih yang original dari pada yang bajakan. Tapi, yah…
Kendalanya cuman karena barang-barang yang berlabel asli itu pada mahal.. ๐
eh? walaupun begitu, jika saya memang benar-benar suka, saya mungkin akan ‘menghemat’ demi bela-belain beli barang tersebut.. tapi terkadang,,,
apa yang diinginkan itu yang tersedia cuman yang bajakannya.. contohnya saja,, dvd anime atau lagu-lagu Jepang.
ya sudah, beli yang bajakannya saja!! ๐
walaupun begitu.. kalau soal buku, mungkin lebih mending beli yang asli. tapi kalau modul dari sekolah yang memang ga mungkin untuk dibeli di toko buku, memang harus fotokopi sih..
kita kan ga mengedarkan. jadi saya rasa itu bukan pembajakan..
@ syaorannatsume
Sebetulnya itu masalah klasik. Seperti yang dibilang dosen saya juga. Masalahnya, mau beli yang asli pun nggak ada yang jual… ๐
Masih mending kalo DVD anime, bisa nemu bajakan. Kalo album lagu? Mau denger SunSet Swish, Ellegarden, atau Maaya Sakamoto, harus donlot/ngopi dulu dari teman. ๐
* * *
Tapi bagaimanapun, yang terpenting itu adalah rasa “berterima kasih” karena sudah menikmati produk ybs (anime, lagu, buku, dsb). Soal apakah nantinya mampu membayar, itu urusan belakangan — yang penting kesediaannya dulu. ^^
Kembalikan saja pada yang nulis/bikin modul. Kalau memang boleh diperbanyak, harusnya nggak ada masalah.
Guru saya pas SMA modelnya seperti itu. Beliau bikin rangkuman materi, masternya dikasih ke ketua kelas. Mau difotokopi atau enggak, ya, terserah siswanya aja. ๐
Sementara kalau di kuliahan, dosen suka bikin diktat — nggak wajib beli — yang dijual di toko buku kampus. Nah, yang ini biasanya mahasiswa nggak berani fotokopi, soalnya niat aslinya memang jualan. ^^
Um lets see china country, starting with illegal art (copy-paste ;p) going to indenpendence in all sector.
^
1. They’re safe because the right holders didn’t want to sue them.
2. They aren’t going to be respected warmly in international trades, so it’s actually bad tradeoff.
3. Tangentially related: Their tendency to breach consensus ethics (also remember Tibet and stem cell research) may incite global denouncement, which in turn shall disadvantage its development as a country.
There you have it. ๐
Hmm… kurangnya apresiasi? Kayaknya hal ini yang sering muncul ya — setidaknya di sekitar saya. ^^; Sering teman-teman saya bilang, “Mumpung bisa gratis, ngapain beli. Salahnya ngga nyegah pembajak.”
Kalau pikiran begitu mendominasi, bisa berapa perusahaan yang rugi ya. Padahal sudah sama-sama pakai, apresiasi sedikit aja kok nggak ada. ๐
^
Kalau berpikirnya untuk keuntungan jangka panjang, memang lebih baik jika kita membayar si pembuat/membeli barang original-nya. Kasarnya, dengan membeli itu kita meng-encourage si kreator supaya mau berkarir secara profesional. ๐
Orang seperti Masashi Kishimoto pun, IMO, nggak akan mau melanjutkan Naruto kalau nggak ada yang bayar. Beliau sudah meletakkan karier profesional di situ; kalau kita mau beliau jalan terus ya harus support. ^^
Well… di mana-mana selalu ada orang kayak begitu, sih. ^^;;
*di kampus saya aja ada kok*BTW, fallacy tuh. ๐
Wah masalah saya juga ini. Huh susahnya sekolah kalau bukunya aja bisa sampai ratusan ribu sepotong. Dan yah seperti biasa fenomena fotokopi inilah yang jadi harapan. Dulu waktu masih kuliah bisa dibilang tiada hari tanpa fotokopi, untunglah sekarang udah bisa beli itu makhluk yang namanya textbook.
Yah jujurnya saya tidak tahu apakah saya punya rasa berterimakasih. Sepertinya rasa itu tenggelam oleh rasa susahnya jadi mahasiswa. ๐ฆ
*Jadi merasa bersalah*
Ya, karena itu kalau dalam hal komik, selain baca mangascan, saya beli versi terjemahan aslinya juga.
He? Saya kah? o_oa
kalau sebagai ucapan terima kasih dengan cara buku / fotocopian tersebut diberikan kepada yang membutuhkan gimana? khan membantu orang lain… ๐
@ secondprince
Saya sangat memahami perasaan tersebut, masbro. Percayalah. (u_u)
[/senasibSepenanggungan] ๐
:::::
@ Xaliber von Reginhild
Euh, maksud saya omongan temennya. ^^;;
There. ๐
:::::
@ cK
Yang perlu diterimakasihin itu yang bikin, oi. Bukannya orang lain…
Menolong orang yang membutuhkan itu memang baik, tapi bukan itu yang lagi dibahas sekarang ini. ๐
Ada, saya cari buku “Fundamental of Digital Logic with VHDL Design” buat kuliah sistem digital harganya US$126… ๐ฏ
Doh… Nggak ada International Editionnya pulak…
Gimana nggak ngiler buat fotokopi coba? Kopiannya cuman seratus ribuan…
Oh, ya… saya juga punya keinginan membeli semua album band yang saya gemari saat ini jikalau saya punya uang nanti..
Tapi entah, masih ada yang jualan apa tidak..
@ Tria
Egubraks… ๐ฏ
Oke, ternyata ada. Dengan ini saya ralat. ^^;;;
Benar juga. Kalau begitu sih memang nggak ada jalan lain, IMO. (o_0)”\
…
…
Tapi bagaimanapun, harga itu tergolong criminally expensive. IMHO. Saya pribadi men-support supaya pengarang dihargai; tapi sebisa mungkin knowledge needs to be free, lah. Seenggaknya jangan terlalu mahal… ๐
*sambil berdoa, mudah-mudahan di masa depan ada proyek perpustakaan textbook/e-book yang murah-meriah* m_(u_u)
*kayak punyanya Tim O’Reilly, gitu, tapi kalo bisa subscription-nya yang bersahabat* ๐
:::::
@ Nazieb
Saya pun berencana begitu…
…dan berpikiran kayak begitu juga. ๐
*5-10 tahun lagi ada yang jual album band favorit saya nggak ya* ^^;;
Ah, akhirnya…hihihi
Hidup fotokopi!
bener kata gentole … saya menghargai karya orang laen, tapi bukan berarti mereka mematok harga seenaknya sendiri tanpa memikirkan orang yang membutuhkan n daya beli kita,
No Bajakan … Turunkan harganya sama dengan harga bajakan … jadi ngak ada bajakan lagi ๐
Ah, pembajakan. Selain masalah ekonomi, ini juga masalah mental. Benar kata sora, apresiasi kita terhadap karya cipta seseorang itu kurang. Coba lihat kita sendiri atau teman-teman kita: Semakin banyak game/komik/buku/film bajakan yang dipunyai, pasti semakin sedikit yang benar-benar dimainkan/baca/tonton. Such a cheapass bastard, aren’t we?
Kalau mentalnya sudah begitu (seperti kata seorang penggemar naruto di atas yang akan saya kutip lagi di bawah), mau dimurahkan serendah mungkinpun rasanya kita bakal tetap memilih bajakan meski cuma lebih murah beberapa belas ribu. Bahkan dikasih open-source yang gratispun kita tetap menolak memakainya. Akhirnya, kita sebagai penikmat mendapat ilusi bahwa ilmu dan hiburan berkualitas yang kita dapat dengan murah-meriah akan membuat negara kita, somehow, lebih berkembang, padahal itu pada akhirnya hanya membuat kita semakin sulit berkembang jadi negara produsen karya-karya bermutu di bidang yang terkait.
Saya tidak menampik bahwa seringkali harga produk asli yang dipasarkan di Indonesia masih, dalam kata kata sora, criminally expensive. Saya juga yakin harga-harga produk asli masih bisa ditekan dengan subsidi, efisiensi, dan model bisnis yang lebih baik (untuk buku teks, misalnya dengan penerjemahan untuk mencegah dumping, atau kertasnya cukup hitam-putih dan gak perlu HVS). Tapi ya itu tadi, selama masalah mental itu masih ada, pembajakan akan tetap marak meski harga produk asli sudah lebih murah (tentu tak akan mungkin pernah bisa semurah produk bajakan, for obvious reason).
Ngeliat perkembangan negara segitu gede jangan diliat dari gedung-gedung mewah di Shanghai atau Beijing dong ^^; Dari beberapa sumber yang saya baca/tonton, para petani Cina di pelosok-pelosok kampung (yang lumayan mayoritas) sebenernya juga cukup menderita, setali tiga uang dengan para buruh kasar di pabrik-pabriknya.
“Mematok harga seenaknya sendiri”? Anda tahu kenapa komik/anime bajakan bisa begitu murah? Karena tidak ada sepeserpun uang yang anda bayarkan yang masuk ke kantong si pengarang komik, si animator, dan orang-orang lainnya yang sudah bekerja keras untuk membuat ide-ide itu jadi sesuatu yang bisa anda baca/tonton.
“Tanpa memikirkan orang yang membutuhkan”? For God’s sake, itu cuma anime/komik ๐ . Anda nggak bakal mati kalo nggak baca/nonton. Lagipula, apakah anda memikirkan Masashi Kishimoto? Para editor Shueisha dan Shonen Jump? Para animator di Studio Pierrot? Selama anda masih membeli bajakan (sementara yang asli dijual luas dalam harga yang masuk akal…dan masih ada pula rental), anda cuma memikirkan diri anda sendiri.
@ gentole
Hush. Begini-begini, saya ini simpatisan open-source dan free-culture movement, lho.
:::::
@ buy naruto
Sebenarnya yang beliau quote itu omongan saya. Tapi, yah, sudahlah. ๐
:::::
@ Catshade
Masbro… kalau yang saya tangkap, sebenarnya di sini ada dua masalah yang terkait tapi tak serupa. Pertama, harga/daya beli, dan kedua niat untuk men-support si pengarang/pembuat.
IMHO, yang dimaksud mas/mbak “buy naruto” di atas lebih penekanan ke poin pertama (ekonomi). Sementara untuk poin kedua beliau sudah taken for granted. Jadi yang dipermasalahkan adalah: bagaimana kalau kreator — secara umum, bukan cuma manga/anime — mental cari untungnya terlalu besar.
Di satu sisi consumer mungkin berupaya menghargai si pembuat, tetapi bagaimana jika pembuat mengeksploitasi niat baik (dan kebutuhan) consumer? Misal dengan main harga software (= karena OS tertentu sudah jadi platform nyaris-universal, sehingga ketergantungan tinggi), textbook kuliah, dan sebagainya.
Nah, menyeimbangkan dua hal ini yang menarik. Mungkin ada semacam equilibrium di sini. ๐
Setelah baca artikel diatas saya menjadi merasa banyak punya dosa kepada yang punya hak cipta…:( karena selama ini saya banyak mengunakan yang bajakan…
maafkan daku yah sang pembuat…karena aku adalah manusia biasa yang penuh dgn kekurangan finansial..dan kelak suatu hari nanti aku akan berusaha untuk membalasnya
nice writing ๐
*masi punya setumpuk dvd bajakan di rumah*
wah…sora…
udah lama nggak main ke rumahmu…huhu ๐ฅ
eh, buku,,,saya selalu usahakan membeli sendiri sih kalau harganya dibawah 100 ribu soalnya budget pendidikan dikeluarga saya memang selalu ada…dengan konsekuensi mengirit di hal lain contoh beli baju 1 th sekali…hahah#X
tergantung niat setuju….
tapi buku asing harganya mahal dan emang jarang so mau gimana??
nah, kenapa ga kita (penulis lokal) aja yg buat buku, terus dijual murah seperti yg terjadi di India…
jadi semua teratasi..penulis senang, pembaca ga ‘dosa’
tapi..KEnapa BANYAK ORang pelit beli buku yg cuma 50ribuan sih tapi giliran beli baju dan sepatu atau jajan pizza wah…kantongnya ga pernah jebol..heran daku??
loh..sora blm lulus juga??..masih ada kuliah pula..??
he he skripsi..skripsi…
du dudu..dudu
*ngeloyor pergi sambil bilang..*
@ Agama | rani
Yup, yup. ^^
@ lily
Baca post [yang ini] dulu, sana. ๐
udah baca kok…oke-oke risiko jurusan TI atau semacamnya memang tua dikampus…
well, saya juga masih kuliah kok.
belajar yang baik ya nak sora… ๐
[…] kemudahan dan kecepatan akses informasi yang mereka miliki, masih bisa memiliki sesuatu yang sempat disentil Sora, yaitu rasa menghargai? Kalau ada bagaimana selayaknya […]
Ma malah biasanya gitu, kalo masih bisa dibeli, ya dibeli dulu, apalagi kalo bisa dipake oleh adek adek Ma juga,,
Malahan sekarang yang jadi sering maen fotokopi itu di kuliahan sekarang ini, padahal di kampus orangnya udah pada kerja, sebagian malah direktur RS, dikoordinir lagi fotokopi-nya, katanya sih gara gara bukunya susah dicari, udah ga terbit lagi, dan sayang kalo duitnya dipake buat beli buku,,
Kalo kata temen Ma, Iqbal, yang kuliah S2 dan fotokopi dan beli itu biasanya beda di umur dan pengalaman kerjanya, kalo dia udah kerasa susahnya cari duit, bakal lebih milih fotokopi dan ambil bagian bagian yang dia perlu aja, daripada harus beli buku semuanya, yang ntar ga semuanya di baca,,
Begitulah,,
*baca komennya Lily*
Baca komentarnya Risma, mungkin ini terkait persepsi masyarakat yang menganggap punya buku yang bagus dan berkualitas itu masih belum jadi prioritas… dibaca semuanya saja belum tentu (minat baca masih rendah), jadi buat apa? Percuma.
Sebaliknya, biarpun ada yang jual ‘daging bajakan’ dengan harga lebih murah, gak ada orang yang mau membelinya begitu mereka tahu asal-muasal daging itu. ๐
Senjata Makan Tuan…
To pirate or not to pirate, that is the question.
~ William Shakespeare in Hamlet lambrtz in Ham-let *nyam*
Beberapa bulan terakhir ini saya menjadi rada peduli dengan lisensi file gara-gara terinspirasi dari [teman saya] yang konon kabarnya menghapus …
Wah, jadi kepikiran nih ๐
Kalo buku gak disedia-in, kasihan mahasiswa, susah cari buku-buku kuliah-nya.
Merenung dulu deh ya …
waa…
saya juga lagi pusing mikirin soal ini…karya, hak cipta, pembajakan dsb…
dan saya senang menemukan tulisan ini…inspiring, hehe. thx!
[…] video-video tersebut (ilegal gakpapa kan? –> biasanya masalah legalitas saya mengacu ke post ini. Gimana lagi, keadaan tidak memungkinkan) dan juga slide-slide kuliahnya. Kalau Anda mahasiswa yang […]
[…] buat PES 2010 sendiri dijadwalkan keluar Oktober atau November nanti. Masih lama kan? Belum lagi nunggu versi bajakannya sampai di kota kecil ini. Belum lagi aspirasi tiap penggemar klub. Misalnya penggemar Real Madrid […]
[…] Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah pernah baca uraian saya terkait masalah buku teks di atas. Ada banyak hal yang jadi concern saya tiap kali membahas soal […]