-
Pre-script note:
Halaman ini merupakan sub-bagian dari
Sedikit Tentang Mekanika Kuantum dan Filosofinya (4b/5)
Informasi terkait topik ini:
Niels Bohr, fisikawan besar asal Denmark, adalah pendiri Mazhab Interpretasi Kopenhagen bersama dengan Werner Heisenberg. Dikenal sebagai sesepuh mekanika kuantum, ia meraih Nobel Fisika tahun 1922 untuk penemuannya di bidang fisika atom (diantaranya Model Atom Bohr).
Niels Bohr (1885-1962)
Anda mungkin masih ingat pembahasan yang lalu tentang Tafsiran Kopenhagen Ortodoks, di mana saya menyinggung elemen positivis logis yang kental di dalamnya. Ini bukan suatu kebetulan — Bohr sendiri adalah seorang positivis. Ia dikenal sebagai fisikawan yang mengutamakan pembuktian secara empiris di atas idealisme a priori, sebagaimana dinyatakan oleh kutipannya sendiri berikut ini.
Physics is to be regarded not so much as the study of something a priori given, but rather as the development of methods of ordering and surveying human experience.
~ Niels Bohr[1]
Untuk menyelidiki awal mula positivisme Bohr, ada baiknya jika kita mundur ke awal dekade 1930-an. Sekitar masa ini para ilmuwan di Kopenhagen sedang giat menjalin hubungan dengan para filsuf Lingkaran Wina — sebuah kelompok filsafat asal Austria.[2]
Pembaca mungkin bertanya, apa hubungannya ilmu fisika dengan filsafat. Sebenarnya penjelasannya sederhana: Lingkar Wina didirikan oleh Moritz Schlick, yang merupakan murid dari… Max Planck. Yup, penemu teori kuantum yang legendaris itu. 😀
Hanya saja, walaupun mempunyai guru legendaris, Schlick lebih suka berkarier sebagai filsuf. Pendidikannya di bidang fisika menghasilkan sintesis: filsafat sejati haruslah bisa diturunkan dari (atau mengikuti kaidah) yang digariskan ilmu alam. Inilah sebabnya Lingkar Wina kemudian mengadopsi pendekatan empiris-logis dalam diskusi mereka.
Kembali ke Niels Bohr…
Di tahun 1936, kota Kopenhagen menjadi tuan rumah konferensi Lingkaran Wina. Bohr, sebagai wakil dari kalangan ilmuwan, turut diundang. Inilah awal mula persinggungan Bohr dengan filsafat mereka. Dari sini ia mulai mendapatkan pengaruh positivisme (yang kemudian menjadi ciri khasnya). Adapun sebagai tambahan, ia kemudian rajin berkorespondensi dengan filsuf Otto von Neurath — salah satu anggota prominen Lingkaran Wina — setelah berlangsungnya konferensi tersebut.[2]
Uniknya, walaupun secara filsafat ia dipengaruhi oleh Lingkaran Wina, Bohr tidak benar-benar cocok dengan mereka. Lingkaran Wina berhaluan positivis-logis (i.e. “kebenaran diraih berdasar pengalaman DAN analisis logis”). Di sisi lain, Bohr lebih suka pendekatan murni positivis. Inilah pendekatan yang — bisa dibilang — bersifat ultra-pragmatis.
Nothing exists until it is measured.
~ Niels Bohr[3]
Sebagaimana telah saya singgung di atas, Bohr tidak terlalu menyukai pandangan keidean. Sebaliknya, ia menomorsatukan “pengalaman” (pengamatan dalam konteks fisika) di atas segalanya. Pandangan ini terkesan naif. Meskipun demikian, Bohr punya justifikasinya sendiri.
Menurut Bohr, kebenaran sejati hanya bisa diperoleh lewat pengalaman/percobaan yang bersifat empiris. Dalam konteks fisika, ini berarti satu hal: gejala alam yang penting hanyalah gejala alam yang bisa diukur. Kebenaran alam hanya bisa didapat lewat pengukuran ilmiah.
Apakah superposisi terjadi? Di mana elektron berada sebelum pengukuran? Menurut Bohr, pertanyaan tersebut cenderung tidak relevan.
Fisika adalah ilmu alam. Bicara fisika, berarti bicara ilmu alam — dan bicara ilmu alam, berarti bicara pengamatan empiris. Tanpa pengamatan empiris, ilmu alam tak bisa berdiri. Demikian menurut Bohr.
Maka, dapatlah kita katakan Bohr sebagai sosok positivis tanpa kompromi. Sebagai fisikawan yang berorientasi bukti, ia lebih menyukai pendekatan simplistik dan no-nonsense.
Pengaruh di Tafsiran Kopenhagen
Di bagian sebelumnya kita melihat bahwa Bohr memiliki kecenderungan kuat pada positivisme. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika semangat yang sama menurun pada mazhab interpretasi QM yang dibidaninya: Tafsiran Kopenhagen Ortodoks.
Partikel yang belum diukur tak dapat dinyatakan propertinya, maka ia dapat disamakan dengan ide abstrak. KFG menganggap probabilitas yang tadinya ada menghilang begitu saja. Pada dasarnya, semua itu bersumber dari semangat positivisme yang dijelaskan di atas.
Pun begitu, tidak semua fisikawan mazhab Kopenhagen sepakat dengan positivisme Bohr. Gambaran yang lebih netral, umpamanya diberikan oleh fisikawan Carl Friedrich von Weizsäcker.
What is observed certainly exists; about what is not observed we are still free to make suitable assumptions. We use that freedom to avoid paradoxes.
~ Carl F. von Weizsäcker[4]
Pernyataan ini lebih fleksibel dan terbuka dibandingkan positivisme radikal Bohr. Meskipun demikian, ia masih mewarisi semangat pendahulunya: jalan untuk memastikan eksistensi benda adalah lewat pengalaman empiris.
———
[1] Halaman Wikiquote Niels Bohr — sebagaimana dikutip dalam “The Unity of Human Knowledge” (esai, Oktober 1960)
[2] Faye, Jan. Niels Bohr and Vienna Circle (format .doc)
[3] Niels Henrik David Bohr (biografi online)
[4] Cramer, John. View on Copenhagen Interpretation
[5] Student Years, 1920 – 1927: The Sad Story of Heisenberg’s Doctorate; bagian dari situs biografi Werner Heisenberg (David C. Cassidy & American Institute of Physics)
[6] Halaman Wikiquote Werner Heisenberg — sebagaimana dikutip dalam The New York Times Book Review (8 Maret 1992)
[7] Weiss, Michael. Anschaulichkeit, Abscheulichkeit
[8] Heisenberg – Quantum Mechanics, 1925-1927: The Uncertainty Principle; bagian dari situs biografi Werner Heisenberg (David C. Cassidy & American Institute of Physics)
[9] Heisenberg, Werner. Physics and Philosophy (1958)
[10] Max Born, sebagaimana dikutip dalam Fundamental Principles of Relativity (physics.about.com)
[11] Wospakrik, Hans J. 1987. “Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum Einstein”. Bandung: Penerbit ITB (halaman 82)
[12] ibid.
[13] Albert Einstein, Philosophy of Science (Stanford Encyclopedia of Philosophy Archive)
[14] Unreasonable Effectiveness
[15] Albert Einstein – A Series of Selected Quotations (Mountain Man Graphics)
[16] New Scientist, 14 Juli 2001: Taming the Multiverse. Arsip dimuat dengan izin.
[17] ibid.
[18] Deutsch, David. Taking Science Seriously
[19] Philosophy Now: Filiz peach Interviews David Deutsch, arsip wawancara di website David Deutsch
[20] Halaman Wikiquote David Deutsch, sebagaimana dimuat dalam buku Fabric of Reality
[21] ibid.
[22] Shikhovtsev, Eugene. Biographical Sketch of Hugh Everett, III
Wah, dia positivis tulen toh? Ini sangat tidak Kantian. Dan ini bukti bahwa sains memang sudah jauh melampaui pemikir-pemikir pencerahan model Descartes atau Kant? Maksud saya tidak ada ruang buat sintesa ide dan pengalaman?
Tapi saya benar-benar bisa memaklumi mengapa Bohr berpendapat demikian. Wajar.
^
Kalau melihat berbagai kutipannya, memang terkesan bahwa Bohr itu positivis tulen. Jika bikin teori pun, dia sangat terpaku pada Occam’s Razor… benar-benar cuma “secukupnya” dan “sejadinya” saja. ^^;
Bukannya tak ada sintesa ide, sih. Sintesa ada saja — tapi bentuknya sangat sederhana. Benar-benar beda kelas kalau dibandingkan Relativitas Einstein atau MWI (yang bikin kepala pendengar muter2 saking pusingnya). 😆