-
Pre-script note:
Halaman ini merupakan sub-bagian dari
Sedikit Tentang Mekanika Kuantum dan Filosofinya (4b/5)
Informasi terkait topik ini:
Albert Einstein, dilahirkan pada 14 Maret 1879, bisa dibilang sebagai fisikawan terbesar abad ke-20. Pada usia 26 tahun, ia mempublikasikan empat karya besar yang hingga kini diakui sebagai masterpiece dunia fisika: (1) Teori Relativitas Khusus, (2) Kesetaraan Massa-Energi (E = mc2), (3) Efek Fotolistrik, dan (4) Analisis Gerak Brown. Ketenarannya sebagai jenius dimahkotai oleh penemuan Teori Relativitas Umum di tahun 1915, teori yang — oleh beberapa kalangan — dianggap sebagai “pencapaian kreatif terbesar manusia sepanjang sejarah”.[10]
Albert Einstein (1879-1955)
Sebelum menilik filsafat Einstein, baiklah jika kita meninjau bagaimana sejarah hidupnya lebih dulu.
Tak berbeda dengan Werner Heisenberg, Einstein tumbuh sebagai fisikawan dengan latar belakang matematika yang kuat. Sejak usia belia ia sudah mempelajari prinsip dasar aljabar. Adalah pamannya, Jakob Einstein, yang memperkenalkannya pada dunia hitung-menghitung.
Didikan matematika sejak belia ini membuat Einstein sangat terpaku, sekaligus terampil, dalam menyelesaikan persamaan aljabar. Ini menuju pada rasa suka yang berlebihan: pada akhirnya, kemampuannya di bidang non-eksakta menjadi detrimental. Jika Heisenberg nyaris gagal mempertahankan disertasi gara-gara interferometer, maka Einstein lain lagi: ia hampir ditolak masuk Politeknik Zurich karena nilai bahasa dan biologi yang rendah.[11]
Untungnya sang rektor berbaik hati. Mengingat nilai fisika dan matematika yang tinggi, Einstein diizinkan masuk dengan catatan. Jika ia bersedia mengulang setahun sekolah menengah di Swiss, maka ia akan diterima di Zurich tahun ajaran berikutnya.[12]
ed. note
Saya membayangkan, jika Dewi Fortuna benar ada, mungkin tipe favoritnya adalah pria jenius. Heisenberg dan Einstein kelihatannya pernah ketiban cinta. 😛
Kesukaan Einstein terhadap matematika mengantarkannya pada sudut pandang yang mirip dengan Heisenberg. Keduanya sama-sama percaya bahwa alam semesta dapat, dan seharusnya bisa, dipetakan menggunakan ilmu matematika. Meskipun demikian terdapat perbedaan mendasar.
Heisenberg memandang kenyataan fisika sebagai sekumpulan ide (“in favor of Plato”). Sebagaimana telah kita bahas, ini membuatnya jadi seorang idealis. Einstein berbeda: ia menganggap matematika semata sebagai sarana menjelaskan konsep dan hubungan. Ini membuatnya terkesan condong pada instrumentalisme, sebagaimana akan saya kutipkan berikut ini.
Our experience hitherto justifies us in trusting that nature is the realization of the simplest that is mathematically conceivable. I am convinced that purely mathematical construction enables us to find those concepts and those lawlike connections between them that provide the key to the understanding of natural phenomena.
~ Albert Einstein, 1933[13]
Tapi, apakah matematika saja cukup untuk melambangkan kenyataan? Menurut Einstein, tidak. Di sinilah ia berbeda pendapat dengan Heisenberg.
How can it be that mathematics, being after all a product of human thought which is independent of experience, is so admirably appropriate to the objects of reality? Is human reason, then, without experience, merely by taking thought, able to fathom the properties of real things?
In my opinion the answer to this question is briefly this: As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain; and as far as they are certain, they do not refer to reality.
~ Albert Einstein, 1921[14]
Dalam kutipan di atas, Einstein menarik garis tegas antara formalisme matematika dan kenyataan yang sebenarnya. Matematika murni bisa membantu menjelaskan kenyataan. Tetapi, untuk menjelaskan kenyataan yang sebenarnya, tidak. Di sinilah ia mengkritik idealisme a la Heisenberg.
Bagaimana bisa konsepsi manusia, yang independen dari pengalaman sehari-hari, diandalkan untuk menjelaskan kenyataan obyektif? Einstein mengindikasikan: harus ada suatu ‘perkenalan’ dengan dunia. Bagaimana berkenalan dengan dunia? Tak lain melalui “pengalaman” (experience). Hanya dengan bantuan pengalaman, matematika bisa berguna dalam menjelaskan kenyataan (dalam konteks ini: hukum fisika).
Experience naturally remains the sole criterion of the usefulness of a mathematical construction for physics. But the actual creative principle lies in mathematics. Thus, in a certain sense, I take it to be true that pure thought can grasp the real, as the ancients had dreamed.
~ Albert Einstein, 1933[13]
Di sini kita melihat bahwa Einstein tidak tergiring mendewakan matematika sebagai kebenaran mutlak. Matematika berperan sebagai daya kreatif. Tetapi, bisakah daya kreatif itu tepat dalam menggambarkan “dunia”? Belum tentu.
Menurut Einstein, di sini kita harus memperhitungkan “pengalaman” (baca: hasil percobaan dalam fisika). Hasil percobaan akan memberitahu apakah model matematika kita sudah tepat. Jika sudah tepat, maka bisa dipertahankan — tetapi, jika terbukti salah, maka matematika tersebut harus diganti.
ed. note
Ibaratnya, di era klasik model matematika Newton terasa benar. Meskipun demikian, percobaan di masa kini membuktikan gejala yang memfalsifikasinya (e.g. pembelokan cahaya oleh gravitasi).
“Pengalaman” bahwa cahaya berbelok oleh gravitasi menunjukkan derajat kebenaran matematika Newton, sebagaimana dijelaskan oleh Einstein di atas. Berangkat dari sini kita membutuhkan matematika baru yang lebih canggih — yakni Relativitas Umum.
Einstein menolak QM: Falsafah Realisme
Sebagai ilmuwan, Einstein memiliki semangat yang kuat untuk berpijak pada realitas. Dalam berbagai karyanya, semangat ini mewujud pada keterlibatan prinsip geometri (ia tidak menyukai formalisme abstrak model mekanika matriks). Ia adalah fisikawan modern berhaluan realis, sebagaimana Erwin Schrödinger.
Tak pelak, sebagai seorang realis, Einstein merasa pendekatan keidean yang subyektif tidak cocok untuk memahami alam. Ia percaya alam semesta bersifat terpisah dan tidak-tergantung pengamat.[13]
Perhatikan bedanya dengan idealisme subyektif Heisenberg! 😀
*) Hal ini tidak bertentangan dengan Teori Relativitas. Untuk penjelasan lebih lanjut, silakan baca: komentar saya yang ini.
Kita bisa melihat bahwa Einstein dan Heisenberg bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya sama-sama diberkahi dengan kemampuan matematika cemerlang dan intuisi yang kuat. Meskipun demikian, haluan filsafat mereka bertolak belakang: Heisenberg adalah seorang idealis-subyektif, sementara Einstein adalah realis-obyektif.
I think that a particle must have a separate reality independent of the measurements. That is an electron has spin, location and so forth even when it is not being measured. I like to think that the moon is there even if I am not looking at it.”
~ Albert Einstein[15]
Pandangan ini kemudian membuatnya berselisih paham dengan Bohr dan Heisenberg mengenai QM, terutama Tafsiran Kopenhagen. Terhadap QM sendiri Einstein mempunyai keberatan sebagai berikut:
- Sifat probabilistik QM menunjukkan bahwa teori ini belum sempurna
- Asas Ketidakpastian Heisenberg tidak berlaku mutlak, melainkan terdapat satu-dua pengecualian yang bisa melanggarnya
- Positivisme Bohr cenderung tidak tepat, karena partikel kuantum sudah ada sebelum diukur
- Aksi nonlokal tidak benar-benar terjadi tanpa perantara
Menurut Einstein, alam semesta harusnya bersifat deterministik. Ia menduga bahwa terdapat variabel kuantum X yang berperan di latar belakang.
Baca juga: Bohr-Einstein Debates
Bohr dan Heisenberg percaya bahwa, sebelum diukur, partikel dapat dianggap abstrak. Meskipun demikian Einstein percaya bahwa sistem kuantum bersifat obyektif/tak tergantung pengamat.
Melainkan melalui variabel tersembunyi yang bersifat deterministik (c.f. butir 1)
Inilah keberatan Einstein terhadap mekanika kuantum. Klaim ini sangat dipengaruhi oleh filsafat realisme.
Sayangnya, walaupun sangat kokoh secara intuisi, hasil percobaan tidak mendukung kebenarannya. Sebagaimana akan saya jelaskan berikut ini.
Pertama: sejauh ini, tidak ditemukan bukti/petunjuk adanya variabel tersembunyi di latar belakang. Dengan demikian, kedudukan klaim #1 dan #4 menjadi lemah (walaupun masih terbuka kemungkinan benar).
Kedua: klaim Einstein mengenai keruntuhan AKH sudah ditanggapi dengan memuaskan oleh Bohr (lihat: Bohr-Einstein Debates). Dengan demikian, klaim #2 bahwa AKH tidak universal telah tumbang.
Ketiga: klaim #3 belum bisa diverifikasi maupun difalsifikasi. Dengan demikian, kedudukannya hingga saat ini adalah netral.
Di sini kita lihat bahwa QM tidak mendukung filsafat realisme Einstein. Justru sebaliknya — alam tampak memfavoritkan pandangan Bohr-Heisenberg yang lebih ‘antik’. Apakah ini pertanda bahwa alam semesta aslinya subyektif?
Jangan-jangan, sebenarnya kita bukan sekadar ‘penonton’ di alam semesta ini. Tapi, siapa yang tahu?
Sebagaimana sudah kita lihat bersama di atas, haluan filsafat Einstein adalah realisme (atau lebih tepatnya, realisme ilmiah). Meskipun demikian, terdapat pula sentuhan lain dalam pemikirannya.
Di satu sisi, ia memandang matematika sebagai suatu daya kreatif, kemampuan untuk menginduksi kenyataan. Di sisi lain, ia menimbang bahwa sekadar matematika tidak cukup — agar bisa mendapat gambaran dunia dengan sebenarnya, seseorang harus menimba pengalaman (atau “percobaan” di bidang fisika).
Pengalaman, “hasil percobaan fisika” inilah yang kemudian dirangkai dalam konsep bernama matematika. Adapun pengalaman ini juga berfungsi sebagai petunjuk: sudahkah model matematika ini benar? Lagi-lagi, pengalaman juga yang menentukan.
Sebagaimana sudah kita lihat bersama, Einstein mempunyai afinitas yang kuat untuk bersikap “membumi”. Mungkin ini juga sebabnya dia cenderung kuat dalam menolak QM. Dibandingkan ide Bohr-Heisenberg, realisme Einstein lebih akrab dengan logika sehari-hari.
———
[1] Halaman Wikiquote Niels Bohr — sebagaimana dikutip dalam “The Unity of Human Knowledge” (esai, Oktober 1960)
[2] Faye, Jan. Niels Bohr and Vienna Circle (format .doc)
[3] Niels Henrik David Bohr (biografi online)
[4] Cramer, John. View on Copenhagen Interpretation
[5] Student Years, 1920 – 1927: The Sad Story of Heisenberg’s Doctorate; bagian dari situs biografi Werner Heisenberg (David C. Cassidy & American Institute of Physics)
[6] Halaman Wikiquote Werner Heisenberg — sebagaimana dikutip dalam The New York Times Book Review (8 Maret 1992)
[7] Weiss, Michael. Anschaulichkeit, Abscheulichkeit
[8] Heisenberg – Quantum Mechanics, 1925-1927: The Uncertainty Principle; bagian dari situs biografi Werner Heisenberg (David C. Cassidy & American Institute of Physics)
[9] Heisenberg, Werner. Physics and Philosophy (1958)
[10] Max Born, sebagaimana dikutip dalam Fundamental Principles of Relativity (physics.about.com)
[11] Wospakrik, Hans J. 1987. “Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum Einstein”. Bandung: Penerbit ITB (halaman 82)
[12] ibid.
[13] Albert Einstein, Philosophy of Science (Stanford Encyclopedia of Philosophy Archive)
[14] Unreasonable Effectiveness
[15] Albert Einstein – A Series of Selected Quotations (Mountain Man Graphics)
[16] New Scientist, 14 Juli 2001: Taming the Multiverse. Arsip dimuat dengan izin.
[17] ibid.
[18] Deutsch, David. Taking Science Seriously
[19] Philosophy Now: Filiz peach Interviews David Deutsch, arsip wawancara di website David Deutsch
[20] Halaman Wikiquote David Deutsch, sebagaimana dimuat dalam buku Fabric of Reality
[21] ibid.
[22] Shikhovtsev, Eugene. Biographical Sketch of Hugh Everett, III
So, sebenarnya saya sering sekali menemukan tulisan, terutama yang ditulis oleh Pak Mulyadhi Kertanegara, yang mengatakan bahwa dalam fisikanya Einstein pengukuran ruang-waktu itu sangat bergantung dari peran/posisi sang subyek/pengamat. Ia merefer ke Teori Relatifitas tentunya. Kok kayak bertentangan dengan kutipan di atas?
Malah, banyak juga mistikus gila sains yang bilang bahwa Einstein “meruntuhkan mekanika klasiknya Newton”. Tapi, karena Eisntein realis, Anda bilang pada level kuantum pun alam semestinya bersifat “deterministik”. Bukankah itu artinya, dia Newtonian?
*makin bego*
Jadi, saya bingung nih.
*masih berusaha baca linknya*
^
Ooh, itu konteksnya agak beda. Begini…
Pertama-tama, saya jelaskan dulu dengan analogi. 🙂
Nah, sekarang kembali ke relativitas.
Menurut Einstein, alam semesta bersifat terpisah dari pengamat. Seperti halnya lukisan yang kita contohkan di atas. Seperti apapun pengamatnya, lukisan/alam semesta ya begitu-begitu saja.
Lalu, apanya yang relatif? Yang relatif adalah sudut pandang pengamat. Jika sudut pandang berbeda, maka alam pun akan tampak berbeda. Sebagaimana lukisan yang sama dipersepsi dengan kacamata yang berbeda. 🙂
Penjelasan fisikanya kira-kira berikut ini:
Kemudian, mereka memutuskan begini:
Menurut Teori Relativitas Khusus, karena kecepatannya berbeda, maka hasil pengukuran A, B, dan C juga akan berbeda. (informasi: length contraction)
Alhasil, hasil pengukuran menurut A, B, dan C adalah:
Di sini kita lihat bahwa perbedaan kecepatan mengakibatkan perbedaan persepsi terhadap bulan. Padahal mereka mengamati BULAN YANG SAMA.
Ini seperti analogi lukisan yang disebut sebelumnya. Sebenarnya mereka mengamati benda yang sama. Hanya saja KACAMATA mereka berbeda. 😀
* * *
Kesimpulannya, Einstein mempercayai alam semesta yang mengada secara mandiri/terpisah dari pengamat. Alam semesta yang mengada tanpa peduli diukur atau tidak (contrast with: positivisme Bohr). Ini yang dimaksud “obyektif” — i.e. bebas dari elemen “subyektivisme” pengamat. ^^
Seperti halnya analogi “lukisan” bersifat obyektif (diamati atau tidak dia tetap ada). Demikian pula Einstein memandang alam.
Hanya saja, dengan “kacamata” yang berbeda, maka “lukisan” akan terlihat berbeda. Hence the word, “relativity”. 🙂
IMHO, Realisme Einstein sebenarnya begini:
Sebenarnya sampai sejauh ini dia masih sejalan dengan Newton. Perbedaannya dengan Newton cuma satu, tapi sangat fundamental:
Jadi masalahnya di memilih variabel mutlak. Newton memilih ruang-waktu absolut. Sementara, Einstein tahu bahwa yang absolut itu kecepatan cahaya (sedangkan ruang-waktu relatif). Di sini pendapat mereka bertentangan.
Sebenarnya itu saja sih. Makanya dia disebut “menghancurkan Newton”. Soal determinisme dan sebagainya, sebenarnya mereka relatif sejalan. ^^
(AFAIK, CMIIW)
wah ni orang emang jenius parah, terutama teori mengenai konsep relativitas “waktu”. karena menurut saya suatu “konsep” mengenai waktu adalah hal yang paling besar di dunia dan paling misterius, karena seluruh kehidupan kita dilingkupi oleh sesuatu yang bernama “waktu”, dan dia dapat sebuah ide/teori ttg itu, entah ilham dari mana…
^
Setahu saya, itu ada hubungannya dengan kemutlakan kecepatan cahaya (sudah dijelaskan di komentar no. #3).
Nah, kecepatan kan jarak dibagi waktu. Karena yang mutlak kecepatannya, maka jarak dan waktu yang dipersepsi menjadi relatif. Kurang lebih begitu. 🙂
(terdapat juga variabel lain yang terpengaruh, yaitu massa. tapi itu cerita lain lagi).
Informasi lebih lanjut: special relativity @ wikipedia.
Ada pertanyaan yang agak filosofis, Mengapa kecepatan cahaya dipilih Einstein sebagai variabel yang absolut? Apakah sama halnya dengan Newton yang memilih ruang waktu sebagai yang absolut?. Dari dulu saya cuma kepikiran. Satu-satunya yang membuat Einstein benar dan Newton keliru dalam hal ini adalah Hasil Pengamatan.
^
Sebenarnya masalahnya bukan “memilih”. Sebelum Einstein merumuskan Teori Relativitas Khusus, fisikawan Michelson dan Morley menemukan fakta bahwa kecepatan cahaya adalah kecepatan maksimal di alam.
(informasi: Michelson-Morley Experiment)
Nah, ini titik tolak Einstein. Dulu di zaman Newton fakta ini belum diketahui.
Jadi sebenarnya bukan “Einstein memilih kecepatan absolut”. Yang lebih tepat, Einstein berangkat dari fakta bahwa kecepatan cahaya adalah mutlak. Sebagaimana dibuktikan oleh percobaan tahun 1887.
Seandainya Newton tahu bahwa kecepatan cahaya adalah kecepatan maksimal? Boleh jadi beliau juga akan menghitung dan menemukan teori relativitas. 😆
[/mengkhayal]
coba tulis sejarah tentang kebenaran bahwa alam itu bukan tuhan, sebaba banyak mitos yang kembali merajalela..di negri tercinta ini.
kebetulan saia pernah baca artikel tentang filosofi albert einstin yg mungkin hampir sama dengan hal ini cuma di sana agak lebih singkat, saya hanya bisa memberikan link di http://be4rt.com/seni/filosofi-albert-einstein/