Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘WordPress Posts’ Category

Waktu saya masih kuliah dulu, ada sebuah rutinitas yang berlangsung tiap awal semester. Pada saat itu, perpustakaan akan penuh, para mahasiswa mendatangi seniornya, dan tempat fotokopi dipadati pengunjung. Tentunya bukan karena ujian, sebab — seperti sudah disebut — peristiwa ini kejadiannya di awal semester.

Yang benar, para mahasiswa tersebut (termasuk saya) sedang berlomba-lomba untuk bisa dapat buku teks. Metodenya macam-macam: ada yang berusaha meminjam pada senior; ada juga yang memfotokopi dari perpustakaan. Ada juga yang membeli langsung di toko buku — meskipun begitu, karena harganya mahal, biasanya tak banyak yang melakukan. For whatever reason, kegiatan ‘berburu’ buku teks ini kemudian jadi budaya yang lestari di kampus.

Kalau Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah pernah baca uraian saya terkait masalah buku teks di atas. Ada banyak hal yang jadi concern saya tiap kali membahas soal ini: harga yang (terlalu) mahal, keharusan untuk menghargai pengarang, juga kebutuhan akademis. Meskipun begitu kali ini saya ingin membahasnya dari sudut pandang yang lebih filosofis.

***

Ada pertanyaan yang timbul tiap kali saya mengecek harga buku teks untuk kuliah. Kalau hendak digeneralisasi, harga pada umumnya berada pada orde puluhan dolar. Buku biasa, tebalnya tak sampai 1000 halaman. Bagaimana bisa harganya semahal itu?

Ini pertanyaan yang dari dulu mengganggu saya. Kalau boleh jujur, saya sering iseng mengecek daftar harga buku di Amazon dan membanding-bandingkannya. Kita ambil dua pasang contoh sebagai berikut.

The Lord of The Rings (kompilasi)
(1216 hlm) = US$ 13.00
Thermodynamics: An Engineering Approach
(1016 hlm) = US$ 67.87

A History of God (paperback)
(496 hlm) = US$ 11.56
Quantum Mechanics for Scientists and Engineers
(574 hlm) = US$ 70.65

Saya pikir ada yang salah di sini. Buku yang tebalnya mirip harganya bisa berbeda begitu jauh. Kalau yang non-akademis bisa untung dengan harga belasan dolar, bagaimana mungkin yang textbook mesti dihargai 5-6 kali lipat?

Di satu sisi, saya tahu bahwa membuat buku itu tidak mudah — untuk melakukannya perlu resource, waktu, dan energi. Pembuatnya harus dihargai. Meskipun begitu ini tidak menjelaskan keheranan saya mengapa harganya sampai semahal itu. Setiap semester di seluruh dunia, mahasiswa selalu membutuhkan buku baru. Pasar mereka stabil. Saya rasa tidak ada alasan memahalkan buku teks sampai 5-6 kali lipat yang lain.

Bisa dibilang inilah awal mulanya saya merasa kecewa dengan model bisnis yang terkait “jualan ilmu”. Ilmu pengetahuan harusnya tak diambil untung. Saya percaya bahwa semua orang punya hak untuk belajar dan jadi pintar. Bagaimana pula orang diasumsikan hidup zaman sekarang kalau tidak pintar? 😐

Adapun kemajuan umat manusia dipengaruhi oleh keberhasilan sains dan teknologi. Jika buku adalah jendela ilmu, maka kesempatan membaca harus dibuka selebar-lebarnya. Setidaknya begitulah pendapat saya.

 

The Joy of Learning and The Power of Knowledge

 

Waktu saya kecil dulu, orangtua saya sering membelikan buku bertema IPA. Topiknya macam-macam: ada yang tentang tata surya, dinosaurus, hingga fisika dan ilmu bumi. Galibnya buku anak sudah tentu bahasanya sederhana dan dilengkapi banyak gambar. Meskipun begitu justru itu yang membuat pikiran kecil saya jadi terdorong.

Barangkali bisa dibilang di situlah awal mula ketertarikan saya pada bidang sains. Saya ingat salah satu buku yang di dalamnya ada percobaan listrik statis: sisir digosok-gosokkan pada kain, kemudian didekatkan pada serpihan kertas. Kertas itu berloncatan, persis seperti disebut di buku! Saya pikir itu menakjubkan. 🙂 Ilmu fisika menunjukkan bagaimana hal yang tidak disangka bisa terjadi. Saya yang waktu itu masih SD amat terkesan melihatnya.

Sudah belasan tahun berlalu sejak orangtua saya membelikan anak-anaknya berbagai macam buku tersebut. Meskipun begitu pengaruhnya masih terasa sampai sekarang: buku-buku itulah yang membuat kami jadi suka membaca dan belajar. Selalu ada yang baru tiap kali kami membuka buku dan belajar darinya.

Entah itu berupa nama dinosaurus, lapisan kulit bumi, atau sistem tata surya. It’s just fascinating. Kadang-kadang ada eksperimen yang bisa dilakukan sendiri. Semakin banyak membaca, kami jadi semakin paham tentang jalannya alam semesta. Oh, ternyata begini. Oh, ternyata begitu. Oh ternyata bumi itu bulat…

Banyak hal menarik yang bisa didapat lewat membaca buku. Saya pikir semua orang harus mencobanya. Atau paling tidak, harus diberi kesempatan mencoba. Jangan sampai orang tak pernah mengalami hanya gara-gara tak punya kesempatan.

Adapun yang di atas itu baru di bidang IPA. Bagaimana dengan di bidang lain? Geografi, Kita bisa belajar tentang lokasi-lokasi negara dan hasil buminya. Sejarah, kita bisa belajar tentang perjalanan peradaban manusia. Filsafat, kita bisa belajar tentang ide-ide yang membentuk dunia…

…dan seterusnya. Saya rasa Anda paham maksud saya. Ilmu pengetahuan itu menarik. Dengan pengetahuan kita memandang dunia; melebarkan cakrawala. Dan dari situ, siapa yang tahu?

Barangkali kelak muncul calon ilmuwan, dokter, dan insinyur dari situ. Saya suka membayangkan, apa jadinya jika Newton dan Einstein tidak pernah berkenalan dengan matematika. Akankah mereka tetap jadi jenius yang mengubah dunia? Mungkin — tapi jelas bukan sebagai ahli fisika kelas wahid.

Saya pikir ini alasan bagus kenapa kita harus memberikan akses pengetahuan seluas-luasnya ke masyarakat. Boleh jadi saat ini ada calon jenius yang sedang menunggu di desa terpencil di kaki gunung…

***

Di masa SD dulu, saya pernah menonton sebuah serial fiksi ilmiah berjudul Spellbinder (review di [sini]). Ini serial buatan Australia yang dulu tayang di ANTV tahun 1990-an.

Spellbinder bercerita tentang sekelompok bangsawan yang mempunyai teknologi canggih tapi merahasiakannya dari masyarakat. Mereka mempunyai pesawat tenaga koil, komunikasi radio, dan sebagainya — sementara masyarakat sekitarnya hidup bertani di desa. Dengan teknologi itu mereka mengesani pada masyarakat bahwa mereka adalah dewa: bisa terbang, bisa berkomunikasi jarak jauh, dan sebagainya. Mereka tinggal di istana sementara rakyat jelata tinggal di gubuk.

Akan tetapi kisahnya tidak berhenti sampai di situ. Dalam serial tersebut rakyat jelata disuruh bersujud dan membayar upeti pada para bangsawan. Jika tidak, maka mereka akan dihukum dengan kekuatan “sihir” (baca: teknologi).

Di sini saya ingin mengedepankan betapa dahsyatnya kekuatan ilmu. Sheer knowledge means sheer power. Ia bisa jadi pembeda antara yang makmur dan melarat, yang menindas dan tertindas.

Sama halnya dengan ketika di abad pertengahan orang belum mengerti ilmu kimia. Tidak ada pasta gigi, tidak ada sabun, shampoo, dan sebagainya. Sekarang? Boro-boro mandi tak pakai sabun. Gosok gigi cuma sekali sehari saja sering dianggap kurang! :mrgreen:

 

Mengapa Harus Menyebarkan Ilmu?

 

Sebagaimana sudah diuraikan panjang-lebar di atas, saya adalah orang yang sangat mendukung persebaran ilmu pengetahuan seluas-luasnya di masyarakat. Alasan filosofisnya ada tiga:

Pertama, manusia pada hakikatnya makhluk yang berpikir. Semua orang punya hak untuk belajar dan jadi pintar — termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan ilmu seluas-luasnya.

Kedua, ilmu pengetahuan berpotensi jadi sarana perwujudan kesejahteraan masyarakat. Tidak selayaknya masyarakat dihalang-halangi dari ilmu krusial seperti kedokteran, insinyur, dan sebagainya. (I’m looking at you, textbook publishers)

Ketiga, ilmu pengetahuan itu bukan hak milik, melainkan sekadar penemuan. Kalkulus tetap kalkulus tak peduli penemunya Leibniz atau Newton. Seperti yang saya uraikan di posting blog tempo hari, kebenaran itu cuma ada satu. Tidak usahlah diperebutkan jadi milik siapa. 😛

Saya pikir tiga poin di atas cukup jelas. Ketika saya bilang bahwa “ilmu pengetahuan harusnya tak diambil untung”, sebenarnya alasannya seperti di atas. (ada juga beberapa yang tersirat dari paragraf-paragraf sebelumnya, tapi sebaiknya tidak diuraikan lagi di sini)

Oleh karena itulah, saya tidak habis pikir dengan kasus “jualan buku” yang disebut di awal tulisan. Bagaimana bisa buku sains/ilmu pengetahuan dijual sebegitu mahalnya. Mengulang pertanyaan di awal tadi: saya tahu, membuat buku itu tidak mudah. Pembuatnya harus dihargai. Tapi masa sih sampai segitunya? 😐

 

The Case For Free Culture

 

Sebagaimana bisa dilihat, saya cenderung tidak setuju pada harga buku yang terlalu mahal. Alasannya sederhana: buku yang terlalu mahal akan sulit terjangkau. Masyarakat akan semakin terpisah dari ilmu. Pada akhirnya persebaran ilmu jadi terhambat. Sementara ini bertentangan dengan filosofi saya di atas.

Masalahnya, masyarakat umum (termasuk saya) hampir tidak punya kuasa untuk memurahkan harga buku. Semua di tangan pihak penerbit. Lalu bagaimana solusinya?

Sejujurnya, saya bisa dibilang relatif bersimpati pada Free Culture Movement. Perlahan tapi pasti sekelompok orang (sebagian besar akademisi) mulai paham akan problem persebaran ilmu ini. Seiring dengan tumbuh-kembangnya internet mereka mulai menyebarkan ilmu yang mereka miliki — walaupun tentunya tidak sedetail kalau dituangkan lewat buku. The experts have talked back, so to say. Dan saya pikir ini tren yang menggembirakan.

Saya pribadi amat terkesan pada situs-situs yang, kalau boleh dibilang, merupakan “gudang ilmu”. Misalnya Wikipedia, MIT OpenCourseWare, Stanford Encyclopedia of Philosophy. Juga pada para ilmuwan/profesor yang bersedia berbagi ilmu lewat blog: Pak Rovicky, Greg Laden, Yann Klimentidis, Philosophical Disquisitions, Bu Mathildathe list goes on and on. Di tengah-tengah kesibukan mereka masih menyempatkan diri mem-publish blog terkait bidang kerjanya. Sedikit banyak menjembatani pengetahuan mereka ke masyarakat, saya rasa usaha mereka layak dikagumi.

Di sisi lain, masalah textbook belum ter-cover sepenuhnya (walaupun ada upaya ke arah situ). Well, maybe in the future? We shall see…

***

Bagaimanapun, terlepas dari statusnya yang masih baby step, persebaran ilmu lewat internet menunjukkan tren yang positif. Saya pribadi berharap bahwa suatu hari nanti kita akan punya perpustakaan besar di internet, di mana isinya open textbook berkualitas. Kelak jika anak (atau cucu) saya kuliah dan hendak mencari buku, ia bisa browsing dan mengunduhnya secara legal. Tempat di mana ilmu bisa didapat dengan mudah, gratis, dan terstandarisasi secara akademik… I may be daydreaming, though. But to be honest it sounds tempting! :mrgreen:

 

Epilog: Berdiri Di Atas Pundak Raksasa

 

Bicara tentang ini, saya jadi ingat lagi pada kisah yang dialami oleh Bapak Isaac Newton. Suatu ketika beliau pernah ditanya tentang pencapaiannya yang luar biasa. Bagaimana sih, kok bisa menemukan hukum yang hebat?

Ditanya begitu beliau menjawab:

“Jika saya bisa melihat lebih jauh daripada orang lain, itu karena saya berdiri di atas pundak raksasa.”

Sebenarnya ini adalah metafora. Maksud sebenarnya adalah: Newton menemukan hukumnya karena berlandas pada hasil penelitian ilmuwan lain (e.g. astronom Johannes Kepler dan Galileo Galilei). Tanpa hasil kerja mereka belum tentu ia akan sukses.

Sekarang kita bayangkan diri kita sebagai orang kerdil di dunia ilmu. Jelas, kita tidak bisa dibandingkan dengan Newton dan kawan-kawannya. Meskipun begitu orang kerdil sekalipun bisa melihat lebih jauh kalau berdiri di tempat yang tinggi. Contohnya tentu saja gampang.

Misalnya saya; saya tidak lebih jago daripada Newton. Tapi di kuliah saya belajar Fisika Kuantum. Newton tidak pernah belajar Fisika Kuantum. Jadi saya lebih hebat! Kan begitu? :mrgreen:

*dilempar sandal*

*bletaaaakk*

Ahem. Kembali serius. (=3=)

Saya pribadi membayangkan bahwa, kelak, jika proyek open textbook dan free culture berhasil, kita yang kerdil ini bukan saja dapat berdiri di atas bahu raksasa. Saya pikir kita akan berdiri di atas gunung! 😯 ‘Gunung’ ini adalah sebuah perpustakaan besar di mana karya dari kampus-kampus ternama terangkum di dalamnya. Mulai dari MIT, Harvard, Berkeley; Sorbonne, TU Delft, Universitas Munich; dan seterusnya. Boleh jadi sekalian dilengkapi catatan kuliah dari Profesor terkenal. Semua dapat diunduh dengan gratis, bebas dikopi dan diperbanyak.

Saya pikir ini bukan tidak mungkin terjadi. 😕 Agak terlalu mengawang, ya — tapi bukan berarti mustahil.

Sebab, menurut Bapak Robert Goddard:

“It is difficult to say what is impossible, for the dream of yesterday is the hope of today and the reality of tomorrow.”

Jadi, mari kita bermimpi… 😆

*lho kapan bangunnya*

Read Full Post »

Sekitar tahun 1972, Bapak Stephen Hawking sempat berseteru dengan sesama ilmuwan Jacob Bekenstein. Ini masanya ketika ilmu kosmologi masih amat muda dan belum banyak dipahami orang. Waktu itu Hawking masih berumur 30, dan belum menyempurnakan teori Big Bang — sementara Bekenstein adalah asisten profesor berumur 25 tahun. Pemicu keributannya adalah diskusi mengenai lubang hitam.

 

debate

diskusi yang menyedot perhatian massa™

 

Tentunya menarik kalau kita langsung membahas apa yang membuat kisruh di antara mereka. Meskipun begitu, sebelum sampai ke sana, ada baiknya kita bicara dulu tentang “lubang hitam” yang jadi masalah. 🙂

 

Lubang Hitam. Apa itu Lubang Hitam?

 

Lubang hitam (alias black hole) adalah sebuah obyek kosmologi. Dinamai seperti itu karena ia memiliki gravitasi maha dahsyat — berkas cahaya sekalipun, jika lewat terlalu dekat, akan disedot langsung olehnya.

 

black hole simulation

simulasi komputer penampakan lubang hitam (image courtesy of wikipedia)

 
Nah, gravitasi lubang hitam ini disebabkan oleh massa yang luar biasa besar. Di SMA kita pernah belajar tentang gravitasi Newton: makin besar massa, makin besar gaya tariknya. Lubang hitam juga mengikuti prinsip tersebut (walaupun detailnya agak berbeda). Para ilmuwan memperkirakan bahwa lubang hitam umumnya bermassa antara 3 hingga 10 kali matahari — ini adalah angka yang sangat besar.

Sebagai gambaran, percepatan gravitasi kita sehari-hari (9.8 m/s2) diakibatkan oleh massa bumi sebesar:

 

mbumi = 5.9742 × 1024 kilogram

 

Di sisi lain, massa bumi adalah sekitar sepersejuta dari massa matahari. Massa matahari adalah sebesar:

 

mmatahari = 1.98892 × 1030 kilogram

 

Jadi bisa kita bayangkan dahsyatnya gaya tarik yang dihasilkan lubang hitam. Puluhan juta kali gravitasi di bumi! 😮

***

Singkatnya, bisa dibilang bahwa lubang hitam memiliki gravitasi yang luar biasa. Jika ada benda lewat terlalu dekat, maka benda itu akan jatuh tersedot ke dalamnya. Tak peduli apakah dia punya massa (komet, planet, dsb.) atau tidak bermassa (e.g. berkas cahaya). Semua tunduk pada aturan yang digariskan Relativitas Umum.

Tidak ada yang bisa lolos darinya, tapi… benarkah demikian?

 

Debat Dua Ilmuwan: Hawking vs. Bekenstein

 

Sekarang kita kembali pada dua ilmuwan yang disebut di awal. 😉

Sekitar tahun 1972, para ilmuwan masih meraba-raba tentang fenomena lubang hitam. Waktu itu mayoritas sepakat bahwa lubang hitam tidak bisa dideteksi secara langsung. Sederhana saja: apanya yang dideteksi, wong tidak ada yang keluar. :mrgreen: Jikapun ada sinyal radio dari dalam lubang hitam, dipastikan akan tersedot kembali ke dalamnya.

Anggapan waktu itu adalah bahwa lubang hitam bersifat seperti vacuum cleaner. Benda bisa masuk, tapi tak bisa keluar.

Nah, dengan asumsi di atas, Hawking merumuskan sebuah hukum lubang hitam. Menurut Hawking,

“Tidak mungkin ada lubang hitam yang mengecil. Ukuran lubang hitam cuma bisa tetap atau bertambah besar.”

Bekenstein mendengar rumusan Hawking di atas. Meskipun begitu, ia tidak sekadar mengamini — melainkan membuat teori baru darinya.

“Hukum temuan Hawking menunjukkan paralel dengan termodinamika klasik. Saya mengajukan ide bahwa lubang hitam memiliki entropi. Entropi ini diwakili oleh luas permukaan Hawking.”

Di sinilah perseteruan antara Hawking dan Bekenstein dimulai. Menurut Hawking, Bekenstein telah berbuat ngaco: kalau suatu benda punya entropi, pastilah ada suhu/radiasi yang dipancarkan. Sementara lubang hitam harusnya tidak begitu.

Di sisi lain, Bekenstein kukuh: setiap benda material mempunyai entropi. Kalau lubang hitam menyerap benda material, maka sudah pasti entropinya bertambah. Tidak mungkin lubang hitam menyalahi hukum termodinamika. Berarti Hawking yang salah! 😮

***

Singkat cerita, dua ilmuwan ini kemudian terlibat perang pena. Selama bertahun-tahun Hawking mencoba menjatuhkan argumen Bekenstein. Menarik kalau diperhatikan bahwa, di masa sekarang, kita melihat nama Hawking amat terkenal, sedangkan Bekenstein tidak.

Pembaca mungkin mengira bahwa Hawking menang mudah — tapi ceritanya tak sesederhana itu.

 

The Bittersweet Irony

 

Di tahun 1974, Hawking mengadakan seminar tentang teori lubang hitam temuannya. Dalam seminar ia mengumumkan ide yang kelak jadi pijakan dunia kosmologi: Radiasi Hawking. Teori ini dipuji-puji karena menyatukan mekanika kuantum, relativitas umum, dan termodinamika dalam satu framework.

Banyak yang menilai bahwa ini karya ilmiah terbesar temuan Hawking. Meskipun begitu, tahukah pembaca apa yang ironis?

Teori Radiasi Hawking ternyata memakai ide Bekenstein.

Iya, betul. Orang yang didebat habis-habisan oleh Hawking ternyata justru jadi pilar karya besarnya. Bekenstein benar bahwa lubang hitam mempunyai entropi, tunduk pada termodinamika, dan sebagainya. Dia cuma lupa satu hal:

Benda yang punya entropi harus punya suhu atau memancarkan radiasi

Hawking-lah yang menyempurnakan kecacatan itu. Teori Radiasi Hawking menyatakan bahwa lubang hitam mempunyai entropi, mempunyai suhu, dan memancarkan radiasi. Persis seperti kata Bekenstein. Hanya lebih sempurna.

Bekenstein sial karena dia berada di jalan yang benar tapi tidak menangkap detailnya. Hawking beruntung karena — sembari mendebat Bekenstein — ia melihat kemungkinan baru dan menganalisis detailnya. Barangkali kalau tak ada Bekenstein, Hawking takkan sesukses itu. Siapa yang tahu? 😉

Mengutip Hawking dalam bukunya sendiri, “A Brief History of Time”:

“I must admit that in writing this paper I was motivated partly by irritation with Bekenstein, who, I felt, had misused my discovery of the increase of the area of the event horizon. However, it turned out in the end that he was basically correct, though in a manner he had certainly not expected. […] the more I thought about it, the more it seemed that the approximations really ought to hold.”

Adapun di masa kini kalangan ilmiah mengakui jasa Bekenstein. Teori Radiasi Hawking sering disebut Teori Bekenstein-Hawking untuk menghormatinya. Toh ini tidak mengubah kenyataan. Amatlah ironis bahwa Hawking terpaksa menerima ide Bekenstein yang dia hujat, menyempurnakannya, dan jadi besar karena itu.

 

The One Truth

 

Bicara tentang ini, tahu tidak, saya jadi pada ingat pada apa? Saya jadi ingat pada Shinichi Kudo. 😆

Iya, Shinichi Kudo yang itu. Tokoh detektif SMA di komik Detektif Conan. Ada satu ucapannya yang memorable yang — kalau saya tidak salah ingat — disampaikan di komik nomor 10. Waktu itu ia mendapat tantangan dari sesama detektif Heiji Hattori.

“Dalam penyelidikan, tidak ada menang atau kalah. Sebab kebenaran cuma ada satu.”

Dan memang begitulah adanya. Di atas segala perbedaan pendapat, kebenaran itu berdiri sendiri. Kebenaran cuma ada satu — tidak terpengaruh oleh mereka yang mendebatkannya! 🙂 Contohnya sudah kita lihat lewat ilustrasi dua ilmuwan di atas.

Ketika Hawking mendebat Bekenstein habis-habisan, itu tidak mengubah kenyataan bahwa Bekenstein berkata benar. Justru pada akhirnya Hawking harus menerima “kebenaran” Bekenstein. Adapun dengan berbuat begitu, Hawking membuka babak baru di dunia kosmologi.

Saya tertarik mengamati dua orang ini dalam konteks menang-kalah secara akademis. Siapakah yang menang? Siapakah yang kalah? Susah untuk dipastikan, sebab masing-masing punya kontribusi. Tetapi, sebagaimana diindikasikan lewat kutipan: sesungguhnya tak ada yang menang atau kalah. Perkara seperti pencapaian akademis dan sebagainya itu semu belaka.

Nyatanya Bekenstein dan Hawking sama-sama mengejar kebenaran. Kebenaran yang cuma ada satu. Dan mereka berdua sampai di sana dengan saling bantu… biarpun mungkin tanpa disadari. Di sini kita lihat bahwa kontribusi mereka saling terikat, academic achievements be damned.

***

Jadi, setelah berpanjang-panjang sampai sini, inti cerita di atas adalah…

…apa ya? Sebenarnya cuma mau cerita saja sih. 😆 Saya rasa pembaca bisa menarik pesan moralnya sendiri-sendiri. Bagaimanapun kisah ini sudah menarik kalau dijabarkan begitu saja, jadi yah begitulah. 😛

Saya pribadi terkesan dengan sikap legowo yang ditunjukkan oleh Hawking. Dengan mengakui kebenaran Bekenstein, ia berhasil merumuskan karyatama di dunia ilmiah. Bagaimana jika Hawking berkeras menolak Bekenstein? Boleh jadi dia takkan menemukan Teori Radiasinya tersebut. Kemajuan dunia kosmologi barangkali akan terhambat bertahun-tahun. Tapi bukan itu yang kita bahas di sini.

Often times, there is wisdom inside the humble pie…

 

 

——

Bacaan Lebih Lanjut:

  • A Brief History of Stephen Hawking ~ New Scientist (link)
  • Stephen Hawking: “A Brief History of Time” (1988) (buku)
  • J.P. McEvoy & Oscar Zarate: “Introducing Stephen Hawking” (2005) (buku)

Read Full Post »

I usually scheduled to update my blog twice-a-week maximum, but this is just… well, extraordinary.

So, word of news is that Aaron Ramsey got Eduardo’d. Yes, you read it right: another February, another similar career-threatening injury. Unfortunately I got to see his foot dangling unnaturally mid-air by 66th minute. Which wasn’t pretty by the way. But that goes without saying.

 

[picapp align=”none” wrap=”false” link=”term=arsenal+stoke&iid=8131731″ src=”a/2/6/9/Sports_News_6c34.jpg?adImageId=10879404&imageId=8131731″ width=”500″ height=”337″ /]

    above: Ramsey was being attended to by players and officials.

    (graphic, disturbing image of the injury can be seen: here)

 
Even the defender, Shawcross looked traumatized by the outcome. I have a bit of sympathy for him, though.

 

[picapp align=”none” wrap=”false” link=”term=arsenal+stoke&iid=8131702″ src=”5/b/6/f/Sports_News_f85f.jpg?adImageId=10879593&imageId=8131702″ width=”380″ height=”441″ /]

 

Gunners went on to win the match 1-3. But in a match that saw Arsenal officially back into title race, it is the kind of injury that marred any joy whatsoever. One wonders if Ramsey will make full recovery, however, example given by Eduardo shows that not all is lost and bleak.

All prayers and thought for him. Godspeed, Aaron. 😦

 

—–

Credit:

All photographs courtesy of PicApp.com

Read Full Post »

Sejauh yang bisa saya lihat, keluarga saya dari pihak ibu umumnya mempunyai jiwa witty khas Jawa Timuran. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh — ibu saya sendiri lahir dan besar di Surabaya, sementara kakek-nenek saya juga asalnya dari situ. Jadi bisa dibilang saya mendapat pengaruh budaya Jawa Timuran dari mereka.

(di sisi lain, ayah saya orang Jawa Tengah; tapi itu takkan kita bahas di sini)

Kalau ada pembaca yang punya kenalan orang Jawa Timur, kemungkinan besar sudah tahu bahwa suku ini punya unggah-ungguh (kesopanan) yang rada unik. Berbeda dengan Jawa Tengah yang tenang, sabar, dan mengutamakan harmoni, orang Jawa Timur relatif lebih vokal menyuarakan isi hati. Adapun mereka punya cara unik untuk melakukannya. Bukan dengan tegas, apalagi bentak — melainkan dengan sindiran dan tertawaan.

Iya, dengan tertawaan. Ada sebuah humor (atau anekdot?) Suroboyoan yang terkenal tentang sopir becak yang ngebut. Kontan, penumpang yang sport jantung protes ke si sopir. Jawaban si sopir?

“Wis murah kok njaluk slamet!”

(id: “Sudah murah kok minta selamat!”)

Well, you got the idea. Kasar-kasarnya, kalau orang Batak marahnya bikin menciut, maka orang JaTim marahnya bikin dongkol. 😆 Ada semacam witticism yang terkandung dalam cara mereka berekspresi, kalau saya boleh menyimpulkan seenaknya.

Nah, ibu saya adalah turunan dari suku yang disebut di atas. Dan sebagaimana bisa ditebak… beliau juga mewarisi semangat yang sama dalam bersikap. Terutama sebagaimana diterapkan pada anak-anaknya.

Dan sebagai anaknya, otomatis saya jadi ‘terdidik’ supaya bisa menanggapi up-to-par. Mau bagaimana lagi? 😆

Semuanya bermula di satu hari belasan tahun yang lalu…

Ibu saya: So, kemarin aku ketemu ibunya teman kamu pas arisan.

Saya: Oh. Terus?

Ibu: Ibunya cantik lho. Anaknya cakep juga kan? :mrgreen:

Saya: *gobsmacked*

Ibu: (tanpa peduli reaksi saya) Ya iyalah anaknya cantik. Wong ibunya cakep…

Sementara di latar belakang, saya terkapar diam tak mampu bicara. Benar-benar tak mampu berbicara. Sungguh mati tidak melebih-lebihkan, saudara-saudara. Waktu itu saya speechless betulan. (=_=!)

 

onion-thunder

What a speechless reaction may look like

 
Waktu itu saya masih SMP, barangkali sekitar kelas satu. Jadi sejak itu saya mulai belajar mendalami satu hal: the art of witticism. Kalau ibu mau berbuat begitu lagi ke saya, maka paling tidak saya harus bisa menanggapi! (u_u)

Dan demikianlah adanya hingga suatu sore di tahun 2002… ketika beliau iseng mengecek meja belajar saya dan menemukan sebuah foto terselip diantara buku-buku.

Ibu: Eh, siapa ini, ada foto cewek berjilbab pakai seragam SMA…

Saya: GRAAAA~!!! 😈

Ibu: Coba jawab pertanyaan ibu. Itu foto kamu dapat karena dikasih, minta, atau mencuri? (^_^)

Saya: Aku nggak mencuri fotonya kok. Aku cuma mencuri hatinya aja… (=3=)

(*sambil mendengus*)

Kontan, beliau menertawakan saya habis-habisan di tempat. But that’s one good comeback anyway. Kan begitu? 😆

Tentu, masalah dialog aneh-aneh antara ibu dan saya tidak mesti terkait romance. Ada juga yang temanya relatif netral dan tidak berhubungan dengan itu.

Ibu: Janji adalah hutang. Ingat itu, kamu sudah janji mau melakukan X, harus kamu lakukan.

Saya: Tapi hutang kan bisa diputihkan. Misalnya hutang Tommy pas jaman Pak Harto…

Ibu: Nggak bisa. Pokoknya, nggak bisa. [-(

Saya: Err… eh… kalau begitu, restrukturisasi hutang! 😀 Kan ada aturan-

Ibu: NGGAK BOLEH!! 😈

Galibnya diskusi ibu dan anak, sudah tentu ujung-ujungnya saya yang berkompromi. Tapi, yah, yang penting kan usahanya. ^^a

Lain kali, saya bilang ke beliau sebagai berikut.

Saya: Dipikir-pikir, sebenarnya tampangku rada mirip ibu. Kalau [adik saya] lebih mirip bapak. (=3=)

Ibu: Ih, mirip-miripin. Aku tuh beda sama kamu. Aku dulu rajin kuliah, pinter, nggak kayak kamu sekarang.

Saya: Eh jangan salah. Sebenarnya aku ini cowok pinter, rajin, dan berkualitas. Hanya saja nggak ada yang sadar. 🙂

Saya: Kalau orang yang tercerahkan, pasti sadar akan kualitas diriku. (u_u)

Ibu: Ada po yang bilang gitu? Kalau ada cewek yang setuju, bawa sini. Biar kenalin sama aku.

Saya: …… XD

Lah, ibu. Bukannya aku gak mau bawa, tapi… kalau adanya di seberang pulau atau negeri, gimana ngenalinnya? XD bukan berarti waktu itu lagi ada sih…

 
Meskipun begitu, tak ada yang setegas kalimat beliau tiap kali ditanya tentang hal di bawah ini. Selama belasan tahun jawabannya selalu sama.

Saya: Ibu, aku ini ganteng nggak? 😀

Ibu: Enggak. Jelek.

Serius, beliau selalu bilang begitu. Bayangkan betapa sesaknya perasaan saya. 😥 Tapi, berhubung saya sudah kebal, biasanya saya melanjutkan begini:

Saya: Padahal sendirinya narsis. (=3=) Siapa tuh yang kemaren ngaku2 dirinya pinter, rajin, pandai bergaul…

Ibu: Eh, aku tuh narsis cuma di rumah aja. Kalau sama tetangga atau sejawat, ya, jaga wibawa lah.

Ibu: Orang itu harus tahu cara membawa diri… (u_u)

Saya: Jaim… (=3=)

Ibu: Biarin. (*sambil lanjut dandan di depan cermin*)

***

Kalau boleh jujur, terkadang saya merasa bahwa saya dan ibu itu seperti dua sisi mata uang. Cara berpikirnya beda, pandangan politiknya beda, generasinya juga beda. Tapi sebenarnya toh sama juga. Sama-sama suka ngeyel, jaim, dan — ssst ini rahasia 😛 — sama-sama hobi curcol. Cuma bedanya, saya kalau curcol lewat tulisan. Sementara beliau lewat omongan. 😆

Walaupun ada juga bedanya soal itu. Saya ini orang yang relatif jujur dalam mengungkapkan perasaan, sementara beliau orangnya no-nonsense. Jadi, tiap kali beliau menelepon malam-malam…

Ibu: So, [adik] lagi di rumah nih. Kamu pulang nggak liburan ini?

Saya: Mmm… lihat nanti dululah. Tergantung kesibukan aja.

Ibu: Kamu kan udah lama nggak pulang. Rindu nggak sama ibu? (^_^)

Saya: Lho ya jelas. Aku RINDUUUUU banget sama ibu. Beneran. Sumpah mati aku kangen sama ibu. 😎 SUER!!!

Ibu: Ceilee… bener?

Saya: BEN-NER BANGET. Sumpah!!

Ibu: Aku gak percaya. Udah ah, segitu aja. Ntar kalau mau pulang bilang-bilang ya.

Saya: Eh serius itu… (=3=)

Ibu: Iya deh, aku percaya. Udah ya, dadah.

(bunyi telepon: *tuuut-tuut-tuuuuut*)

Saya: XD

Sepertinya beliau nggak percaya. Ah, ya sudahlah. Yang penting udah dibilangin. 😆

Read Full Post »

Santai tapi Serius

Guru matematika saya waktu SD dulu, seorang ibu guru, pernah mencetuskan suatu kalimat di depan kelas. Waktu itu suasana kelas sedang agak ramai — barangkali bisa dibilang berisik. Saya sendiri lupa persisnya seperti apa, soalnya itu sudah belasan tahun lalu (ya iyalah :mrgreen: ). Meskipun begitu saya ingat beliau mengumumkan seperti berikut ini di depan kelas.

“Anak-anak, kalau mau ngobrol jangan sekarang. Kita ini santai tapi serius, bukannya serius tapi santai. Kalau serius tapi santai, itu nggak serius.”

Dulunya saya bingung, apa bedanya antara “santai tapi serius” dan “serius tapi santai”. Toh dua-duanya sama-sama mengandung kata “serius” dan “santai”. Kenapa pula yang satu dibilang “nggak serius” sama Bu Guru? 😕

Belakangan saya paham bahwa “Sersan” (serius tapi santai) adalah acara lawak di Radio Prambors era ’80-an. Mungkin maksud beliau, tidak bisa disamakan dengan Sersan Prambors… santai tapi serius, bukan berarti jadi melawak. :mrgreen: Mungkin begitu maksudnya. Yah, entahlah — saya juga kurang tahu. Wong zaman segitu saya belum lahir. 😆

***

Begitupun, terlepas dari permainan istilahnya, ucapan Bu Guru di atas terus terngiang di benak saya. “Santai tapi serius”. Beliau tidak ingin anak-anak didiknya jadi terlalu serius dan pendiam. Meskipun begitu, beliau juga tidak ingin kalau jadinya malah terlalu santai dan ribut. Jadi harus ada keseimbangan di situ… begitu yang saya tangkap dari ucapan di atas.

Waktu itu saya belajar dari Ibu Guru tentang tambah-kurang kali-bagi. Meskipun begitu, bertahun-tahun kemudian ketika saya belajar jadi insinyur — dengan segala matematikanya yang lebih abstrak — ucapan tersebut adalah ajaran beliau yang paling profound. Buat apa saya habis-habisan jadi nerd, menyeriusi ilmu pengetahuan, kalau akhirnya tidak bisa santai? Sementara di sisi lain, justru hidup itu (bagusnya) kombinasi antara serius dan santai! 🙂

Kenapa bisa begitu? Coba kita bayangkan.

Dulu saya kuliah dari pagi sampai sore, mengutak-atik integral, mekanika fluida, dan sebagainya. Pulang-pulang mengurus tugas, dan besoknya kembali lagi. Tiap hari seperti itu, what gives? Keseriusan itu datang beruntun sampai tidak bisa dinikmati. Kesannya kok seperti robot saja. Barangkali saya bisa bertahan karena masih bisa online, jalan-jalan, dan download berbagai macam hiburan.

Contoh yang lebih mendetail, ambillah ilustrasi sebagai berikut.

Misalnya saya peneliti di bidang material. Bersama dosen saya, saya melakukan penelitian mengenai doping berbasis nanoteknologi. Setiap hari nongkrong di lab, melakukan analisis dan sebagainya. Pulang membaca jurnal, tidurnya dini hari. Kehidupan pribadi tersita. Meskipun begitu penelitian itu berbuah manis.

Setelah beberapa waktu, saya dan dosen saya menemukan metode doping yang efektif. Akhirnya kami membuat paper. Kemudian teknologi ini dimanfaatkan oleh industri — memudahkan hidup banyak orang — dan saya jadi berjasa lewat penemuan itu.

Tapi, seperti pertanyaan sebelumnya: What gives? Kehidupan pribadi saya tersita selama berminggu-minggu. Makan tak enak, tidur tak nyenyak (karena memikirkan riset). Barangkali tidak sempat main bola atau pergi ke mall. Karena terlalu serius, saya mengorbankan kesantaian. Pada akhirnya hidup jadi kosong dan hampa. Atau, kalau boleh dibilang, garing.

Di sini kita lihat bahwa “terlalu serius” membuat saya kehilangan sisi yang lebih manusiawi. Sehari-hari berhadapan dengan komputer, jurnal, dan sebagainya, barangkali saya sudah lupa cara mengenali body language. Barangkali teman-teman sekitar bakal dongkol karena saya tak mempan disindir, jadi cuek, dan lain sebagainya.

Sama halnya dengan semua bidang lain. Saya ambil contoh riset material karena itu bidang yang saya akrab, tapi, coba bayangkan kalau pekerjaannya lain. Mungkin programmer, arsitek, atau pemain bola. Demi mengejar profesi kita jadi terlalu serius dan lupa bersantai. Akibatnya kita jadi cuek dan kurang bersahabat. Kasar-kasarnya, jadi “kurang manusiawi” — kalau itu frase yang tepat.

 
Bicara soal ini, saya jadi ingat lagi pada ucapan Pak Arsene Wenger. Beliau pelatih bola tim favorit saya yang, kebetulan, rada hobi melempar quote filosofis.

“Any man who concentrates his energies totally on one passion is, by definition, someone who hurts the people close to him.”

[sumber]

Terlalu serius itu tidak baik. Bukan saja kita jadi tumpul dan monoton, kita juga menyakiti orang-orang di sekitar kita. Padahal belum tentu niatnya seperti itu.

Di sini saya ingin menekankan bahwa, sebagaimana disampaikan oleh Bu Guru Matematika di awal tadi, yang baik adalah “santai tapi serius”. Santai karena kita memang punya hak untuk itu. Serius, karena kita perlu untuk memajukan diri. Tidak bisa cuma berfokus ke salah satunya dan melupakan yang lain.

***

Dalam salah satu posting blog tempo hari (berjudul 15 Books that Define Me), saya menyebutkan salah satu buku yang jadi inspirasi saya. Buku tersebut adalah autobiografi Richard Feynman — almarhum fisikawan yang juga peraih Nobel.

 

cover

 

Mengapa buku ini berkesan? Well, simple: karena Feynman adalah perwujudan semangat “santai tapi serius” yang sudah disebut. :mrgreen:

Feynman adalah seorang jenius. S1 di MIT, pascasarjana di Princeton. Kesehariannya berkutat dengan fisika. Tetapi apakah dia orang yang nerd? Oh, tidak. Justru dia sosok yang santai abis. Dia hobi mengisengi rekan sejawat, ikut belajar melukis, juga pernah tiga hari tidak tidur keliling Las Vegas. Akan tetapi dia serius ketika tiba waktunya. Dengan penelitiannya dia berkontribusi di dunia fisika… malah sampai mendapat hadiah Nobel. Prestasi yang tidak ringan kalau menurut saya.

Di sini kita melihat bahwa keseriusan Feynman dibarengi dengan kesantaiannya menjalani hidup. Santai tapi serius. Dan saya pikir, memang itu yang kita butuhkan. Menyeimbangkan antara sisi manusiawi dan keseriusan kerja. Jangan sampai kita terjebak jadi robot di dunia yang makin instan.

Sebagaimana diindikasikan jauh di atas tadi, terlalu serius itu berpotensi jadi destruktif. Baik terhadap kita sendiri maupun pada orang lain.

On related note, kan memang banyak masalah kita di dunia terjadi karena orang-orangnya terlalu serius? :mrgreen: Bom bunuh diri terjadi karena pelakunya terlalu serius memegang ajaran agama (sampai kelewatan). Sentimen “ganyang Malaysia!” karena kita terlalu serius pada nasionalisme. Bukan berarti agama dan nasionalisme itu jelek, sih. Sah-sah saja, cuma mbok ya jangan sampai kebablasan.

Mengutip kalimat legendaris Joker di film The Dark Knight, yang sekarang terasa basi saking seringnya diulang-ulang

“Why so serious?”

***

Jadi, singkat cerita…

Selamat hari Selasa kisanak. Sudahkah Anda bersikap santai selama ini? 🙂

 

——

Terkait:

Read Full Post »

Catatan: Post ini merupakan pelengkap tulisan bagian 7 tentang kata kerja

Berbagai post lain tentang bahasa Jepang di blog ini bisa Anda temukan di halaman [direktori nihongo]

 
Tadinya, saya berencana membahas tentang tenses setelah setelah posting kata kerja yang lalu. Meskipun begitu sejumlah komentar yang masuk menanyakan tentang kata kerja berakhiran -masu dan -masen — sementara yang saya bahas di sana adalah bentuk dasar (alias: sebagaimana tertera di kamus). Jadi saya pikir ada baiknya kalau dibahas di sini sebagai pelengkap. Sekalian untuk referensi ke depannya juga. ^^

さあ、 はじめましょう。。。

[Klik untuk melanjutkan…]

Read Full Post »

Catatan: Jadi, ceritanya saya sedang ngobrol dengan geddoe dan mas gentole di post tentang migrasi tempo hari. Ada satu poin menarik yang muncul di situ, dan saya pikir tak ada salahnya diangkat jadi tulisan tersendiri. 😉

 

Waktu kecil dulu, saya suka nonton serial Sesame Street. Ada yang ingat serial ini? Dulu sempat tayang sore-sore di RCTI, dan menampilkan sosok-sosok boneka lucu seperti Big Bird, Grover, dan Cookie Monster. 🙂

 

Sesame Street cast crew

Para punggawa Sesame Street generasi baru (2009). Acara ini sudah berjalan selama 40 tahun di negeri asalnya.

[image courtesy of Muppet Wiki]

 

Waktu itu eranya tahun 1990-an. Belum lama sejak TV swasta boleh mengudara di Indonesia — dimulai oleh RCTI, kemudian SCTV, kemudian TPI dan kawan-kawannya. Ini masanya ketika saya usia TK dan SD, jadi bisa dibilang saya tumbuh besar bersama program mereka.

To be fair, though, kadang-kadang saya nonton TVRI juga — soalnya dulu ada Voltron dan ThunderCats di sana. 😛 Tapi bukan itu yang hendak dibahas di sini.

Nah, yang hendak saya bahas di sini terkait dengan “hobi” nonton TV zaman dulu. Ada apa dengan itu, nah, ini ada ceritanya lagi.

 

Nostalgia dulu…

 

Sekitar masa SD, saluran televisi favorit saya adalah RCTI. Banyak film-film bagus ditayangkan di sana: mulai dari Airwolf, MacGyver, hingga yang legendaris seperti Ksatria Baja Hitam. Kalau yang bermuatan edukasi, Sesame Street; yang bergenre kartun, Doraemon. Hampir semua teman saya nonton acara-acara tersebut. Entah itu di sekolah, di rumah, ataupun pas main ke rumah sebelah, yang dibicarakan adalah:

+ “Nonton Airwolf nggak kemarin?”
+ “MacGyver bersambung, hampir kalah sama Morgana.”
+ “Motor Road Sector, jreng-jreng…”

(dan seterusnya)

Kasar-kasarnya, kalau nggak nonton TV, nggak gaul. 😛 Entah produk Jepang atau Amerika, asalkan menarik, maka bakal jadi bahan gosip di kelas. Bagi kami Kotaro Minami sama kerennya dengan MacGyver. Kalau belalang tempur adalah motor super, maka Airwolf adalah helikopter jagoan. Voltron sama kerennya dengan Patlabor…

…dan seterusnya. Kalau ada di antara pembaca yang seumur saya, pastilah paham apa yang dimaksud. :mrgreen:

***

Tentu, yang saya sebutkan di atas itu produk zaman dulu. Generasi kelahiran ’90-an barangkali tidak tahu tentang KBH dan Airwolf. Meskipun begitu mereka punya ikon generasinya sendiri.

Seorang sepupu saya, yang sekarang masih SMA, tumbuh besar bersama Kapten Tsubasa. Anaknya mbak yang kerja di rumah saya, dulu hobi nonton Teletubbies. Jika dulu generasi saya punya idola, maka begitu pula dengan mereka. Entah bentuknya berupa Naruto, Sasuke, Aang, atau Ben 10 — asalkan sosoknya admirable, maka bisa jadi pujaan. Perkara asalnya dari Negeri Paman Sam atau Matahari Terbit… itu urusan belakangan.

Di sini saya ingin menekankan satu hal: anak-anak zaman sekarang tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dikelilingi budaya banyak negeri jauh lebih intens daripada kakek-neneknya. Ambillah drama seperti Pendekar Rajawali (Tiongkok), Full House (Korea), hingga One Litre of Tears (Jepang), semua siap mampir di televisi ruang tamu.

 

The Internet Revolution

 

Menariknya, walaupun di satu sisi saya menilai televisi sebagai agen budaya, saya tidak menganggapnya sebagai yang paling dahsyat. Gelar untuk ini jatuh pada media yang baru muncul belakangan, yakni internet. Dengan internet orang bisa berselancar ke tempat-tempat yang jauh — mendalami pikiran yang berbeda, juga budaya yang berbeda.

Barangkali lebih mudah kalau dijelaskan lewat contoh. Selama kisruh Iran kemarin, saya dapat berita dari Twitter dan Fark. Kalau sedang santai saya bisa berkunjung ke blog bu guru Amerika yang tinggal di Turki; kalau tidak, warga Saudi yang rada liberal. Saya bisa membaca jurnal keseharian sopir taksi di Singapura. Ada juga blog berita tentang Jepang, dan lain sebagainya.

Ingin belajar lewat internet? Itu juga bisa. Tinggal buka wikipedia, search google, atau tanya di Yahoo! Answers. E-book bisa diunduh, anime bisa ditonton. Siaran dan iklan mancanegara bisa diakses di YouTube. This being internet, kita bisa saling mengobrol, mengomentari, bahkan menertawakan kejadian di tempat jauh.

Seolah-olah, jarak dilipat saja oleh koneksi HTTP. Menurut saya ini hal yang hebat! 😀

Tentunya harus diingat bahwa, galibnya kemajuan teknologi, internet juga punya sisi negatif. Ada banyak kasus untuk ini. Toh ini tidak mengubah kenyataan. Sebagaimana sudah disebut, internet adalah jendela penghubung yang luar biasa antara warga dunia.

 

The Culture Salad

 

Bicara soal ini, saya jadi ingat lagi pada diskusi yang kemarin. Mas gentole bercerita di salah satu komentar,

[K]emarin sempat ikut seminar dan beli buku barunya Yudi Latif yang judulnya menyemai kebangsaan atau apa gitu. Debatnya seru. Kebanyakan orang tua sih. Nah di sini menariknya.

Kalo saya baca postnya sora dan juga melihat kecenderungan lambrtz, geddoe dan dnial untuk menjadi nationless dan stateless itu, sepertinya ada gap yang sangat besar antara dua generasi.

 
*) dengan perubahan seperlunya

Saya pikir tidak ada yang aneh dengan itu. Mengapa generasi zaman sekarang kok lebih suka persahabatan lintas batas dan humanisme universal, alih-alih nasionalistik? Well, simply put: itu karena mereka sejak kecil meng-embrace budaya banyak negeri! :mrgreen:

Coba kita kilas balik. Zaman dulu, kakek dan nenek kita harus mengantri untuk bisa nonton gambar idoep. Televisi belum ada. Film yang masuk juga jumlahnya terbatas. Hal yang sama masih berlanjut sampai (barangkali) era Ayah dan Ibu saya. Sekarang? Bukan saja produk Hollywood yang masuk sini, film Jepang, Korea, Taiwan juga ada. 🙂 Belum lagi kalau punya TV kabel atau parabola. Makin lengkaplah pilihannya.

Sementara, zaman sekarang kita punya internet. Saya bisa dapat perkembangan berita di Iran; bisa tahu kabar-kabar terbaru di Jepang. Ingin belajar filsuf Prancis, Jerman, Yunani kuno? Tinggal download e-book. Separah-parahnya toh masih bisa google. Di sini kita lihat: betapa generasi sekarang punya banyak influence dalam membentuk identitas.

Saya tertarik menyebut fenomena ini sebagai culture salad. Dengan merembesnya pengaruh mancanegeri di Indonesia, maka kita jadi makin terbuka. Sekat “nasionalisme” tidak lagi dianggap sakral. Perbedaan kewarganegaraan bukan lagi sesuatu yang “wah”.

Iyalah. Apanya yang “wah” kalau saya bisa main ke blog Bu Mary atau Pak Mingjie sekali langkah. Sama-sama orang biasa, sama-sama blogger. Sama-sama punya keluarga dan kesulitan hidup juga. Lalu saya bertanya: apa bedanya saya dengan mereka? Tidak banyak, sungguh!

 
Saya rasa inilah sebabnya gagasan nasionalisme klasik, yang menjunjung tinggi “mesti Indonesia asli”, mulai kehilangan pamor. Justru sekarang ini zamannya multibudaya dan akulturasi. Komunikasi membuat kita paham bahwa tidak ada yang istimewa amat dari warga negara ini dan itu, budaya ini dan itu.

Kalau saya boleh menilai, negara dan budaya kita di bumi pada dasarnya seperti mosaik. Tak sama tapi serupa. Unik dengan caranya sendiri-sendiri. Sebagaimana dicerminkan generasi saya yang tidak membedakan antara Kotaro Minami, Yo Ko, dan MacGyver, maka begitulah saya memandang dunia.

Saya sendiri kurang tahu bagaimana orang lain, tapi, masa sih cuma saya yang berpikir begitu? :mrgreen:

 

Epilog: “Culture? What Culture?”

 

Jadi, inti dari tulisan ini adalah…

…pertanyaan yang jadi judul di atas. Culture? What culture? 😆 Adakah kultur yang unik di dunia saat ini? Bisakah orang menggolongkan “nasionalisme” berdasarkan kesamaan budaya. Saya rasa, susah! :mrgreen:

Sebagaimana sudah saya uraikan di atas, dunia kita — bukan cuma Indonesia — sekarang sedang memasuki tahap culture salad. Budaya dari macam negeri masuk ke ruang tamu; kita olah dan kita saring. Lalu kita berakulturasi. Perlahan-lahan terbentuk budaya baru yang, kalau boleh disebut, blasteran.

Saya ambil contoh dari tulisan lama saya. Apa yang membuat remaja mesjid tertarik membumbui majalah dinding dengan ilustrasi anime? Kalau dilihat sekilas Jepang dan Islam tidak ada hubungannya, tapi kok jadi begitu? Saya pikir, jawabannya sederhana.

 

akulturasi

 
Dengan mengamati budaya negeri lain, kita mengambil apa yang dirasa bagus, dan mencampurnya dengan milik kita. Dari “bahan dasar” yang berbeda kita meracik culture salad, menghasilkan campuran baru yang unik.

Sama halnya dengan kisah anak-anak zaman internet di atas. Dari budaya yang berbeda, mereka mengambil apa yang dirasa cocok, lalu mengembangkan sintesis. Zaman sekarang tidak aneh jika ada anak yang berlatar keluarga muslim tapi paham Thomas Paine; tidak aneh kalau ada anak yang suka barang-barang Jepang sekaligus The Corrs dan Aerosmith; juga tidak aneh kalau ada yang suka anime sekaligus dengar Led Zeppelin! :mrgreen:

***

Di tulisan kemarin, saya menjelaskan bahwa manusia itu aslinya satu. Dulunya satu, dan sekarang sedang akan menyatu lagi. Waktu itu saya menampilkan Tiger Woods dan Barack Obama sebagai ilustrasi.

 

tiger woodsbarack obama

Dua bapak di atas, biarpun sekilas berkulit hitam, sebenarnya mewarisi genetik banyak ras.
Tiger Woods (kiri): keturunan Thai, Cina, Belanda, Afrika, Indian.
Barack Obama (kanan): keturunan Kenya-Amerika, ibu berdarah Inggris.

 
Sekarang, di akhir tulisan ini, kita sama-sama menyadari: bukan saja ras-ras yang kembali menyatu, budaya pun juga ikut menyatu! 😯 Jika persatuan ras mewujud dalam bentuk anak-anak multiras, maka, di masa kini, persatuan budaya mewujud dalam bentuk culture salad. Perubahan ini digawangi oleh televisi dan internet.

Saya pribadi berpendapat bahwa konstruksi “identitas budaya”, pada akhirnya, akan bernasib sama dengan “identitas ras”. Bakal melebur, hilang batasnya. Menjadi budaya baru yang sifatnya campursari — sebagaimana anak-anak yang multiras menandakan hilangnya batas suku.

Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia “cuma beda di luar saja”. Biar kulitnya berbeda, kewarganegaraannya beda, warisan budayanya beda, tidak ada alasan untuk mengelompokkan manusia. Saya bilang: pergi sajalah jauh-jauh itu “nasionalisme”, “tribalisme”, “rasisme”, dan sebagainya. Karena kita ini sebenarnya sedang saling menyatu: baik secara lokasi, genetik maupun budaya. Lebih baik mencari persamaan daripada perbedaan, kan begitu? 😀

Akhir kata, saya ingin berpesan: ingatlah bahwa apa yang kita anggap ‘berbeda’ belum tentu aslinya seperti yang diributkan. Sebagaimana sudah dijelaskan, manusia adalah kawanan yang satu. Dulunya satu, kemudian berpencar, dan kini sedang menyatu lagi. Jangan sampai kita justru terjebak dan mengotakkannya secara sembrono. 😉

Read Full Post »

“Surely it is more interesting to argue about what the truth is, than about what some particular thinker, however great, did or did not think.”

~ David Deutsch

 
Kalau boleh jujur, saya sering dongkol setiap ketemu orang — baik di dunia nyata maupun internet — yang setiap kali berbicara membubuhkan atribusi. Maksudnya sedikit-sedikit main quote, begitu, sehingga idenya jadi terkesan ‘wah’. Contoh untuk ini pernah dijelaskan oleh xaliber di posting lawasnya:

Si A: Saya rasa, untuk menyatukan rakyat kita membutuhkan pemimpin yang keras.

Si B: Oh, tentu! Saya juga setuju. Tapi asal tahu saja, teori seperti itu namanya integrasi berdasarkan konflik. Masyarakat bisa terintegrasi karena adanya coercion dari penguasa dan menentukan musuh bersama; teori ini sempat diutarakan oleh Dr. Nasikun pada bukunya yang berjudul Sistem Sosial Indonesia…

Barangkali karena saya pribadi kurang suka gaya bahasa berbelit bumbu jargon, makanya jadi begitu. Seperti yang dibilang Pak Deutsch di atas: yang lebih penting itu idenya, bukan orangnya. Kan begitu? 😛

Yaa, bukannya saya anti kutipan, sih. Sah-sah saja buat menyampaikan poin, tapi mbok ya jangan berlebihan kalau lagi diskusi. Masa dikit-dikit kutip Plato, Machiavelli, Nietzsche, dkk., dllsb. 😐 Ilmu itu yang penting komunikasi bung, bukan jualan nama!

On related note, sebenarnya tulisan yang kemarin juga bisa dibumbui quote berbagai ilmuwan terkenal: Dawkins, Huxley, Darwin, dst. Pertanyaannya, buat apa? Saya pikir pembaca juga lebih suka lah kalau disampaikan sederhana begitu saja. So there. 😆

 

Ps:

Sekadar postingan curhat, jangan terlalu dipikirkan. 😛

Read Full Post »

Pembaca, pernahkah Anda membayangkan tentang manusia pertama? Sosoknya saya serahkan pada Anda. Jika Anda religius, boleh membayangkan Nabi Adam; jika tidak religius, boleh membayangkannya dalam konteks single origin hypothesis.

Sudah? Sekarang, bayangkan manusia pertama tersebut berkembang biak. Beranak-cucu, hingga punya banyak keturunan. Hingga kemudian terbentuk sebuah keluarga besar “manusia purba”.

Dan kisah ini pun dimulai…

 

I. Migrasi

 

Pertama-tama, mari kita bayangkan keluarga besar yang sudah disebut. Selama ini keluarga besar manusia tinggal di sepetak tanah. Benua Afrika yang subur adalah tempat mereka tinggal — semua kebutuhan terpenuhi di situ. Jika ingin makan daging, mereka berburu; jika tidak, mereka memetik buah dan daun. Kehidupan masih sederhana dan belum ada struktur sosial.

Meskipun begitu, seiring waktu, keluarga besar tersebut mulai membengkak. Anak-beranak, generasi ke generasi, hingga akhirnya jumlahnya jadi besar. Afrika yang tadinya makmur tak lagi cukup menampung mereka. Ibaratnya, makanan hanya untuk 10 orang, tapi populasi sekarang 50 orang. Maka mereka pun memutuskan mencari tanah baru.

Sedikit demi sedikit mereka pun berjalan…

 

out-of-africa

(image courtesy of University of Texas)

 
Keluar dari Afrika. Menuju tempat-tempat baru yang sebelumnya asing — hingga akhirnya mendarat di berbagai pelosok bumi.

 

to the world

(image courtesy of San Diego State University)

 

Sebagian memilih Eropa, sebagian lagi jalan terus sampai Asia. Sebagian lagi menyabung resiko menyeberangi Selat Bering; menjadi nenek moyang bangsa Aztec dan Inca. Adapun sebagian kecil mencoba berperahu melewati Samudra Hindia dan Pasifik.

Dari satu titik di benua Afrika, mereka menyebar mencari tanah-tanah baru. Perjalanan ini berlangsung selama puluhan ribu tahun.

 

II. Adaptasi

 

Syahdan, keluarga besar manusia sekarang tersebar di muka bumi. Ada yang memiliki tanah di Amerika; ada yang di Eropa dan India. Perlahan-lahan mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Yang tinggal di Eropa mendapat cuaca dingin dan sedikit matahari. Tubuh mereka pun beradaptasi: kulit yang tadinya gelap kini menjadi terang. Warna mata berganti menjadi cerah. Lingkungan yang tak bersahabat menuntut kerja keras… menghasilkan badan yang tinggi dan besar.

Yang tinggal di Asia Tengah mendapat lebih banyak matahari, tetapi tanahnya berdebu dan bergurun. Perlahan-lahan mereka mengembangkan bentuk mata sipit dan kulit coklat. Berkembanglah cikal-bakal ras mongol yang sekarang kita kenal.

Yang tinggal dekat khatulistiwa memiliki sinar matahari sepanjang tahun. Cuaca basah dan tanahnya subur. Tidak perlu berburu, apalagi bekerja menaklukkan alam seperti saudaranya di Eropa — maka berkembanglah ras yang badannya kecil-lincah dan berkulit cokelat.

Sedangkan yang tinggal di Afrika tetap dengan ciri-cirinya sejak awal. Berbadan kuat dan besar sebagai pemburu, berkulit gelap menangkal matahari. Mata dan rambut mereka hitam oleh pigmen penangkal ultraviolet. Maka demikianlah ras Afrika yang kita kenal sekarang.

Tentunya ada banyak ras lain yang belum disebut. Meskipun begitu, empat contoh di atas harusnya cukup jelas untuk mengilustrasikan konsep “ras” dan asal-usulnya — saya yakin Anda paham apa yang saya maksud. 😉

 

III. Reuni

 

Nah, setelah ribuan tahun terpisah, ras-ras manusia ini kemudian bertemu kembali. Dunia kita ini memang aneh — semua yang tadinya berpencar, kemudian bertemu lagi pada akhirnya. 😀 Air laut naik jadi air hujan, jatuhnya ke bumi lagi. Biji padi disemai di sawah, akhirnya masuk ke lumbung. Demikian juga umat manusia yang beragam ras di atas.

Berkat kemajuan transportasi, sekarang tidak sulit bagi kita bertemu orang di benua lain. Tinggal naik pesawat atau kapal laut, maka jadilah. Malah bukan saja kita bertemu — kalau mau, menikah dengan orang ras lain pun tidak masalah! 🙂

Inilah yang disebut sebagai gene flow dalam konteks biologi. Orang-orang dengan genetik yang berbeda, dari tempat yang berbeda, bisa bertemu dan berkumpul di satu tempat. Mengutip peribahasa: “Asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga”. Contohnya ada banyak di sekitar kita.

Tidak percaya? Coba saya tanya. Sepanjang hidup Anda di Indonesia, ada berapa banyak kenalan yang berdarah Arab? Tionghoa? Indo? Berani taruhan — pasti lebih dari satu! :mrgreen:

Adapun itu baru di Indonesia. Di Amerika Serikat, negara yang terkenal membuka diri pada imigran, terdapat populasi kulit putih, kulit hitam, Asia, Inuit, dan Hispanik. Jadi mungkin bisa dibilang: umat manusia yang tadinya terkotak-kotak oleh ras, kini sedang merapat kembali dan bersatu dalam belanga.

 

IV. Multiras: Melampaui Batas Suku

 

Sebagaimana sudah disebut, di masa kini ras-ras yang berbeda — hasil adaptasi dan evolusi ribuan tahun — mulai bertemu kembali. Orang-orang dari tempat yang jauh saling berinteraksi; beberapa malah sampai menikah dan berketurunan. Otomatis, ini berarti munculnya satu genre identitas baru: identitas multiras.

Atau, kalau boleh dibilang, anak-anak yang lahir dari perkawinan beda suku. Di Indonesia kita menyebutnya “blasteran”.

Saat ini fenomena multiras adalah hal yang umum. Paman saya, orang Jawa, menikah dengan wanita Batak dan mendapat seorang anak. Teman ngobrol saya waktu kuliah berdarah Arab. Cinta pertama saya gadis Indo-Padang, dan lain sebagainya. Pada akhirnya ini menunjukkan satu hal: identitas kita bukan lagi tunggal dan terkotak. Melainkan campursari antara budaya sini, budaya situ, genetik sini dan genetik situ.

Barangkali lebih mudah jika ditunjukkan lewat nama. Dulu selebriti kita punya nama “Indonesia” seperti Roekiah dan Raden Mochtar. Sekarang kita punya Rianti Cartwright, Indra Bruggman, Farah Quinn. Di Kanada ada David Suzuki; di Prancis ada Patrick Vieira; di Jerman ada Mehmet Scholl. Masih banyak contoh lain yang takkan muat disebut di sini.

Poin saya adalah, pada akhirnya, kita — sebagai manusia — mulai kembali “menyatu” setelah terpisah jarak. Baik itu jarak genetik, jarak budaya, dan jarak sejarah. Kehadiran mereka yang multiras adalah buktinya.

Betapapun di luarnya kita terlihat berbeda, sebenarnya kita datang dari tempat yang sama. Dari padang-padang yang jauh di Afrika, kita mengembara, terpisah, dan akhirnya bercampur lagi. Asia bercampur Eropa, Indian bercampur Eropa, Asia bercampur Afrika… dan lain sebagainya.

Boleh jadi di masa depan umat manusia semuanya ras campursari. Mungkin seperti Tiger Woods dan Obama? Siapa yang tahu? 😉

 

tiger woodsbarack obama

Dua bapak di atas, biarpun sekilas berkulit hitam, sebenarnya mewarisi genetik banyak ras.
Tiger Woods (kiri): keturunan Thai, Cina, Belanda, Afrika, Indian.
Barack Obama (kanan): keturunan Kenya-Amerika, ibu berdarah Inggris.

 

V. Unity in Diversity

 

Hari ini, ketika sedang menulis post ini, saya jadi ingat lagi pada pelajaran PPKn yang didapat waktu sekolah. Anak-anak biasanya bosan dengan pelajaran ini — sekadar mengulang hal biasa, tidak penting, dan lain sebagainya. Meskipun begitu ada satu poin yang diajarkan di sana, yang paling saya ingat sampai sekarang:

Jangan membeda-bedakan teman. Jangan berbuat kesukuan. Jangan mengungkit SARA. Ingat Bhinneka Tunggal Ika: biarpun berbeda-beda tetapi satu jua.

Now how true that statement holds! Bukan saja kita berbeda-beda tapi satu, kita memang satu dari sananya. Berasal dari tempat yang sama di Afrika, kita kemudian berpencar — dan sekarang menuju untuk bersatu lagi. Hanya kepicikan dan rasa naif yang membuat kita mengingkarinya.

Sebagaimana sudah kita lihat bersama di atas. Semua bentuk kesukuan dan ras itu pada dasarnya hanya ilusi. Siapapun orangnya, tak peduli dia berdarah Melayu, Cina, Arab, Indian, Eropa, Eskimo — asalkan sesama manusia, maka dia adalah keluarga. And that’s all that matters.

***

Maka benarlah penulis masyhur H. G. Wells berkata, “Our true nationality is mankind.” Beliau bukan ilmuwan, apalagi ahli sejarah. Meninggalnya pun baru abad lalu. Meskipun begitu, saya pikir ucapan beliau mengilustrasikan sejarah panjang manusia dengan tepat.

Atau, kalau saya boleh mengadaptasinya di sini: We were one, are one, and will be one. In the end, our true nationality is mankind.

Anda setuju? 😉

Read Full Post »

Sedang jalan-jalan di Facebook kemarin siang, saya menemukan sebuah page yang menarik. Isinya sendiri bisa dibilang jejaring sosial banget — tidak jauh beda dengan urusan tag-mengetag pada umumnya. 😛

Take no more than 15 minutes, and make a list of the 15 books that stick with you, for whatever reason. Then spread the list:

— Post your list here
— Post it on your profile for your friends to see
— Become a fan of this page
— Include a link to http://www.facebook.com/15books in your profile post

Saya pikir, kalau ditulis sebagai notes, tidak semua orang bisa baca — harus daftar FB, add friend, dan seterusnya — sementara saya orangnya tidak mau approve sembarangan. Walhasil, saya pun memutuskan untuk menulisnya di blog saja. :mrgreen:

Seperti apa daftarnya, here goes

    (CATATAN: hampir semua dari buku di bawah ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, meskipun demikian saya merujuk pada versi dalam bahasa aslinya)

 

1. “Demon-Haunted World: Science as A Candle in The Dark”
— Carl Sagan (1995)

 

cover

 

Buku yang berisi kumpulan esai oleh almarhum Carl Sagan. Kalau boleh jujur, Pak Sagan adalah salah satu ilmuwan yang paling saya kagumi: berpengetahuan luas, punya kesadaran sosial, juga piawai mempopulerkan sains di masyarakat umum. Buku ini merangkum berbagai sudut pandang beliau semasa hidupnya (1932-1996).

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-full

 

2. “A History of God”
— Karen Armstrong (1993)

 

cover

 
Pertama kali baca buku ini waktu kelas 2 SMA. Pertama-tama kebingungan — meskipun begitu, setelah beberapa waktu, mulai bisa memahami alurnya. 😛 Berkisah tentang evolusi keyakinan manusia sejak zaman pagan hingga era modern. Ini buku yang memperkenalkan saya pada gagasan ber-Tuhan yang esoterik; juga membuka mata bahwa “iman” itu banyak ragamnya.

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-full

 

3. “Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World”
— Karen Armstrong (1988)

 

cover

 
Buku kedua dari Karen Armstrong di daftar ini, sekaligus juga yang terakhir. Dalam buku ini Bu Armstrong berkisah tentang kronologi Perang Salib dan dampaknya di era modern. Buku ini sempat membuat saya kecewa berat — bukan karena isinya jelek, melainkan karena sukses membuat depresi. Pengantar saya sebelum membaca literatur Perang Salib yang lebih serius (Runciman, Hillenbrand — tidak dibahas di daftar ini).

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-empty

 

4. “Manusia Multidimensional: Sebuah Renungan Filsafat”
— M. Sastrapratedja (ed.) (1982)

 

cover

 
Buku jadul lungsuran ibu saya, meskipun begitu sepertinya beliau tidak pernah baca. ^^;; Berbentuk kumpulan esai, buku ini mengantar saya pada ide-ide dasar filsafat barat. Pertama kali “mengenal” Nietzsche, Jaspers, dan Camus dari buku ini — walaupun begitu, pembahasannya tentang Popper paling mengena di hati saya. Dus, membuka jalan saya untuk belajar filsafat lebih jauh. I’m eternally grateful to the authors of this book.

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-full

 

5. “Crime and Punishment”
— Fyodor Dostoyevski (1866)

 

cover

 

Novel penulis Rusia pertama yang saya baca; waktu itu saya hampir lulus SMA. Banyak pesan moral yang saya dapat dari buku ini. Meskipun begitu ada satu poin yang paling berkesan: orang tidak bisa bahagia jika hanya bermodal rasionalitas (Raskolnikov) atau kehangatan hati semata (Sonia). Agar orang bisa bahagia, harus ada keseimbangan di antaranya, dan itu dicontohkan secara apik lewat “jalan” Razumihin dan Dounia.

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-full

 

6. “Madilog”
— Tan Malaka (1943)

 

cover

 
Saya pertama kali tahu Tan Malaka lewat autobiografi Dari Penjara ke Penjara, jilid II, sekitar tahun 2003-04. Oleh karena itu, saya tahu sedikit tentang Madilog — dan kemudian, ketika ada teman kos yang punya, saya pun meminjam dengan sukses. :mrgreen: Dengan materi ilmu alam, logika, dan filosofi yang dibawanya, buku ini turut membentuk pemikiran saya di awal kuliah. (walaupun efeknya tidak sedahsyat Demon-Haunted World)

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-empty

 

7. “Anak Semua Bangsa”
— Pramoedya Ananta Toer (1981)

 

cover

 
Bagian kedua dari Tetralogi Buru, sekaligus yang paling berkesan secara pribadi. Humanisme lintas batas yang dicerminkan para tokohnya benar-benar strike di hati saya. Mulai dari Jawa (Minke, Nyai), Tionghoa (Khouw Ah Soe), hingga Eropa (Jean Marais dan keluarga Delacroix), semua sepakat bahwa tidak ada manusia yang suka ditindas. Kisah perjuangan bangsa Filipina dan Cina oleh Khouw Ah Soe jadi pelengkap yang manis.

Novel karya mbah Pram ini sukses mengingatkan saya pada nilai yang berharga: Kemanusiaan itu universal, tidak terkotak-kotak oleh suku dan ras. Mengutip H.G. Wells, “Our true nationality is mankind.”

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-full

 

8. “Surely You’re Joking, Mr Feynman!”
— Ralph Leighton & Richard Feynman

 

cover

 

Setelah dari tadi membahas buku serius, maka sekarang waktunya buku yang lebih ceria. 😀

Surely You’re Joking, Mr Feynman! adalah sebuah (semi-) autobiografi karya Nobelis fisika Richard Feynman. Meskipun begitu, alih-alih membahas rumus dan dunia fisika, buku ini memberi gambaran dari sisi lain: bagaimana keseharian Feynman, rasa penasarannya akan segala hal, dan hobinya mengisengi teman sejawat. Sifat Feynman yang cerdas-tapi-playful adalah sumber inspirasi saya. Malah dulu saya bercita-cita mengikuti jejak beliau jadi ilmuwan! 😀

Menurut saya, buku ini seolah mencibir stereotip “orang jenius” yang berlaku di masyarakat dan menguburnya dalam-dalam. Listen now, kids: nobody likes a snobby genius! :mrgreen:

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-half

 

9. “Lets Learn Kanji: An Introduction to Radicals, Components and 250 Very Basic Kanji”
— Y.K. Mitamura et. al. (1997)

 

cover

 

Buku pengantar saya belajar Kanji. Kalau boleh jujur, saya sebenarnya tidak punya patokan khusus belajar Bahasa Jepang — ada banyak buku yang saya baca. Meskipun begitu yang satu ini benar-benar stand out sehingga layak disebut tersendiri. Dengan penjelasan, organisasi, dan trik memorization yang mantap, buku ini layak dimiliki oleh setiap peminat barang-barang Jepang.

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-full

 

10. “Concepts of Modern Physics”
— Arthur Beiser (1981)

 

cover

 

Pembaca serial mekanika kuantum di blog ini mungkin sudah tahu buku di atas. Buku ini sempat saya cantumkan sebagai salah satu referensi di sana. Ilustratif, mengedepankan konsep, dan (relatif) sedikit bermain rumus, buku ini merupakan pengantar yang bagus menuju dunia fisika modern — di antaranya teori relativitas, mekanika kuantum, dan fisika partikel. Satu-satunya buku kuliah yang suka saya baca jika sedang senggang. 😛

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-full

 

11. “The Blind Watchmaker”
— Richard Dawkins (1986)

 

cover

 
Salah satu pengantar terbaik dalam memahami Teori Evolusi. Dalam buku ini, Dawkins menjelaskan bagaimana keragaman yang kompleks dapat dicapai lewat perubahan yang berkesinambungan (evolusi). Konsep-konsep rumit seperti DNA, mutasi, dan pewarisan dijelaskan lewat analogi yang mudah dicerna. Buku ini adalah salah satu awalan saya dalam mempelajari teori evolusi. (yang satu lagi buku S.J. Gould di nomor 12)

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-half

 

12. “Structure of Evolutionary Theory”
— Stephen Jay Gould (2002)

 

cover

 
Buku mammoth yang bisa dipakai membunuh cicak kalau dijatuhkan (seriously). Tebalnya 1343 halaman. Meskipun begitu, jika Anda benar-benar tertarik mendalami evolusi, maka buku ini adalah pilihan yang bagus. Sekitar separuhnya — 600-700 halaman — dialokasikan untuk membahas sejarah pemikiran, dan sisanya penjelasan teknis.

Dilengkapi gambar, foto, dan analogi oleh salah satu palaeontolog paling masyhur di dunia. Long story short, buku ini membuat Gould jadi “menara kembar” pemahaman evolusi saya — bersama dengan Richard Dawkins yang disebut sebelumnya. 😛

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-empty

 

13. “Adventures in American Literature (Classic Edition)”
— James Early et. al. (ed), various American writers

 

cover

 

Buku ini merupakan kompilasi cerpen dan puisi karya penulis Amerika dari zaman ke zaman, mulai dari era Wild West hingga awal abad 20. Karya penyair legendaris seperti Edgar Allan Poe, Longfellow, dan Nathaniel Hawthorne bisa dibaca di sini. Terdapat juga sketsa biografis dan analisis komposisi berbagai karya tersebut; tambahan yang menarik untuk orang yang latar belakangnya non-sastra seperti saya.

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-half

 

14. “Fantasista”
— Michiteru Kusaba (1999-2006)

 

cover

 
Manga pertama di daftar 15 Books ini. Saya bisa dibilang bukan peminat manga hardcore — saya tidak langganan majalah sebangsa ShonenMagz, jarang download, juga jarang beli di kios. Meskipun begitu Fantasista adalah pengecualian. Ilustrasinya bagus, jalan ceritanya menarik, dan teknik bermain bola yang disajikan tergolong realistis. Tidak ada tendangan maut a la Shoot! atau Captain Tsubasa. Pokoknya, sepakbola as we know it! :mrgreen:

Sayangnya serial ini memiliki ending yang buruk. Kesannya kurang dipoles, begitu, sehingga saya tak bisa memberi nilai sempurna. Oh well.

Personal Rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-empty

 

15. Q.E.D ~証明終了~
— Motohiro Katou (1997–present)

 

cover

 

Yup, you read it right. Another manga in this list. Tak lain dan tak bukan, manga yang tokoh utamanya sosok jenius lulusan MIT. Siapa lagi kalau bukan So Toma? :mrgreen:

Bagi saya, Q.E.D. adalah salah satu komik favorit sepanjang masa. Komik ini berkisah tentang seorang jenius yang sulit dipahami oleh lingkungan sekitarnya, meskipun begitu, belakangan ia mulai bekerja sebagai detektif paruh waktu. Kasus yang ditangani Toma umumnya berhubungan dengan tema ilmiah seperti matematika, seni, dan sejarah — hal yang membuat komik ini jadi menarik. Malah saya tahu hal-hal obscure seperti Jembatan Konigsberg dan legenda Pygmalion dari komik ini! 😀 So that’s saying much. Manga ini masih berjalan sampai sekarang, dan di Indonesia diterbitkan oleh Elex Media Komputindo.

Personal rating:
st-fullst-fullst-fullst-fullst-half

***

Yah, kurang lebih seperti itu daftarnya. Tiga belas buku serius (baca: isinya sebagian besar tulisan) dan dua buah komik. Sebenarnya bukan tak mungkin ada yang terlewat, tapi, hei, yang disuruh kan cuma yang teringat saja. 😆

BTW, saya tidak mengetag siapapun untuk mengerjakan tugas ini. Silakan kalau ada pembaca yang berminat melaksanakan — tergantung suasana hati sajalah. 😉 Walaupun saya penasaran juga sih daftar bukunya lambrtz, geddoe, dan mas gentole seperti apa…

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »