Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Opinion’ Category

Ada sebuah kenangan menarik yang saya alami sekitar tahun 2001, kurang lebih waktu saya baru masuk SMA. Peristiwanya terjadi ketika jam pelajaran fisika dan membahas tentang gerak jatuh bebas.

Kalau Anda pernah belajar tentang Hukum Newton, kemungkinan besar sudah tahu tentang peristiwa “apel jatuh” yang legendaris. Bahwasanya, ketika Pak Isaac Newton melihat apel jatuh dari pohon, ia langsung mendapat inspirasi. Kemudian beliau menulis perhitungan rumit dan hasilnya diterbitkan dalam buku ‘Principia Mathematica’. Singkat cerita, Newton menjadi ilmuwan besar karena merenungi fenomena jatuhnya buah apel tersebut.

Nah, yang hendak saya ceritakan di sini ada hubungannya dengan peristiwa “apel jatuh” di atas.

Sebagaimana sudah disebut di awal, peristiwa ini terjadi ketika jam pelajaran fisika. Waktu itu ibu guru sedang menerangkan di papan tulis, ada rumus ini-dan-itu — meskipun begitu yang paling berkesan adalah satu ilustrasi yang ada di buku paket.

Buah apel tergantung diam di pohon (kecepatannya nol). Kemudian apel tersebut jatuh.

Setiap detik jatuhnya apel semakin cepat, sebab ditarik gravitasi.

Maka lewat matematika dapat dihitung bahwa:

(kecepatan) = (gravitasi) * (waktu)

v=g.t

Saya tidak tahu bagaimana dengan orang lain, tetapi bagi saya waktu itu, ilustrasi di atas benar-benar membuka mata. Dalam sekejap fisika yang rumit jadi sederhana. Tidak ada hafalan rumus ini untuk GLB, rumus itu untuk GLBB — yang ada cuma ilustrasi, lalu dihubungkan ke rumus matematik. Begitu simpel. Begitu masuk akal, logis, elegan.

Belakangan saya mempelajari bahwa, walaupun di awalnya sulit, materi-materi lain di pelajaran fisika itu sebenarnya tidak jauh beda dengan ilustrasi di atas. Tidak jauh berbeda dalam artian begini: mulai dari hukum gerak, gravitasi, hingga elektromagnet, semuanya bisa dijelaskan secara logis dan sederhana. Tidak ada rumus ajaib yang — meminjam istilahnya Carl Sagan — seolah-olah diturunkan dari Gunung Sinai.

 

moses-f-ma

Bukan dari Gunung Sinai. 😛

 

Di balik kerumitan rumus, terdapat penjelasan logis yang mudah dicerna. Lebih lagi hukum-hukum tersebut menggambarkan lingkungan alam sehari-hari. Saya yang waktu itu masih ABG amat terkesan.

 

Sains dan Keindahan Alam

 

Sudah sekian tahun berlalu sejak peristiwa di atas terjadi. Meskipun begitu dampak yang ditinggalkannya masih berbekas sampai sekarang. Boleh dibilang bahwa peristiwa di atas turut berperan menentukan kesukaan saya belajar sains/IPA.

Walaupun contoh yang saya sebut di atas cuma melibatkan fisika, inti kekaguman yang dihadirkannya adalah science in general: bagaimana alam semesta yang rumit dapat dijabarkan dengan sederhana dan masuk akal. Di balik peristiwa yang kita lihat sehari-hari terdapat serangkaian proses maha indah. Saya mungkin terdengar norak atau berlebihan kalau bilang begini, tapi percayalah: there is actually joy in science! ^^v

Ini hal yang sifatnya rada subtle. Kalau Anda cuma mengamati alam sambil lalu, tidak mungkin bisa memahaminya. Harus coba untuk melihat lebih dekat. Dan untuk ini tidak mesti orang yang sekolahnya IPA, jurusannya IPA — tidak. Semua orang bisa menikmati ilmu alam. Saya ambil contoh berikut.

Anda mungkin pernah jalan-jalan ke air terjun dan melihat berbagai fenomenanya. Ada air terjunnya, ada jeram; kadang-kadang ada juga pelangi di situ. Sepintas lalu kita setuju bahwa pemandangannya indah, tetapi kenapa bisa indah?

Kenapa air terjun bisa terbentuk? Karena ada hukum fisika, air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Kenapa langit berwarna biru? Karena sinar matahari yang dibiaskan atmosfer paling banyak meloloskan warna biru. Kenapa kadang-kadang ada pelangi di air terjun? Karena titik-titik air membiaskan sinar matahari jadi tujuh warna, lalu dipantulkan sedemikian rupa sehingga dapat terlihat. Dan seterusnya, dan lain sebagainya.

Saya yakin Anda bisa melihat keindahannya di sini. Orang tak perlu jadi ilmuwan untuk menghayati ilmu alam. Asalkan orang mau bertanya dan belajar, dia bisa menikmati sains. Ini hal yang harus dicoba untuk bisa memahaminya.

Adapun itu baru dilihat dari bidang fisika. Kalau kita membahas air terjun dari sudut pandang geologi, mungkin banyak lagi analisis yang menarik. Mengapa bisa terbentuk level yang curam; mengapa bisa terbentuk jalur sungai dan air terjun… (saya tidak tahu; pendidikan saya bukan di situ 😛 ).

Atau mungkin dari bidang biologi: mengapa ada spesies yang hidupnya di dekat sungai, tapi tidak di tempat lain. Mengapa ekosistem air terjun berbeda dengan kota, dan seterusnya. Lagi-lagi saya tidak tahu pasti — saya cuma paham sedikit biologi dari buku Richard Dawkins dan S.J. Gould. Meskipun begitu ini adalah pertanyaan-pertanyaan menarik yang saya rasa juga akan menarik jawabannya. 🙂

 

Ilmu Pengetahuan Membebaskan

 

Sekarang saya mau cerita sedikit dulu tentang sejarah. 😛

Sahibul hikayat, menurut para ahli arkeologi, umat manusia purba zaman dulu memiliki ketakutan irasional terhadap alam. Ketika terjadi petir, misalnya, disangkanya pertanda bahwa alam sedang marah. Oleh karena itu mereka harus menyembah-nyembah supaya alam jadi tenang. Mereka menganut bentuk kepercayaan primitif bernama animisme/dinamisme — penyembahan terhadap unsur alam.

Di masa kini kita tahu bahwa animisme/dinamisme itu kepercayaan salah kaprah. Pengetahuan ilmiah menunjukkan bahwa, alih-alih kemarahan dewa, petir itu sekadar interaksi atom-atom di awan. Bencana kekeringan bukan karena dewi kesuburan marah, melainkan karena perubahan iklim. Pada akhirnya bencana itu dijelaskan sebagai peristiwa alam biasa.

Seiring kita memahami alam, kita tidak lagi takut pada hal-hal yang sifatnya takhayul. Malah justru dari pemahaman itu kita memanfaatkan alam untuk kepentingan kita. Kincir angin dipakai untuk pembangkit energi; irigasi makin canggih; bedil mesiu untuk melindungi dari hewan buas. Pada akhirnya ilmu alam menjadi pembebasan dari masalah dan rasa-takut.

Di bagian sebelumnya saya bercerita tentang menikmati alam dengan sains. Itu adalah karunia yang luar biasa. Akan tetapi, kelebihan sains sesungguhnya bukan hanya itu: dia juga membantu kita menghilangkan ketakutan-ketakutan kita. Baik itu yang sifatnya rasional maupun tak-rasional.

Jika nenek moyang kita dulu ketakutan dengan badai dan gempa bumi; dengan harimau dan penyakit kolera — maka kita sekarang memandangnya biasa saja. Seiring kemajuan teknologi ketakutan-ketakutan tersebut makin menyusut. Akhirnya tidak ada lagi yang ditakuti. Mungkinkah kelak hal-hal seperti hantu dan jin dapat dijelaskan lewat sains? Tentunya kalau begitu kita tak perlu takut lagi. Siapa yang tahu? :mrgreen:

 

Science: Breaking The Myth

 

Sebagaimana sudah diuraikan panjang-lebar di atas, sains (atau IPA, terserah pakai istilah mana 😛 ) adalah sebuah karunia besar. Asalkan orang mau belajar dan berpikir, maka ia bisa mendapatkan keindahannya. Orang tidak perlu kuliah di jurusan eksakta atau IPA untuk menikmatinya. Yang menghambat orang dari belajar IPA barangkali sekadar prejudice saja: bahwa IPA itu sulit, banyak rumus, atau cuma bisa dicerna orang ber-IQ sekian, dan seterusnya.

Saya pikir sebenarnya tidak persis begitu. Memang untuk mendalami IPA orang harus punya kecerdasan lumayan. Tetapi itu cuma berlaku kalau Anda terjun ke level teknis. Insinyur perlu matematik, dosen fisika perlu matematik, farmakolog harus tahu reaksi kimia blablabla — tetapi orang biasa tidak terjun ke bidang teknis. Di sini ada perbedaan yang harus dicatat.

Saya pikir, kalau orang ditakut-takuti untuk belajar IPA, maka dia takkan bisa menghayati keindahannya. Alangkah sayangnya kalau sampai seperti itu.

Untungnya, sejauh dapat saya lihat, tren-nya saat ini adalah “IPA untuk semua orang”. Saat ini banyak buku dari ilmuwan terkenal ditujukan ke masyarakat awam. Mulai dari Richard Dawkins, Lawrence Krauss, hingga yang paling terkenal Stephen Hawking. Semua berusaha menyampaikan bidang keilmuannya secara populer. Lebih lagi banyak di antaranya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. So far, so good.

Saya percaya bahwa sudah saatnya stigma “IPA sulit dan mengerikan” dibuang jauh-jauh. Sebab kalau IPA dianggap sulit, dia akan makin jauh dari masyarakat. Dan kalau sudah begitu… bukan tak mungkin masyarakat dikerjai oleh penipuan berkedok ilmiah. Yang terakhir ini perkara yang serius yang tidak bisa diremehkan kepentingannya. Malah kalau saya boleh menilai: ini alasan penting mengapa masyarakat awam HARUS mengakrabkan diri dengan sains. 😕

Anda ingat “Profesor Desa” Djoko Suprapto dan Blue Energy? Ini contoh luar biasa bagaimana masyarakat dan Presiden (!) Indonesia tertipu mentah-mentah oleh ilmuwan palsu. Ini menunjukkan betapa ketidaktahuan masyarakat akan sains bisa dimanfaatkan sedemikian rupa. Meskipun begitu nasi telah menjadi bubur. Seandainya pejabat dan masyarakat Indonesia waktu itu lebih melek-sains dan hati-hati, barangkali peristiwa tersebut dapat dicegah.

 

Penutup: It’s A Beautiful World

 

Singkat cerita, saya ingin memakai kesempatan ini untuk menekankan satu hal: belajar IPA bukanlah hal yang harus dipandang sebagai momok atau menakutkan. Sama sekali tidak. Sebagaimana sudah ditulis di atas, justru IPA itu mempunyai banyak manfaat. Semua orang, terlepas dari background akademisnya, berhak merasai keindahannya. Keindahan di sini sifatnya konseptual.

Sekalinya Anda sudah melihat ada apa di balik jatuhnya buah apel, terbentuknya pelangi, asal mula keragaman umat manusia — hal-hal tersebut akan menimbulkan kesan tersendiri. Susah dijelaskan! 🙂 Kadang-kadang kesan yang ditimbulkannya bisa begitu kuat dan mendalam.

Jangan sia-siakan karunia ini dengan bilang “ah itu emang dari sononya”, “ah emang gue pikirin”. Nooo, you’ll be damned! Rugi kalau mikirnya seperti itu. :mrgreen: Syukurilah kecerdasan kita dengan cara memanfaatkannya. Sesungguhnya akal-budi manusia adalah pemberian yang luar biasa. Kebetulan saya punya cerita menarik soal ini.

Sekitar tahun 2007, saya bersilang pendapat dengan beberapa orang yang menolak Teori Evolusi. Orang-orang ini percaya bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk bersamaan, sekali jadi. Saya bilang: kalau seperti itu, sama saja dengan menyatakan “Tuhan menciptakan pelangi, tujuh warna sekali jadi. Haleluyah, amin!”. Sementara di baliknya terdapat serangkaian hukum fisika optik maha indah.

Saya bukanlah orang yang religius. For the record, saya seorang agnostik. Meskipun begitu saya percaya: kalau orang beriman menolak sains, itu sama saja dengan menghina Tuhan. Asumsinya Tuhan bekerja dengan proses. Kalau kita mengaku beriman, tapi lebih suka mengabaikan proses yang aslinya indah tersebut… itu sama saja dengan mengabaikan karya besar-Nya di bumi. Padahal harusnya kebesaran itu dihayati dengan seluas dan selengkap-lengkapnya. 😉

***

Akhir kata, belajar IPA/sains/ilmu alam itu adalah sebuah anugerah. Terlepas dari apakah Anda religius atau tidak, apakah Anda agamis, ateis, agnostik, deis, atau lain sebagainya — jangan sia-siakan karunia ini.

Sebab kita tinggal di semesta yang elegan, dan kita beruntung punya kemampuan mengapresiasinya. Amat ironis kalau ternyata kita justru mengabaikan anugerah yang besar tersebut, lantas kembali memeluk pola pikir yang kuno dan menggampangkan masalah.

Read Full Post »

Kalau boleh jujur, saya adalah orang yang suka jalan-jalan di toko buku. Kadang-kadang disertai membeli, walaupun lebih seringnya tidak (tergantung kondisi keuangan dan ada/tidaknya judul yang menarik). Saya sendiri orangnya jarang belanja dan makan di food court, jadi, kalau sedang berada di mal, hampir pasti berkeliling lapak penjual manuskrip™. 😛 *halah*

Berawal dari kebiasaan di atas, akhirnya saya jadi punya modus operandi kalau sedang di toko buku. Boleh dibilang semacam tips-dan-trik: bagaimana menentukan buku yang cocok, apakah harganya sesuai, dan seterusnya. Tentunya yang saya lakukan ini bukan aturan baku — orang lain mungkin punya trik tersendiri. Meskipun begitu saya menemukan rule of thumb di bawah ini lumayan berguna, jadi tidak ada salahnya kalau dibagikan lewat blog.

Seperti apa metodenya, here goes.

 

#1:
Google review sebelum membeli

 
Adakalanya ketika sedang menyusuri rak, saya melihat buku yang tampaknya bagus. Meskipun begitu pengarangnya tidak terkenal, jadi kualitasnya susah ditebak. Biasanya kalau begini saya mengeluarkan ponsel dan bertanya lewat internet — siapa lagi ahlinya kalau bukan mbah Google? :mrgreen:

 

SE k510i w. google

 

Pencarian tersebut biasanya mengantar ke laman Amazon atau Goodreads buku bersangkutan. Dari sini saya bisa membaca customer review dan melihat argumennya. Reviewer yang baik umumnya menjelaskan dalam poin: apakah suatu buku itu penyampaiannya menarik, datanya up-to-date, dan seterusnya. Jadi saya bisa meraba-raba kualitas buku yang diincar tersebut. Semakin banyak review yang dibaca, semakin bagus.

Bukan berarti review online itu mutlak sih; kadang-kadang ada juga yang underrating atau overrating. Meskipun begitu, paling tidak saya dapat opini tambahan sebelum membeli. 😛

 

#2:
Kalau lisensinya public domain, pertimbangkan harganya

 
Salah satu jenis lisensi buku adalah public domain. Buku yang masuk grup ini adalah buku yang copyright-nya sudah habis/tidak diperbaharui oleh penulisnya. Oleh karena itu biasanya berupa karya klasik yang penulisnya sudah lama meninggal. Penulis yang terkenal di antaranya Charles Dickens, Dostoyevski, dan Oscar Wilde.

Nah, buku yang copyright-nya sudah habis ini biasanya tersedia gratis di internet. Jadi kalau Anda ketemu buku public domain di toko, jangan lupa pertimbangkan harganya sebelum membeli.

Sebagai ilustrasi, saya pernah ketemu buku Oscar Wilde di rak impor. Bahasa Inggris. Harganya? Rp. 130.000. Sudah tentu saya abaikan. Itu buku copyright-nya sudah basi, berani betul minta duit segitunya. Pastilah mahalnya di cukai impor saja. 😐

Nah, dalam kasus seperti di atas, lebih baik pertimbangkan mengunduh e-book. Bisa dari Wikisource, Project Gutenberg atau Planet PDF. Kalau harga bukunya murah tentunya tidak masalah. Saya sendiri beli Crime and Punishment-nya Dostoyevski seharga Rp. 25.000 (terjemahan Indonesia). Yang penting jangan terlalu mahal saja — salah-salah keuangan yang jebol. 😛

 

#3:
Usahakan cek berbagai rak; suka ada buku yang salah tempat

 
Ini problem yang universal hampir di semua toko buku. Kadang-kadang ada buku yang klasifikasinya tidak tepat, jadi tidak ketemu oleh calon pembeli. Sebenarnya dapat dimaklumi, sih. Bagaimanapun tidak mungkin petugas toko membaca satu per satu.

Ini saya alami waktu jalan-jalan di rak berlabel “Psikologi”. Isinya buku-buku semacam ‘Bagaimana Memotivasi Diri’, ‘Mencoba Meraih Teman’, dan sebagainya. Anehnya tidak ada textbook formal seperti ‘Pengantar Ilmu Psikologi’. Cari punya cari, ternyata adanya di… bagian “Kesehatan”. 😆

Lain kali saya menemukan novel historis (fiksi) masuk rak “Sejarah”. Novel historis maksudnya novel berlatar sejarah, misalnya tentang agen rahasia semasa perang dingin (dekade 1960-1990). Nah yang macam ini kan fiksi. Tapi sering bersebelahan dengan materi serius seperti ‘Sejarah Modern Turki’. Jadinya terlihat out-of-place.

Lalu ada juga yang benar-benar ajaib: satu buku, tak ada kawan, raknya nyasar dan tidak nyambung! Tadinya saya bingung kenapa bisa begitu. Belakangan saya dengar bahwa banyak oknum pecinta buku suka berbuat hina. Jadi ada buku tinggal satu, tapi orang ini tak mampu beli. Oleh karena itu dia kacaukan supaya tak diambil orang — ditaruh di rak yang jauh — supaya beberapa hari kemudian bisa dia beli. Benar-benar egois dan menyebalkan! 😈

Walhasil, setiap kali ke toko buku, saya jadi sering mondar-mandir berbagai rak. Sebab lumayan sering ada buku bagus tapi raknya salah tempat.

 

#4:
Kalau beli nonfiksi, perhatikan level bahasan. Apakah pemula, menengah, atau teknis?

 
Biasanya kalau belanja buku, yang saya beli adalah nonfiksi (saya jarang baca novel; entah kenapa kurang tertarik). Temanya sendiri bebas saja. Kadang beli sains populer, meskipun begitu, sering juga materi sosial (saya suka baca sejarah). Nah yang hendak dibahas di sini terkait jenis bacaan tersebut.

Sejauh saya lihat, genre nonfiksi pada umumnya terbagi dalam tiga level: untuk kalangan umum (pemula), untuk kalangan umum yang tertarik mendalami (menengah), dan untuk kalangan teknis (umumnya berupa textbook). Jadi orang yang hendak beli buku nonfiksi sebaiknya paham ke level mana dia hendak masuk.

Nonfiksi level pertama biasanya untuk anak-anak atau young adult. Umumnya banyak ilustrasi, dan — kalau sains populer — tidak banyak main istilah. Nonfiksi level kedua ditujukan pada orang dewasa, sebab isinya lebih serius dan banyak tulisan (buku-buku Richard Dawkins masuk sini). Sedangkan nonfiksi level ketiga adalah yang paling berat. Bahasannya formal dan umumnya bersifat studi. Secara fisik terlihat jumlah halamannya banyak (> 400) dan dilindungi hardcover. Kalau hendak beli yang macam ini, sebaiknya pastikan Anda sudah cukup menguasai topik.

Saya sendiri punya pengalaman buruk terkait level-levelan di atas. Sekali waktu, saya membeli buku kumpulan esai Goenawan Mohamad. Langsung saja saya dihajar istilah-istilah ajaib: poststrukturalisme Adorno, feminisme Kristeva, dan apalah itu sebagainya. Lha saya belum pernah belajar filsafat? Ya sudah, jadilah membacanya ditemani Wikipedia. 😆

Jadi moral ceritanya adalah, know your level. Jangan sampai beli buku yang akhirnya menyusahkan buat dibaca. 😛

 

#5:
Buku impor atau terjemahan?

 
Beberapa penyuka buku yang saya kenal, baik IRL maupun di internet, sering beranggapan bahwa kualitas terjemahan Indonesia umumnya jelek. Saya pribadi memandangnya biasa saja. Kadang ada terjemahan yang bagus dan enak dibaca, meskipun begitu, ada juga yang tidak. Soal itu kembali pada skill si translator.

Nah, perdebatan yang muncul kemudian adalah sebagai berikut: lebih baik mana, membeli buku dalam bahasa aslinya atau terjemahan?

Perkara ini tentunya kembali pada si (calon) pembaca. Soalnya begini: kadang-kadang, di samping menuntut kemampuan berbahasa asing, buku impor itu umumnya jauh lebih mahal. Misalnya buku Harry Potter edisi #3. Sejauh saya ingat versi aslinya seharga Rp. 242.000 — sementara terjemahannya sekitar Rp. 80.000. Kalau orangnya lancar Bahasa Inggris dan siap keluar kocek sih OK. Lha kalau tidak? Uang dan kemampuan bahasa Inggris kan tidak semua orang punya. (=3=) *halah*

Terkait itu, saya sendiri kadang tertarik hendak beli buku impor. Sayangnya, berhubung harganya mahal… yah sudahlah. Terpaksa berpuas diri dengan terjemahan (kalau ada). 😆

*biasa saja sih, lagian bisa download e-book ini*

 

#6:
Apabila hendak beli buku bertema sensitif, pastikan isi dan penulisnya kredibel

 
Kalau Anda sering main ke toko buku bagian SosPol, kemungkinan besar pernah lihat buku-buku bertema “panas”. Ada yang tentang keterlibatan CIA di awal Orde Baru, politik Israel-Palestina, hingga yang konspirasi abis menyebut Freemason dan Bilderberg. Buku-buku ini membahas tema sensitif yang — meminjam istilahnya Dan Brown — “mengguncang iman”.

Pertanyaannya, tentu, apakah yang tertulis di sana dapat dipertanggungjawabkan. Bukan apa-apa — pasalnya, tema yang sensitif berpotensi dipakai penulisnya mengampanyekan misi/opini pribadi. Sementara fakta aslinya terabaikan.

Saya ambil contoh yang saya akrab. Penulis terkenal Harun Yahya membenci Teori Evolusi; di buku-buku dan videonya menjelaskan berapi-api. Akan tetapi dia tidak memberitakan secara berimbang. Di satu sisi mengkritik, tetapi di sisi lain keberhasilan ilmiah teori tersebut tidak disampaikan. Sang penulis mengesani bahwa “Teori Evolusi di ambang keruntuhan” dan sebagainya. Padahal sebenarnya tidak.

Contoh lain, barangkali The Da Vinci Code-nya Dan Brown. Konon buku ini mengungkap “fakta” rahasia Gereja Katolik. Nah tapi ada masalah: berbagai “fakta” yang diaku Dan Brown itu ternyata banyak dikritik keakuratannya. Walhasil si pengarang dituduh melakukan smear campaign pada agama Katolik. Hal-hal semacam itulah.

 
Jadi bisa Anda lihat problemnya. Buku bertema sensitif itu bisa menyesatkan, sebab belum tentu penulisnya obyektif. Langkah terpenting di sini adalah memastikan bahwa isi buku dan penulisnya kredibel.

Saya sendiri akhirnya jadi sering googling intensif sebelum beli buku jenis ini. Pastikan apakah penulisnya berlatar belakang akademis; pastikan apakah penulisnya netral (lewat berbagai review); lalu pastikan juga bahwa penulisnya tidak mengada-ada (a la Pak Harun dan Pak Brown di atas). Bukan salah saya kalau bersikap hati-hati — sebab kalau tidak, bisa-bisa saya dicekoki propaganda! 👿

Jadi intinya, waspadalah akan apa yang Anda baca. Waspadalah, waspadalaaaaahh… 👿

 

***

 

Well, kurang lebih seperti itulah aktivitas saya kalau sedang berburu buku. Tentunya tidak sempurna, sebab disarikannya cuma dari pengalaman pribadi. Meskipun begitu sejauh ini lumayan berguna, sih. 😛 Tulisan ini sendiri dibuat gara-gara saya baru beli buku baru kemarin, jadi apa yang teringat langsung dituangkan.

BTW, kalau ada di antara pembaca yang punya tips dan trik berguna lainnya, monggo dibagikan lewat komentar. 😀 Will be nice to hear.

Read Full Post »

Ketika saya berumur dua tahun, orangtua saya memutuskan untuk pindah rumah ke daerah pinggiran selatan Jakarta. Ini masanya menjelang tahun 1990-an, waktu itu daerah pinggiran ibukota masih baru berkembang — banyak wilayahnya yang masih berupa perkebunan dan empang. Meskipun begitu kedekatan jarak dengan ibukota menjanjikan perkembangan ekonomi, jadi, banyak pendatang luar daerah bermukim di sini. Anak-anak di wilayah saya sendiri coraknya jadi berbagai suku: ada yang dari Jawa, Makassar, Padang, Manado, dan sebagainya.

Kalau Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah tahu kisah tumbuh-kembangnya saya di lingkungan multikultur tersebut. Saya tumbuh dikelilingi oleh perbedaan: teman main saya ada yang berdarah Bugis; di sekolah punya teman yang orangtuanya dari Bali dan Ambon; dan seterusnya. Adik saya sendiri, biarpun berdarah Jawa, akhirnya jadi fasih pakai dialek Betawi — ini gara-gara pembantu yang mengasuh dia sejak kecil asalnya dari suku tersebut. Lalu ada juga temannya tante saya yang sering main ke rumah; beliau ini gadis Batak di perantauan. Jadi, yah seperti itulah kira-kira. 😛

Walhasil, saya jadi terdidik memandang kemajemukan sebagai hal yang lumrah. Ini mengantar saya pada cara pikir yang unik: sebenarnya kalau tidak dibeda-bedakan, semua orang itu sama, kok. Misalnya teman-teman saya dulu semuanya sama-sama suka main SEGA. Lalu sama-sama suka jajan Chiki, baca komik Dragon Ball, dan seterusnya. Akibatnya saya paling cepat jengkel kalau dengar orang menggunjing SARA — ada suku ini dibilang baik, tapi suku lain dibilang buruk — orang macam ini biasanya cari gara-gara. 😐 Sepengalaman saya sih perbedaan itu cuma ada kalau dibesar-besarkan.

 
Jadi, semenjak kecil hingga ABG, saya selalu memandang manusia sebagai kawanan yang satu. Duaratus ribu tahun lalu rombongan Homo sapiens pertama berangkat dari Afrika, mengisi celah-celah dunia. Ada yang bermigrasi ke Arab, Amerika, Asia… sampai yang terpencil seperti Polinesia juga ada. Dari satu kelompok umat berkembang jadi banyak. Semuanya bersaudara — baru belakangan berpencar jadi suku ini dan suku itu; negara ini dan negara itu.

Pandangan di atas begitu berurat-berakar di hati saya. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengerti dengan yang namanya tribalisme, rasisme, nasionalisme, religionisme — saya pikir pengotakan itu munculnya kalau kita ingin membedakan saja. :mrgreen: Ada beda warna kulit, dikelompokkan. Ada beda batas negara, dikelompokkan. Ada beda agama, dikelompokkan; dan sebagainya. Pada akhirnya pembedaan itu menghasilkan attachment — bahasa Indonesianya kira-kira “rasa memiliki”.

Contohnya tentu saja gampang. Orang yang lahir dan besar di Jawa, misalnya, hampir pasti punya attachment pada kebudayaan Jawa. Orang yang lahir dan besar di Aceh punya attachment ke kebudayaan Aceh. Orang yang beragama Islam punya attachment pada umat Islam; yang beragama Kristen dengan umat Nasrani, dan lain sebagainya.

Sedihnya adalah, terkadang rasa memiliki itu jadi berlebihan. Hanya karena rasa memiliki orang jadi tribalis. Kaum yang ‘berbeda’ dan ‘lain’ dipandang rendah. Ras tetangga dianggap hina, negara tetangga dianggap saingan. Lalu ada juga yang berbau klasik: “Agama kita paling benar, yang lain bodoh semua!” Dan lain sebagainya. Ada banyak contoh yang lain, meskipun begitu, saya yakin Anda paham apa yang saya maksud. 🙂

 

Tentang Negara dan Attachment

 

Saya akan jujur di sini. Saya adalah orang yang anti pada segala bentuk pengotak-ngotakan umat manusia: entah itu landasannya kesukuan, keyakinan agama, ataupun batas negara. Sebagaimana sudah disebut saya besar di lingkungan yang heterogen; lalu saya belajar dari ilmu pengetahuan bahwa umat manusia itu aslinya satu keluarga. Di mata saya tidak ada landasan yang kokoh untuk mengelompokkan manusia dalam sekat ini-atau itu.

Mengutip dari sebuah posting blog bulan Februari lalu,

Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia “cuma beda di luar saja”. Biar kulitnya berbeda, kewarganegaraannya beda, warisan budayanya beda, tidak ada alasan untuk mengelompokkan manusia. Saya bilang: pergi sajalah jauh-jauh itu “nasionalisme”, “tribalisme”, “rasisme”, dan sebagainya. Karena kita ini sebenarnya sedang saling menyatu: baik secara lokasi, genetik maupun budaya. Lebih baik mencari persamaan daripada perbedaan, kan begitu? 😀

Nah, salah satu bentuk sekat yang sering bikin saya kurang sreg adalah kewarganegaraan. Bukan berarti saya menolak pemerintahan negara, sih. Haluan politik saya libertarian: saya menilai bahwa negara diperlukan untuk mengatur ini-itu di masyarakat, akan tetapi, tidak perlu ditingkahi sentimen berlebihan lah. Sebab sering sekali batas negara itu justru memicu kisruh yang — kalau boleh dibilang — berlebihan dan norak.

 

malingsia vs indonsial

Misalnya peristiwa di atas. Ada yang ingat?

 

Saya pribadi berpendapat bahwa sekat-sekat seperti negara dan sebagainya itu semu. Hanya dibentuk oleh rasa memiliki (attachment) saja — tidak kurang dan tidak lebih.

Ini agak susah dijelaskan, jadi lebih baik kalau diuraikan lewat contoh.

Orang yang lahir dan besar di Amerika Serikat, misalnya, kemungkinan akan merasa terkait (attached) dengan budaya Amerika. Lalu dari situ ia mengidentifikasi dengan negara dan bendera Amerika. Akan tetapi hal yang sama juga bisa dikatakan kalau orang itu lahir dan besar di Indonesia. Barangkali ia akan merasa terkait (attached) dengan budaya Indonesia, lalu dari situ ia mengidentifikasi dengan negara Indonesia, bendera Indonesia…

Hal yang sama dapat dikatakan pada muslim yang mendukung gagasan Khilafah Islamiyah. Karena dia beragama Islam, maka dia merasa terkait (attached) dengan ide negara Islam. Kalau orang beragama Yahudi barangkali merasa attached dengan ide Negara Israel. Dan lain sebagainya.

Atau mungkin rasa memilikinya bukan dari agama, melainkan warisan genetik dan budaya. Keturunan suku-budaya Celtic barangkali merasa attached pada gagasan Negara Irlandia Raya (walaupun saat ini adanya Republik Irlandia dan Irlandia Utara, tapi itu cerita lain). Keturunan suku-budaya India merasakan keterikatan (attachment) pada warisan budaya Hindi, maka membentuk negara India; dan seterusnya.

Jadi pada akhirnya, saya memandang sekat-sekat negara itu tidak lebih dari sekadar attachment pada simbol. Orang merasa memiliki kesamaan budaya, kesamaan ras, atau kesamaan tempat lahir, lalu berkumpul bersama dan mendirikan paguyuban. Tidak ada yang salah dengan itu — sah-sah saja orang mau berserikat dan berkumpul. Akan tetapi ada problem besar yang diakibatkannya, dan ini akan saya bahas di bagian selanjutnya.

 

The Problem with It

 

Di atas tadi, saya sempat menyinggung tentang asal mula keragaman umat manusia (sebaiknya dibaca di tulisan yang di-link). Dari kelompok Homo sapiens pertama, manusia bermigrasi, lalu mulai mengembangkan identitas suku-budaya masing-masing. Jadi sebenarnya manusia itu awalnya satu — baru belakangan saja tercipta perbedaan seperti ras, budaya, dst. Perbedaan itu diakibatkan oleh migrasi dan tantangan alam.

 

peta migrasi homo sapiens

Peta migrasi Homo sapiens. Yang menetap di Mesir melahirkan cikal-bakal budaya Mesir; yang menetap di Yunani melahirkan cikal-bakal budaya Yunani, dan seterusnya.

(image courtesy of San Diego State University)

 

Kemudian dari warisan tanah, budaya, suku bangsa, dan kesejarahan (among others) orang mengidentifikasi diri. Rasa memiliki itu kemudian jadi cikal-bakal identitas kebangsaan. Apabila mampu memiliki pemerintahan sendiri maka masyarakat ini dapat disebut sebagai “negara” (state).

Akan tetapi elemen identitas kebangsaan (nasion) itu sendiri bukan pembeda yang mutlak. Ras-ras yang berbeda bisa berbaur menghasilkan keturunan. Budaya yang berbeda bisa saling bercampur. Batas-batas negara bisa berubah, sebab muka bumi tidak tetap — benua bergerak, patahan bisa ambles, dan seterusnya.

Orang biasanya bilang bahwa “negara” itu diindikasikan oleh tanah, ras penduduk, warisan budaya. Akan tetapi kenyataannya, tidak satupun dari ciri-ciri tersebut yang bersifat absolut.

Jadi kalau ada orang yang suka teriak-teriak sukuisme, tribalisme, nasionalisme, tahu rasa dia: ternyata batas-batas itu semuanya semu. Ha! :mrgreen:

 

prediksi muka bumi 250 juta tahun lagi

Simulasi pergerakan muka bumi 250 juta tahun ke depan. Where is your nation now?

(image courtesy of PALEOMAP Project)

 

Di sisi lain, ada juga yang mengklaim bahwa suatu jenis “negara” itu dikehendaki oleh Tuhan. Misalnya Islam fanatik menghendaki Khilafah Islam. Sementara Yahudi dan Kristen Zionis menghendaki Eretz Yisrael. Mungkin ada lagi yang lain.

Meskipun begitu, seperti sebelumnya, klaim macam itu juga tidak feasible. Namanya keyakinan agama mustahil bersifat obyektif. Setiap agama punya doktrin keyakinannya sendiri-sendiri. Islam beda dengan Kristen, Kristen beda dengan Yahudi, Yahudi beda dengan Shinto dan Buddha. Salah besar kalau memaksakan argumen satu agama ke masyarakat seluruh dunia. Enggak bakal nyambung. 😐

***

Jadi bisa Anda lihat problemnya. Saya relatif tidak bersimpati pada ide-ide seperti “negara” dan “nasionalisme”, sebab memang batasnya kabur dan tak jelas. Coba saya tanya. 100 juta tahun lagi Indonesia ada di mana? 100 juta tahun lagi Israel dan Palestina ada di mana? Ha? Ha? 😐

That being said, bukannya saya bilang negara harus diberangus, sih. Seperti telah disebut saya seorang libertarian — saya menilai bahwa negara itu perlu untuk mengurus masyarakat. Tidak realistis mengharapkan masyarakat mengurus dirinya sendiri dengan adil. Cuma, kalau disertai chauvinisme dan ribut-ribut seperti “ganyang Malaysia”, Israel-Palestina, dan sebagainya… rasanya kok menyebalkan. Oh well.

 

Epilog: All in All is All We Are

 

Konon, Siddharta Gautama pernah mengajari satu hal. Bahwasanya semua penderitaan di dunia berakar dari persepsi (indra). Dari persepsi itu timbul rasa menginginkan sesuatu (craving). Lalu kalau keinginan itu sudah didapat, jadinya ingin dipertahankan (clinging). Yang terakhir ini bersumber dari rasa memiliki (attachment) yang sudah dibahas di atas.

Saya bukanlah seorang Buddhis, juga bukan orang yang amat religius. Meskipun begitu filosofi Buddha di atas membuat saya berpikir: barangkali, memang itulah penyebab dari kisruh antarnegara yang saya protes di atas. Umat yang tadinya satu berangkat dari Afrika, ketika sudah terpencar malah saling bertengkar dan ribut. Patok-mematok tanah, bersikap kesukuan, dan sebagainya. Pada dasarnya semua itu disebabkan oleh rasa memiliki: rasa memiliki budaya, rasa memiliki tanah, dan lain sebagainya. Padahal belum tentu.

Kadang orang merasa bahwa “negara” atau pembagian sejenis itu sebagai hak prerogatif kelompoknya. Sementara kenyataannya, garis batas “kelompok” yang digadang-gadang itu semu. Sebagaimana sudah kita lihat bersama.

Saya sering kecewa kalau membaca rubrik internasional di koran. Indonesia berseteru dengan Malaysia, biarpun sama-sama mayoritas Melayu dan beragama Islam. Korea Utara kisruh dengan Korea Selatan karena beda ideologi. Irlandia Utara dan Republik Irlandia karena masalah agama, lalu Israel dan Palestina. Semuanya gara-gara attachment. Dengan merasa diri sebagai “kami”, orang berpendapat bahwa mereka berhak atas tanah atau negara. Lalu membagi-bagi planet bumi dari situ.

Orang-orang ini lupa akan satu hal. Ketika manusia pertama muncul di muka bumi, tidak ada pengelompokan macam itu. Ketika umat manusia masih muda bumi menyediakan kebutuhan mereka: tanah, air, udara, ladang tani dan ternak. Lalu umat manusia bertumbuh besar. Ironisnya, sesudah menjadi besar, mereka berpecah. Orang lupa bahwa planet ini sebenarnya satu untuk semua. Kelompok demi kelompok bersaing: mulai mengambil tanah, mengeruk hasil bumi. Persis anak-anak yang berebut warisan ketika ibunya meninggal.

Saya amat kecewa bahwa manusia yang tadinya satu kemudian memecah-mecah dirinya sendiri. Lebih jauh lagi pembagian itu sering berujung kisruh. Bukan saja sekadar saling benci, kadang-kadang nyawa juga melayang. Ada banyak contoh di sejarah kita untuk itu.

Sebagai orang yang masa kecilnya dihabiskan di lingkungan heterogen — dan tidak sekalipun saya berantem gara-gara SARA selama itu — saya tidak bisa mengerti kenapa ide seperti “negara” bisa begitu populer. Di mata saya manusia adalah manusia; tidak kurang dan tidak lebih. All in all is all we are. Melampaui semua perbedaan adalah persamaan. Hanya persepsi yang membuatnya tampak berbeda.

Pada akhirnya negara itu sendiri jadi kehilangan makna. Ia tereduksi jadi makelar tanah air dan ideologi. Hanya karena kesesuaian ini-dan-itu, kita memutuskan mendukung negara ini atau itu. Demi tanah air. Demi suku bangsa. Demi warisan budaya. Demi ketetapan agama. Semuanya sia-sia. Apa jadinya kalau kamu dulu dilahirkan di benua yang berbeda, pada suku yang berbeda, dan agama yang berbeda? Akankah kamu sesemangat ini tentang negara?

One day, I hope you realize that there is no “us” other than what you perceive and attach yourselves to. Semoga semua makhluk berbahagia. 😉

Read Full Post »

Kalau boleh menilai diri sendiri, saya bisa dibilang orang yang berjiwa insinyur (walaupun punya keberatan pada kuliahnya, tapi itu cerita lain). Bagaimanapun ini bukan hal yang aneh. Sebagai orang yang sekian tahun belajar di jurusan teknik, sudah pasti ada pengaruh yang meresap. Ini sifatnya psikologis: orang-orang di sekitar saya berpikir secara engineering, maka saya jadi ikut terbawa. Kurang lebih seperti itu.

Beberapa pembaca mungkin kurang akrab dengan dunia yang disebut, jadi ada baiknya saya cerita sedikit dulu.

Di dunia insinyur, tuntutan utamanya adalah “bagaimana agar hidup manusia jadi lebih mudah.” Misalnya insinyur elektro; mereka berupaya memudahkan hidup orang yang terkait listrik (misal: desain pembangkit listrik, pengkabelan, dsb.) Insinyur sipil berupaya memudahkan hidup orang dengan bangun-membangun, dan seterusnya. Kasar-kasarnya: kalau dokter punya job description menyehatkan orang, maka insinyur punya job description membuat orang jadi nyaman.

Nah, upaya “membuat orang nyaman” di atas adalah hal yang rumit. Namanya insinyur sudah tentu bekerja dengan teknologi. Ada yang lewat teknologi listrik, mesin, atau lain sebagainya. Semuanya bekerja menghasilkan penemuan lewat teori dan perhitungan. Teori dan perhitungan bagi insinyur, ibaratnya batu bata untuk tukang bangun rumah: elemen penting yang dipakai untuk membangun. Kalau ada itu, semua jadi gampang. Nah tapi ada masalah.

Biarpun insinyur punya seperangkat hukum fisika dan matematika yang bisa dipakai, pengerjaannya tidak mudah. Banyak hambatan yang membuat teori kita jadi tidak sesuai, harus diperbaiki sedikit — biarpun dasarnya sudah benar. Misalnya seperti berikut.

Dalam ilmu fisika, terdapat aturan yang disebut Hukum Bernoulli. Ini adalah hukum yang mengatur jalannya aliran fluida.

Seorang insinyur diminta untuk meneliti aliran limbah dalam pipa. Langsung saja dia hitung dengan Hukum Bernoulli. Ternyata hasil perhitungannya salah! Padahal matematikanya sudah benar, tapi kenapa begitu?

Penyebabnya: karena Hukum Bernoulli cuma berlaku untuk fluida ideal, semisal air murni. Sementara limbah umumnya campur-baur antara padatan, air, dan gas — jauh sekali dari ideal. Jadi perhitungannya tidak menghasilkan apa-apa.

Saya dan teman-teman suka berkelakar soal ini, dan bilang: “Tuh lihat, di dunia ini tidak ada yang ideal. Teori sebagus apapun pasti meleset — jadi pelajaran kita itu aslinya gak guna.”

Tentunya yang di atas itu cuma bercanda. But you get the point. 😛

Ini problem yang selalu menghantui para insinyur di bidang manapun. Teori yang sempurna itu tidak ada. Sedikit-banyak pasti ada kompromi. Bisa saja idenya benar, teorinya benar, dan seterusnya — tapi, di dunia nyata, namanya gangguan itu pasti ada. Entah nilainya besar atau kecil. Tidak mungkin ada sistem di lapangan yang 100% sesuai teori. No way!

Ini mirip membandingkan soal fisika yang dikerjakan anak SMA dengan fisika sebetulnya. Di SMA kita disuruh mengerjakan soal, tapi dalam kondisi ideal: tidak ada hambatan udara, tidak ada gesekan, dan sebagainya. Sementara kondisi sebenarnya tidak begitu. Seringnya sih dunia nyata lebih rumit daripada dijelaskan dalam buku.

Teman saya yang anak elektro pernah cerita tentang Arus Eddy yang mengganggu voltmeter. Lain kali, dosen dari jurusan mesin cerita tentang oli: jadi ada oli masuk mesin, mempengaruhi bensin yang aslinya hendak dibakar. Walhasil output energinya berkurang. Hal-hal semacam itulah. Saya sendiri cengar-cengir saja mendengarnya, sebab, di jurusan saya, hal-hal seperti itu juga terjadi.

Ceritanya saya dan beberapa anggota kelompok pernah praktikum dengan pompa. Sesudah mencatat suhu dan tekanan, datanya harus dihitung dan dibandingkan. Tapi kok perbandingannya tidak cocok? Ternyata ada katup yang ngadat, jadi bukaannya tidak sempurna! Akhirnya aliran air yang dihitung jadi meleset. Baru belakangan si asisten bilang ke anak-anak bahwa alatnya rada terganggu. Tapi secara umum tidak apa-apa — jadi angkanya dikompensasi saja dengan kesalahan sekian-sekian.

Praktikannya sendiri cuma bisa angkat bahu. Mau bagaimana lagi? 😆

***

Jadi, lima atau enam tahun belajar di jurusan teknik mengajari saya satu hal: di dunia ini tidak ada yang sempurna kecuali ide-ide. Teori sebagus apapun, sesempurna apapun, kalau sudah masuk dunia nyata, pasti ada kompromi. Tidak mungkin tidak.

Lalu saya berpikir, jangan-jangan itu juga yang terjadi di ilmu sosial. Bertahun-tahun kita punya teori psikologi, sosiologi, dan ilmu politik, tapi kok kita masih belum paham? Jangan-jangan karena ada banyak elemen yang harus dipertimbangkan di dalamnya, tapi justru terabaikan. Sama halnya dengan kasus arus Eddy dan hukum Bernoulli di atas…

…mungkin. Mungkin lho. Saya kan bukan ahli di bidang itu. :mrgreen:

Pada akhirnya, saya sendiri jadi rada skeptis dengan yang namanya “kesempurnaan” atau “100% ini-itu”. Sebab ya, di dunia ini tidak ada yang 100%. Budaya Indonesia, misalnya, tidak 100% Indonesia (ada banyak pengaruh luar juga). Negara yang 100% free market atau sosialis juga tidak ada — yang ada cuma mendekati salah satunya. Tegangan listrik diukur dengan voltmeter, sebagian arusnya ada yang masuk ke voltmeter (jadi akurasinya tidak 100%), dan seterusnya.

Jadi saya pikir, ah kacau nih kalau orang berani bilang, “Sistem pemerintahan sempurna. Dijamin 100% sukses!” Biasanya yang bilang begitu golongan sayap kanan, tapi itu sebaiknya tak dibahas di sini…

***

Di sisi lain, ada juga tidak enaknya dari “didikan” bersikap realistis di atas. Gara-gara itu saya jadi tidak sabaran kalau berurusan dengan orang yang idealis tapi tidak mengerti lapangan. Ini sifatnya universal: tak peduli yang dibicarakan itu politik, sosial, atau keseharian, kalau itu terjadi, biasanya saya jadi mangkel. Perasaan ini susah dijelaskan.

Misalnya waktu ada gerakan “tolak bayar pajak” gara-gara Gayus Tambunan. Saya dongkol betulan waktu itu. Seriously, do they even think? Coba, apa jadinya administrasi negara, kepercayaan investor, dan sebagainya kalau itu terjadi. Ini mirip dengan ilustrasi Hukum Bernoulli di atas: dikiranya dia paham semua masalah, lalu menerapkan teori dari situ — padahal kenyataannya tidak sesederhana yang disangka. Ha!

Lain kali, saya berdebat panas dengan seorang troll soal Israel-Palestina (saya tidak memihak siapa-siapa di situ; ceritanya panjang). Dia bilang HAMAS itulah yang benar. Saya tanya, situ mengerti tidak sejarah geopolitik Yerusalem? Masalahnya bukan sejak 1948 atau khilafah, melainkan sampai zaman Romawi. Eh dia marah. Saya sendiri bukannya tak berusaha kalem, tapi tetap saja…

Hal-hal semacam itulah. Susahnya terbiasa berpikir realistis adalah, kita jadi tidak sabar melihat orang yang naif. Kesannya kok hidup di awan. Idealisme itu bagus, tapi mbok ya diimbangi dengan asupan realitas.

Jadi ini semacam PR juga buat saya. Mengendalikan marah itu gampang, tapi mengendalikan jengkel… wah, susah sekali. Sebab itu tatarannya dalam hati (bukan perbuatan). Saya masih harus belajar banyak soal itu.

 
Meskipun begitu ada juga dampak positifnya. Gara-gara itu, kalau saya memberi saran, jadinya dipandang sebagai “saran yang bermutu”. Pokoknya sebisa mungkin realistis. Ini berlaku terutama kalau sedang mendengarkan orang curhat — saya sih biasa saja, terserah mereka mau terima atau tidak. Sejauh ini sih mereka selalu mau dengar. 😛

Saya sendiri bersyukur mendapat didikan cara berpikir realistis selama di kampus. Paling tidak sekian tahun di sana telah mengajari saya untuk bersikap membumi… hal yang ternyata merembes ke berbagai aspek lain dalam hidup. But hey, that’s what education is supposed to be, right? 😉

Read Full Post »

Waktu saya masih kuliah dulu, ada sebuah rutinitas yang berlangsung tiap awal semester. Pada saat itu, perpustakaan akan penuh, para mahasiswa mendatangi seniornya, dan tempat fotokopi dipadati pengunjung. Tentunya bukan karena ujian, sebab — seperti sudah disebut — peristiwa ini kejadiannya di awal semester.

Yang benar, para mahasiswa tersebut (termasuk saya) sedang berlomba-lomba untuk bisa dapat buku teks. Metodenya macam-macam: ada yang berusaha meminjam pada senior; ada juga yang memfotokopi dari perpustakaan. Ada juga yang membeli langsung di toko buku — meskipun begitu, karena harganya mahal, biasanya tak banyak yang melakukan. For whatever reason, kegiatan ‘berburu’ buku teks ini kemudian jadi budaya yang lestari di kampus.

Kalau Anda sudah lama mengikuti blog ini, kemungkinan besar sudah pernah baca uraian saya terkait masalah buku teks di atas. Ada banyak hal yang jadi concern saya tiap kali membahas soal ini: harga yang (terlalu) mahal, keharusan untuk menghargai pengarang, juga kebutuhan akademis. Meskipun begitu kali ini saya ingin membahasnya dari sudut pandang yang lebih filosofis.

***

Ada pertanyaan yang timbul tiap kali saya mengecek harga buku teks untuk kuliah. Kalau hendak digeneralisasi, harga pada umumnya berada pada orde puluhan dolar. Buku biasa, tebalnya tak sampai 1000 halaman. Bagaimana bisa harganya semahal itu?

Ini pertanyaan yang dari dulu mengganggu saya. Kalau boleh jujur, saya sering iseng mengecek daftar harga buku di Amazon dan membanding-bandingkannya. Kita ambil dua pasang contoh sebagai berikut.

The Lord of The Rings (kompilasi)
(1216 hlm) = US$ 13.00
Thermodynamics: An Engineering Approach
(1016 hlm) = US$ 67.87

A History of God (paperback)
(496 hlm) = US$ 11.56
Quantum Mechanics for Scientists and Engineers
(574 hlm) = US$ 70.65

Saya pikir ada yang salah di sini. Buku yang tebalnya mirip harganya bisa berbeda begitu jauh. Kalau yang non-akademis bisa untung dengan harga belasan dolar, bagaimana mungkin yang textbook mesti dihargai 5-6 kali lipat?

Di satu sisi, saya tahu bahwa membuat buku itu tidak mudah — untuk melakukannya perlu resource, waktu, dan energi. Pembuatnya harus dihargai. Meskipun begitu ini tidak menjelaskan keheranan saya mengapa harganya sampai semahal itu. Setiap semester di seluruh dunia, mahasiswa selalu membutuhkan buku baru. Pasar mereka stabil. Saya rasa tidak ada alasan memahalkan buku teks sampai 5-6 kali lipat yang lain.

Bisa dibilang inilah awal mulanya saya merasa kecewa dengan model bisnis yang terkait “jualan ilmu”. Ilmu pengetahuan harusnya tak diambil untung. Saya percaya bahwa semua orang punya hak untuk belajar dan jadi pintar. Bagaimana pula orang diasumsikan hidup zaman sekarang kalau tidak pintar? 😐

Adapun kemajuan umat manusia dipengaruhi oleh keberhasilan sains dan teknologi. Jika buku adalah jendela ilmu, maka kesempatan membaca harus dibuka selebar-lebarnya. Setidaknya begitulah pendapat saya.

 

The Joy of Learning and The Power of Knowledge

 

Waktu saya kecil dulu, orangtua saya sering membelikan buku bertema IPA. Topiknya macam-macam: ada yang tentang tata surya, dinosaurus, hingga fisika dan ilmu bumi. Galibnya buku anak sudah tentu bahasanya sederhana dan dilengkapi banyak gambar. Meskipun begitu justru itu yang membuat pikiran kecil saya jadi terdorong.

Barangkali bisa dibilang di situlah awal mula ketertarikan saya pada bidang sains. Saya ingat salah satu buku yang di dalamnya ada percobaan listrik statis: sisir digosok-gosokkan pada kain, kemudian didekatkan pada serpihan kertas. Kertas itu berloncatan, persis seperti disebut di buku! Saya pikir itu menakjubkan. 🙂 Ilmu fisika menunjukkan bagaimana hal yang tidak disangka bisa terjadi. Saya yang waktu itu masih SD amat terkesan melihatnya.

Sudah belasan tahun berlalu sejak orangtua saya membelikan anak-anaknya berbagai macam buku tersebut. Meskipun begitu pengaruhnya masih terasa sampai sekarang: buku-buku itulah yang membuat kami jadi suka membaca dan belajar. Selalu ada yang baru tiap kali kami membuka buku dan belajar darinya.

Entah itu berupa nama dinosaurus, lapisan kulit bumi, atau sistem tata surya. It’s just fascinating. Kadang-kadang ada eksperimen yang bisa dilakukan sendiri. Semakin banyak membaca, kami jadi semakin paham tentang jalannya alam semesta. Oh, ternyata begini. Oh, ternyata begitu. Oh ternyata bumi itu bulat…

Banyak hal menarik yang bisa didapat lewat membaca buku. Saya pikir semua orang harus mencobanya. Atau paling tidak, harus diberi kesempatan mencoba. Jangan sampai orang tak pernah mengalami hanya gara-gara tak punya kesempatan.

Adapun yang di atas itu baru di bidang IPA. Bagaimana dengan di bidang lain? Geografi, Kita bisa belajar tentang lokasi-lokasi negara dan hasil buminya. Sejarah, kita bisa belajar tentang perjalanan peradaban manusia. Filsafat, kita bisa belajar tentang ide-ide yang membentuk dunia…

…dan seterusnya. Saya rasa Anda paham maksud saya. Ilmu pengetahuan itu menarik. Dengan pengetahuan kita memandang dunia; melebarkan cakrawala. Dan dari situ, siapa yang tahu?

Barangkali kelak muncul calon ilmuwan, dokter, dan insinyur dari situ. Saya suka membayangkan, apa jadinya jika Newton dan Einstein tidak pernah berkenalan dengan matematika. Akankah mereka tetap jadi jenius yang mengubah dunia? Mungkin — tapi jelas bukan sebagai ahli fisika kelas wahid.

Saya pikir ini alasan bagus kenapa kita harus memberikan akses pengetahuan seluas-luasnya ke masyarakat. Boleh jadi saat ini ada calon jenius yang sedang menunggu di desa terpencil di kaki gunung…

***

Di masa SD dulu, saya pernah menonton sebuah serial fiksi ilmiah berjudul Spellbinder (review di [sini]). Ini serial buatan Australia yang dulu tayang di ANTV tahun 1990-an.

Spellbinder bercerita tentang sekelompok bangsawan yang mempunyai teknologi canggih tapi merahasiakannya dari masyarakat. Mereka mempunyai pesawat tenaga koil, komunikasi radio, dan sebagainya — sementara masyarakat sekitarnya hidup bertani di desa. Dengan teknologi itu mereka mengesani pada masyarakat bahwa mereka adalah dewa: bisa terbang, bisa berkomunikasi jarak jauh, dan sebagainya. Mereka tinggal di istana sementara rakyat jelata tinggal di gubuk.

Akan tetapi kisahnya tidak berhenti sampai di situ. Dalam serial tersebut rakyat jelata disuruh bersujud dan membayar upeti pada para bangsawan. Jika tidak, maka mereka akan dihukum dengan kekuatan “sihir” (baca: teknologi).

Di sini saya ingin mengedepankan betapa dahsyatnya kekuatan ilmu. Sheer knowledge means sheer power. Ia bisa jadi pembeda antara yang makmur dan melarat, yang menindas dan tertindas.

Sama halnya dengan ketika di abad pertengahan orang belum mengerti ilmu kimia. Tidak ada pasta gigi, tidak ada sabun, shampoo, dan sebagainya. Sekarang? Boro-boro mandi tak pakai sabun. Gosok gigi cuma sekali sehari saja sering dianggap kurang! :mrgreen:

 

Mengapa Harus Menyebarkan Ilmu?

 

Sebagaimana sudah diuraikan panjang-lebar di atas, saya adalah orang yang sangat mendukung persebaran ilmu pengetahuan seluas-luasnya di masyarakat. Alasan filosofisnya ada tiga:

Pertama, manusia pada hakikatnya makhluk yang berpikir. Semua orang punya hak untuk belajar dan jadi pintar — termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan ilmu seluas-luasnya.

Kedua, ilmu pengetahuan berpotensi jadi sarana perwujudan kesejahteraan masyarakat. Tidak selayaknya masyarakat dihalang-halangi dari ilmu krusial seperti kedokteran, insinyur, dan sebagainya. (I’m looking at you, textbook publishers)

Ketiga, ilmu pengetahuan itu bukan hak milik, melainkan sekadar penemuan. Kalkulus tetap kalkulus tak peduli penemunya Leibniz atau Newton. Seperti yang saya uraikan di posting blog tempo hari, kebenaran itu cuma ada satu. Tidak usahlah diperebutkan jadi milik siapa. 😛

Saya pikir tiga poin di atas cukup jelas. Ketika saya bilang bahwa “ilmu pengetahuan harusnya tak diambil untung”, sebenarnya alasannya seperti di atas. (ada juga beberapa yang tersirat dari paragraf-paragraf sebelumnya, tapi sebaiknya tidak diuraikan lagi di sini)

Oleh karena itulah, saya tidak habis pikir dengan kasus “jualan buku” yang disebut di awal tulisan. Bagaimana bisa buku sains/ilmu pengetahuan dijual sebegitu mahalnya. Mengulang pertanyaan di awal tadi: saya tahu, membuat buku itu tidak mudah. Pembuatnya harus dihargai. Tapi masa sih sampai segitunya? 😐

 

The Case For Free Culture

 

Sebagaimana bisa dilihat, saya cenderung tidak setuju pada harga buku yang terlalu mahal. Alasannya sederhana: buku yang terlalu mahal akan sulit terjangkau. Masyarakat akan semakin terpisah dari ilmu. Pada akhirnya persebaran ilmu jadi terhambat. Sementara ini bertentangan dengan filosofi saya di atas.

Masalahnya, masyarakat umum (termasuk saya) hampir tidak punya kuasa untuk memurahkan harga buku. Semua di tangan pihak penerbit. Lalu bagaimana solusinya?

Sejujurnya, saya bisa dibilang relatif bersimpati pada Free Culture Movement. Perlahan tapi pasti sekelompok orang (sebagian besar akademisi) mulai paham akan problem persebaran ilmu ini. Seiring dengan tumbuh-kembangnya internet mereka mulai menyebarkan ilmu yang mereka miliki — walaupun tentunya tidak sedetail kalau dituangkan lewat buku. The experts have talked back, so to say. Dan saya pikir ini tren yang menggembirakan.

Saya pribadi amat terkesan pada situs-situs yang, kalau boleh dibilang, merupakan “gudang ilmu”. Misalnya Wikipedia, MIT OpenCourseWare, Stanford Encyclopedia of Philosophy. Juga pada para ilmuwan/profesor yang bersedia berbagi ilmu lewat blog: Pak Rovicky, Greg Laden, Yann Klimentidis, Philosophical Disquisitions, Bu Mathildathe list goes on and on. Di tengah-tengah kesibukan mereka masih menyempatkan diri mem-publish blog terkait bidang kerjanya. Sedikit banyak menjembatani pengetahuan mereka ke masyarakat, saya rasa usaha mereka layak dikagumi.

Di sisi lain, masalah textbook belum ter-cover sepenuhnya (walaupun ada upaya ke arah situ). Well, maybe in the future? We shall see…

***

Bagaimanapun, terlepas dari statusnya yang masih baby step, persebaran ilmu lewat internet menunjukkan tren yang positif. Saya pribadi berharap bahwa suatu hari nanti kita akan punya perpustakaan besar di internet, di mana isinya open textbook berkualitas. Kelak jika anak (atau cucu) saya kuliah dan hendak mencari buku, ia bisa browsing dan mengunduhnya secara legal. Tempat di mana ilmu bisa didapat dengan mudah, gratis, dan terstandarisasi secara akademik… I may be daydreaming, though. But to be honest it sounds tempting! :mrgreen:

 

Epilog: Berdiri Di Atas Pundak Raksasa

 

Bicara tentang ini, saya jadi ingat lagi pada kisah yang dialami oleh Bapak Isaac Newton. Suatu ketika beliau pernah ditanya tentang pencapaiannya yang luar biasa. Bagaimana sih, kok bisa menemukan hukum yang hebat?

Ditanya begitu beliau menjawab:

“Jika saya bisa melihat lebih jauh daripada orang lain, itu karena saya berdiri di atas pundak raksasa.”

Sebenarnya ini adalah metafora. Maksud sebenarnya adalah: Newton menemukan hukumnya karena berlandas pada hasil penelitian ilmuwan lain (e.g. astronom Johannes Kepler dan Galileo Galilei). Tanpa hasil kerja mereka belum tentu ia akan sukses.

Sekarang kita bayangkan diri kita sebagai orang kerdil di dunia ilmu. Jelas, kita tidak bisa dibandingkan dengan Newton dan kawan-kawannya. Meskipun begitu orang kerdil sekalipun bisa melihat lebih jauh kalau berdiri di tempat yang tinggi. Contohnya tentu saja gampang.

Misalnya saya; saya tidak lebih jago daripada Newton. Tapi di kuliah saya belajar Fisika Kuantum. Newton tidak pernah belajar Fisika Kuantum. Jadi saya lebih hebat! Kan begitu? :mrgreen:

*dilempar sandal*

*bletaaaakk*

Ahem. Kembali serius. (=3=)

Saya pribadi membayangkan bahwa, kelak, jika proyek open textbook dan free culture berhasil, kita yang kerdil ini bukan saja dapat berdiri di atas bahu raksasa. Saya pikir kita akan berdiri di atas gunung! 😯 ‘Gunung’ ini adalah sebuah perpustakaan besar di mana karya dari kampus-kampus ternama terangkum di dalamnya. Mulai dari MIT, Harvard, Berkeley; Sorbonne, TU Delft, Universitas Munich; dan seterusnya. Boleh jadi sekalian dilengkapi catatan kuliah dari Profesor terkenal. Semua dapat diunduh dengan gratis, bebas dikopi dan diperbanyak.

Saya pikir ini bukan tidak mungkin terjadi. 😕 Agak terlalu mengawang, ya — tapi bukan berarti mustahil.

Sebab, menurut Bapak Robert Goddard:

“It is difficult to say what is impossible, for the dream of yesterday is the hope of today and the reality of tomorrow.”

Jadi, mari kita bermimpi… 😆

*lho kapan bangunnya*

Read Full Post »

Sekitar tahun 1972, Bapak Stephen Hawking sempat berseteru dengan sesama ilmuwan Jacob Bekenstein. Ini masanya ketika ilmu kosmologi masih amat muda dan belum banyak dipahami orang. Waktu itu Hawking masih berumur 30, dan belum menyempurnakan teori Big Bang — sementara Bekenstein adalah asisten profesor berumur 25 tahun. Pemicu keributannya adalah diskusi mengenai lubang hitam.

 

debate

diskusi yang menyedot perhatian massa™

 

Tentunya menarik kalau kita langsung membahas apa yang membuat kisruh di antara mereka. Meskipun begitu, sebelum sampai ke sana, ada baiknya kita bicara dulu tentang “lubang hitam” yang jadi masalah. 🙂

 

Lubang Hitam. Apa itu Lubang Hitam?

 

Lubang hitam (alias black hole) adalah sebuah obyek kosmologi. Dinamai seperti itu karena ia memiliki gravitasi maha dahsyat — berkas cahaya sekalipun, jika lewat terlalu dekat, akan disedot langsung olehnya.

 

black hole simulation

simulasi komputer penampakan lubang hitam (image courtesy of wikipedia)

 
Nah, gravitasi lubang hitam ini disebabkan oleh massa yang luar biasa besar. Di SMA kita pernah belajar tentang gravitasi Newton: makin besar massa, makin besar gaya tariknya. Lubang hitam juga mengikuti prinsip tersebut (walaupun detailnya agak berbeda). Para ilmuwan memperkirakan bahwa lubang hitam umumnya bermassa antara 3 hingga 10 kali matahari — ini adalah angka yang sangat besar.

Sebagai gambaran, percepatan gravitasi kita sehari-hari (9.8 m/s2) diakibatkan oleh massa bumi sebesar:

 

mbumi = 5.9742 × 1024 kilogram

 

Di sisi lain, massa bumi adalah sekitar sepersejuta dari massa matahari. Massa matahari adalah sebesar:

 

mmatahari = 1.98892 × 1030 kilogram

 

Jadi bisa kita bayangkan dahsyatnya gaya tarik yang dihasilkan lubang hitam. Puluhan juta kali gravitasi di bumi! 😮

***

Singkatnya, bisa dibilang bahwa lubang hitam memiliki gravitasi yang luar biasa. Jika ada benda lewat terlalu dekat, maka benda itu akan jatuh tersedot ke dalamnya. Tak peduli apakah dia punya massa (komet, planet, dsb.) atau tidak bermassa (e.g. berkas cahaya). Semua tunduk pada aturan yang digariskan Relativitas Umum.

Tidak ada yang bisa lolos darinya, tapi… benarkah demikian?

 

Debat Dua Ilmuwan: Hawking vs. Bekenstein

 

Sekarang kita kembali pada dua ilmuwan yang disebut di awal. 😉

Sekitar tahun 1972, para ilmuwan masih meraba-raba tentang fenomena lubang hitam. Waktu itu mayoritas sepakat bahwa lubang hitam tidak bisa dideteksi secara langsung. Sederhana saja: apanya yang dideteksi, wong tidak ada yang keluar. :mrgreen: Jikapun ada sinyal radio dari dalam lubang hitam, dipastikan akan tersedot kembali ke dalamnya.

Anggapan waktu itu adalah bahwa lubang hitam bersifat seperti vacuum cleaner. Benda bisa masuk, tapi tak bisa keluar.

Nah, dengan asumsi di atas, Hawking merumuskan sebuah hukum lubang hitam. Menurut Hawking,

“Tidak mungkin ada lubang hitam yang mengecil. Ukuran lubang hitam cuma bisa tetap atau bertambah besar.”

Bekenstein mendengar rumusan Hawking di atas. Meskipun begitu, ia tidak sekadar mengamini — melainkan membuat teori baru darinya.

“Hukum temuan Hawking menunjukkan paralel dengan termodinamika klasik. Saya mengajukan ide bahwa lubang hitam memiliki entropi. Entropi ini diwakili oleh luas permukaan Hawking.”

Di sinilah perseteruan antara Hawking dan Bekenstein dimulai. Menurut Hawking, Bekenstein telah berbuat ngaco: kalau suatu benda punya entropi, pastilah ada suhu/radiasi yang dipancarkan. Sementara lubang hitam harusnya tidak begitu.

Di sisi lain, Bekenstein kukuh: setiap benda material mempunyai entropi. Kalau lubang hitam menyerap benda material, maka sudah pasti entropinya bertambah. Tidak mungkin lubang hitam menyalahi hukum termodinamika. Berarti Hawking yang salah! 😮

***

Singkat cerita, dua ilmuwan ini kemudian terlibat perang pena. Selama bertahun-tahun Hawking mencoba menjatuhkan argumen Bekenstein. Menarik kalau diperhatikan bahwa, di masa sekarang, kita melihat nama Hawking amat terkenal, sedangkan Bekenstein tidak.

Pembaca mungkin mengira bahwa Hawking menang mudah — tapi ceritanya tak sesederhana itu.

 

The Bittersweet Irony

 

Di tahun 1974, Hawking mengadakan seminar tentang teori lubang hitam temuannya. Dalam seminar ia mengumumkan ide yang kelak jadi pijakan dunia kosmologi: Radiasi Hawking. Teori ini dipuji-puji karena menyatukan mekanika kuantum, relativitas umum, dan termodinamika dalam satu framework.

Banyak yang menilai bahwa ini karya ilmiah terbesar temuan Hawking. Meskipun begitu, tahukah pembaca apa yang ironis?

Teori Radiasi Hawking ternyata memakai ide Bekenstein.

Iya, betul. Orang yang didebat habis-habisan oleh Hawking ternyata justru jadi pilar karya besarnya. Bekenstein benar bahwa lubang hitam mempunyai entropi, tunduk pada termodinamika, dan sebagainya. Dia cuma lupa satu hal:

Benda yang punya entropi harus punya suhu atau memancarkan radiasi

Hawking-lah yang menyempurnakan kecacatan itu. Teori Radiasi Hawking menyatakan bahwa lubang hitam mempunyai entropi, mempunyai suhu, dan memancarkan radiasi. Persis seperti kata Bekenstein. Hanya lebih sempurna.

Bekenstein sial karena dia berada di jalan yang benar tapi tidak menangkap detailnya. Hawking beruntung karena — sembari mendebat Bekenstein — ia melihat kemungkinan baru dan menganalisis detailnya. Barangkali kalau tak ada Bekenstein, Hawking takkan sesukses itu. Siapa yang tahu? 😉

Mengutip Hawking dalam bukunya sendiri, “A Brief History of Time”:

“I must admit that in writing this paper I was motivated partly by irritation with Bekenstein, who, I felt, had misused my discovery of the increase of the area of the event horizon. However, it turned out in the end that he was basically correct, though in a manner he had certainly not expected. […] the more I thought about it, the more it seemed that the approximations really ought to hold.”

Adapun di masa kini kalangan ilmiah mengakui jasa Bekenstein. Teori Radiasi Hawking sering disebut Teori Bekenstein-Hawking untuk menghormatinya. Toh ini tidak mengubah kenyataan. Amatlah ironis bahwa Hawking terpaksa menerima ide Bekenstein yang dia hujat, menyempurnakannya, dan jadi besar karena itu.

 

The One Truth

 

Bicara tentang ini, tahu tidak, saya jadi pada ingat pada apa? Saya jadi ingat pada Shinichi Kudo. 😆

Iya, Shinichi Kudo yang itu. Tokoh detektif SMA di komik Detektif Conan. Ada satu ucapannya yang memorable yang — kalau saya tidak salah ingat — disampaikan di komik nomor 10. Waktu itu ia mendapat tantangan dari sesama detektif Heiji Hattori.

“Dalam penyelidikan, tidak ada menang atau kalah. Sebab kebenaran cuma ada satu.”

Dan memang begitulah adanya. Di atas segala perbedaan pendapat, kebenaran itu berdiri sendiri. Kebenaran cuma ada satu — tidak terpengaruh oleh mereka yang mendebatkannya! 🙂 Contohnya sudah kita lihat lewat ilustrasi dua ilmuwan di atas.

Ketika Hawking mendebat Bekenstein habis-habisan, itu tidak mengubah kenyataan bahwa Bekenstein berkata benar. Justru pada akhirnya Hawking harus menerima “kebenaran” Bekenstein. Adapun dengan berbuat begitu, Hawking membuka babak baru di dunia kosmologi.

Saya tertarik mengamati dua orang ini dalam konteks menang-kalah secara akademis. Siapakah yang menang? Siapakah yang kalah? Susah untuk dipastikan, sebab masing-masing punya kontribusi. Tetapi, sebagaimana diindikasikan lewat kutipan: sesungguhnya tak ada yang menang atau kalah. Perkara seperti pencapaian akademis dan sebagainya itu semu belaka.

Nyatanya Bekenstein dan Hawking sama-sama mengejar kebenaran. Kebenaran yang cuma ada satu. Dan mereka berdua sampai di sana dengan saling bantu… biarpun mungkin tanpa disadari. Di sini kita lihat bahwa kontribusi mereka saling terikat, academic achievements be damned.

***

Jadi, setelah berpanjang-panjang sampai sini, inti cerita di atas adalah…

…apa ya? Sebenarnya cuma mau cerita saja sih. 😆 Saya rasa pembaca bisa menarik pesan moralnya sendiri-sendiri. Bagaimanapun kisah ini sudah menarik kalau dijabarkan begitu saja, jadi yah begitulah. 😛

Saya pribadi terkesan dengan sikap legowo yang ditunjukkan oleh Hawking. Dengan mengakui kebenaran Bekenstein, ia berhasil merumuskan karyatama di dunia ilmiah. Bagaimana jika Hawking berkeras menolak Bekenstein? Boleh jadi dia takkan menemukan Teori Radiasinya tersebut. Kemajuan dunia kosmologi barangkali akan terhambat bertahun-tahun. Tapi bukan itu yang kita bahas di sini.

Often times, there is wisdom inside the humble pie…

 

 

——

Bacaan Lebih Lanjut:

  • A Brief History of Stephen Hawking ~ New Scientist (link)
  • Stephen Hawking: “A Brief History of Time” (1988) (buku)
  • J.P. McEvoy & Oscar Zarate: “Introducing Stephen Hawking” (2005) (buku)

Read Full Post »

Santai tapi Serius

Guru matematika saya waktu SD dulu, seorang ibu guru, pernah mencetuskan suatu kalimat di depan kelas. Waktu itu suasana kelas sedang agak ramai — barangkali bisa dibilang berisik. Saya sendiri lupa persisnya seperti apa, soalnya itu sudah belasan tahun lalu (ya iyalah :mrgreen: ). Meskipun begitu saya ingat beliau mengumumkan seperti berikut ini di depan kelas.

“Anak-anak, kalau mau ngobrol jangan sekarang. Kita ini santai tapi serius, bukannya serius tapi santai. Kalau serius tapi santai, itu nggak serius.”

Dulunya saya bingung, apa bedanya antara “santai tapi serius” dan “serius tapi santai”. Toh dua-duanya sama-sama mengandung kata “serius” dan “santai”. Kenapa pula yang satu dibilang “nggak serius” sama Bu Guru? 😕

Belakangan saya paham bahwa “Sersan” (serius tapi santai) adalah acara lawak di Radio Prambors era ’80-an. Mungkin maksud beliau, tidak bisa disamakan dengan Sersan Prambors… santai tapi serius, bukan berarti jadi melawak. :mrgreen: Mungkin begitu maksudnya. Yah, entahlah — saya juga kurang tahu. Wong zaman segitu saya belum lahir. 😆

***

Begitupun, terlepas dari permainan istilahnya, ucapan Bu Guru di atas terus terngiang di benak saya. “Santai tapi serius”. Beliau tidak ingin anak-anak didiknya jadi terlalu serius dan pendiam. Meskipun begitu, beliau juga tidak ingin kalau jadinya malah terlalu santai dan ribut. Jadi harus ada keseimbangan di situ… begitu yang saya tangkap dari ucapan di atas.

Waktu itu saya belajar dari Ibu Guru tentang tambah-kurang kali-bagi. Meskipun begitu, bertahun-tahun kemudian ketika saya belajar jadi insinyur — dengan segala matematikanya yang lebih abstrak — ucapan tersebut adalah ajaran beliau yang paling profound. Buat apa saya habis-habisan jadi nerd, menyeriusi ilmu pengetahuan, kalau akhirnya tidak bisa santai? Sementara di sisi lain, justru hidup itu (bagusnya) kombinasi antara serius dan santai! 🙂

Kenapa bisa begitu? Coba kita bayangkan.

Dulu saya kuliah dari pagi sampai sore, mengutak-atik integral, mekanika fluida, dan sebagainya. Pulang-pulang mengurus tugas, dan besoknya kembali lagi. Tiap hari seperti itu, what gives? Keseriusan itu datang beruntun sampai tidak bisa dinikmati. Kesannya kok seperti robot saja. Barangkali saya bisa bertahan karena masih bisa online, jalan-jalan, dan download berbagai macam hiburan.

Contoh yang lebih mendetail, ambillah ilustrasi sebagai berikut.

Misalnya saya peneliti di bidang material. Bersama dosen saya, saya melakukan penelitian mengenai doping berbasis nanoteknologi. Setiap hari nongkrong di lab, melakukan analisis dan sebagainya. Pulang membaca jurnal, tidurnya dini hari. Kehidupan pribadi tersita. Meskipun begitu penelitian itu berbuah manis.

Setelah beberapa waktu, saya dan dosen saya menemukan metode doping yang efektif. Akhirnya kami membuat paper. Kemudian teknologi ini dimanfaatkan oleh industri — memudahkan hidup banyak orang — dan saya jadi berjasa lewat penemuan itu.

Tapi, seperti pertanyaan sebelumnya: What gives? Kehidupan pribadi saya tersita selama berminggu-minggu. Makan tak enak, tidur tak nyenyak (karena memikirkan riset). Barangkali tidak sempat main bola atau pergi ke mall. Karena terlalu serius, saya mengorbankan kesantaian. Pada akhirnya hidup jadi kosong dan hampa. Atau, kalau boleh dibilang, garing.

Di sini kita lihat bahwa “terlalu serius” membuat saya kehilangan sisi yang lebih manusiawi. Sehari-hari berhadapan dengan komputer, jurnal, dan sebagainya, barangkali saya sudah lupa cara mengenali body language. Barangkali teman-teman sekitar bakal dongkol karena saya tak mempan disindir, jadi cuek, dan lain sebagainya.

Sama halnya dengan semua bidang lain. Saya ambil contoh riset material karena itu bidang yang saya akrab, tapi, coba bayangkan kalau pekerjaannya lain. Mungkin programmer, arsitek, atau pemain bola. Demi mengejar profesi kita jadi terlalu serius dan lupa bersantai. Akibatnya kita jadi cuek dan kurang bersahabat. Kasar-kasarnya, jadi “kurang manusiawi” — kalau itu frase yang tepat.

 
Bicara soal ini, saya jadi ingat lagi pada ucapan Pak Arsene Wenger. Beliau pelatih bola tim favorit saya yang, kebetulan, rada hobi melempar quote filosofis.

“Any man who concentrates his energies totally on one passion is, by definition, someone who hurts the people close to him.”

[sumber]

Terlalu serius itu tidak baik. Bukan saja kita jadi tumpul dan monoton, kita juga menyakiti orang-orang di sekitar kita. Padahal belum tentu niatnya seperti itu.

Di sini saya ingin menekankan bahwa, sebagaimana disampaikan oleh Bu Guru Matematika di awal tadi, yang baik adalah “santai tapi serius”. Santai karena kita memang punya hak untuk itu. Serius, karena kita perlu untuk memajukan diri. Tidak bisa cuma berfokus ke salah satunya dan melupakan yang lain.

***

Dalam salah satu posting blog tempo hari (berjudul 15 Books that Define Me), saya menyebutkan salah satu buku yang jadi inspirasi saya. Buku tersebut adalah autobiografi Richard Feynman — almarhum fisikawan yang juga peraih Nobel.

 

cover

 

Mengapa buku ini berkesan? Well, simple: karena Feynman adalah perwujudan semangat “santai tapi serius” yang sudah disebut. :mrgreen:

Feynman adalah seorang jenius. S1 di MIT, pascasarjana di Princeton. Kesehariannya berkutat dengan fisika. Tetapi apakah dia orang yang nerd? Oh, tidak. Justru dia sosok yang santai abis. Dia hobi mengisengi rekan sejawat, ikut belajar melukis, juga pernah tiga hari tidak tidur keliling Las Vegas. Akan tetapi dia serius ketika tiba waktunya. Dengan penelitiannya dia berkontribusi di dunia fisika… malah sampai mendapat hadiah Nobel. Prestasi yang tidak ringan kalau menurut saya.

Di sini kita melihat bahwa keseriusan Feynman dibarengi dengan kesantaiannya menjalani hidup. Santai tapi serius. Dan saya pikir, memang itu yang kita butuhkan. Menyeimbangkan antara sisi manusiawi dan keseriusan kerja. Jangan sampai kita terjebak jadi robot di dunia yang makin instan.

Sebagaimana diindikasikan jauh di atas tadi, terlalu serius itu berpotensi jadi destruktif. Baik terhadap kita sendiri maupun pada orang lain.

On related note, kan memang banyak masalah kita di dunia terjadi karena orang-orangnya terlalu serius? :mrgreen: Bom bunuh diri terjadi karena pelakunya terlalu serius memegang ajaran agama (sampai kelewatan). Sentimen “ganyang Malaysia!” karena kita terlalu serius pada nasionalisme. Bukan berarti agama dan nasionalisme itu jelek, sih. Sah-sah saja, cuma mbok ya jangan sampai kebablasan.

Mengutip kalimat legendaris Joker di film The Dark Knight, yang sekarang terasa basi saking seringnya diulang-ulang

“Why so serious?”

***

Jadi, singkat cerita…

Selamat hari Selasa kisanak. Sudahkah Anda bersikap santai selama ini? 🙂

 

——

Terkait:

Read Full Post »

Catatan: Jadi, ceritanya saya sedang ngobrol dengan geddoe dan mas gentole di post tentang migrasi tempo hari. Ada satu poin menarik yang muncul di situ, dan saya pikir tak ada salahnya diangkat jadi tulisan tersendiri. 😉

 

Waktu kecil dulu, saya suka nonton serial Sesame Street. Ada yang ingat serial ini? Dulu sempat tayang sore-sore di RCTI, dan menampilkan sosok-sosok boneka lucu seperti Big Bird, Grover, dan Cookie Monster. 🙂

 

Sesame Street cast crew

Para punggawa Sesame Street generasi baru (2009). Acara ini sudah berjalan selama 40 tahun di negeri asalnya.

[image courtesy of Muppet Wiki]

 

Waktu itu eranya tahun 1990-an. Belum lama sejak TV swasta boleh mengudara di Indonesia — dimulai oleh RCTI, kemudian SCTV, kemudian TPI dan kawan-kawannya. Ini masanya ketika saya usia TK dan SD, jadi bisa dibilang saya tumbuh besar bersama program mereka.

To be fair, though, kadang-kadang saya nonton TVRI juga — soalnya dulu ada Voltron dan ThunderCats di sana. 😛 Tapi bukan itu yang hendak dibahas di sini.

Nah, yang hendak saya bahas di sini terkait dengan “hobi” nonton TV zaman dulu. Ada apa dengan itu, nah, ini ada ceritanya lagi.

 

Nostalgia dulu…

 

Sekitar masa SD, saluran televisi favorit saya adalah RCTI. Banyak film-film bagus ditayangkan di sana: mulai dari Airwolf, MacGyver, hingga yang legendaris seperti Ksatria Baja Hitam. Kalau yang bermuatan edukasi, Sesame Street; yang bergenre kartun, Doraemon. Hampir semua teman saya nonton acara-acara tersebut. Entah itu di sekolah, di rumah, ataupun pas main ke rumah sebelah, yang dibicarakan adalah:

+ “Nonton Airwolf nggak kemarin?”
+ “MacGyver bersambung, hampir kalah sama Morgana.”
+ “Motor Road Sector, jreng-jreng…”

(dan seterusnya)

Kasar-kasarnya, kalau nggak nonton TV, nggak gaul. 😛 Entah produk Jepang atau Amerika, asalkan menarik, maka bakal jadi bahan gosip di kelas. Bagi kami Kotaro Minami sama kerennya dengan MacGyver. Kalau belalang tempur adalah motor super, maka Airwolf adalah helikopter jagoan. Voltron sama kerennya dengan Patlabor…

…dan seterusnya. Kalau ada di antara pembaca yang seumur saya, pastilah paham apa yang dimaksud. :mrgreen:

***

Tentu, yang saya sebutkan di atas itu produk zaman dulu. Generasi kelahiran ’90-an barangkali tidak tahu tentang KBH dan Airwolf. Meskipun begitu mereka punya ikon generasinya sendiri.

Seorang sepupu saya, yang sekarang masih SMA, tumbuh besar bersama Kapten Tsubasa. Anaknya mbak yang kerja di rumah saya, dulu hobi nonton Teletubbies. Jika dulu generasi saya punya idola, maka begitu pula dengan mereka. Entah bentuknya berupa Naruto, Sasuke, Aang, atau Ben 10 — asalkan sosoknya admirable, maka bisa jadi pujaan. Perkara asalnya dari Negeri Paman Sam atau Matahari Terbit… itu urusan belakangan.

Di sini saya ingin menekankan satu hal: anak-anak zaman sekarang tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dikelilingi budaya banyak negeri jauh lebih intens daripada kakek-neneknya. Ambillah drama seperti Pendekar Rajawali (Tiongkok), Full House (Korea), hingga One Litre of Tears (Jepang), semua siap mampir di televisi ruang tamu.

 

The Internet Revolution

 

Menariknya, walaupun di satu sisi saya menilai televisi sebagai agen budaya, saya tidak menganggapnya sebagai yang paling dahsyat. Gelar untuk ini jatuh pada media yang baru muncul belakangan, yakni internet. Dengan internet orang bisa berselancar ke tempat-tempat yang jauh — mendalami pikiran yang berbeda, juga budaya yang berbeda.

Barangkali lebih mudah kalau dijelaskan lewat contoh. Selama kisruh Iran kemarin, saya dapat berita dari Twitter dan Fark. Kalau sedang santai saya bisa berkunjung ke blog bu guru Amerika yang tinggal di Turki; kalau tidak, warga Saudi yang rada liberal. Saya bisa membaca jurnal keseharian sopir taksi di Singapura. Ada juga blog berita tentang Jepang, dan lain sebagainya.

Ingin belajar lewat internet? Itu juga bisa. Tinggal buka wikipedia, search google, atau tanya di Yahoo! Answers. E-book bisa diunduh, anime bisa ditonton. Siaran dan iklan mancanegara bisa diakses di YouTube. This being internet, kita bisa saling mengobrol, mengomentari, bahkan menertawakan kejadian di tempat jauh.

Seolah-olah, jarak dilipat saja oleh koneksi HTTP. Menurut saya ini hal yang hebat! 😀

Tentunya harus diingat bahwa, galibnya kemajuan teknologi, internet juga punya sisi negatif. Ada banyak kasus untuk ini. Toh ini tidak mengubah kenyataan. Sebagaimana sudah disebut, internet adalah jendela penghubung yang luar biasa antara warga dunia.

 

The Culture Salad

 

Bicara soal ini, saya jadi ingat lagi pada diskusi yang kemarin. Mas gentole bercerita di salah satu komentar,

[K]emarin sempat ikut seminar dan beli buku barunya Yudi Latif yang judulnya menyemai kebangsaan atau apa gitu. Debatnya seru. Kebanyakan orang tua sih. Nah di sini menariknya.

Kalo saya baca postnya sora dan juga melihat kecenderungan lambrtz, geddoe dan dnial untuk menjadi nationless dan stateless itu, sepertinya ada gap yang sangat besar antara dua generasi.

 
*) dengan perubahan seperlunya

Saya pikir tidak ada yang aneh dengan itu. Mengapa generasi zaman sekarang kok lebih suka persahabatan lintas batas dan humanisme universal, alih-alih nasionalistik? Well, simply put: itu karena mereka sejak kecil meng-embrace budaya banyak negeri! :mrgreen:

Coba kita kilas balik. Zaman dulu, kakek dan nenek kita harus mengantri untuk bisa nonton gambar idoep. Televisi belum ada. Film yang masuk juga jumlahnya terbatas. Hal yang sama masih berlanjut sampai (barangkali) era Ayah dan Ibu saya. Sekarang? Bukan saja produk Hollywood yang masuk sini, film Jepang, Korea, Taiwan juga ada. 🙂 Belum lagi kalau punya TV kabel atau parabola. Makin lengkaplah pilihannya.

Sementara, zaman sekarang kita punya internet. Saya bisa dapat perkembangan berita di Iran; bisa tahu kabar-kabar terbaru di Jepang. Ingin belajar filsuf Prancis, Jerman, Yunani kuno? Tinggal download e-book. Separah-parahnya toh masih bisa google. Di sini kita lihat: betapa generasi sekarang punya banyak influence dalam membentuk identitas.

Saya tertarik menyebut fenomena ini sebagai culture salad. Dengan merembesnya pengaruh mancanegeri di Indonesia, maka kita jadi makin terbuka. Sekat “nasionalisme” tidak lagi dianggap sakral. Perbedaan kewarganegaraan bukan lagi sesuatu yang “wah”.

Iyalah. Apanya yang “wah” kalau saya bisa main ke blog Bu Mary atau Pak Mingjie sekali langkah. Sama-sama orang biasa, sama-sama blogger. Sama-sama punya keluarga dan kesulitan hidup juga. Lalu saya bertanya: apa bedanya saya dengan mereka? Tidak banyak, sungguh!

 
Saya rasa inilah sebabnya gagasan nasionalisme klasik, yang menjunjung tinggi “mesti Indonesia asli”, mulai kehilangan pamor. Justru sekarang ini zamannya multibudaya dan akulturasi. Komunikasi membuat kita paham bahwa tidak ada yang istimewa amat dari warga negara ini dan itu, budaya ini dan itu.

Kalau saya boleh menilai, negara dan budaya kita di bumi pada dasarnya seperti mosaik. Tak sama tapi serupa. Unik dengan caranya sendiri-sendiri. Sebagaimana dicerminkan generasi saya yang tidak membedakan antara Kotaro Minami, Yo Ko, dan MacGyver, maka begitulah saya memandang dunia.

Saya sendiri kurang tahu bagaimana orang lain, tapi, masa sih cuma saya yang berpikir begitu? :mrgreen:

 

Epilog: “Culture? What Culture?”

 

Jadi, inti dari tulisan ini adalah…

…pertanyaan yang jadi judul di atas. Culture? What culture? 😆 Adakah kultur yang unik di dunia saat ini? Bisakah orang menggolongkan “nasionalisme” berdasarkan kesamaan budaya. Saya rasa, susah! :mrgreen:

Sebagaimana sudah saya uraikan di atas, dunia kita — bukan cuma Indonesia — sekarang sedang memasuki tahap culture salad. Budaya dari macam negeri masuk ke ruang tamu; kita olah dan kita saring. Lalu kita berakulturasi. Perlahan-lahan terbentuk budaya baru yang, kalau boleh disebut, blasteran.

Saya ambil contoh dari tulisan lama saya. Apa yang membuat remaja mesjid tertarik membumbui majalah dinding dengan ilustrasi anime? Kalau dilihat sekilas Jepang dan Islam tidak ada hubungannya, tapi kok jadi begitu? Saya pikir, jawabannya sederhana.

 

akulturasi

 
Dengan mengamati budaya negeri lain, kita mengambil apa yang dirasa bagus, dan mencampurnya dengan milik kita. Dari “bahan dasar” yang berbeda kita meracik culture salad, menghasilkan campuran baru yang unik.

Sama halnya dengan kisah anak-anak zaman internet di atas. Dari budaya yang berbeda, mereka mengambil apa yang dirasa cocok, lalu mengembangkan sintesis. Zaman sekarang tidak aneh jika ada anak yang berlatar keluarga muslim tapi paham Thomas Paine; tidak aneh kalau ada anak yang suka barang-barang Jepang sekaligus The Corrs dan Aerosmith; juga tidak aneh kalau ada yang suka anime sekaligus dengar Led Zeppelin! :mrgreen:

***

Di tulisan kemarin, saya menjelaskan bahwa manusia itu aslinya satu. Dulunya satu, dan sekarang sedang akan menyatu lagi. Waktu itu saya menampilkan Tiger Woods dan Barack Obama sebagai ilustrasi.

 

tiger woodsbarack obama

Dua bapak di atas, biarpun sekilas berkulit hitam, sebenarnya mewarisi genetik banyak ras.
Tiger Woods (kiri): keturunan Thai, Cina, Belanda, Afrika, Indian.
Barack Obama (kanan): keturunan Kenya-Amerika, ibu berdarah Inggris.

 
Sekarang, di akhir tulisan ini, kita sama-sama menyadari: bukan saja ras-ras yang kembali menyatu, budaya pun juga ikut menyatu! 😯 Jika persatuan ras mewujud dalam bentuk anak-anak multiras, maka, di masa kini, persatuan budaya mewujud dalam bentuk culture salad. Perubahan ini digawangi oleh televisi dan internet.

Saya pribadi berpendapat bahwa konstruksi “identitas budaya”, pada akhirnya, akan bernasib sama dengan “identitas ras”. Bakal melebur, hilang batasnya. Menjadi budaya baru yang sifatnya campursari — sebagaimana anak-anak yang multiras menandakan hilangnya batas suku.

Mungkin, hanya mungkin, saat itu kita akhirnya menyadari bahwa manusia “cuma beda di luar saja”. Biar kulitnya berbeda, kewarganegaraannya beda, warisan budayanya beda, tidak ada alasan untuk mengelompokkan manusia. Saya bilang: pergi sajalah jauh-jauh itu “nasionalisme”, “tribalisme”, “rasisme”, dan sebagainya. Karena kita ini sebenarnya sedang saling menyatu: baik secara lokasi, genetik maupun budaya. Lebih baik mencari persamaan daripada perbedaan, kan begitu? 😀

Akhir kata, saya ingin berpesan: ingatlah bahwa apa yang kita anggap ‘berbeda’ belum tentu aslinya seperti yang diributkan. Sebagaimana sudah dijelaskan, manusia adalah kawanan yang satu. Dulunya satu, kemudian berpencar, dan kini sedang menyatu lagi. Jangan sampai kita justru terjebak dan mengotakkannya secara sembrono. 😉

Read Full Post »

“Surely it is more interesting to argue about what the truth is, than about what some particular thinker, however great, did or did not think.”

~ David Deutsch

 
Kalau boleh jujur, saya sering dongkol setiap ketemu orang — baik di dunia nyata maupun internet — yang setiap kali berbicara membubuhkan atribusi. Maksudnya sedikit-sedikit main quote, begitu, sehingga idenya jadi terkesan ‘wah’. Contoh untuk ini pernah dijelaskan oleh xaliber di posting lawasnya:

Si A: Saya rasa, untuk menyatukan rakyat kita membutuhkan pemimpin yang keras.

Si B: Oh, tentu! Saya juga setuju. Tapi asal tahu saja, teori seperti itu namanya integrasi berdasarkan konflik. Masyarakat bisa terintegrasi karena adanya coercion dari penguasa dan menentukan musuh bersama; teori ini sempat diutarakan oleh Dr. Nasikun pada bukunya yang berjudul Sistem Sosial Indonesia…

Barangkali karena saya pribadi kurang suka gaya bahasa berbelit bumbu jargon, makanya jadi begitu. Seperti yang dibilang Pak Deutsch di atas: yang lebih penting itu idenya, bukan orangnya. Kan begitu? 😛

Yaa, bukannya saya anti kutipan, sih. Sah-sah saja buat menyampaikan poin, tapi mbok ya jangan berlebihan kalau lagi diskusi. Masa dikit-dikit kutip Plato, Machiavelli, Nietzsche, dkk., dllsb. 😐 Ilmu itu yang penting komunikasi bung, bukan jualan nama!

On related note, sebenarnya tulisan yang kemarin juga bisa dibumbui quote berbagai ilmuwan terkenal: Dawkins, Huxley, Darwin, dst. Pertanyaannya, buat apa? Saya pikir pembaca juga lebih suka lah kalau disampaikan sederhana begitu saja. So there. 😆

 

Ps:

Sekadar postingan curhat, jangan terlalu dipikirkan. 😛

Read Full Post »

Pembaca, pernahkah Anda membayangkan tentang manusia pertama? Sosoknya saya serahkan pada Anda. Jika Anda religius, boleh membayangkan Nabi Adam; jika tidak religius, boleh membayangkannya dalam konteks single origin hypothesis.

Sudah? Sekarang, bayangkan manusia pertama tersebut berkembang biak. Beranak-cucu, hingga punya banyak keturunan. Hingga kemudian terbentuk sebuah keluarga besar “manusia purba”.

Dan kisah ini pun dimulai…

 

I. Migrasi

 

Pertama-tama, mari kita bayangkan keluarga besar yang sudah disebut. Selama ini keluarga besar manusia tinggal di sepetak tanah. Benua Afrika yang subur adalah tempat mereka tinggal — semua kebutuhan terpenuhi di situ. Jika ingin makan daging, mereka berburu; jika tidak, mereka memetik buah dan daun. Kehidupan masih sederhana dan belum ada struktur sosial.

Meskipun begitu, seiring waktu, keluarga besar tersebut mulai membengkak. Anak-beranak, generasi ke generasi, hingga akhirnya jumlahnya jadi besar. Afrika yang tadinya makmur tak lagi cukup menampung mereka. Ibaratnya, makanan hanya untuk 10 orang, tapi populasi sekarang 50 orang. Maka mereka pun memutuskan mencari tanah baru.

Sedikit demi sedikit mereka pun berjalan…

 

out-of-africa

(image courtesy of University of Texas)

 
Keluar dari Afrika. Menuju tempat-tempat baru yang sebelumnya asing — hingga akhirnya mendarat di berbagai pelosok bumi.

 

to the world

(image courtesy of San Diego State University)

 

Sebagian memilih Eropa, sebagian lagi jalan terus sampai Asia. Sebagian lagi menyabung resiko menyeberangi Selat Bering; menjadi nenek moyang bangsa Aztec dan Inca. Adapun sebagian kecil mencoba berperahu melewati Samudra Hindia dan Pasifik.

Dari satu titik di benua Afrika, mereka menyebar mencari tanah-tanah baru. Perjalanan ini berlangsung selama puluhan ribu tahun.

 

II. Adaptasi

 

Syahdan, keluarga besar manusia sekarang tersebar di muka bumi. Ada yang memiliki tanah di Amerika; ada yang di Eropa dan India. Perlahan-lahan mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Yang tinggal di Eropa mendapat cuaca dingin dan sedikit matahari. Tubuh mereka pun beradaptasi: kulit yang tadinya gelap kini menjadi terang. Warna mata berganti menjadi cerah. Lingkungan yang tak bersahabat menuntut kerja keras… menghasilkan badan yang tinggi dan besar.

Yang tinggal di Asia Tengah mendapat lebih banyak matahari, tetapi tanahnya berdebu dan bergurun. Perlahan-lahan mereka mengembangkan bentuk mata sipit dan kulit coklat. Berkembanglah cikal-bakal ras mongol yang sekarang kita kenal.

Yang tinggal dekat khatulistiwa memiliki sinar matahari sepanjang tahun. Cuaca basah dan tanahnya subur. Tidak perlu berburu, apalagi bekerja menaklukkan alam seperti saudaranya di Eropa — maka berkembanglah ras yang badannya kecil-lincah dan berkulit cokelat.

Sedangkan yang tinggal di Afrika tetap dengan ciri-cirinya sejak awal. Berbadan kuat dan besar sebagai pemburu, berkulit gelap menangkal matahari. Mata dan rambut mereka hitam oleh pigmen penangkal ultraviolet. Maka demikianlah ras Afrika yang kita kenal sekarang.

Tentunya ada banyak ras lain yang belum disebut. Meskipun begitu, empat contoh di atas harusnya cukup jelas untuk mengilustrasikan konsep “ras” dan asal-usulnya — saya yakin Anda paham apa yang saya maksud. 😉

 

III. Reuni

 

Nah, setelah ribuan tahun terpisah, ras-ras manusia ini kemudian bertemu kembali. Dunia kita ini memang aneh — semua yang tadinya berpencar, kemudian bertemu lagi pada akhirnya. 😀 Air laut naik jadi air hujan, jatuhnya ke bumi lagi. Biji padi disemai di sawah, akhirnya masuk ke lumbung. Demikian juga umat manusia yang beragam ras di atas.

Berkat kemajuan transportasi, sekarang tidak sulit bagi kita bertemu orang di benua lain. Tinggal naik pesawat atau kapal laut, maka jadilah. Malah bukan saja kita bertemu — kalau mau, menikah dengan orang ras lain pun tidak masalah! 🙂

Inilah yang disebut sebagai gene flow dalam konteks biologi. Orang-orang dengan genetik yang berbeda, dari tempat yang berbeda, bisa bertemu dan berkumpul di satu tempat. Mengutip peribahasa: “Asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga”. Contohnya ada banyak di sekitar kita.

Tidak percaya? Coba saya tanya. Sepanjang hidup Anda di Indonesia, ada berapa banyak kenalan yang berdarah Arab? Tionghoa? Indo? Berani taruhan — pasti lebih dari satu! :mrgreen:

Adapun itu baru di Indonesia. Di Amerika Serikat, negara yang terkenal membuka diri pada imigran, terdapat populasi kulit putih, kulit hitam, Asia, Inuit, dan Hispanik. Jadi mungkin bisa dibilang: umat manusia yang tadinya terkotak-kotak oleh ras, kini sedang merapat kembali dan bersatu dalam belanga.

 

IV. Multiras: Melampaui Batas Suku

 

Sebagaimana sudah disebut, di masa kini ras-ras yang berbeda — hasil adaptasi dan evolusi ribuan tahun — mulai bertemu kembali. Orang-orang dari tempat yang jauh saling berinteraksi; beberapa malah sampai menikah dan berketurunan. Otomatis, ini berarti munculnya satu genre identitas baru: identitas multiras.

Atau, kalau boleh dibilang, anak-anak yang lahir dari perkawinan beda suku. Di Indonesia kita menyebutnya “blasteran”.

Saat ini fenomena multiras adalah hal yang umum. Paman saya, orang Jawa, menikah dengan wanita Batak dan mendapat seorang anak. Teman ngobrol saya waktu kuliah berdarah Arab. Cinta pertama saya gadis Indo-Padang, dan lain sebagainya. Pada akhirnya ini menunjukkan satu hal: identitas kita bukan lagi tunggal dan terkotak. Melainkan campursari antara budaya sini, budaya situ, genetik sini dan genetik situ.

Barangkali lebih mudah jika ditunjukkan lewat nama. Dulu selebriti kita punya nama “Indonesia” seperti Roekiah dan Raden Mochtar. Sekarang kita punya Rianti Cartwright, Indra Bruggman, Farah Quinn. Di Kanada ada David Suzuki; di Prancis ada Patrick Vieira; di Jerman ada Mehmet Scholl. Masih banyak contoh lain yang takkan muat disebut di sini.

Poin saya adalah, pada akhirnya, kita — sebagai manusia — mulai kembali “menyatu” setelah terpisah jarak. Baik itu jarak genetik, jarak budaya, dan jarak sejarah. Kehadiran mereka yang multiras adalah buktinya.

Betapapun di luarnya kita terlihat berbeda, sebenarnya kita datang dari tempat yang sama. Dari padang-padang yang jauh di Afrika, kita mengembara, terpisah, dan akhirnya bercampur lagi. Asia bercampur Eropa, Indian bercampur Eropa, Asia bercampur Afrika… dan lain sebagainya.

Boleh jadi di masa depan umat manusia semuanya ras campursari. Mungkin seperti Tiger Woods dan Obama? Siapa yang tahu? 😉

 

tiger woodsbarack obama

Dua bapak di atas, biarpun sekilas berkulit hitam, sebenarnya mewarisi genetik banyak ras.
Tiger Woods (kiri): keturunan Thai, Cina, Belanda, Afrika, Indian.
Barack Obama (kanan): keturunan Kenya-Amerika, ibu berdarah Inggris.

 

V. Unity in Diversity

 

Hari ini, ketika sedang menulis post ini, saya jadi ingat lagi pada pelajaran PPKn yang didapat waktu sekolah. Anak-anak biasanya bosan dengan pelajaran ini — sekadar mengulang hal biasa, tidak penting, dan lain sebagainya. Meskipun begitu ada satu poin yang diajarkan di sana, yang paling saya ingat sampai sekarang:

Jangan membeda-bedakan teman. Jangan berbuat kesukuan. Jangan mengungkit SARA. Ingat Bhinneka Tunggal Ika: biarpun berbeda-beda tetapi satu jua.

Now how true that statement holds! Bukan saja kita berbeda-beda tapi satu, kita memang satu dari sananya. Berasal dari tempat yang sama di Afrika, kita kemudian berpencar — dan sekarang menuju untuk bersatu lagi. Hanya kepicikan dan rasa naif yang membuat kita mengingkarinya.

Sebagaimana sudah kita lihat bersama di atas. Semua bentuk kesukuan dan ras itu pada dasarnya hanya ilusi. Siapapun orangnya, tak peduli dia berdarah Melayu, Cina, Arab, Indian, Eropa, Eskimo — asalkan sesama manusia, maka dia adalah keluarga. And that’s all that matters.

***

Maka benarlah penulis masyhur H. G. Wells berkata, “Our true nationality is mankind.” Beliau bukan ilmuwan, apalagi ahli sejarah. Meninggalnya pun baru abad lalu. Meskipun begitu, saya pikir ucapan beliau mengilustrasikan sejarah panjang manusia dengan tepat.

Atau, kalau saya boleh mengadaptasinya di sini: We were one, are one, and will be one. In the end, our true nationality is mankind.

Anda setuju? 😉

Read Full Post »

Older Posts »